Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

12 Desember 2022

FILE 432 : Memahami Zahir Dalil (Nash)

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Akidah Harus Dipahami Sesuai dengan Zahir Nash

Disalin dari:
Majalah As-Sunnah
 
 
Dalam sebuah buku berbahasa Indonesia, pernah disebut suatu syubhat yang menyesatkan orang awam yang tidak kritis. Penulisnya membawakan sebuah cerita tentang seorang syaikh berjenggot di Arab Saudi yang dalam memahami nash, serba kaku dan suka ngotot karena hanya berpegang pada zahirnya nash. Bahkan digambarkan, bahwa syaikh ini suka marah jika pendapatnya ditentang. Kebetulan, ia seorang buta. 
 
Suatu ketika, datanglah seseorang kepadanya seraya membawakan sebuah ayat :

 وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا 

Secara sepintas, arti ayat di atas adalah: Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat kelak iapun akan buta. [QS. al-Isra’/17:72]. 

Jika ia tetap memahami ayat ini menurut zahirnya, maka ia harus menerima kenyataan bahwa iapun akan buta nanti di akhirat, karena sekarang di dunia ia dalam keadaan buta. Maka terbungkamlah syaikh tersebut ketika di hadapkan pada ayat ini. Maksud penulis kisah di atas adalah untuk menjelaskan benarnya tindakan ta’wil (baca: tahrîf/merubah makna) terhadap makna ayat-ayat sifat Allâh Azza wa Jalla, dan menjelaskan batilnya pemahaman ayat-ayat sifat berdasarkan zahirnya. 

Kesan sekilas yang tertangkap dari cerita di atas, apalagi jika dirangkaikan dengan tulisan sebelum dan sesudahnya, bahwa itulah gambaran tentang syaikh Salafi yang selalu berpegang pada zahirnya nash; pemarah, kasar, suka mempertahankan pendapatnya secara membabi buta, tetapi bodoh. 

Dialektika semacam ini, merupakan hal lumrah bagi pengikut hawa nafsu untuk mempertahankan prinsipnya dan mengalahkan lawannya. Yang perlu dikritisi, sebelum memasuki persoalan sebenarnya yaitu persoalan memahami nash berdasarkan zahirnya, adalah sejauh mana kebenaran cerita itu. Tidak ada bukti, tidak ada data dan tidak ada sanad. 

Barangkali, cerita itu sesungguhnya tidak ada, karena hanya cerita imajiner, dengan kata lain fiktif. Andaikatapun benar, mungkin syaikh yang dimaksud adalah orang tua buta biasa yang berjenggot, namun memiliki komitmen tinggi terhadap ajaran Islam yang benar, karena lingkungan telah membentuknya dengan taufiq Allâh Azza wa Jalla. Sehingga dengan keluguan orang desa, beliau mempertahankan keyakinannya. Sayangnya ia tidak memiliki cukup ilmu, sehingga manakala dipaparkan ayat di atas, ia tidak siap menjawab, karena ia bukan Ulama, hanya orang tua biasa. 

Perlu difahami, di Arab Saudi, orang tua berjenggot seperti itu sering dipanggil syaikh. Bahkan zaman dahulu, pengusaha yang menampung jama’ah hajipun disebut syaikh, meskipun tidak berjenggot. Sekali lagi, itu jika kisah di atas sungguh-sungguh terjadi. Dan sekali lagi, sangat mungkin itu hanya cerita imajiner. Bagi para pengikut hawa nafsu, yang penting menang dalam mempertahankankan kesalahannya. 

Sebenarnya jika orang buta yang diceritakan dalam kasus di atas adalah seorang penuntut ilmu syar’i (tidak perlu seorang syaikh yang sangat ‘alîm), tentu ia akan mampu memberikan jawaban. 

Pertama, ayat itu terkait dengan sifat manusia, bukan sifat Allâh Azza wa Jalla. Dan manusia dengan sifat-sifatnya bukan termasuk hal ghaib, kecuali yang dialami nanti di akhirat. 

Kedua, nash itu tetap difahami menurut zahirnya, dan tidak perlu merubah maknanya. Hanya saja orang perlu memahami pengertian zahirnya nash
 

Arti Zahirnya Nash 
 
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan pengertian zahirnya nash kurang lebih sebagai berikut:
Pengertian zahir nash ialah suatu nash yang maknanya langsung bisa difahami oleh fikiran seseorang, dan itu berbeda-beda maknanya menurut siyâq (alur masing-masing kalimat), dan menurut apa yang suatu perkataan disandarkan kepadanya. 
Sebuah kata-kata yang sama, mungkin memiliki makna tertentu dalam sebuah alur. Tetapi memiliki makna yang lain dalam alur yang lain. Demikian pula, susunan suatu kalimat bisa jadi memiliki makna tertentu dalam sebuah konteks, tetapi mungkin memiliki makna yang lain dalam konteks yang lain.

Sebagai misal, kata-kata qaryah, makna asalnya adalah kampung. Ia kadang bisa berarti penghuni suatu kampung, dan kadang bisa berarti kampung itu sendiri yang menjadi tempat tinggal sekelompok orang. Tergatung konteksnya. 

Contoh kata “qaryah” yang berarti penghuni suatu kampung, ialah firman Allâh Azza wa Jalla :

 وَإِنْ مِنْ قَرْيَةٍ إِلَّا نَحْنُ مُهْلِكُوهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَوْ مُعَذِّبُوهَا عَذَابًا شَدِيدًا 

Tidak ada penduduk suatu negeripun yang durhaka, kecuali Kami akan membinasakannya sebelum hari Kiamat, atau Kami azab (penduduk negeri itu) dengan azab yang sangat keras. [QS. al-Isrâ/17:58] 

Dari ayat ini seseorang langsung bisa memahami bahwa maksud kata ”qaryah” yang dibinasakan atau diazab di sini adalah penghuninya, bukan kampungnya. 

Sedangkan contoh kata “qaryah” yang berarti kampung tempat tinggal sekelompok orang, ialah firman Allâh Azza wa Jalla :

 إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ 

Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini. [QS. al-‘Ankabût/29:31] 

Dari ayat ini seseorang langsung bisa memahami bahwa maksud kata ”qaryah” di sini adalah tempat tinggal dari para penghuninya. 

Contoh lain ialah ketika seorang manusia berkata (dengan bahasa Arab):

 صَنَعْتُ هَذَا بِيَدَيَّ 

Saya buat hal ini dengan dua tanganku

Hakikat tangan dalam perkataan seseorang ini berbeda dengan hakikat Tangan yang disebut dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini :

 قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ 

Allâh berfirman: ”Wahai Iblis, apa yang menghalangimu hingga engkau tidak mau bersujud kepada (Adam) yang telah Aku ciptakan dengan dua tangan-Ku?”. [QS. Shâd/38: 75). 

Mengapa hakikat dari masing-masing dua tangan itu berbeda? Sebab dalam perkataan yang pertama, kata-kata “dua tangan“, disandarkan kepada manusia, sehingga dua tangan itu adalah dua tangan milik makhluk yang serba lemah, cocok dengan kelemahan makhluk. Sedangkan “dua tangan” yang disebut dalam ayat, Surat Shâd: 75 tersebut, disandarkan kepada Allâh. Artinya dua tangan itu adalah milik Allâh Azza wa Jalla yang pasti sesuai dengan keluhuran dan keagungan Allâh Azza wa Jalla. Tidak ada seorangpun yang sehat akal dan sehat fitrah akan mengatakan atau meyakini bahwa tangan Allâh seperti tangan makhluk. 

Contoh lainnya lagi adalah dua susunan kalimat, yang masing-masing terdiri dari unsur kata-kata yang sama persis. Tetapi berbeda maknanya karena letak dari unsur kata-kata pada masing-masing susunan kalimat, urut-urutannya berbeda. 

Misalnya ketika seseorang mengatakan:

 مَا عِنْدَكَ إِلاَّ زَيْدٌ 

Sementara seseorang yang lain mengatakan:

 مَا زَيْدٌ إِلاَّ عِنْدَكَ 

Dari dua perkataan yang diucapkan oleh dua orang di atas, masing-masing memiliki unsur kata-kata yang sama persis seperti pada perkataan lainnya. Pada masing-masing terdapat (مَا), terdapat, (زَيْد ) terdapat, (إِلاَّ), dan terdapat, (عِنْدَكَ). 

Tetapi karena susunan yang berbeda, maka maknanya pun menjadi berbeda. Pada susunan kalimat yang pertama, artinya: Di tempatmu tidak ada siapapun kecuali Zaid. Sedangkan pada susunan kalimat yang kedua, artinya: Zaid tidak berada di manapun kecuali di tempatmu.[1] 

Dengan demikian, bukankah susunan kalimat dan konteks kalimat bisa merubah makna secara keseluruhan? Nah perubahan makna yang disebabkan oleh susunan kalimat atau disebabkan oleh konteks kalimat tersebut, apakah berarti menyimpang dari zahirnya perkataan? Apakah tidak sesuai dengan zahirnya? Begitu pula penyandaran suatu kalimat kepada sesuatu, juga akan merubah hakikat sesuatu, meskipun memiliki makna yang serupa, tetapi dengan hakikat yang berbeda. 
Ilustrasi, sumber: dutaislam.com


Apa Pengertian A’mâ (أَعْمَى) dalam Surat Al-Isrâ Ayat 72? 
 
Terkait dengan ayat 72 Surat al-Isrâ yang dijadikan gagasan bagi lahirnya kisah imajiner oleh penggagasnya di awal tulisan ini, akan dikemukakan beberapa keterangan ahli tentang itu: apakah di dalamnya terdapat tahrîf (pengubahan makna dari yang zahir kepada yang tidak zahir, yang mereka namakan sebagai ta’wil)? Ataukah tetap pada makna zahirnya?

Ibu Manzhûr dalam Lisan al-‘Arab [2], materi kata: عمى antara lain membawakan perkataan al-Farrâ tentang firman Allâh Azza wa Jalla :

 وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا 

Barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat kelak ia akan lebih buta (lagi) dan lebih tersesat dari jalan yang benar. [QS. al-Isrâ/17:72] 

Al- Farrâ mengatakan: “Yakni, (barangsiapa yang buta hatinya) terhadap kenikmatan-kenikmatan dunia yang telah Kami berikan kepada kalian, maka ia terhadap kenikmatan-kenikmatan akhirat akan lebih buta lagi dan lebih tersesat dari jalan yang benar”. 

Lalu Ibnu Manzhûr menyebutkan penjelasan al-Farrâ kaitannya dengan orang Arab ketika menggunakan fi’il tafdhîl (kata kerja yang menunjukkan lebih atau paling) termasuk kata a’maa (أَعْمَى) yang berbentuk tafdhil

Beliau mengatakan: 
Fi’il tafdhîl dalam kata ‘amâ (عمى) diperbolehkan (menjadi a’mâ), karena yang dimaksudkan bukan buta kedua mata, tetapi yang dimaksudkan -wallâhu a’lam- adalah buta hati. Sehingga diungkapkan kata-kata "fulân a’mâ min fulân fil-qalbi" (fulan yang satu lebih buta hatinya daripada fulan yang lain). Tetapi tidak bisa dikatakan: "huwa a’mâ minhu fil ‘a-inain" (ia lebih buta matanya dari pada yang lain). 

Maksudnya, kata a’mâ pada ayat di atas adalah fi’il tafdhîl, yang itu berarti menunjukkan buta hati, sebab tidak mungkin menurut al-Farrâ, buta mata diungkapkan dengan fi’il tafdhîl
 
Karena itu, kata a’mâ pada ayat di atas berarti buta hati. Jadi kata a’mâ tidak mutlak berarti buta mata. Apalagi siyâq (konteks -Sa'ad) dalam ayat di atas secara zahir menunjukkan bahwa maknanya adalah buta hati dan bukan buta mata. Orang yang buta matanya belum tentu buta hatinya. Sebaliknya orang yang buta hatinya belum tentu buta matanya”. 

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhûr di atas adalah salah satu pendapat ahli (yakni ahli bahasa -Sa'ad) tentangnya. Menurut para ulama mufassir yang lain, makna ayat tersebut juga berkisar pada buta mata. 

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah membawakan perkataan Ibnu ‘Abbâs, Mujâhid, Qatâdah dan Ibnu Zaid sebagai berikut :

 وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ 

Adalah, barangsiapa yang buta hatinya dalam kehidupan dunia ini

Penafsiran itu bukan berarti menyimpang dari zahirnya. Apalagi jika seseorang kemudian memperhatikan firman Allâh :

 فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ 

Sesungguhnya, bukan mata itu yang buta, akan tetapi hati yang ada di dalam dada-lah yang buta. [QS. al-Hajj22/:46]. 

Dengan demikian, sekali lagi, sesungguhnya Surat al- Isrâ/17 ayat 72 di atas, jika pengertiannya dibawa kepada makna “barangsiapa yang buta hatinya di dunia, tidak dapat melihat kebenaran serta nikmat-nikmat Allâh, maka dia di akhirat pun akan buta, tidak akan dapat melihat sinar yang membimbingnya menuju surga“, maka ini adalah pengertian zahir. Bukan pengertian “ta’wîl” yang maknanya diselewengkan dari zahirnya. Wallâhu A’lam

Intinya, kata ‘amâ dan a’mâ bisa berarti buta mata dan buta hati, tergantung siyâq (alur kata) atau qarînah (petunjuk/alasan tertentu). Maka ayat tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk memaksa orang untuk memaknai ayat-ayat sifat Allâh dengan ta’wil yang mengubah makna sesungguhnya. 

Wallâhu al-Muwaffiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1433H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079
_______ 

Footnote:

[1] Lihat al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâhi wa Asmâ-ihi al-Husnâ, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, tahqîq wa takhrîj: Asyraf bin ‘Abdul Maqshûd bin ‘Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah, Kairo, Cet. I, 1411H/1990M, hlm. 45, Qâ’idah ar-Râbi’ah min Qawâ’id fî Adillati al-Asmâ’ wash-Shifât
[2] Lisan al-‘Arab, IX/409.
 
******

Sumberalmanhaj.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

11 November 2022

FILE 431 : Hukum Asuransi yang Preminya Dibayarkan Pihak Lain

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Ikut Asuransi yang Dibayarkan Perusahaan

Dijawab oleh:
Ust. Yulian Purnama, S.Kom. hafidhahullaah
 

Pertanyaan:

Apakah boleh BPJS dibayarkan oleh perusahaan dari gaji karyawan?

(Alfan Zain)


Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursalin, Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. 

Amma ba’du.

Dalam fatwa ringkas berikut ini, Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili hafizhahullah memberikan rincian mengenai hukum mengikuti asuransi kesehatan. Beliau menjelaskan rinciannya sebagai berikut:

Ilustrasi, sumber: liputan6.com

Pertama, jika tujuan perusahaan asuransi adalah untuk mencari untung, maka ini ta’min tijari (asuransi komersial) yang hukumnya haram. Karena termasuk memakan harta orang lain secara batil dan juga termasuk gharar.

Tidak boleh ikut serta di dalamnya, kecuali:

1. Asuransi yang dipaksakan oleh pemerintah. Maka boleh mendaftar karena terpaksa, dan boleh membayar. Namun haram bagi pemerintah untuk melakukan pemaksaan. Dan bagi nasabah, ia hanya boleh mengambil biaya asuransi sebatas jumlah premi yang sudah pernah disetorkan saja.

2. Asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan. Maka boleh bagi karyawan untuk menggunakan fasilitas berobat dengannya, karena ia tidak melakukan asuransi karena perusahaan yang melakukannya. Sedangkan karyawan hanya menuntut hak berupa tunjangan kesehatan.

3. Ketika biaya pengobatan terlalu besar, dan seorang yang sakit tidak sanggup membayarnya kecuali dengan asuransi. Dan dalam keadaan ini hendaknya ia niatkan membayar sesuai dengan jumlah premi yang sudah pernah disetorkan. Jika jumlah yang pernah disetorkan lebih kecil dari biaya pengobatannya, maka ia niatkan setoran-setoran premi bulan selanjutnya untuk menutupi biaya pengobatannya.


Kedua, jika perusahaan asuransi tidak bermaksud mencari keuntungan sama sekali namun berniat untuk saling membantu satu sama lain, maka ini ta’min ta’awuni (asuransi tolong-menolong). Ini hukumnya boleh.


Penjelasan lengkapnya bisa disimak di video berikut:


Berdasarkan penjelasan di atas, maka boleh mengikuti dan menggunakan dana asuransi yang preminya dibayarkan oleh perusahaan. 

Wallahu a’lam.

******

Sumberkonsultasisyariah.com 
 
File terkait:  
Baca juga:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

10 Oktober 2022

FILE 430 : Memahami Fenomena Hantu Pocong

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Asal Usul Pocong (Tinjauan Syariah)

Dijawab oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
 
 

Pertanyaan:

Benarkah asal usul hantu pocong itu dari orang yang meninggal dunia dan sewaktu dimakamkan tali kain kafan mereka tidak dilepas, sehingga arwah si mayat beterbangan tidak tenteram untuk meminta tolong dibukakan tali kafannya?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Banyak di antara aqidah dan keyakinan yang tersebar di masyarakat kita, yang bersumber dari mitos dan tahayul. Sama sekali tidak didukung dengan dalil, baik al-Quran, hadis, maupun keterangan sahabat.

Di antaranya fenomena tentang pocong. Sebagian masyarakat meyakini, pocong adalah jelmaan dari mayit yang kain kafannya lupa tidak dibuka ketika dimakamkan. Karena tidak dibuka, dia gentayangan dan mendatangi rumahnya atau masyarakat lainnya.

Ada beberapa sisi negatif dari keyakinan ini,

Pertama, keyakinan mayit kembali ke rumah setelah dimakamkan

Ini termasuk keyakinan jahiliyah, yang telah diingkari oleh Allah dalam al-Quran. Allah berfirman,

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ . لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku bisa berbuat amal yang saleh yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang dia ucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminun [21]: 99 – 100)

Allah mengabarkan bagaimana orang kafir menyesali hidupnya. Mereka berharap agar dikembalikan ke dunia di detik-detik menghadapi kematian. Sehingga mereka mendapat tambahan usia untuk memperbaiki dirinya. Namun itu hanya ucapan lisan, yang sama sekali tidak bermanfaat baginya. Kemudian Allah menyatakan bahwa setelah mereka mati akan ada barzakh, dinding pemisah antara dirinya dengan kehidupan dunia. Mereka yang sudah memasuki barzakh, tidak akan lagi bisa keluar darinya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 559).

Kedua, keyakinan bahwa ruh mayit masih di dunia

Keyakinan ini bertentangan dengan aqidah Islam bahwa orang yang meninggal ruhnya berada di alam barzakh.

Pada surat Al-Mukminun di atas, Allah telah menegaskan bahwa ada barzakh (dinding pemisah) antara orang yang telah meninggal dan kehidupan dunia. Dan itu terjadi sejak mereka meninggal dunia. Selanjutnya masing-masing sudah sibuk dengan balasan yang Allah berikan kepada mereka. Ruh orang baik, berada di tempat yang baik, sebaliknya, ruh orang jelek berada di tempat yang jelek.

Dalam sebuah riwayat, seorang tabi'in bernama Masruq pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, tentang tafsir firman Allah,

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali Imran [3]: 169)

Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya pernah tanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menjawab,

أرواحهم في جوف طير خضر لها قناديل معلقة بالعرش تسرح من الجنة حيث شاءت ثم تأوي إلى تلك القناديل 

فاطلع إليهم ربهم اطلاعة ، فقال : هل تشتهون شيئا ؟ 

قالوا : أي شيء نشتهي ونحن نسرح من الجنة حيث شئنا

ففعل ذلك بهم ثلاث مرات ، فلما رأوا أنهم لن يُترَكوا من أن يَسألوا قالوا : يا رب نريد أن ترد أرواحنا في أجسادنا حتى نقتل في سبيلك مرة أخرى 

فلما رأى أن ليس لهم حاجة تُركوا

Ruh-ruh mereka di perut burung hijau. Burung ini memiliki sarang yang tergantung di bawah ‘Arsy. Mereka bisa terbang ke manapun di surga yang mereka inginkan. Kemudian mereka kembali ke sarangnya. 

Kemudian Allah memperhatikan mereka, dan berfirman: ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ 

Mereka menjawab: ‘Apa lagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang di surga ke manapun yang kami inginkan.’ 

Namun Allah selalu menanyai mereka 3 kali. Sehingga ketika mereka merasa akan selalu ditanya, mereka meminta: ‘Ya Allah, kami ingin Engkau mengembalikan ruh kami di jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya.’ 

Ketika Allah melihat mereka sudah tidak membutuhkan apapun lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1887)

Demikian pula ruh orang yang jahat. Mereka mendapat hukuman dari Allah sesuai dengan kemaksiatan yang mereka lakukan. Keterangan selengkapnya tentang ini, bisa anda simak di artikel: Tempat Roh Setelah Kematian

Ilustrasi pocong, sumber: dream.co.id

Hakekat Pocong

Barangkali ada yang berkomentar, banyak bukti orang yang melihat pocong, bahkan ada yang tertangkap kamera. Pocong betul-betul ada.

Baik. Tulisan di atas, sama sekali tidak mengingkari keberadaan pocong. Jika benar pengakuan orang yang pernah melihatnya, kita tidak menolaknya. Mengingkari hal ini sama halnya menolak realita. Namun maksud tulisan di atas adalah mengingkari keyakinan di masyarakat bahwa pocong merupakan jelmaan dari ruh orang meninggal, yang tali kafannya tidak dilepas ketika dimakamkan. Karena jelas ini keyakinan yang bertentangan dengan aqidah islam.

Karena itu, jika anda mengakui keberadaan pocong, yakini bahwa itu bukan jelmaan roh manusia yang meninggal.

Lalu siapa itu pocong?

Jawabannya jelmaan jin. Jin menjelma dengan rupa pocong. Karena  jin bisa menjelma menjadi makhluk yang lain, sehingga bisa terindra oleh manusia. Baik dengan dilihat, didengar, atau diraba. Sebagaimana kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

Bahwa beliau pernah ditugasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga zakat ramadhan. Malam harinya datang seorang pencuri dan mengambil makanan. Dia langsung ditangkap oleh Abu Hurairah. “Akan aku laporkan kamu ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Orang inipun memelas. Minta dilepaskan karena dia sangat membutuhkan dan punya tanggungan keluarga. Dilepaslah pencuri ini. 

Siang harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Hurairah tentang kejadian semalam. Setelah diberi laporan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia dusta, dia akan kembali lagi.” 

Benar, di malam kedua dia datang lagi. Ditangkap Abu Hurairah, dan memelas, kemudian beliau lepas. Malam ketiga dia datang lagi. Kali ini tidak ada ampun. Orang inipun minta dilepaskan. “Lepaskan aku, nanti aku ajari bacaan yang bermanfaat untukmu.” Dia mengatakan:

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ، فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ: {اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ}، حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika kamu hendak tidur, bacalah ayat kursi sampai selesai satu ayat. Maka akan ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”

Di pagi harinya, kejadian ini dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda: “Kali ini dia benar, meskipun aslinya dia pendusta.” (HR. Bukhari 2311)

Yang ditangkap oleh Abu Hurairah waktu itu adalah jin yang menjelma menjadi bentuk lain. Ketika menjelaskan hadis ini, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,

“Jin terkadang menjelma dengan berbagai bentuk sehingga memungkinkan bagi manusia untuk melihatnya. Firman Allah Ta’ala, ‘Sesungguhnya iblis dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka,’ khusus pada kondisi bentuknya yang asli sebagaimana dia diciptakan.” (Fathul Bari, 4/489).

Sebagaimana jin bisa menjelma seperti anak kecil, jin juga bisa menjelma menjadi makhluk yang lain seperti yang diilustrasikan oleh manusia. Jin bisa berubah wujud wanita berambut panjang dengan wajah pucat, kemudian diistilahkan dengan kuntilanak, bisa juga berbentuk manusia dibalut kain mori putih, kemudian diistilahkan dengan pocong, atau model-model lainnya.

Tentu saja ini akan berbeda lagi dengan model klenik masyarakat di belahan daerah lainnya. Sebagian ada yang mengilustrasikan seperti vampir atau dracula, atau mayat hidup seperti zombi. Meskipun model-model hantu ‘luar negeri’ ini tidak dikenal di masyarakat kita, sebagaimana model kuntilanak juga tidak dikenal di masyarakat Cina.

Apapun itu, yang jelas semua itu bukan bentuk asli mereka, tapi perubahan wujud mereka yang ‘dilaporkan’ pernah terlihat oleh manusia. Sementara berbagai istilah yang beredar, tuyul, kuntilanak, pocong, vampire, drakula, dst. semuanya murni penamaan dari manusia.

Allahu a’lam.

******

Sumberkonsultasisyariah.com 
 
File terkait:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

09 September 2022

FILE 429 : Hukum Diskon Cashback karena Lunas Kredit Lebih Cepat

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Hukum Memberi Potongan Harga (Cashback)

Dijawab oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
 
 

Pertanyaan:

Bolehkah memberi potongan harga untuk jual beli kredit, karena konsumen bisa membayar lebih cepat? 

Karena kadang ada permintaan konsumen seperti itu, yang lebih cepat melunasi.

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada prinsipnya penjual berhak menawarkan barangnya dengan harga sesuai yang dia inginkan. Karena barang yang dia jual adalah milik dia. Dan seseorang berhak untuk memberlakukan barangnya sesuai yang dia inginkan. Sehingga, penjual berhak menurunkan harga, memberi diskon atau potongan kepada konsumennya. Dia juga berhak menetapkan harga yang berbeda untuk konsumennya. Konsumen si A diberi harga Rp 1000; sementara konsumen si B diberi harga Rp 1500.

Lalu bagaimana dengan kasus memberi diskon untuk barang yang sudah diakadkan?

Misal, pada waktu akad, barang dijual dengan harga 2 juta secara kredit selama 1 tahun. Dalam perjalanannya, konsumen bisa melunasi 6 bulan lebih cepat. Bolehkah konsumen meminta diskon? Atau bolehkan penjual memberi diskon? Apakah ini tidak termasuk jual beli 2 harga?

Ilustrasi, sumber: www.pngall.com

Sebelumnya, kita kembalikan kepada hadis mengenai jual beli 2 harga.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli. (HR. Ahmad 9834, Nasai 4649, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا

Siapa yang melakukan 2 transaksi dalam satu transaksi maka dia hanya boleh mendapatkan kebalikannya (yang paling tidak menguntungkan) atau riba. (HR. Abu Daud 3463, Ibnu Hibban 4974 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Di antara tafsir mengenai jual beli 2 harga, disebutkan oleh  Turmudzi dalam kitab Jami’-nya,

وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين فى بيعة. أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على واحد منهما

Sebagian ulama menafsirkan, bahwa dua transaksi dalam satu akad, bentuknya, penjual menawarkan: “Baju ini aku jual ke anda, tunai 10 dirham, dan jika kredit 20 dirham. Sementara ketika mereka berpisah, belum menentukan harga mana yang dipilih. Jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, dibolehkan, jika disepakati pada salah satu harga. (Jami’ at-Turmudzi, 5/137).

Tafsir ini yang lebih masyhur dalam madzhab Syafiiyah.

Ketika penjual menawarkan, “Saya jual barang ini, jika tunai 10 ribu, jika kredit 2 bulan, jadinya 15 ribu.” Lalu barang dibawa pembeli dan barang mereka bawa tanpa menentukan harga mana yang diambil. Harga tunai ataukah harga kredit. Ini hukumnya dilarang. Namun jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, hukumnya dibolehkan.

Artinya, selama pada saat deal transaksi harga yang ditetapkan satu, transaksinya boleh. Artinya, bisa saja harga diubah di belakang hari setelah pembayaran lunas, selama tidak ada kesepakatan di depan. Karena jika ada kesepakatan diskon di depan disebabkan pembayaran yang lebih cepat, maka termasuk jual beli 2 harga. 

Sebagai ilustrasi, untuk harga kredit 1 tahun senilai 2 juta, ada perjanjian, jika konsumen bisa melunasi kurang dari 6 bulan, akan mendapat diskon 10%.

Ketika kesepakatan ini dijalankan, terjadilah transaksi yang mengandung 2 harga. Harga 1 tahun, dan harga 6 bulan dengan potongan 10%, yaitu 1,8 juta. Dan keduanya berlaku dalam akad yang sama.

Akan tetapi jika diskon karena pembayaran lebih cepat tidak disyaratkan di depan, tidak ada masalah insyaaAllah.

Inilah yang menjadi salah satu keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Isami dalam muktamarnya ke-7 yang diselenggarakan di Jedah KSA, Dzulqa’dah 1412 H. Pada keputusan nomor 64, poin ke-4 dinyatakan,

الحطيطة من الدين المؤجل، لأجل تعجيله، سواء أكانت بطلب الدائن أو المدين (ضع وتعجل) جائزة شرعاً، لا تدخل في الربا المحرم إذا لم تكن بناء على اتفاق مسبق، وما دامت العلاقة بين الدائن والمدين ثنائية

Potongan pelunasan untuk pembayaran terutang, karena dibayarkan lebih cepat, baik atas permintaan kreditor maupun debitor, hukumnya boleh. Tidak termasuk dalam riba yang dilarang, selama tidak ada kesepakatan di depan, dan selama keterkaitan antara kreditor dan debitor hanya 2 pihak (tidak ada pihak ketiga). (Majallah al-Majma’, volume 6/1, hlm. 193)

Allahu a’lam.

******

Sumberkonsultasisyariah.com 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin