Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

12 Desember 2023

FILE 444 : Pelajaran dari Kematian Para Ulama

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Kematian Ulama itu Istimewa

Disusun oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, 

Wa ba’du,

Ilmu al-Quran dan Sunnah adalah sumber penerang dunia. Sebab, wahyu bagi penduduk bumi merupakan cahaya yang akan membimbing manusia ke jalan yang benar. Allah mengingatkan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)." (QS. an-Nisa’: 174)

Karena itu, kehadiran para ulama dan para pengajar al-Quran dan sunnah merupakan rahmat bagi penduduk bumi. Melalui jasa mereka, masyarakat menjadi paham tentang hakekat syariat. Dan Allah mencabut ilmu agama bagi penduduk bumi, dengan Allah wafatkan para ulama.

Dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi, Dia akan mencabut dengan mematikan para ulama (ahlinya). Sampai apabila Dia tidak menyisakan seorang alim, umat manusia akan menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai pimpinanpimpinan mereka. Mereka ditanya (oleh umatnya) lantas menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam al-Quran ada satu ayat yang oleh sebagian ahli tafsir dijadikan dalil tentang peran ulama. Allah berfirman,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

"Apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah itu, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?" (QS. Ar-Ra’du: 41)

Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

وقال ابن عباس في رواية: خرابها بموت فقهائها وعلمائها وأهل الخير منها. وكذا قال مجاهد أيضا: هو موت العلماء

Dalam salah satu riwayat, Ibnu Abbas mengatakan, berkurangnya bumi dengan kematian fuqaha dan ulama, serta orang-orang soleh. Demikian pula yang dinyatakan Mujahid, ‘Berkurangnya bumi adalah (dengan) kematian ulama.’ (Tafsir Ibnu Katsir, 4/472).

Subhanallah

Seperti itu sahabat Ibnu Abbas menafsirkan. Kita bisa memahami korelasinya. Ketika ulama meninggal, kebodohan mudah tersebar. Terlebih ketika orang bodoh angkat bicara masalah agama. Sehingga pelanggaran agama akan semakin mudah tersebar dan merajalela. Bumi kehilangan ruh kebaikannya.

Para ulama ahlus sunah…

Mereka yang mengajarkan al-Quran dan sunah sesuai pemahaman para sahabat, berjasa besar bagi masyarakat. Karena jasa besarnya, banyak diantara mereka yang Allah tampakkan amal baiknya di akhir hayatnya. Agar manusia generasi setelahnya, selalu mengenang jasa baik mereka.

Ilustrasi: sumber hamalatulquran.com


Peristiwa Indah di Akhir Hayatnya

Mereka wafat sambil menorehkan sejarah. Wafat, diiringi peristiwa yang dikenang manusia dari generasi ke generasi. Kita akan simak cuplikannya,

[1] Wafatnya Imam Ahmad

Iblis mengaku kalah

Diceritakan oleh Abdullah putra Imam Ahmad,

"Aku menghadiri proses meninggalnya bapakku, Ahmad. Aku membawa selembar kain untuk mengikat jenggot beliau. Beliau kadang pingsan dan sadar lagi. Lalu beliau berisyarat dengan tangannya, sambil berkata, “Tidak, menjauh…. Tidak, menjauh…” beliau lakukan hal itu berulang kali. Maka aku tanyakan ke beliau, “Wahai ayahanda, apa yang Anda lihat? Beliau menjawab,

إن الشيطان قائم بحذائي عاض على أنامله يقول: يا أحمد فتني وأنا أقول لا بعد لا بعد

“Sesungguhnya setan berdiri di sampingku sambil menggigit jarinya, dia mengatakan, ‘Wahai Ahmad, aku kehilangan dirimu (tidak sanggup menyesatkanmu). Aku katakan: “Tidak, menjauhlah…. Tidak, menjauhlah….” (Tadzkirah Al-Qurthubi, Hal. 186)

Pengaruh dakwah luar biasa, membuat banyak orang masuk islam

Abu Hatim meriwayatkan pernyataan al-Warkani, tetangganya Imam Ahmad,

أسلم يوم مات أحمد عشرون ألفا من اليهود والنصارى والمجوس

Pada hari wafatnya Imam Ahmad, ada 20 ribu yahudi, nasrani, dan majusi yang masuk islam. (al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, 10/342)


[2] Wafatnya Abu Zur’ah

Abu Zur’ah ar-Razi, ahli hadis, salah satu gurunya Imam Muslim. Beliau wafat dengan men-talqin dirinya sendiri.

Membaca hadis beserta sanadnya (nama perawinya) yang isinya,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa yang kalimat terakhirnya, Laa ilaaha illallaah, maka dia masuk surga.” (HR. Abu Daud 3118)

Dikisahkan oleh Al-Hafidz Abu Ja’far al-Tusturi,

"Kami hadir ketika proses wafatnya Abu Zur’ah, bersama para ulama murid beliau lainnya, seperti Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, al-Mundzir bin Syadzan, dan beberapa ulama lainnya. Mereka ingin mempraktekkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqin orang yang hendak mati diantara kalian untuk mengucapkan laa ilaaha illallaah…”

Namun mereka semua malu untuk men-talqin gurunya Abu Zur’ah. Tiba-tiba Abu Zur’ah yang dalam kondisi mau meninggal menyampaikan hadis dengan sanadnya,

حدثنا بندار ، حدثنا أبو عاصم ، حدثنا عبد الحميد بن جعفر ، عن صالح بن أبي عريب ، عن كثير بن مرة الحضرمي ، عن معاذ بن جبل، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Imam Bundar menceritakan kepada kami, bahwa Imam Abu Ashim menyampaikan kepada kami, bahwa Abdul Hamid bin Ja’far menceritakan kepada kami, dari Sholeh bin Abi Arib, dari Katsir bin Murrah al-Hadhrami, dari Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa yang kalimat terakhirnya, Laa ilaaha illallaah, maka dia masuk surga.”

Seketika setelah itu, beliau wafat."

(Ma’rifah Ulum al-Hadits, Imam Hakim, hlm. 76)

Subhanallah, wafatnya ahli hadis, diakhiri dengan menyampaikan hadis. Hadis yang berisi talqin kematian. Karena umumnya manusia akan mati sesuai kondisi kebiasaannya.


[3] Wafatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam, beliau wafat di penjara Qal’ah. Beliau mengakhiri hidupnya setelah membaca ayat yang maknanya sangat indah,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ . فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa.” (QS. Al-Qamar: 54)

Salah satu muridnya, Ibnu Abdil Hadi bercerita,

أقبل الشيخ بعد إخراجها على العبادة والتلاوة والتذكر والتهجد حتى أتاه اليقين، وختم القرآن مدة إقامته بالقلعة ثمانين أو إحدى وثمانين ختمة انتهى في آخر ختمة إلى آخر اقتربت الساعة

"Setelah Syaikhul Islam banyak menulis buku, beliau habiskan waktunya untuk beribadah, membaca al-Quran, dzikir, tahajud, hingga wafat. Selama di penjara, beliau mengkhatamkan al-Quran sebanyak 80 atau 81 kali. Dan di akhir bacaan beliau, beliau membaca,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ. فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa.” (QS. Al-Qamar: 54)


[4] Wafatnya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani

Beliau termasuk ahli hadis dunia. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani wafat saat mendengar firman Allah dibacakan di sampingnya,

سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ

"(Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang." (QS. Yasin: 58)

Dikisahkan oleh muridnya, as-Sakhawi, dalam kitab al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamati Syaikhul Islam Ibnu Hajr,

"Sebelum wafat, beliau sakit selama sebulan. Di saat detik kematiannya, ada muridnya yang membaca surat Yasin. Saat muridnya membaca firman Allah,

سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ

(Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.

Kemudian beliau wafat". 

Rahimahullah


[5] Wafatnya al-Hafidz Ibnu Rajab

Beliau termasuk ahli hadis, menulis kitab syarah Shahih Bukhari. Namun tidak sampai selesai. Beliau hanya bisa menyelesaikan sampai Bab Janaiz.

Dan beliau wafat setelah men-syarah kitab Shahih Bukhari di Bab al-Janaiz.


[6] Wafatnya Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi

Beliau menulis kitab tafsir Adhwa’ul Bayan – Tafsir al-Quran bil Qur’an. Namun tidak sampai selesai. Lalu dilanjutkan oleh muridnya, Syaikh Athiyah Muhammad Salim.

Beliau wafat setelah membahas firman Allah,

أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Mereka itulah hizbullah. Ketahuilah bahwa hizbullah adalah orang-orang yang muflih (beruntung)." (QS. al-Mujadilah: 22)


[7] Wafatnya Muhammad Rasyid Ridha

Beliau penulis kitab Tafsir al-Manar. Namun tidak sampai selesai. Hanya sampai surat Yusuf.

Dan beliau wafat setelah selesai menulis tafsir firman Allah,

رَبِّ قَدْ آَتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS. Yusuf: 101)


Kejujuran dalam mengajarkan kebenaran kepada masyarakat, itulah faktor terbesar mereka mendapat kebahagiaan. Allah tunjukkan dalam karya mereka. Yang kami sebutkan hanya sekelumit dari sejarah mereka para ulama.

Al-Hafidz Ibnu Katsir pernah menasehatkan,

حافظوا على الإسلام في حال صحتكم وسلامتكم لتموتوا عليه ، فإن الكريم قد أجرى عادته بكرمه أنه من عاش على شيء مات عليه ، ومن مات على شيء بعث عليه ، فعياذا بالله من خلاف ذلك

Peliharalah Islam ketika kamu sehat wal afiat, agar engkau mati di atas Islam. Sesungguhnya Dzat yang Maha Mulia dengan kemurahan-Nya akan memberlakukan seseorang sesuai kebiasaannya. Bahwa orang yang memiliki kebiasaan tertentu dalam hidup, dia akan mati sesuai kebiasaannya. Dan siapa yang mati dalam kondisi tertentu, dia akan dibangkitkan sesuai kondisi matinya. Sungguh kita berlindung kepada Allah, jangan sampai menyimpang dari kebenaran. (Tafsiir Ibnu Katsir, 2/87)

Semoga bermanfaat.

******

Sumberkonsultasisyariah.com 
 
File terkait:  
Baca juga:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

11 November 2023

FILE 443 : Hukum Menggunakan Papan Sutroh Buatan di Masjid

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Perlukah Membuat Papan Sutrah Buatan?

Diterjemahkan dan disusun oleh:
Ust. Yulian Purnama, S.Kom. hafidhahullaah
 
 

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang masalah ini. Mayoritas ulama kontemporer melarangnya. Berikut kami bawakan fatawa para ulama dalam masalah ini.


Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad

Pertanyaan:

Di zaman kita ini banyak dibuat papan yang terbuat dari kayu, agar orang yang shalat atau orang yang membuat jama’ah kedua menjadikannya sutrah di masjid. Apakah ini termasuk bid’ah dan perkara baru dalam agama? 

Beliau menjawab:

Ketika tidak ada sesuatu untuk dijadikan sutrah, dahulu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat tidak membuat benda semisal ini. Yang mereka lakukan adalah bergegas mencari tiang-tiang untuk dijadikan sutrah. Maka hendaknya seseorang yang shalat, ia menghadap kepada tiang-tiang atau kepada dinding. Adapun membuat benda seperti ini, yaitu kayu yang dibuat khusus untuk sutrah, justru akan menimbulkan kekacauan karena saling meletakkan sutrah di hadapan yang lain. 

(Video youtube: https://www.youtube.com/watch?v=W6_d_WcDn4Y, diakses 26 Dzulqa’dah 1442).


Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’

Pertanyaan:

Apa hukum meletakkan sutrah di depan orang yang shalat?

Jawaban:

Menghadap sutrah ketika shalat hukumnya sunnah ketika tidak safar maupun ketika safar, baik pada shalat wajib maupun shalat sunnah, baik di masjid maupun di tempat lainnya. Berdasarkan keumuman hadis:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud no. 698, Ibnu Majah no. 954, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 2875, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dan juga berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadisnya Abu Juhaifah radhiyallahu ’anhu, ia berkata:

رُكِزَتْ له عَنَزَةٌ، فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، يَمُرُّ بيْنَ يَدَيْهِ الحِمَارُ والْكَلْبُ، لا يُمْنَعُ

“Aku menancapkan ‘anazah (sejenis tombak) untuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Kemudian beliau maju untuk mengimami shalat zhuhur dua rakaat. Dan ketika itu keledai serta anjing lewat di depan beliau, dan beliau tidak mencegahnya” (HR. Al Bukhari no.3566, Muslim no. 503).

Demikian juga hadis riwayat Muslim dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu, ia berkata: bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

إذا وضَعَ أحَدُكُمْ بيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، ولا يُبالِ مَن مَرَّ وراءَ ذلكَ

“Jika salah seorang di antara kalian meletakkan benda yang tingginya seperti mu’khiratur rahl di depannya, maka silakan shalat dan tidak perlu memedulikan apa yang lewat di luar dari benda tersebut” (HR. Muslim no.499).

Dan dianjurkan untuk mendekat kepada sutrah sebagaimana diperintahkan dalam hadis. Dan dahulu para sahabat bergegas mencari tiang-tiang masjid agar bisa shalat sunnah menghadap kepadanya. Dan hal itu terjadi pada waktu hadhar (tidak sedang safar) di dalam masjid. Dan tidak dikenal dari mereka, bahwa mereka meletakkan papan kayu di hadapan mereka papan untuk menjadi sutrah ketika shalat di dalam masjid. Yang mereka lakukan adalah shalat menghadap ke tembok masjid atau ke tiang-tiangnya.

Maka semestinya tidak takalluf (memberat-beratkan diri) dalam hal ini. Syariat Islam itu longgar dan tidak ada seorang pun yang berlebihan dalam beragama ini kecuali ia terkalahkan sendiri. 

Dan perintah shalat menghadap sutrah adalah perintah yang bersifat anjuran bukan kewajiban. Berdasarkan hadis yang shahih:

رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok” (HR. Al Bukhari no. 76, 493, 861).

Tidak disebutkan dalam hadis ini bahwa beliau menghadap sutrah

Dan juga dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i, dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, ia berkata:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa” (HR. Ahmad 3/297, Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/273. Hadis hasan).

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, ditandatangani oleh:

Ketua : Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Wakil Ketua : Syaikh Abdurrazzaq Al-‘Afifi rahimahullah

Anggota : Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud rahimahumallah

(Fatawa Al Lajnah, edisi 1 juz 7 halaman 77).


Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan:

Sebagian kaum Muslimin di masjid-masjid mereka membuat sutrah dengan papan kayu bagi jama’ah gelombang kedua yang datang belakangan. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:

هذا تشجيع عن التأخر عن الصلاة ما تحط لهم شيء يشجعهم نعم ، هذا تكلف أيضا , نعم

“Ini justru akan memotivasi orang untuk datang terlambat shalat ke masjid. Janganlah membuat sesuatu yang dapat memotivasi orang untuk datang terlambat. Dan ini juga merupakan takalluf (memberat-beratkan diri). Demikian”.

(Rekaman tanya-jawab kajian kitab Al Muntaqa min Akhbar Sayyidil Mursalin, tanggal 27 Rabi’uts Tsani 1434)


Ilustrasi, sumber: umma.id

Syaikh Ubaid Al-Jabiri

Pertanyaan:

Apa hukum membuat kotak kayu dalam untuk sutrah shalat di dalam masjid? Kami mendengar fatwa sebagian ulama bahwa itu adalah takalluf, dan ada sebagian penuntut ilmu yang mengatakan hal tersebut bid’ah.

Jawaban:

بل هِيَ بدعة، ما كان الصحابة يصنعون هذا في عهد رسول الله – صلَّى الله عليه وسلَّم وما عُرِفت في العقود السلفية المُفَضَّلة، القرون المُفَضَّلة أبدًا، هذه أُحدثت، فالسُّترة الذي تَرَجَّح لدينا أنَّها سُنَّة وليست واجبة، والمُصَلِّي لهُ مَوْضِع سجوده، فَهِي بدعةٌ وتكلُّف

“Yang benar, hal tersebut adalah bid’ah. Para sahabat tidak pernah membuat hal demikian di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dan tidak dikenal di masa generasi terbaik umat Islam, sama sekali. Ini perbuatan yang diada-adakan. Menghadap sutrah ketika shalat, pendapat yang kami kuatkan adalah sunnah, tidak wajib. Dan orang yang shalat, ia tidak boleh dilewati di area sujudnya (ketika tidak pakai sutrah). Maka perbuatan seperti ini adalah bid’ah dan takalluf”.

(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=ixRQucVHX0c, diakses 28 Dzulqa’dah 1442).


Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul

Pertanyaan:

Papan kayu untuk digunakan untuk sutrah bagi orang yang shalat sendirian, yang kita dapati di sebagian masjid, apakah itu termasuk maslahah mursalah?

Jawaban:

Papan kayu tersebut yang diletakkan di sebagian masjid untuk menjadi sutrah shalat, faktor pendorong untuk membuat benda seperti ini sudah ada di zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun ternyata Nabi dan para sahabat tidak pernah melakukannya dan tidak pernah memerintahkannya. Yang dilakukan oleh para sahabat adalah bergegas menuju tiang-tiang masjid, tidak terdapat riwayat bahwa mereka membuat suatu benda dari kayu untuk sutrah.

Maka membuat benda seperti ini termasuk khilafus sunnah. Dan ini tidak termasuk maslahah mursalah. Bahkan seharusnya kita mengikuti apa yang dicontohkan para salaf dan meninggalkan apa yang ditinggalkan para salaf. Semoga Allah memberikan taufik kepada seluruh kita untuk melakukan ketaatan.


Pertanyaan:

Bagaimana dengan menjadikan kursi yang ada di masjid sebagai sutrah?

Jawaban:

Menjadikan kursi yang ada di masjid sebagai sutrah, hukumnya tidak mengapa.


Pertanyaan:

Bagaimana pendapat anda wahai Syaikh kami yang mulia, tentang ‘anazah (semacam tombak). Apakah bisa berdalil dengan hadis-hadis tentang ‘anazah untuk membolehkan sutrah papan kayu? Semoga Allah memberi anda keberkahan.

Jawaban:

Anazah itu digunakan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika safar, beliau gunakan dalam shalatnya di luar masjid.

(Dikutip dari forum Al Amin As Salafiyyah: https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=15912&p=31536, diakses 28 Dzulqa’dah 1442).


******

Sumberkonsultasisyariah.com 

File terkait:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

10 Oktober 2023

FILE 442 : Memahami dan Menyikapi Khilaf Ulama

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Ikhtilaf Ulama, Sebab dan Sikap Kita Terhadapnya

Disusun oleh:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullaah
 

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kepada kita nikmat iman dan islam serta kesehatan, karunia yang tiada taranya yang telah diberikan-Nya kepada kita sebagai hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia terbaik sepanjang zaman dan penutup para nabi dan rasul, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah kepada masa yang terang benderang yang penuh dengan iman dan ilmu pengetahuan, juga kepada para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tetap istiqamah menegakkan risalah yang dibawanya hingga akhir zaman. 

Salah satu karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikannya kepada umat Islam adalah tidak adanya perbedaan bahwa sumber utama dalam hukum dan sikap hidup kita adalah al-Qur`an dan as-Sunnah. 

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan ajaran agama ini, seperti disebutkan dalam firman-Nya: 

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." [QS. Al-Maidah/5:3] 

Demikian pula dengan sunnah, tidak ada satu sisi pun, baik yang berhubungan dengan syari’at atau pun dalam kehidupan sehari-hari, kecuali telah disampaikan dan dicontohkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sunnah

Umat Islam di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca: sahabat) selalu kembali kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan di antara mereka. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, sirnalah perselisihan dan perbedaan di antara mereka. 

Atau terjadi kasus yang cukup rumit, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam diri menunggu turunnya al-Qur`an, namun setelah turunnya al-Qur`an yang menjelaskan realita dan hukumnya, sirnalah segala persoalan yang mengganjal mereka. Seperti kasus ‘berita bohong’ (hadits ifk) yang dialamatkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dan juga penyebab turunnya ayat tentang li’an dalam surah an-Nuur yang dialami salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Hilal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu, salah satu dari tiga orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubatnya ketika ketinggalan dalam perang Tabuk pada tahun kesembilan Hijriyah. 

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, mulailah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, tetapi bukan persoalan yang menyangkut aqidah atau prinsip dalam Islam. 

Kita yakin bahwa para ulama tidak mungkin meyakini suatu hukum syari’at atau memberikan fatwa kecuali yang sesuai dengan tuntutan al-Qur`an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebagai manusia biasa yang tidak ma’shum, mungkin saja seseorang keliru dalam memahami kandungan yang terdapat al-Qur`an dan sunnah, tanpa bermaksud menyalahi apalagi menentang atau berpaling dari keduanya. 

Ilustrasi: sumber artikula.id

Berikut ini adalah beberapa sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, yang di antaranya adalah: 

1. Nash atau dalil dalam suatu masalah tidak sampai kepada seseorang yang keliru dalam mengambil suatu keputusan atau memberikan fatwa. 

Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di masa sekarang, bahkan pernah terjadi beberapa kali di masa sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa di masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, setelah Palestina dikuasai kaum muslimin, Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu melakukan perjalanan menuju Palestina bersama satu rombongan dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Ketika di tengah perjalanan, terdengarlah kabar bahwa di negeri Syam tengah dilanda wabah yang sangat berbahaya serta telah banyak menelan korban jiwa. [1] 

Mendengar berita itu, Umar Radhiyallahu 'anhu menahan perjalanan dan bermusyawarah dengan para pembesar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Terjadilah perbedaan pendapat di antara mereka dalam masalah, apakah mereka meneruskan perjalanan atau kembali ke Madinah? Yang berpendapat untuk kembali ke Madinah memberikan argumentasi bahwa masuknya mereka ke kota itu akan membawa mereka kepada kematian, karena wabah itu sangat berbahaya. Sedangkan pendapat kedua memberikan hujjah bahwa semua yang terjadi tidak pernah terlepas dari qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua itu telah tercatat di Lauhul Mahfuzh.

Pada saat itulah Abdurrahman bin 'Auf Radhiyallahu 'anhu datang dan berkata, ‘Sesungguhnya saya mempunyai pengetahuan tentang hal ini. Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِى أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوْا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوْا فِرَارًا مِنْهُ

“Apabila kalian mendengar berita tentangnya (penyakit tha’un) di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya. Dan ketika wabah penyakit itu tengah terjadi, sedang kamu berada di sana, maka janganlah keluar (pergi meninggalkan negeri itu) karena lari dari penyakit tersebut.” [2]

Setelah mendengar hadits tersebut, semuanya tunduk dan patuh terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kembali ke kota Madinah.

Demikian pula yang sering terjadi di masa sekarang, sering kita dengar perbedaan pendapat di kalangan para ulama, dan salah satu penyebab yang dominan adalah tidak sampainya nash atau dalil kepada orang yang keliru dalam mengambil suatu keputusan hukum, di samping adanya sebab-sebab yang lain tentunya. 

Wallahu A’lam.


2. Hadits (dalil) telah sampai kepada seseorang yang kebetulan keliru dalam mengambil suatu keputusan, namun ia kurang percaya kepada pembawa berita atau yang meriwayatkan hadits. 

Misalnya, imam fulan mengatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan imam yang lain berpandangan bahwa hadits tersebut dha’if (lemah). Seperti Imam Nawawi rahimahullah berkeyakinan bahwa hadits tentang qunut dalam shalat subuh adalah shahih, seperti yang dia tekankan dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Sementara itu, mayoritas ulama hadits dari masa ke masa meyakini bahwa hadits itu dha’if dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum syari’at. 

Ini hanyalah sebuah contoh, masih banyak contoh lain yang serupa, namun kita cukupkan dengan satu contoh itu. 

Hal ini juga pernah terjadi di masa khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ketika beliau menolak riwayat Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha bahwa perempuan yang telah dicerai yang ketiga kalinya oleh suaminya, perempuan itu tidak berhak lagi mendapatkan hak terhadap nafkah dan tempat tinggal dari suaminya. Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu menolak riwayat itu karena kurang percaya terhadap orang yang meriwayatkan hadits tersebut. 

Wallahu A’lam.


3. Dalil (hadits) telah sampai kepada orang tersebut, namun ia keliru dalam memahaminya. 

Contoh perbedaan seperti ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan pada masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Peristiwa itu bermula ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru selesai perang Ahzab pada tahun kelima Hijriyah dan meletakkan peralatan perang. Pada saat itu, datanglah malaikat Jibril 'Alaihissalam dan berkata, ‘Berangkatlah menuju perkampungan Bani Quraizhah.’ Maka saat itu juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabat agar segera berangkat menuju perkampungan mereka dan bersabda:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ إِلاَّ فِى بَنِي قُرَيْظَةَ

“Janganlah seseorang shalat Ashar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah.” Muttafaqun ‘alaih[3]

Para sahabat berbeda pendapat dalam memahami nash hadits ini. Sebagian mereka memahami bahwa yang dimaksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah agar mereka segera berangkat, sehingga sampai di perkampungan Bani Quraizhah sebelum shalat ‘ashar. Karena itulah, ketika tiba waktu shalat ‘ashar, sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tetap melaksanakan shalat ‘ashar dan tidak men-ta’khir-kannya hingga sampai di perkampungan Bani Quraizhah. 

Sedangkan yang lain memahami bahwa yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah agar mereka jangan melaksanakan shalat ‘ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Sehingga ketika tiba waktu shalat ‘ashar, sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tidak langsung melaksanakan shalat ‘ashar dan menundanya hingga sampai di perkampungan Bani Quraizhah. 

Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak memberikan komentar apa-apa, dan tidak mencela kelompok yang manapun. 

Tidak diragukan lagi, bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat dalam waktunya dan tidak menundanya hingga keluar dari waktunya, karena kewajiban melaksanakan shalat dalam waktunya adalah dengan dalil yang jelas, sedangkan dalil (hadits) ini masih mengandung beberapa penafsiran.

Kemungkinan besar, inilah penyebab paling dominan yang melatar belakangi terjadinya perbedaan di kalangan para ulama dalam persoalan far’iyah (cabang), namun bukan yang menyangkut persoalan prinsip di dalam syari’at Islam. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibukukan dalam kitab-kitab hadits, baik dalam kitab shahih, sunan, masanid, ataupun ma’ajim. Namun pemahaman setiap orang, seringkali berbeda satu sama lain. 

Wallahu A’lam.


4. Dalil telah sampai kepadanya tapi sudah di-nasakh (dihapus/dibatalkan -Sa'ad), namun ia tidak mengetahui dalil yang me-nasakh-nya. 

Dalam kasus seperti ini, orang yang tidak mengetahui adanya nasakh dimaafkan, karena asal suatu masalah adalah tidak adanya nasakh, sampai diketahui dalil yang me-nasakh-nya. 

Termasuk dalam sebab ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu tentang meletakkan kedua tangan ketika ruku’. Di permulaan Islam, disyari’atkan bagi orang yang shalat menutup kedua tangan dan meletakkannya di antara kedua lutut ketika ruku’. Hukum ini kemudian di-nasakh dengan meletakkan dua telapak tangan pada dua lutut. Al-Bukhari telah meriwayatkan tentang hal ini di dalam Shahih-nya. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu tidak mengetahui tentang hal ini dan tetap melaksanakan shalat seperti pada masa di awal Islam. Ketika al-Alqamah dan al-Aswad shalat di sampingnya dan meletakkan kedua tangan pada kedua lutut, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu menegur keduanya. Kenapa? Karena ia tidak mengetahui adanya nashakh. Seseorang tentu tidak diberikan beban di luar batas kemampuannya. 

Wallahu A’lam.


5. Hadits (dalil) telah sampai kepadanya, namun ia lupa terhadap dalil tersebut. 

Sudah menjadi sunnatullah, bahwa lupa adalah bagian dari fitrah kita sebagai manusia biasa. Banyak orang yang telah hapal sekian banyak hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kemudian ia lupa. Ini merupakan salah satu penyebab terjadinya terjadi perbedaan pendapat, walau dalam porsi yang tidak terlalu besar.


Bagaimana sikap kita terhadap perbedaan pendapat ini?

Kalau kita menemukan perbedaan seperti yang telah disebutkan di atas, siapakah yang harus kita ikuti? Apakah kita akan mengikuti seorang imam dan tidak pernah keluar dari pendapatnya, walau pun kebenaran ada pada pendapat yang lain? Ataukah kita mengikuti pendapat yang lebih kuat sesuai dengan dalil-dalil yang ada, walau berbeda pendapat dengan imam yang kita ikuti?

Jawaban yang benar adalah yang kedua, karena wajib bagi yang mengetahui dalil yang shahih untuk mengikutinya, walau berbeda pendapat dengan para imam. Karena mereka adalah manusia yang mungkin saja keliru dalam memberikan fatwa atau mengambil kesimpulan dalam suatu hukum. 

Siapapun yang meyakini bahwa ada seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus diambil pendapatnya setiap waktu dan keadaan, berarti dia meyakini bahwa selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang memiliki keistimewaan risalah atau ada yang ma’shum (dipelihara dari dosa dan kesalahan). Padahal tidak ada seorang pun yang memiliki keistimewaan seperti ini selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setiap orang bisa diterima pendapatnya atau ditolak kecuali yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih

Wallahu A’lam.


Dikutip dari “Kitab al-Ilmi” karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.

[Disalin dari اختلاف العلماء أسبابه و موقفنا منه Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Penerjemah : Muhammad Iqbal Ahmad Ghozali, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]

______

Footnote:

[1] Dalam sejarah Islam disebut dengan wabah ‘Tha’un Amwas’. Wabah ini telah menelan korban sekitar 25.000 jiwa, termasuk di antaranya adalah panglima besar Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah Radhiyallahu anhu dan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu

[2] HR. Al-Bukhari no. 5729 dan Muslim no. 2219

[3] HR. al-Bukhari no. 946 dan Muslim no. 1770.

******

Sumberalmanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin