Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

11 Januari 2008

FILE 9 : Al-'Ilmu

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Keutamaan Ilmu dan Ahlinya

Penulis: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

.

Segala puji untuk Allah Rabb seru sekalian alam, segala akibat baik akan didapatkan oleh orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan utusan-Nya serta makhluk terbaik pilihan-Nya di antara semua makhluk, orang kepercayaan pengemban wahyu-Nya, seorang Nabi, pemimpin dan tuan kita Muhammad bin Abdillah. Begitu pula semoga pujian dan keselamatan itu terlimpah kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan semua pengikut yang menempuh jalannya serta mengambil petunjuk dengan petunjuknya hingga datangnya hari kiamat. Amma ba’du.

Berikut ini untaian kalimat yang ringkas tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ahlinya. Sesungguhnya dalil-dalil syari’at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan dengan jelas tentang keutamaan ilmu dan bertafaqquh (mendalami) ilmu agama, dan juga keutamaan lain berupa kebaikan yang sangat agung dan pahala yang sangat besar, sebutan yang indah, dan akibat yang terpuji bagi orang yang dibersihkan niatnya oleh Allah dan mendapatkan anugerah taufik dari-Nya..

Dalil dari Al-Qur’an

Dalil-dalil yang menyinggung hal ini sangat banyak dan sudah banyak diketahui orang. Cukuplah untuk menunjukkan kemuliaan ilmu dan ahlinya yaitu Allah ‘azza wa jalla telah menjadikan mereka sebagai salah satu saksi dalam hal keesaan-Nya, dan juga Allah mengabarkan bahwa mereka itulah orang-orang yang benar-benar memiliki rasa takut kepada Allah.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, begitu juga para malaikat mempersaksikan yang demikian itu, begitu pula ahli ilmu, demi menegakkan keadilan, tidak ada sesembahan yang hak selain Dia Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18)

Di dalam ayat ini Allah menjadikan persaksian malaikat dan ahli ilmu untuk turut mempersaksikan keesaan-Nya Yang Maha suci. Yang dimaksud dengan ahli ilmu ialah orang-orang yang memiliki ilmu tentang Allah, orang-orang yang memahami agama-Nya dan mempunyai rasa takut kepada-Nya Yang Maha suci dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya, selalu mematuhi aturan dan batasan yang digariskan-Nya.

Hal itu sebagaimana tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir [35] : 28).

Dan telah diketahui pula bahwasanya setiap muslim pasti memiliki rasa takut kepada Allah, setiap mukmin juga pasti merasa takut kepada Allah. Akan tetapi rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para ahli ilmu, dan pemuka tertinggi mereka ialah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam kemudian diikuti oleh orang-orang sesudah mereka yaitu para ulama sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing.

Para ulama, mereka itulah pewaris para Nabi. Rasa takut kepada Allah adalah benar adanya. Sedangkan rasa takut yang sempurna hanya ada pada diri ahli ilmu yang mengenal Allah dan memiliki bukti-bukti kuat tentang keesaan-Nya, mengetahui kesempurnaan Nama-nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan menyadari betapa agung hak yang dimiliki-Nya yang Maha suci lagi Maha tinggi. Dan para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam adalah orang-orang terdepan di antara mereka, kemudian diikuti sesudahnya oleh ahli ilmu dengan berbagai macam tingkatan pemahaman mereka dalam ilmu tentang Allah dan agama-Nya. Sudah sepantasnya bagi setiap alim dan penuntut ilmu untuk senantiasa memperhatikan perkara ini dan merasa takut kepada Allah di mana pun dia berada serta berusaha untuk terus mendekatkan dirinya kepada Allah dalam semua urusannya, baik ketika menuntut ilmu, ketika mengamalkan ilmu, menyebarkan ilmu, dan dalam setiap aspek kewajiban terhadap Allah dan kewajiban yang menjadi hak hamba yang harus ditunaikan olehnya.

Dalil dari As Sunnah

Terdapat sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahihain dari hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.”

Hadits yang agung ini memiliki banyak hadits pendukung dari sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ini menunjukkan bahwasanya salah satu ciri kebaikan dan tanda kebahagiaan ialah seorang hamba diberikan kepahaman dalam hal agama Allah.

Setiap penuntut ilmu yang ikhlas di perguruan tinggi manapun atau di ma’had ‘Ilmi manapun, atau di tempat yang lainnya hendaknya menjadikan pemahaman seperti inilah yang dicari dan diinginkannya. Oleh sebab itu kita memohon kepada Allah agar mereka mendapatkan taufik dan hidayah untuk menggapainya dan tercapai tujuan yang dicita-citakannya.

Dan barangsiapa yang justru berpaling dari mempelajari ilmu agama maka itu merupakan salah satu ciri bahwa Allah menghendaki buruk pada dirinya, laa haula wa laa quwwata illa billah.

Perumpamaan Ilmu dan Hidayah yang Dibawa Nabi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya perumpamaan wahyu yang diberikan Allah kepadaku yang mencakup petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang turun membasahi bumi. Sehingga ada di antara tanahnya yang bisa menerima air dengan baik dan bisa menumbuhkan berbagai macam rumput dan tanam-tanaman. Dan ada juga tanah yang keras dan hanya bisa menampung air saja sehingga dengan perantaranya Allah memberikan kemanfaatan bagi orang-orang. Mereka bisa minum, memberikan minum pada ternak serta menyirami tanah pertanian. Akan tetapi, ada juga tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan juga tidak bisa menumbuhkan rumput-rumputan. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham dalam agama Allah serta memberikan manfaat bagi orang lain dengan ilmu yang diturunkan Allah kepadaku, dia berilmu dan juga mengajarkan ilmunya, serta perumpamaan orang yang sama sekali tidak mau memperhatikan ilmu tersebut serta tidak mau menerima petunjuk Allah yang Allah mengutusku dengan membawanya.”

Maka para ulama yang mendapatkan taufik untuk mengemban ilmu ini terbagi ke dalam dua tingkatan:

Tingkatan Pertama

Orang-orang yang meraih ilmu, mengamalkannya, mendalaminya, dan bisa menarik berbagai kesimpulan hukum darinya. Mereka terlahir menjadi para Hafizh (penghafal hadits) dan Fuqaha (ahli fikih). Mereka menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang-orang, dan mereka bisa memahamkan orang lain, memberikan pencerahan dan faedah kepada mereka. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai mu’allim (pengajar) dan ada yang menjadi muqri’ (pembaca), serta ada juga yang menjadi da’i ilallah ‘azza wa jalla atau menjadi mudarris (guru) yang mengajarkan ilmu dan profesi-profesi lainnya yang merupakan bentuk-bentuk pengajaran dan penularan pemahaman.

Tingkatan Kedua

Orang-orang yang mampu menghafalkan ilmu dan menyampaikannya kepada para ulama lain yang sudah dibukakan pemahaman ilmu baginya sehingga mereka bisa menarik berbagai kesimpulan hukum dari berita yang didapatkannya.

Maka dengan begitu kedua kelompok ini sama-sama memperoleh pahala dan ganjaran yang sangat besar dan melimpah serta bisa memberikan manfaat luas kepada umat.

Adapun kebanyakan orang yang ada, perumpamaan mereka itu ialah seperti tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan tidak mampu menumbuhkan rerumputan. Hal itu terjadi disebabkan mereka sengaja berpaling, lalai serta tidak mau menaruh perhatian terhadap ilmu.

Oleh sebab itu maka para ulama dan penuntut ilmu yang aktif dalam berbagai aktifitas penyebaran ilmu syar’i memiliki kebaikan yang sangat banyak serta berada di atas jalan yang lurus. Segala puji bagi Allah untuk itu. Dan itu hanya berlaku bagi orang yang mendapatkan taufik dari Allah sehingga bisa mengikhlaskan niat dan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Maka berdatanganlah para penuntut ilmu syar’i secara beramai-ramai untuk mendalami agama Allah dan berjuang untuk bisa meraih pencerahan dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meliputi petunjuk dan ilmu pengetahuan. Dan hendaknya mereka saling berlomba untuk menuntutnya.

Dan juga hendaknya mereka bersabar dalam meniti jalan tersebut, karena mereka harus merasakan keletihan dan menghadapi berbagai kesulitan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya ilmu itu tidak akan bisa digapai apabila dicari dengan tubuh yang selalu bersantai-santai. Akan tetapi dibutuhkan kesungguh-sungguhan, kesabaran, dan kemauan untuk menanggung rasa letih.

Inilah yang diucapkan oleh Imam Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahih beliau dalam bab-bab tentang Mawaqit (Waktu-Waktu Shalat) yang terdapat di dalam Kitab Shalat. Ketika beliau membawakan sekian banyak sanad, di antara riwayat yang beliau sebutkan adalah perkataan Yahya bin Abi Katsir rahimahullah. Yahya mengatakan, “Ilmu tidak akan bisa diraih dengan banyak mengistirahatkan badan.” Maksud beliau rahimahullah dengan ungkapan ini ialah sebagai catatan yang harus diingat bahwasanya untuk menggali ilmu dan mendalami agama itu sangat diperlukan kesabaran dan keteguhan.

Selain itu diperlukan perhatian, pemeliharaan waktu, dan harus senantiasa diiringi dengan keikhlasan dalam beramal karena Allah dan menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala.

Oleh karena itu maka keberadaan berbagai kegiatan daurah ilmiah yang di dalamnya diajarkan ilmu syar’i dan juga keberadaan masjid-masjid yang di sana diadakan berbagai halaqah ilmiyah syar’iyah memiliki peranan yang sangat penting. Faedah yang bisa digali darinya juga amat besar. Karena sarana-sarana seperti itu memang dipersiapkan untuk menyebarkan kemanfaatan bagi orang banyak dan bisa menguraikan berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi. Orang-orang yang telah mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu sangat diharapkan meraih kebaikan dan pelajaran yang banyak serta manfaat yang bisa disebarluaskan.

Tidaklah seyogyanya bagi orang yang sudah diberikan anugerah berupa ilmu oleh Allah kemudian dia justru memisahkan diri dari upaya untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada umat manusia dan tidak ikut berusaha menanamkan pemahaman agama (yang benar) kepada mereka atau mengingatkan mereka tentang Allah, hak-Nya serta hak hamba-hamba-Nya.

Dia bisa saja menempuh cara mengajar, atau pengambilan keputusan di dalam peradilan (apabila dia adalah seorang hakim, pent), atau dengan memberikan nasihat dan peringatan, atau sekedar saling mengingat-ingat isi pelajaran bersama sahabat dan saudara-saudaranya pada saat terjadi pertemuan-pertemuan yang bersifat umum maupun yang khusus.

Peranan Para Ulama Dalam Menyebarkan Ilmu

Demikian pula, sudah semestinya bagi para ulama untuk turut bergabung dalam upaya menyebarkan ilmu melalui berbagai media informasi yang tersedia, karena dengan cara itu faedah yang didapatkan sangatlah besar, dan ilmu yang disampaikan akan bisa menjangkau segala penjuru bumi sejauh yang dikehendaki oleh Allah.

Kebaikan sangat besar yang dicapai dengan menempuh metode semacam itu sudah sangat diketahui. Begitu pula dengan cara demikian maka kaum muslimin yang bisa merasakan manfaatnya semakin bertambah luas. Terlebih lagi pada masa sekarang ini, kebutuhan akan hal itu adalah sangat mendesak, bahkan di sepanjang masa hal itu selalu diperlukan. Hanya saja pada masa kita sekarang ini kebutuhan tersebut semakin memuncak karena begitu sedikitnya ilmu yang tersebar dan betapa banyaknya ajakan yang ditebarkan oleh para penyeru kebatilan.

Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi para ulama yang telah mendapatkan rezeki ilmu dari Allah untuk berani mengambil risiko dan menanggung beban kesulitan untuk berupaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak melalui media-media tersebut.

Mereka bisa ikut andil dalam upaya ini dengan bentuk pengambilan keputusan (dalam mahkamah/pengadilan), memberikan pelajaran, mendakwahkan agama Allah ‘azza wa jalla maupun cara lainnya yang menyangkut urusan-urusan kaum muslimin. Sehingga akan tercapailah manfaat yang begitu besar dan buah yang sangat agung sebagai hasil dari upaya ini.

Peranan Penuntut Ilmu Dalam Dakwah

Seorang penuntut ilmu pun hendaknya menuntut ilmu dalam rangka memberikan manfaat bagi dirinya, untuk menyingkirkan kebodohannya serta dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan amalan yang diridhai-Nya dengan didasari keterangan dan pemahaman yang baik. Dengan menuntut ilmu dia juga bisa berpartisipasi dalam menyebarkan manfaat bagi orang banyak. Yaitu untuk mengeluarkan mereka dari berbagai macam kegelapan menuju cahaya.

Selain itu, dengan ilmunya itu maka apa yang diputuskannya akan bisa menyelesaikan berbagai kesulitan yang dihadapi oleh mereka. Dia akan mampu melakukan perbaikan di antara mereka. Dia akan sanggup mengajari orang yang belum tahu di antara mereka. Dia pun akan bisa ikut serta membimbing orang-orang yang tersesat di antara mereka. Dia akan bisa memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar kepada mereka, dan manfaat-manfaat lainnya.

Sehingga peranan penuntut ilmu itu bisa merambah ke dalam medan yang sangat banyak, tidak terbatas pada masalah-masalah tertentu saja. Apalagi bagi seseorang yang berkedudukan sebagai qadhi atau hakim.

Karena seorang qadhi yang sanggup bersabar dengan taufik dari Allah niscaya dia akan bisa terjun untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Apabila bersama dengan penuntut ilmu maka dia juga bisa berperan di sana. Apabila diserahi profesi peradilan ia juga bisa berperan di sana. Dia akan bersama dengan para pengajar. Dia akan bersama para pengajak kepada yang ma’ruf dan pencegah yang mungkar. Dia akan bersama dengan para da’i ilallah ‘azza wa jalla atau bersama para pelaku perbaikan dan urusan-urusan kaum muslimin yang lainnya.

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus mempersiapkan diri untuk mengurusi amanah yang dibebankan kepadanya dan dia harus siap menanggung berbagai kesulitan di dalam membela agama Allah. Hendaknya dia bercita-cita tinggi. Sebagaimana dahulu para Salafush Shalih yang mendahului kita -semoga Allah merahmati mereka semua- berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyebarkan manfaat kepada umat manusia.

Wasiatku kepada ulama dan para penuntut ilmu serta untuk setiap muslim dan muslimah ialah agar mereka bersabar dalam menjalani hal ini.

Hendaknya mereka terus berupaya bersungguh-sungguh dalam meniti jalan kebenaran. Hendaknya mereka pandai memanfaatkan waktu yang ada. Dan supaya mereka memperbanyak kegiatan dalam rangka saling mengingat ilmu di antara mereka untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang terasa sulit bagi sebagian mereka. Sehingga dengan demikian akan terkumpullah berbagai pengetahuan yang akan membuahkan kebaikan bagi mereka dan insya Allah juga bagi kaum muslimin. Hendaknya hal itu juga disertai dengan semangat penuh untuk memperbaiki niat dan ikhlas dalam mengerjakan segala macam amal untuk mendekatkan diri hamba kepada Rabbnya, dan bersemangat dalam segala hal yang bisa mendatangkan kemanfaatan untuk orang banyak.

Di antara perkara yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang banyak dan bisa menjadi jalan keluar berbagai persoalan dan menjadi sebab tersebarnya keadilan ialah mengembalikan urusan kepada ahli ilmu dan pemilik bashirah yang memiliki kedalaman rasa takut kepada Allah Yang Maha suci dalam menyelesaikan sengketa peradilan yang terjadi di antara manusia serta untuk mengajarkan ilmu kepada mereka.

Dan sudah termasuk hal yang diketahui bahwasanya fungsi peradilan (yang beliau maksud adalah peradilan atau mahkamah syari’at, pent) adalah tergolong amal yang akan mendatangkan pelipatgandaan pahala dari Allah dan meninggikan derajat bagi orang-orang yang dikaruniai keikhlasan niat oleh Allah dan juga bagi mereka yang mendapatkan anugerah ilmu yang bermanfaat serta bermaksud baik bagi kepentingan kaum muslimin.

Meskipun kedudukan tersebut memang cukup mengandung risiko dan para Salafush Shalih kita senantiasa merasa enggan untuk mendudukinya serta merasa khawatir apabila mendapatkannya. Akan tetapi kondisi masyarakat berubah-ubah, begitu pula pergiliran waktu tidaklah seragam.

Pada masa seperti ini umat manusia sangat membutuhkan orang yang benar-benar alim dan bisa memutuskan urusan di antara orang-orang dengan landasan ilmu yang kuat serta senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya dalam rangka menemukan solusi untuk permasalahan-permasalahan mereka.

Bahaya Apabila Urusan Tidak Dipegang Oleh Ahli Ilmu

Oleh karena itu tidak seyogyanya bagi seorang ahli ilmu yang dipercaya untuk menjadi hakim yang mengadili di antara manusia serta telah dianugerahi ilmu dan bashirah oleh Allah sementara kebutuhan umat sangat memuncak kemudian menolak jabatan kehakiman yang ditawarkan kepadanya.

Akan tetapi sudah menjadi kewajiban baginya untuk menerima tawaran itu dan menyiapkan diri untuk segera beramal dengan ilmunya serta menerapkan apa yang diinginkan orang darinya. Dan dengan ilmunya itulah dia akan bisa mendatangkan banyak kebaikan bagi umat manusia. Hendaknya dia juga memohon taufik dan pertolongan dari Rabbnya.

Namun apabila ternyata dia tidak sanggup dan memandang dirinya belum mampu untuk memenuhinya maka dia bisa meminta toleransi untuk mundur atau terus menerimanya. Adapun orang yang sengaja menyia-nyiakan kesempatan baik maka yang demikian itu tidak pantas baginya. Karena kesempatan ini merupakan sebuah pintu yang seharusnya dibuka oleh ahli ilmu dan ahli iman yang memiliki kesanggupan demi menebarkan manfaat bagi umat manusia.

Bahkan sudah semestinya para ulama mempunyai cita-cita yang tinggi dan niat yang bersih serta berkeinginan kuat untuk memberikan manfaat bagi kaum muslimin, demi menyelesaikan berbagai kesulitan mereka, supaya nantinya posisi tersebut tidak dipegang oleh orang yang bodoh.

Karena apabila ahli ilmu sudah pergi niscaya yang menggantikannya adalah orang-orang yang bodoh, dan itu sudah pasti. Kalau tidak ini ya itu. Oleh sebab itu keberadaan para hakim yang bisa memutuskan berbagai persoalan dan mengadili dengan benar di antara mereka adalah sangat dibutuhkan. Kalau orang-orang baik bisa menangani posisi tersebut maka itulah kebaikan, akan tetapi kalau mereka tidak mau menanganinya maka orang-orang selain merekalah yang akan mendudukinya.

Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi ulama dan bagi setiap orang yang memiliki rasa takut kepada Allah untuk mempertimbangkan baik-baik hal ini dengan senantiasa mengharap curahan pahala dari sisi Allah. Dan hendaknya dia harus bersabar dan tabah dalam melaksanakan tugas seraya mengharapkan pahala dari sisi Allah ‘azza wa jalla.

Terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara tiba-tiba dari hati-hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mencabut nyawa para ulama satu demi satu. Sampai datanglah suatu saat ketika tidak ada lagi orang yang alim maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh-bodoh. Maka mereka pun ditanya tentang berbagai masalah, kemudian merekapun berfatwa tanpa ilmu. Sehingga mereka sendiri sesat dan juga menyesatkan orang lain.” (HR. Al Bukhari dan Muslim di dalam kedua kitab Shahih mereka dari hadits Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma)

Dengan demikian jelaslah bagi para ulama dan ahli iman tentang betapa besar bahaya dan akibat buruk yang muncul apabila ulama yang baik sudah lenyap atau apabila mereka sengaja meninggalkan perannya dan malah memberikannya kepada orang lain. Dan tidaklah tersembunyi bagi kita bahwasanya apabila seorang alim itu -entah menjabat sebagai hakim atau yang lainnya- berijtihad dan benar niscaya dia akan memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan terjatuh dalam kesalahan maka dia mendapatkan satu pahala. Sebagaimana hal itu sudah tercantum dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka sebenarnya tidak ada bahaya bagi dirinya apabila dia senantiasa bersikap jujur, ikhlas dan serius mencari kebenaran. Yang dikhawatirkan sebenarnya ialah orang-orang yang menerjuni dunia peradilan dengan tidak sebagaimana mestinya, juga orang yang berfatwa dengan landasan kebodohan, atau orang yang mengadili dengan tindakan curang.

Hal itu sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, Ada tiga macam hakim. Dua di antaranya berada di neraka dan satu berada di surga. Adapun yang berada di surga ialah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengannya. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran akan tetapi malah memutuskan perkara dengan curang maka dia berada di neraka. Kemudian seorang hakim yang memutuskan perkara di kalangan umat manusia dengan landasan kebodohan maka dia juga di neraka.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al Hakim)

Adapun orang yang berusaha mencari kebenaran dan bersungguh-sungguh dalam menerapkannya serta mengusahakan tersebarnya manfaat bagi kaum muslimin maka dia berada di antara dua posisi; kalau tidak mendapat dua pahala, ya mendapat satu pahala, sebagaimana sudah diterangkan terdahulu di dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetaplah Bertakwa dan Memelihara Keikhlasan

Kemudian aku juga hendak berpesan kepada seluruh saudaraku umat Islam secara umum serta kepada para ahli ilmu dan pelajar secara khusus begitu juga kepada diriku sendiri untuk senantiasa bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap urusan, juga untuk beramal dengan ilmu yang sudah kita miliki dengan cara menunaikan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah kepada kita dan supaya menjauhi berbagai hal yang diharamkan-Nya.

Karena seorang penuntut ilmu adalah menjadi teladan bagi orang yang lainnya dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu pada semua kondisinya; baik tatkala berada dalam sidang peradilan maupun bukan, ketika berada di jalan maupun ketika berada di rumah, dalam pergaulan dan perkumpulannya dengan sesama manusia, ketika mengendarai angkutan, ketika berada di bandara, dan dalam semua situasi yang dialaminya. Sehingga seharusnya dia adalah contoh dalam kebaikan.

Wajib bagi dirinya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan mendakwahi manusia untuk mengikuti kebaikan dengan perkataan dan perbuatannya secara beriringan. Sehingga dia akan tampak jelas di antara manusia dengan ilmu dan keutamaan yang dimilikinya dan perjalanan hidupnya yang lurus serta metode yang diterapkannya yang berada di atas manhaj Nabawi yang dititi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, semoga Allah meridhai mereka, dan mereka juga sangat menaruh perhatian yang dalam untuk memberikan kejelasan bagi umat tanpa diiringi maksud untuk menyombongkan diri di hadapan mereka.

Seorang alim maupun bukan, sesungguhnya berada di tepi bahaya yang sangat menakutkan. Terkadang bahaya itu datang karena riya’, terkadang timbul dari sisi kesombongan, dan terkadang bersumber dari sebab lain atau maksud-maksud buruk lainnya. Maka kewajiban baginya adalah bertakwa kepada Allah dan mengikhlaskan amalan untuk-Nya. Dan hendaknya dia selalu mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh urusannya.

Dan hendaknya dia menjadi orang yang tawadhu’ di hadapan hamba-hamba Allah, tidak bersikap sombong kepada mereka dengan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada dirinya dan tidak diberikan kepada kebanyakan orang. Maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah karenanya. Dan salah satu bentuk syukur kepada Allah ialah dengan bersikap tawadhu’, tidak sombong. Termasuk bentuk syukur kepada Allah adalah menyebarkan ilmu di masjid-masjid atau di tempat-tempat lain. Sehingga seorang hakim bisa berceramah di hadapan orang banyak apabila dia sedang dibutuhkan oleh mereka. Atau dengan cara mengajari para penuntut ilmu serta berdakwah ilallah dan turut serta beramar ma’ruf nahi munkar. Dan ia juga bersungguh-sungguh untuk berupaya memperbaiki kondisi kaum muslimin. Dia juga bisa berhubungan langsung dengan pihak pemerintah dan mengangkat permasalahan yang dalam pandangannya itu bisa mendatangkan kebaikan demi menasihati mereka. Sehingga hakim tersebut akan senantiasa bergulat dalam memperjuangkan bermacam-macam kemaslahatan umat Islam, dan dalam segala hal yang bisa memberikan manfaat untuk mereka, demi menunaikan kewajibannya dan mengangkat kepentingan Islam dan para pemeluknya.

Pelajari Al-Qur’an Dengan Baik

Selain itu saya juga berpesan kepada saudara-saudaraku semuanya, terutama para ahli ilmu dan pelajar supaya menaruh perhatian besar terhadap al-Qur’an al-Karim. Karena ia adalah Kitab paling agung dan Kitab paling mulia yang telah memuat sebaik-baik ilmu pengetahuan dan ilmu yang paling bermanfaat seluruhnya, sebagaimana hal itu sudah tidak tersamar lagi. Al-Qur’an itulah pembantu terkuat sesudah Allah ‘azza wa jalla untuk bisa menopang upaya mendalami ilmu agama dan memahami seluk beluknya, dan juga untuk memupuk rasa takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia juga menjadi sarana pendukung dalam rangka meneladani orang-orang baik.

Oleh sebab itu aku mewasiatkan kepada semuanya dan juga kepada diriku sendiri untuk menaruh perhatian besar terhadap Kitab yang agung ini dengan cara merenungkan dan memahami makna-maknanya serta untuk memperbanyak membacanya di waktu siang maupun malam. Dan hendaknya kita selalu kembali merujuk kepadanya dalam memecahkan segala urusan.

Dan hendaknya menelaah perkataan-perkataan ulama tafsir dalam memahami ayat-ayat yang belum dimengerti maksudnya, karena itu merupakan sarana terbaik untuk membantu memahami Kitabullah. Karena Kitab ini merupakan kitab yang terbaik, kitab yang paling utama dan kitab yang paling benar maka Allah Yang Maha suci pun berfirman tatkala menyifatinya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini akan menunjukkan kepada yang lebih lurus.” (QS. Al Israa’ [17]: 9)

Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi umat Islam.” (QS. An Nahl [16]: 89)

Allah jalla wa ‘ala juga berfirman, Katakanlah, Ia (al-Qur’an) merupakan petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushshilat [41]: 44)

Allah Yang Maha suci juga berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang kami luputkan dari dalam Al-Kitab.” (QS. Al An’am [6]: 38)

Oleh sebab itulah maka sudah selayaknya bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat dan terutama bagi ahli ilmu untuk mempelajarinya dengan penuh perhatian dan menggigitnya dengan gigi-gigi geraham mereka, dan berusaha keras dalam merenungkan, memahami dan mengamalkan isinya, dan juga dengan melihat penafsiran-penafsiran yang diberikan para ulama tentang masalah yang terasa sulit dipahami. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh membawa barakah agar direnungkan ayat-ayatnya dan orang-orang yang berpikir mau mempelajarinya.” (QS. Shaad [38]: 29)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, “Apakah mereka tidak mau merenungkan Al-Qur’an, ataukah di atas hati mereka terdapat gembok-gembok yang menguncinya?” (QS. Muhammad [47]: 25)

Pelajarilah As Sunnah

Kemudian sesudah itu hendaknya ia juga mempelajari Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, memperhatikan dan berusaha menghafal sebagiannya sejauh yang mudah untuk dihafalkannya. Dengan tetap senantiasa memperbanyak mengulang dan menelaah hadits-haditsnya. Terutama hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah akidah serta perkara lain yang wajib dikerjakan oleh hamba yang sudah terkena beban syari’at. Dan juga mempelajari Sunnah Nabi tentang amal diri pribadinya sendiri, karena hal itu lebih dekat jangkauannya dan lebih wajib baginya untuk menaruh perhatian tentangnya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah, Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran [3]: 31)

Dan tidak ada jalan untuk bisa mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sempurna melainkan dengan cara mempelajari hadits-hadits beliau, dengan menaruh perhatian terhadap hadits dan juga tetap menaruh perhatian terhadap Kitabullah ‘azza wa jalla secara beriringan.

Aku nasihatkan kepada para ahli ilmu dan para pelajar agar mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab hadits, dengan banyak membacanya, mengajarkannya dan mengulang-ulanginya. Dan kitab yang paling utama di antaranya adalah Dua Kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, red), kemudian diikuti oleh Enam Kitab Induk yang lainnya (yaitu Sunan Abu Dawud, An-Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah, red) kemudian disertai kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan Ad-Darimi, dan kitab-kitab hadits lainnya yang sudah cukup populer. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagi para penulisnya. Semoga Allah membalas jasa yang mereka sumbangkan kepada kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.

Membaca Kitab Para Ulama yang Terpercaya

Kemudian hendaknya mereka juga membaca karya-karya ulama yang dikenal berakidah lurus dan memiliki perbendaharaan ilmu yang luas dan sarat dengan dalil-dali syari’at. Di antara mereka yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Al ‘Allamah Ibnul Qayyim dan Al Hafizh Ibnu Katsir, rahmatullaahi ‘alaihim jamii’an. Mereka ini sudah sangat pakar dalam bidangnya. Mereka telah berhasil menyebarkan sekian banyak ilmu di tengah kaum muslimin dan membeberkan kepada orang-orang tentang hakekat Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan disertai dalil-dalilnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Beberapa kitab Syaikhul Islam yang paling utama ialah Minhajus-Sunnah, Majmu’ Fatawa, Muthabaqatu Sharihil ‘Aql li Shahihil Manqul, Al-Jawab Ash-Shahih fi Raddi ‘ala Man Baddala Diin Al-Maasih, dan kitab-kitab berfaedah lainnya serta kitab-kitab yang mencakup penjelasan tentang akidah yang shahihah dan hukum-hukum serta bantahan bagi musuh-musuh Islam. Beberapa kitab Ibnul Qayyim yang paling utama adalah Ath-Thuruq Al-Hukmiyah, I’laamul Muwaqqi’iin, Zaadul Ma’aad. Kitab-kitab ini memiliki urgensi yang sangat besar, apalagi bagi para hakim dan pemberi fatwa.

Demikian pula hendaknya mengkaji kumpulan fatwa para Imam Dakwah yang diberi nama dengan Durarus Saniyah. Kitab tersebut telah merangkum banyak risalah dan tanya jawab yang sarat faidah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, para muridnya dan pengikut-pengikutnya, semoga Allah merahmati mereka semuanya. Begitu pula fatwa-fatwa guru kami Al ‘Allamah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy-Syaikh rahimahullah. Karya beliau itu sudah meliputi ilmu yang cukup luas dan banyak mengandung pelajaran yang sangat berharga.

Maka aku menasihatkan kepada kalian untuk mengkaji kitab-kitab ini sesudah Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena di dalamnya terdapat kandungan ilmu yang sangat banyak dan pengantar menuju segala kebaikan. Dan demikian pula halnya terhadap kitab-kitab lain yang berfaedah dan bermanfaat yang juga menaruh perhatian dalam mengemukakan dalil-dalil seperti Syarhul Muhadzdzab, Al-Muhalla dan kitab-kitab yang lainnya yang memfokuskan kepada pemahaman dalil dan membawakan perkataan para ulama. Sehingga itu semua merupakan kitab terpenting yang selayaknya dikaji oleh para ulama dan penuntut ilmu, baik yang menjabat sebagai hakim maupun bukan.

Aku memohon kepada Allah dengan perantara Nama-Nama-Nya Yang Terindah dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha tinggi supaya memberikan taufik kepada kita dan semua kaum muslimin untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.

Dan semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua niat yang ikhlas, kesabaran dan pemahaman dalam hal agama serta menggapai kemenangan yaitu berhasil mendapatkan hasil yang terpuji ketika di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Allah ta’ala Maha Murah lagi Maha Mulia.

Sebagaimana aku juga memohon kepada-Nya Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi untuk memberikan taufik kepada para pemegang urusan (pemerintah) kita dan seluruh pemerintah kaum muslimin.

Semoga Allah membaikkan para pembantu mereka, serta menolong mereka dalam menunaikan setiap kebaikan, membela kebenaran dengan kekuasaan mereka, meluluhlantakkan kebatilan dengan kekuasaan mereka. Dan semoga Allah menolong mereka dalam upaya menegakkan hukum Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala aspek kehidupan. Semoga Allah melindungi kita, melindungi mereka dan melindungi semua umat Islam dari kejelekan hawa nafsu kita dan keburukan amal-amal kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.

Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para Sahabatnya.

Alhamdulillaahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat

selesai diterjemahkan dengan penambahan sub judul dari penerjemah, dari artikel beliau yang berjudul Fadhlul ‘Ilmi wa Syarfu Ahlihi dari mauqi’ (website) beliau,

Yogyakarta, Jum’at 30 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriah

Sumber : muslim.or.id

Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

Penulis:

Ustadz Said Yai Ardiansyah

(Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami’ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)

Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.

Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.

Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

  1. Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
  2. Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
  3. Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
  4. Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
  5. Senantiasa didengar doanya.
  6. Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
  7. Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
  8. Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
  9. Selalu mengharapkan akhirat.
  10. Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
  11. Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
  12. Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
  13. Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
  14. Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.

Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:

  1. Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
  2. Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
  3. Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
  4. Tidak dikabulkan doanya.
  5. Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
  6. Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
  7. Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
  8. Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
  9. Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
  10. Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
  11. Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
  12. Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.

Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)

*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:

من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

***

اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

Maraji’:

  1. Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah
  2. Shahih Muslim, Dar As-Salam
  3. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif

Sumber: muslim.or.id

Su

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !