Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

09 September 2019

FILE 388 : Apakah Allah Kuasa Membinasakan Diri-Nya? (Pembahasan Sifat Qudrah Allah Subhanahu wa Ta'ala)

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
.... 

Sifat Qudrah (Berkuasa) Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Disusun oleh:
Ust. Abu Isma’il Muslim al-Atsari hafidhahullah
.
Allâh Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan suci bersih dari segala sifat kekurangan. Di antara sifat kesempurnaan Allâh adalah sifat qudrah (berkuasa), yaitu Allâh Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu. Allâh Azza wa Jalla  memberitahukan tentang ini dalam banyak tempat di al-Qur’an.
Allâh Azza wa Jalla  berfirman:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan! Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu
QS. Ali ‘Imrân [3]:26
Kalimat bahwa Allâh “Maha Kuasa atas segala sesuatu” berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an sampai 36 kali.
Sifat qudrah Allâh Azza wa Jalla juga bisa difahami dari salah satu nama Allâh, yaitu al-Qâdir. Yang berarti memiliki sifat qudrah (kekuasaan). Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ ۗ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ
Katakanlah, “Dialah al-Qâdir (Yang Maha Berkuasa) untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)..” 
QS. Al-An’âm [6]: 65
Demikian pula sifat qudrah Allâh (Allâh Maha Kuasa) disebutkan dalam hadits yang banyak sekali.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ، أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُهُ فِي جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ 
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Dari Utsman bin Abul ‘Ash ats-Tsaqafi, bahwa dia mengadukan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa sakit di tubuhnya sejak ia masuk Islam. 
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Letakkan tanganmu pada tempat yang sakit di tubuhmu, dan bacalah bismillah tiga kali, lalu bacalah sebanyak tujuh kali:
أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Aku berlindung kepada Allâh dan kekuasaan-Nya dari keburukan yang sedang aku rasakan dan yang aku khawatirkan.” 
HR. Muslim, no. 2202
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Madzhab (jalan yang diyakini) Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Allâh Azza wa Jalla  itu Pencipta segala sesuatu, Penguasanya, dan Pemiliknya. Tidak ada Rabb (Penguasa) selain Dia dan tidak ada Pencipta selain Dia. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu”. [Majmû’ Fatâwâ, 8/63]
Imam al-Khathâbi rahimahullah berkata, “Allâh mensifati diri-Nya bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu yang Dia kehendaki, kelemahan dan kelelahan tidak mengenai-Nya”. [Sya’nud Du’a, hlm. 85]
Bukti-Bukti Qudrah Allâh Azza Wa Jalla
Banyak sekali bukti yang Allâh tunjukkan kepada manusia tentang qudrah (kekuasaan Allâh), agar mereka mau tunduk, merendahkan diri dan bertawakkal kepada-Nya.
Penciptaan Langit
Di antara bukti nyata kekuasaan Allâh adalah penciptaan langit yang ada di atas kita. Tingginya langit, benda-benda langit, matahari, bulan, bintang, awan, semuanya bukti nyata kekuasaan Allâh Azza wa Jalla. Aturan di dunia ini menetapkan bahwa segala sesuatu yang di atas harus ada penyangganya agar tidak jatuh. Tetapi Allâh Azza wa Jalla meninggikan langit dengan tanpa tiang! 
Allâh Azza wa Jalla  berfirman:
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا 
Allâh-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat.. 
QS. Ar-Ra’du [13]: 2
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat’, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan Qatadah, bahwa mereka berkata, “Langit itu memiliki tiang, akan tetapi tidak terlihat oleh kalian.”  Iyaas bin Mu’awiyah berkata, “Langit di atas bumi seperti kubah”, yakni tanpa tiang. Demikian juga yang diriwayatkan dari Qatadah. (Pendapat) ini yang sesuai dengan rangkaian kalimat. Dan ini juga yang tampak dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya. 
QS. Al-Hajj [22]: 65
Berdasarkan ini, maka firman Allâh, “(sebagaimana) yang kamu lihat” merupakan penegas akan tidak adanya tiang.. Yaitu: langit ditinggikan dengan tanpa tiang sebagaimana kamu melihatnya. Inilah qudrah (kekuasaan) yang paling sempurna”.. [Tafsir Ibnu Katsir, 4/429, tahqiq: Salamah]
Penciptaan Bumi
Sesungguhnya penciptaan bumi dan segala makhluk yang ada di atasnya termasuk tanda kekuasaan Allâh yang bisa membuat akal tercengang dan bisa menundukkan jiwa. Allâh Azza wa Jalla  berfirman:
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi orang-orang yang yakin.  
QS. Adz-Dzariyyat [51]: 20
Datarannya, ada yang rendah dan ada yang tingginya, padang rumput dan padang pasirnya, gunung dan pantainya, sungai dan lautannya, beragam tanaman dan binatangnya, semua itu bukti keagungan, kebesaran, keesaan, dan kekuasaan Penciptanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ أَرْبَعٍ ۚ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan Allâh telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allâh menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu. 
QS. An-Nûr [24]: 45
Penciptaan Manusia
Penciptaan manusia, fase-fase kehidupannya, kelahiran dan kematiannya, lemah dan kuat, sungguh merupakan bukti nyata kekuasaan Sang Khaliq yang Maha Kuasa. Fase-fase janin di dalam perut ibunya, yang tumbuh sedikit demi sedikit perkembangannya, sampai Allâh idzinkan kelahirannya di dunia dalam keadaan lemah tanpa daya, kemudian menjadi kuat perkasa, akhirnya kembali lemah sehingga kematian menjemputnya, benar-benar sebagai pelajaran berharga, dan tanda kekuasaan Allâh yang nyata. Maha Suci Allâh sebaik-baik Pencipta. Allâh Azza wa Jalla  berfirman:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Allâh, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa
QS. Ar-Rûm [30]: 54
Qudrah Allâh Tidak Berkaitan Dengan Mustahîlât
Semua yang ada ini terbagi menjadi tiga: Wâjibât, Mumkinât, dan Mustahîlât.
Wâjibât 
Wâjibât adalah sesuatu yang wajib ada. Yaitu sesuatu yang keberadaannya tidak didahului dengan tidak ada, dan tidak diakhiri dengan tidak ada. Contohnya adalah Allâh Azza wa Jalla disebut dengan wâjibul wujud. Karena keberadaan-Nya tidak didahului dengan tidak ada, dan tidak diakhiri dengan tidak ada. Keberadaan Allâh itu abadiy dan azaliy. Azaliy artinya ada semenjak dahulu, tidak didahului dengan tidak ada. Sedangkan abadiy artinya terus ada dan tidak diakhiri dengan kebinasaan. 
Mumkinât 
Mumkinât atau jâizât, yaitu segala sesuatu yang bisa ada atau bisa tidak ada. Atau sesuatu yang diadakan dari yang sebelumnya tidak ada, kemudian akan menjadi tidak ada lagi. Ini disebut mumkinât atau jâizât, contohnya adalah seluruh makhluk yang ada ini. 
Mustahîlât
Mustahîlât adalah segala sesuatu yang tidak ada wujudnya. Tidak layak Allâh Azza wa Jalla menciptakan mustahîlât, bukan karena Allâh lemah (tidak kuasa), tetapi karena qudrah Allâh Azza wa Jalla tidak berkaitan dengan mustahîlât. Contoh mustahîlât adalah Allâh punya istri, anak, sekutu atau pembantu. Karena mustahîlât tersebut merupakan cacat yang tidak pantas bagi Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla  berfirman:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu
QS. Al-An’aam [6]: 101
Keyakinan Ahlus Sunnah, bahwa qudrah Allâh tidak berkaitan dengan mustahîlât, sebagai sifat kesempurnaan Allâh Azza wa Jalla. Karena adanya mustahilaat itu merupakan cacat bagi-Nya.
Bagaimana Allâh memiliki sekutu, sedangkan Dia merupakan Rabb (Penguasa) seluruh makhluk, Dia Maha Esa, dan Tempat bergantung seluruh makhluk?!
Bagaimana Allâh memiliki istri atau anak, sedangkan Dia merupakan Pencipta dan Pemilik segala sesuatu?!
Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan orang yang mengatakan, “Apakah Allâh Azza wa Jalla mampu menciptakan sekutu bagi diri-Nya?” Atau “Apakah Allâh mampu membinasakan diri-Nya?”  Atau “Apakah Allâh mampu menciptakan sesuatu yang sangat besar dan Dia tidak mampu mengangkatnya?”
Jawaban untuk pertanyaan itu semua dan semisalnya adalah bahwa itu semua adalah mustahîlât, dan qudrah Allâh tidak berkaitan dengan mustahîlât.
Sebagaimana pandangan mata tidak berkaitan dengan mendengar suara. Pendengaran telinga tidak berkaitan dengan melihat benda. Begitu pula qudrah Allâh tidak berkaitan dengan mustahîlât.
Wallâhu a’lam.
Dampak Iman Kepada Qudrah Allâh Azza wa Jalla
Meyakini sifat Allâh Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu akan membuahkan faedah-faedah bagi hamba, antara lain:
Takut Kepada Balasan Dan Siksa-Nya
Jika seseorang beriman bahwa Allâh Maha Kuasa atas segala, maka dia akan mengagungkan Allâh dan mengingat kekuasaan-Nya. Dia mengetahuinya dimana saja berada dan dia di bawah kekuasaan-Nya. Allâh Yang Maha memberi dan menolak, meninggikan dan merendahkan, memuliakan dan menghinakan, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menolak atau melindungi dari siksaan-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,  maka sesungguhnya  sorga adalah tempat tinggal(nya). 
QS. An-Nazi’at [79]: 40-41
Imam Ibnul Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Seorang hamba wajib takut dan berharap (kepada Allâh). Dan takut yang benar dan terpuji yaitu yang bisa menghalangi pemiliknya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Jika takut itu melewati batas, dikhawatirkan dia jatuh kepada sikap putus asa.” [Syarh Aqîdah Thahâwiyah, hlm. 371, penerbit: al-Maktabul Islami, takhrij: Al-Albani]
Beliau juga mengatakan, “Setiap orang yang engkau takuti, maka engkau lari menjauhinya, kecuali takut kepada Allâh Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya jika engkau takut kepada-Nya, niscaya engkau berlari mendekatnya” [Syarh Aqîdah Thahâwiyah, hlm.372, penerbit: al-Maktabul Islami, takhrij: Al-Albani]
Tidak Menzhalimi Orang Lain
Seseorang yang meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla menguasai segala sesuatu, dengan kekuasaan yang mutlak, maka dia tidak akan berani menzhalimi orang lain. Karena walaupun dia melihat kekuatannya melebihi orang lain, tetapi dia mengetahui bahwa kekuatan dan kekuasaan Allâh di atas kekuatannya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan seorang Sahabatnya dengan qudrah Allâh, ketika dia sedang memukuli budaknya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ أَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيُّ: كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ، فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي، «اعْلَمْ، أَبَا مَسْعُودٍ»، فَلَمْ أَفْهَمِ الصَّوْتَ مِنَ الْغَضَبِ، قَالَ: فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا هُوَ يَقُولُ: «اعْلَمْ، أَبَا مَسْعُودٍ، اعْلَمْ، أَبَا مَسْعُودٍ»، قَالَ: فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي، فَقَالَ: «اعْلَمْ، أَبَا مَسْعُودٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ»، قَالَ: فَقُلْتُ: لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا
Dari Ibrahim at-Taimiy, dari bapaknya, dia berkata: Abu Mas’ud al-Badriy berkata, “Aku memukul budakku dengan cambuk, lalu aku mendengar suara dari belakangku, “Ketahuilah, wahai  Abu Mas’ud!”. Aku tidak memahami suara itu karena marah. Ketika dia mendekat kepadaku, ternyata dia adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, wahai  Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai  Abu Mas’ud!” Aku menjatuhkan cambuk dari tanganku, Beliau bersabda, “Ketahuilah, wahai  Abu Mas’ud, bahwa Allâh lebih berkuasa kepadamu daripada kuasamu terhadap budak ini!”. Abu Mas’ud berkata, “Aku tidak memukul budak setelah itu selamanya”.   
HR. Muslim, no. 1659
Demikianlah sedikit pembahasan tentang sifat qudrah Allâh Azza wa Jalla, semoga kita selalu muraqabah dan khasy-yah kepada-Nya, sehingga menghalangi dari kemaksiatan dan kezhaliman. 
Wallâhul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XXI/1439H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] 

*****
.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,   Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika   
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

01 September 2019

FILE 387 : Tertib Urutan Shalat ketika Menjama' Shalat

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
.... 

Jama’ Shalat ‘Isya Dan Maghrib

Pertanyaan:
.
Saya menjama’ takhir shalat Maghrib dengan ‘Isya ketika sedang safar. Tetapi ketika saya sampai di lokasi tujuan, ternyata sudah masuk waktu ‘Isya dan iqamah sudah dikumandangkan. 
.
Pertanyaan saya :
  1. Apakah saya harus shalat ‘Isya berjama’ah dahulu atau shalat Maghrib dahulu, baru kemudian shalat ‘Isya?
  2. Apakah boleh shalat ‘Isya berjama’ah, tetapi dengan niat shalat Maghrib. Mohon dijelaskan tehnisnya.
.
Jawaban:
.
Perlu diketahui, tertib dalam melakukan shalat ialah melakukan shalat Dhuhur kemudian ‘Ashar, atau Maghrib kemudian ‘Isya, adalah syarat dalam jama’, sebagaimana dijelaskan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, 4/871. 
.
Beliau rahimahullah mengatakan, disyaratkan tertib dengan memulai yang pertama kemudian yang kedua, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
.
(Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat
HR al Bukhari
.
Juga karena syari’at menjelaskan tertib waktu-waktu shalat, sehingga shalat, wajib dilakukan pada waktu yang telah disusun pembuat syari’at.
.
Kemudian Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan contoh:
.
Seseorang berniat jama’ ta’khir, kemudian masuk masjid dan mendapati orang-orang shalat ‘Isya, lalu ia masuk ikut mereka (berjama’ah) dengan niat shalat Isya’. Dan ketika selesai shalat ‘Isya, ia shalat Maghrib. Maka kami katakan, shalat ‘Isya’nya tidak sah, karena ia mendahulukan 'Isya dari Maghrib dan tertib itu adalah syarat. Sehingga ia mengulangi lagi shalat ‘Isyanya lagi, sedangkan shalat Maghribnya sah. Pengertian tidak sah disini adalah, tidak sah sebagai shalat fardhu yang menghilangkan kewajiban, namun ia menjadi shalat sunnah yang diberi pahala.[1]
.
Berkenaan dengan  pertanyaan tersebut, kami bawakan pula fatwa Lajnah ad Da’imah lil Buhuts al ‘Ilmiyah wal Ifta`, Saudia Arabia, no. fatwa 425 yang berbunyi:
.
Barangsiapa yang mendapatkan keringanan safar, maka diperbolehkan menjama’ shalat ‘Ashar dengan Dhuhur, baik jama’ taqdim (di waktu Dhuhur) atau jama’ ta’khir (di waktu ‘Ashar), dan menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya dengan jama’ taqdim (di waktu Maghrib) atau jama’ ta’khir (di waktu ‘Isya) sesuai dengan kemaslahatan musafir tersebut. Namun dalam jama’ tersebut diwajibkan tertib. Dia shalat Dhuhur dulu kemudian shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dahulu baru shalat ‘Isya, baik dilakukan dalam jama’ taqdim maupun ta’khir. [2]
.
Fatwa Lajnah Da’imah no. 12014 berbunyi:
.
Wajib bagi orang yang mengakhirkan shalat Maghrib ke shalat ‘Isya dalam safar (bepergian), untuk memulainya dengan shalat Maghrib terlebih dahulu. Apabila ia masuk bersama orang yang shalat ‘Isya dan berniat shalat Maghrib, kemudian duduk pada raka’at ketiga, maka shalatnya sah. [3]
.
Dari fatwa-fatwa di atas menjadi jelas, bila kita ingin menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya pada waktu ‘Isya, maka wajib mendahulukan shalat Maghrib walaupun mendapati jama’ah shalat ‘Isya. Apabila didahulukan shalat ‘Isyanya, maka dianggap belum menunaikan shalat ‘Isya, sehingga mengulangi shalat ‘Isya lagi setelah melaksanakan shalat Maghrib.
.
Jadi, bila Anda berniat shalat Maghrib di belakang imam shalat ‘Isya, maka boleh duduk pada rakaat ketiga, sambil menunggu imam selesai shalat, dan salam setelah imam salam.
.
Wallahu a’lam.
.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
.

________
Footnote:

[1] Syarhul Mumti’, 4/572.
[2] Fatawa Lajnah Daimah, 8/138-139.
[3] Fatwa Lajnah Daimah, 8/139.
 
******

Sumber: almanhaj.or.id 
 
Subhanakallohumma wa bihamdihi,   Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika   
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin