Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

12 Desember 2021

FILE 419 : Perbedaan Pendapat Sahabat Nabi ketika Terjadi Thaun

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Beda Pendapat Sahabat Nabi saat Terdampak Wabah Thaun

Disusun oleh:
Yuhansyah Nurfauzi hafidhahullaah
(apoteker dan peneliti di bidang farmasi, anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap)
 
 

Masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat ulama sering dijumpai dalam pembahasan fiqih, terutama yang berkaitan dengan amaliah ibadah. Namun, ternyata dalam fiqih kesehatan, khilafiyah sudah terjadi, bahkan sejak zaman sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu kisah perbedaan pendapat tersebut terungkap dalam sikap para sahabat Nabi ketika menghadapi wabah thaun yang terjadi di daerah Amwas, Syiria/Syam, pada tahun 17-18 Hijriah. 

Para sahabat yang terdampak wabah thaun Amwas adalah sekelompok besar pasukan yang sedang menjalankan misi pada masa Khalifah Umar bin Khattab untuk menaklukkan kedudukan Romawi di Syiria dan sekitarnya. Misi ini sukses sehingga keberadaan pasukan dipertahankan di daerah tersebut. Mereka bermarkas di Amwas dan dikomandoi oleh Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah. Bahkan, sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian dijadikan wali negeri di Syria untuk mengatur dan memimpin masyarakat di sana.

Di tengah keberhasilan penaklukan, para sahabat pun mengatur, mendidik dan membina daerah taklukan itu agar penuh keberkahan dengan syariat Islam. Khalifah Umar bin Khattab pun sempat memberikan ucapan selamat dan dukungan penuh dengan mendatangkan para sahabat lainnya untuk membantu perjuangan pasukan. Tidak kurang dari ulamanya para sahabat seperti Mu’adz bin Jabal yang berpengalaman dakwah di Yaman dan Sahabat ‘Amr bin ‘Ash yang ahli strategi perang turut diperbantukan ke Syria. 

Hal menarik yang dapat diambil sebagai pelajaran adalah penanganan wabah thaun Amwas yang berbeda dan diwarnai perdebatan para sahabat. Saat wali negeri Syiria sekaligus panglima pasukan muslim dipimpin oleh sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal, fatwa yang dikeluarkan kedua sahabat itu untuk diikuti pasukannya dalam menghadapi wabah adalah tetap berkumpul di area markas dan tidak menyebar. Namun, pada masa kepemimpinan sahabat ‘Amr bin ‘Ash, fatwa yang dikeluarkan untuk diikuti oleh pasukannya adalah agar menyebar secara mandiri ke daerah perbukitan dan lembah. 

Kedua ijtihad yang berbeda dari golongan para sahabat besar itu pada mulanya menjadi suatu masalah khilafiyah. Sahabat ‘Amr bin ‘Ash yang semula masih menjadi pasukan di bawah komando sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah sempat menganjurkan kepada panglimanya tersebut agar masyarakat dan pasukan diungsikan. Beliau berpendapat bahwa hendaknya wabah dihindari dengan cara menyebarkan lokasi tinggal pasukan. Namun, dia segera tunduk patuh pada keputusan panglima Abu Ubaidah yang mengambil keputusan berbeda dengan pendapatnya. Mereka sepakat untuk tetap berkumpul di Amwas. 

Demikian pula ketika akhirnya Abu Ubaidah wafat akibat terkena thaun dan kedudukan panglima digantikan oleh Mu’adz bin Jabal. Sahabat Mu’adz tetap mempertahankan keputusan agar markas pasukan tetap berada di dalam satu lokasi. Maka kejadian yang sama pun terulang, yaitu terpaparnya Mu’adz bin Jabal sekeluarga sehingga wafat akibat thaun. Tidak kurang dari 25.000 korban jiwa dari kalangan kaum muslimin yang meninggal akibat wabah thaun Amwas. 

Setelah Sahabat Mu’adz bin Jabal wafat, Khalifah Umar bin Khattab mengangkat ‘Amr bin ‘Ash sebagai panglima pasukan. Kali ini, keputusan yang diambilnya untuk menghindari wabah diterapkan secara berbeda dari pendahulunya. Maka ada sahabat senior yang juga mengkritiknya. Namun, ‘Amr bin ‘Ash tetap dalam pendapatnya dan diikuti oleh seluruh pasukan maupun masyarakat di Amwas. 

Kisah lengkap tentang perbedaan pendapat ini terekam dalam kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi (Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 155).

“… Ketika wabah melanda, Abu Ubaidah pun berkhutbah,“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Tuhan kalian, doa Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut”. Lalu dia terjangkit penyakit tersebut sehingga meninggal dunia.

Selanjutnya Mu’adz bin Jabal menggantikannya untuk memimpin orang-orang, lalu dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah,”Wahai sekalian manusia, wabah ini merupakan rahmat dari Tuhan kalian, doanya Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah agar keluarganya mendapat bagian dari rahmat tersebut”. Kemudian, putranya yang bernama Abdurrahman bin Mu’adz terjangkit penyakit tersebut sampai meninggal. Dia pun memohon kepada Tuhannya untuk dirinya, dan akhirnya dia juga terkena thaun pada telapak tangannya.

Setelah dia wafat, ‘Amr bin ‘Ash menggantikan kedudukannya untuk memimpin orang-orang. Kemudian, dia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan kami.“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya jika penyakit ini mewabah maka dia akan berkobar sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung”.

Maka Abu Wailah al-Hudzali bangkit dan berkata kepadanya,”Sungguh engkau telah berdusta. Aku pernah bersahabat dengan Rasulullah sedangkan engkau lebih buruk daripada keledaiku ini (masih kafir –ed. Sa’ad)”.

‘Amr bin ‘Ash berkata,”Demi Allah, aku tidak akan membalas perkataanmu. Demi Allah, aku tidak akan memperkarakan perkataanmu itu”. Dia pun keluar dan orang-orang ikut keluar berpencar darinya, kemudian Allah melenyapkan wabah tersebut dari mereka.

Ketika pendapat ‘Amr bin ‘Ash didengar oleh Khalifah Umar bin Khattab, demi Allah, dia tidak membencinya.”

Berdasarkan kisah tersebut, ternyata perbedaan pendapat tentang manajemen wabah penyakit telah muncul sejak zaman para sahabat pilihan. Namun, mereka tetap berlapang dada dan menunjukkan ketaatan kepada pimpinannya. Sebagaimana telah kita ketahui, para sahabat yang diangkat oleh Khalifah Umar sebagai pimpinan pasukan atau pimpinan wilayah adalah sahabat yang mumpuni dalam permasalahan agama, sehingga fatwanya akan ditaati oleh pengikutnya. Tidak terkecuali fatwa dari Panglima Abu Ubaidah dan Mu’adz bin Jabal, kedua fatwa dari sahabat ini diikuti oleh ‘Amr bin ‘Ash meskipun berbeda dari pendapat pribadinya.

Dalam hal senioritas, sahabat ‘Amr bin ‘Ash memang masuk Islam belakangan jika dibandingkan dengan Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal (bahkan dibandingkan dengan Abu Wailah al-Hudzali – ed. Sa’ad). Namun, dengan diangkatnya mereka bertiga sebagai pimpinan wilayah secara berurutan menempatkan mereka pada kedudukan resmi sebagai pemberi keputusan atau fatwa dalam setiap masalah hukum di wilayah yang dipimpinnya.

Ketika situasi berkembang, tidak menutup kemungkinan fatwa yang semula berbeda dengan fatwa resmi ternyata bisa digunakan. Bahkan fatwa yang semula bertentangan dengan fatwa yang sudah ada juga bisa menjadi alternatif penyelesaian masalah yang sedang terjadi. Keteguhan ‘Amr bin ‘Ash untuk melaksanakan ijitihadnya didasarkan pada situasi wabah yang telah berkembang dari keadaan awal sejak pendahulunya masih memimpin. Saat diangkat menjadi pemimpin, beliau bertanggung jawab terhadap sisa pasukan dan masyarakat yang dipimpinnya setelah berkurang 25.000 orang akibat wabah thaun. Maka beliau pun berijtihad dengan hasil keputusan yang baru dan berbeda.

Sekilas, landasan keputusan logis yang diambil oleh ‘Amr bin ‘Ash tidak sekuat landasan dari kedua pendahulunya yang langsung mendengar dari Rasulullah. Sebagai bentuk adab kepada sahabat seniornya, ternyata ‘Amr bin ‘Ash juga sempat menyepakati pendapat panglima sebelumnya dengan mengeluarkan sebuah landasan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Masih di kitab yang sama, Imam Suyuthi menceritakan kisah lengkapnya sebagai berikut:

Ahmad meriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa thaun terjadi di Syam. Lalu ‘Amr bin ‘Ash berkata,”Siksaan ini telah menetap terjadinya, maka larilah kalian ke jalan menuju bukit atau menuju lembah”.

Lalu hal itu sampai di telinga Mu’adz bin Jabal, tetapi dia tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh ‘Amr bin ‘Ash. Mu’adz bin Jabal berargumen dengan perkataannya,”Bahkan itu adalah kesyahidan, rahmat dan doa Nabi kalian. Ya Allah, berilah sebagian dari rahmat-Mu untuk Mu’adz dan keluarganya".

‘Amr bin ‘Ash berkata,”Maka aku juga mengetahui tentang kesyahidan dan rahmat. Aku tidak mengetahui apa doa Nabi kalian hingga aku diberitahu bahwa pada suatu malam, Rasulullah melaksanakan shalat, lalu beliau berdoa, “jadi dengan penyakit panas atau thaun’, tiga kali.” (As-Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Penerbit Darul Qalam, Damaskus, tanpa tahun: hal 143).

Sumber ilustrasi: wahdah.or.id

 

Wabah, Antara Azab dan Rahmat

Dengan menyampaikan hadits tersebut, sebetulnya ‘Amr bin ‘Ash bersepakat tentang makna rahmat dan kesyahidan dalam konteks thaun Amwas. Jadi beliau tidak hendak membantah Mu’adz bin Jabal. Bahkan dalam riwayat yang lain, ‘Amr bin ‘Ash menyatakan bahwa Mu’adz bin Jabal adalah benar. Pada kisah di atas, ‘Amr bin ‘Ash juga mengakui bahwa pengetahuannya tentang doa Nabi tidaklah sebaik pengetahuan yang dimiliki oleh Mu’adz bin Jabal. Di sinilah letak ketawadhuan ‘Amr bin ‘Ash ketika masih ada Mu’adz bin Jabal.

Lalu apa dasar yang digunakan oleh ‘Amr bin ‘Ash ketika menjadi panglima tetap menerapkan gagasannya yang dulu sempat disampaikan kepada Mu’adz bin Jabal untuk menyebar pasukan agar tidak berkumpul di markas?

Dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Suyuthi, ‘Amr bin ‘Ash beberapa kali menggunakan istilah rijzun untuk menyertai penyebutan penyakit thaun. Rijzun merupakan perbuatan dosa, atau bisa juga diartikan azab/siksaan karena dosa. Perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia, diyakini oleh orang yang beriman, dapat mengundang azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rupanya perbedaan cara sudut pandanglah yang menyebabkan masalah khilafiyah ini.

Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal serta beberapa sahabat senior yang lain melihat thaun dari sudut pandang rahmat, sedangkan ‘Amr bin ‘Ash melihatnya dari sudut pandang azab dengan tetap membenarkan sudut pandang rahmat. Azab yang tidak pilih-pilih ini tentunya harus dihindari dengan berbagai upaya oleh kaum muslimin agar tidak terkena kebinasaan.

Sebagaimana yang telah diketahui, ada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja (QS. Al-Anfal [8]: 25 – ed. Sa’ad). Bila orang saleh dan orang beriman tertimpa dengan hal tersebut, kondisinya tetap menjadi rahmat dan bukan azab. Bila yang tertimpa adalah orang yang tidak beriman, barulah menjadi siksaan yang sebenar-benarnya di dunia sebagai pembukaan siksaan di akhirat kelak. Namun, anjuran umum yang berlaku adalah memelihara diri dari siksaan/azab yang seperti itu.

Upaya lahiriah yang diterapkan oleh ‘Amr bin ‘Ash sebenarnya adalah konsep physical distancing dan isolasi mandiri dari wabah penyakit menular, yang saat itu terjadi, yaitu wabah thaun. Sebagaimana yang telah dibahas oleh para ulama, wabah memiliki sisi perbedaan dengan thaun. Thaun sudah pasti merupakan wabah, sedangkan wabah merupakan istilah yang lebih umum untuk menyebutkan kondisi penyakit menular yang kejadiannya sedang merebak di suatu wilayah.

Physical distancing yang dikenal dengan istilah jaga jarak, ternyata relevan bila diterapkan baik pada thaun maupun wabah penyakit menular lainnya. Demikian pula dengan isolasi mandiri bagi yang sedang terkena penyakit thaun maupun penyakit menular lainnya, ternyata masih relevan diterapkan hingga masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Adapun sudut pandang yang dimiliki oleh ‘Amr bin ‘Ash tentang thaun sebagai azab atas dosa masih bersesuaian dengan pengalaman lapangan dan sejarah mula-mula kemunculan thaun di Amwas. Imam Suyuthi mengutip bahwa dalam Mir’ah az-Zaman disebutkan bahwa: “Pada tahun 18 Hijriah, sejumlah orang muslim di Syam meminum minuman keras. Abu Ubaidah menghukum mereka dengan hukuman cambuk atas perintah Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat itu, Khalifah berkata,”Sungguh pada tahun ini akan terjadi peristiwa”. Maka terjadilah thaun. Hisyam berkata, thaun terjadi di Syam karena mereka minum minuman keras.”

Semua sahabat Nabi yang disebutkan di atas berada pada ijtihad yang benar. Ada satu hadits yang merangkum benarnya fatwa mereka semua, yaitu hadits tentang pahala syahid bagi orang yang bersabar dari thaun. Aisyah meriwayatkan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai thaun. Sesungguhnya thaun itu merupakan azab yang Allah timpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menjadi rahmat bagi kaum mukmin.

Demikianlah adab para sahabat ketika berbeda pendapat. Bahkan dalam memutuskan masalah yang menyangkut keselamatan jiwa masyarakatnya, mereka tetap mengutamakan adab. Mereka semua adalah sahabat Nabi yang terpilih dan ulama panutan umat yang setiap pendapatnya tidak didasarkan atas kepentingan pribadi. Mereka juga berlapang hati dalam melaksanakan keputusan pimpinan, meskipun pimpinan tersebut berbeda dalam merumuskan ijtihad dengan dirinya. Semoga ini bisa menjadi contoh untuk menyikapi masalah khilafiyah yang sering kita hadapi.

Apabila dikhususkan dalam konteks menyikapi wabah Covid-19, banyak ragam perbedaan pendapat tentang fiqih kesehatan yang dikemukakan oleh para ulama. Mulai dari hukum bermasker ketika beribadah, menjaga jarak ketika sholat berjamaah dan perbedaan dalam hal-hal lainnya. Semua hal tersebut telah dicermati dan dikaji bersama dengan pakar di bidang kesehatan. Maka ketika ada anjuran atau fatwa yang telah mempertimbangkan saran dari para ahli kesehatan yang terpercaya, sudah selayaknya umat Islam mematuhinya. Namun, bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat, hendaknya mereka berlapang dada untuk kembali kepada kesepakatan para ulama dan pemimpin muslim yang adil dalam memutuskan persoalan kaum muslimin.

******

Sumber: islam.nu.or.id 
 
Baca Juga:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

11 November 2021

FILE 418 : Menolong Orang Lain Agar Tidak Berprasangka Buruk

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Tolonglah Saudaramu Agar Ia Tak Berprasangka Buruk Padamu!

Disusun oleh:
Ust. Setiawan Tugiyono, M.H.I hafidhahullaah
 
 

Merupakan salah satu bentuk kepedulian dan pertolongan yang diperintahkan dalam syariat agama kita adalah untuk menolong sesama kaum muslimin. Pertolongan itu tidak mesti berwujud materi atau fisik, tapi juga pertolongan dalam bentuk lain agar seseorang berhenti dari kedzoliman atau jangan sampai tercebur dalam kemungkaran. 

Dalam suatu redaksi hadist, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا 

“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.”

 فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا ، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ 

قَالَ ( تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ) 

Kemudian ada seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, saya akan menolongnya jika ia terdzolimi, namun jika dia adalah justru orang yang dzalim, bagaimana cara saya menolongnya? 

Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, no. 6952; Muslim, no. 2584) 

Nah, teman-teman sekalian, terkadang dalam kehidupan sehari-hari kita, sering muncul perilaku atau statemen dan pernyataan yang kita ungkapkan kepada khalayak ramai, baik secara langsung maupun via media sosial, secara lisan maupun tulisan. Terkadang dari itu semua ada hal-hal yang sulit dicerna oleh lawan bicara, atau agak sukar dipahami oleh pihak kedua. 

Atau mungkin ketika kita mengunggah foto kita di media sosial, misalnya berdampingan dengan seseorang yang butuh adanya penjelasan, Itu semua, baik statemen ataupun foto, terkadang jika tidak dibarengi dengan penjelasan dan klarifikasi yang gamblang, seringnya justru akan mengundang prasangka negatif (su-u dzon) dari pihak-pihak yang sulit untuk memahami, atau pihak-pihak yang sedari awal mempunyai ketidakcocokan kepada kita.

Sumber gambar: kumparan.com

Hal-hal demikian walaupun terlihat sepele, dan toh misalnya mereka berprasangka buruk pada kita, itu kan sejatinya salah mereka sendiri, bukan urusan kita, kekeliruan mereka berbuat begitu, harusnya mereka lebih mengedepankan positive thinking daripada sebaliknya. 

Statemen di atas ada benarnya, namun jika kita bisa lebih meminimalisir agar tidak melakukan hal-hal yang menarik prasangka buruk orang lain, tentunya hal tersebut akan lebih baik dan justru bisa bernilai pahala jika kita mempunyai niat untuk menolong saudara kita agar tidak tercebur dalam kedzoliman. 

Ada satu kisah cerita yang disampaikan oleh Ummul mukminin Shofiyyah -rodiyallahu 'anha- yang kita bisa ambil pelajarannya:

 عَنْ صَفِيَّةَ ابْنَةِ حُيَىٍّ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مُعْتَكِفًا ، فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلاً فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ ، فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِى لِيَقْلِبَنِى . وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِى دَارِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ 

فَمَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَسْرَعَا

فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ 

فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ 

قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا سُوءًا – أَوْ قَالَ – شَيْئًا 

Dari Shofiyah binti Huyay, ia berkata, “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku mendatangi beliau. Aku mengunjunginya di malam hari. Aku pun bercakap-cakap dengannya. Kemudian aku ingin pulang dan beliau berdiri lalu mengantarku. Kala itu rumah Shofiyah di tempat Usamah bin Zaid. 

Tiba-tiba ada dua orang Anshar lewat. Ketika keduanya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mempercepat langkah kakinya. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Pelan-pelanlah, sesungguhnya wanita itu adalah Shofiyah binti Huyay.” 

Keduanya berkata, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Aku khawatir sekiranya setan itu menyusupkan kejelekan dalam hati kalian berdua.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175). 

Dari hadist di atas, biasanya para ulama mengambil faidah mengenai bolehnya seseorang yang beriktikaf di masjid untuk dikunjungi oleh istrinya, dan bolehnya bagi keduanya untuk berbincang-bincang satu sama lain, juga bolehnya suami mengantar kepulangan istri yang penting tidak sampai keluar dari masjid. 

Namun dalam hadist itu juga terkandung beberapa faidah terkait masalah munculnya prasangka buruk kepada pihak lain, di antara faidah tersebut: 

1. Adanya tipu daya yang dihembuskan oleh syetan yang membisikkan kepada manusia untuk berprasangka buruk, dan syetan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darahnya. 

2. Hadist itu juga mengarahkan kita agar menjaga diri dari berprasangka jelek pada orang lain. Hendaknya yang mesti dikedepankan terhadap saudara muslim adalah memberikan uzur dan berpikiran positif, bukan mengedepankan sangkaan buruk. 

3. Jika seseorang melakukan suatu hal yang bisa dikira orang lain sebagai suatu kemungkaran, maka hendaklah ia beri penjelasan agar orang lain terhindar dari sikap suuzhon (berprasangka jelek). 

Nah, ini yang dilakukan oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam, ketika beliau mengkhawatirkan jangan sampai dua sahabat tadi menganggap beliau sedang berbicara dengan perempuan ajnabi (bukan mahram), maka beliau segera menjelaskan dan mengklarifikasi, bahwa wanita yang sedang berbincang dengan beliau adalah Shofiyyah, istri beliau sendiri. Ini dalam rangka untuk menepis kemungkinan kedua sahabat tersebut berprasangka buruk kepada Nabi, walaupun sejatinya hal tersebut tidak akan terjadi dari diri para sahabat. 

Nah, sedikit faidah dari kisah di atas, kita bisa mengambil pelajaran di antaranya adalah berusaha memberikan penjelasan dan klarifikasi kepada orang lain jika dirasa statemen kita atau gerak-gerik kita mengandung ambiguitas, sehingga tidak dipahami keliru atau negatif oleh pihak lain. 

Dengan kita memberikan penjelasan gamblang, maka di situ kita telah menyelamatkan orang lain dari prasangka buruk. 

Wallahu a’lam.

******

Sumber: bimbinganislam.com
 
Artikel terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

10 Oktober 2021

FILE 417 : Hukuman bagi Pelaku Zina

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Hukuman Bagi Pezina di Dunia dan di Akhirat

Disusun oleh:
Ust. Said Yai Ardiansyah, Lc M.A hafidhahullaah
 
 

سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴿١﴾ الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

1. (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya. 

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman 

[QS. An-Nur/24:1–2


RINGKASAN TAFSIR 

(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan,” Ini adalah surat yang termasuk Kitab Allâh, Kami turunkan kepada hamba Kami dan Rasul Kami, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dan Kami wajibkan dia,” kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada umat Islam. 

Dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya,” yaitu agar kalian bisa mengambil pelajaran dan mengamalkan kandungan surat ini yang berupa perintah, larangan, adab dan akhlak. 

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,” maksudnya barangsiapa berzina dengan seorang laki-laki dan keduanya merdeka (bukan budak), belum menikah dan tidak dimiliki oleh orang lain, 

maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,” maksudnya pukulah di kulit punggungnya dengan tongkat yang tidak menyebabkan luka, tidak mematahkan tulang dan tidak mememarkan. Dan ditambahkan di dalam hadits, dengan hukuman pengasingan selama satu tahun. 

Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh,” maksudnya janganlah kalian merasa kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian membatalkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh )[1] dan kalian menahan mereka berdua untuk mendapatkan pembersihan dosa dengan hudud ini, karena hudud adalah penghapus dosa untuk para pelakunya. 

Jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat,” maksudnya adalah laksanakanlah oleh kalian hudud tersebut kepada mereka berdua. 

Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,” maksudnya pelaksanaan tersebut disaksikan oleh tiga orang atau lebih. Jika disaksikan oleh empat orang maka itu lebih utama, karena persaksian dalam perzinaan hanya bisa ditetapkan dengan empat orang saksi. Jika jumlahnya lebih banyak maka lebih utama.[2] 


PENJABARAN AYAT 

Firman Allâh Azza wa Jalla :

 سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 

Satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya. 

Satu surat” maksudnya, surat an-Nûr ini. 

Perkataan Allâh Azza wa Jalla : أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَاYang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia” terdapat dua qiraat

Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membacanya dengan râ’ yang di-tasydid, yaitu: أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَّضْنَاهَا 

Adapun yang lainnya membaca dengan tanpa di-tasydid, seperti dicantumkan di atas. 


APAKAH TERJADI PERBEDAAN MAKNA? 

Sebagian Ulama tafsir memandang terdapat perbedaan antara arti keduanya. Jika dibaca (وَفَرَضْنَاهَا) maka artinya adalah Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Sedangkan makna dari (وَفَرَّضْنَاهَا) adalah Kami rincikan dan jelaskan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya. 

Dan sebagian Ulama tafsir memandang tidak ada perbedaan makna dari keduanya, yang berarti Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Hanya saja lafaz yang kedua, yaitu (وَفَرَّضْنَاهَا) menunjukkan bahwa kewajiban yang terdapat di dalam surat ini sangat banyak.[3] 

Karena memang kita dapatkan banyak sekali hukum-hukum yang terkandung dalam surat ini. Di antara hukum yang disebutkan adalah: hukuman bagi orang yang berzina, orang yang menuduh orang lain berzina, saling melaknat, hukum memasuki rumah seseorang, menundukkan pandangan, pernikahan, aurat dll. 

Firman Allâh Azza wa Jalla : 

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ 

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”


SIAPAKAH ORANG YANG BERZINA YANG DIMAKSUD DALAM AYAT INI? 

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah pezina yang belum pernah menikah, karena itu disebutkan hukumannya yaitu didera (dipukul/dicambuk) sebanyak 100 kali. Adapun untuk orang yang sudah menikah maka hukumannya dirajam. 


HUKUMAN BAGI ORANG YANG BERZINA YANG BELUM MENIKAH 

Para Ulama sepakat bahwa orang yang berzina yang belum menikah dihukum dengan 100 kali dera, tetapi mereka berselisih pendapat tentang penambahan hukuman pengasingan di daerah lain selama satu tahun. 

Jumhur Ulama memandang bahwa selain didera sebanyak 100 kali maka dia juga harus diasingkan ke daerah lain selama satu tahun. Namun, Abu Hanifah rahimahullah berpendapat bahwa pengasingan selama setahun itu adalah hukuman yang ditentukan oleh sang hakim. Jika hakim memandang perlu untuk dilakukan maka dilaksanakan pengasingan dan jika tidak, maka tidak dilaksanakan. 

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur Ulama, karena pengasingan disebutkan dalam beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya adalah: 

Hadits Pertama: 
Hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Radhiyallahu 'anhuma, beliau berdua berkata: 

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلاَّ قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ
فَقَامَ خَصْمُهُ وكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ: اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَأْذَنْ لِي؟ 
قَالَ: قُلْ
قَالَ: إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِئَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ, ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالاً مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِئَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ، وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ
فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم-: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ -جَلَّ ذِكْرُهُ- الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِئَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا

“Dulu kami berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Saya memohon kepadamu dengan mengangkat suaraku agar engkau menghukumi di antara kami dengan menggunakan Kitab Allâh. 

Sumber gambar: jurnalislam.com 
Kemudian berdirilah orang yang berselisih dengannya – dan dia lebih paham darinya – dan berkata, ‘Hukumilah kami dengan menggunakan Kitab Allâh dan izinkanlah saya berbicara!’ 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bicaralah!’ 

Dia berkata, ‘Sesungguhnya anakku dipekerjakan oleh orang ini kemudian dia berzina dengan istrinya. lalu saya menebusnya dengan 100 ekor kambing dan seorang pembantu. Kemudian saya bertanya kepada para lelaki di kalangan ahli ilmu bahwa hukuman bagi anakku adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun dan hukuman untuk istrinya adalah dirajam.’ 

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya akan menghukumi antara kalian dengan Kitab Allâh -jalla dzikruhu-. Adapun 100 ekor kambing dan pembantu maka dikembalikan (kepadamu), hukuman untuk anakmu adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pergilah ya Unais ke istri orang ini! Apabila dia mengakuinya maka rajamlah dia!’ 

Kemudian Unais pun pergi menemuinya dan dia mengakuinya, kemudian dia merajamnya.” [4] 

Hadits Kedua: 
Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

 خُذُوا عَنِّى, خُذُوا عَنِّى, قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً. الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْىُ سَنَةٍ, وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ

“Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allâh telah menjadikan untuk mereka (para wanita yang berzina) jalan keluar [5]. Perzinaan antara yang belum menikah dengan yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan perzinaan antara orang yang sudah menikah dengan yang sudah menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan dirajam.” [6] 

Dengan kedua hadits di atas kita memahami bahwa hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan ke negeri lain selama satu tahun dan hukuman bagi orang yang berzina yang muhshan adalah dirajam. Orang yang muhshan adalah orang yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah. 


BAGAIMANA CARA MENDERANYA? 

Para Ulama fiqh sepakat bahwa yang didera atau di-jald/dipukul adalah orang yang sehat dan kuat untuk didera (dipukul), adapun yang tidak kuat maka tidak didera. 

Kemudian dideranya menggunakan cambuk yang sedang, tidak basah dan tidak juga sangat kering, tidak tipis sehingga tidak menyakiti dan tidak juga tebal sehingga membuat luka. 

Yang menderanya tidak mengangkat tangannya sampai di atas kepalanya, sehingga terlihat ketiaknya. 

Kemudian tidak boleh memukul wajah, kelamin dan anggota tubuh yang mematikan (jika dipukul). 

Menurut Jumhur Ulama, pakaian tidak perlu dilepas dan laki-laki didera dengan berdiri sedangkan wanita duduk, sedangkan menurut Imam Malik rahimahullah, pakaiannya harus dilepas dan laki-laki dan wanita didera dengan duduk.[7] 


BAGAIMANA CARA PENGASINGANNYA SELAMA SETAHUN? 

Menurut madzhab al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, pengasingannya adalah ke tempat yang boleh meng-qashar shalat jika bersafar ke sana atau lebih jauh dari itu. Pendapat inilah yang diamalkan sebelumnya oleh Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya. 

Menurut madzhab asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, pengasingan tersebut dilakukan tanpa memenjarakan orang yang diasingkan tersebut, tetapi orang tersebut harus terus diawasi agar tidak kembali ke negerinya. 

Pengasingan ini dilakukan baik untuk orang yang berzina laki-laki maupun wanita, hanya saja jika dia wanita, maka wanita tersebut harus ditemani oleh mahramnya. Sedangkan menurut madzhab al-Malikiyah, pengasingan tersebut disertai dengan memenjarakannya, hanya berlaku untuk laki-laki dan tidak berlaku untuk wanita.[8] 

Allâhu a’lam, pendapat asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah lebih cocok dengan yang disebutkan pada zahir hadits. 

Adapun di Saudi Arabia, penulis pernah bertanya kepada seorang teman yang beliau adalah penduduk asli kota Madinah, tentang penerapan pengasingan ini, beliau berkata, “Dia dikirim ke kota lain, kemudian dia wajib melaporkan dirinya ke polisi setiap hari dan dia tidak ditahan.” 

Di negara kita hal seperti ini dikenal dengan istilah “tahanan kota” dan “wajib lapor”. 


BAGAIMANA CARA MERAJAMNYA? 

Hukuman rajam adalah hukuman dengan dilempar dengan batu oleh orang banyak sampai orang yang dihukum meninggal. 

Batu yang digunakan adalah batu sebesar genggaman tangan, bukan batu yang sangat besar sehingga cepat meninggalnya dan bukan juga batu yang kecil sehingga terlalu lambat meninggalnya. 

Ketika melemparkan batu, maka dijauhi dari melempar wajah, karena kemuliaan wajah. 

Laki-laki yang dirajam, dirajam dalam keadaan berdiri, tidak diikat dan tidak dikubur sampai setengah dadanya. Adapun wanita yang dirajam, dirajam dengan dikubur sampai setengah dadanya agar tidak tersingkap auratnya. 

Orang-orang yang melemparnya mengelilingi orang yang akan dirajam, kemudian mereka ber-shaf-shaf. Setelah shaf pertama selesai, dilanjutkan dengan shaf berikutnya. Mereka melemparinya sampai meninggal.[9] 


BENARKAH HUKUMAN RAJAM TIDAK ADA DI DALAM AL-QUR’AN? 

Allâh Azza wa Jalla pernah menurunkan ayat tentang rajam, kemudian Allâh hapuskan penulisannya di dalam al-Qur’an, tetapi hukumnya tetap berlaku dan dikerjakan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn. 

Terdapat sebuah atsar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: 

 قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ, قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا, فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
 فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ, فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ
وَإِنَّ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الاِعْتِرَافُ

“Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu pernah berkata ketika beliau duduk di atas mimbar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

‘Sesungguhnya Allâh telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan haq dan telah menurunkan Al-Kitab kepadanya. Dan dulu yang termasuk yang diturunkan adalah ayat tentang rajam. Kami dulu membacanya, memahami dan mengerti kandungannya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerapkan rajam dan kami juga pernah menerapkannya sepeninggal Beliau. 

Saya takut jika manusia melalui zaman lama, ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak mendapatkan tentang rajam di Kitab Allâh ,’ sehingga mereka tersesat karena meninggalkan suatu kewajiban yang Allâh turunkan. 

Sesungguhnya rajam terdapat di Kitab Allâh, dia adalah kewajiban (yang harus dihukumkan) kepada orang yang berzina yang telah menikah dari kalangan laki-laki dan wanita, apabila telah tegak bukti atau (didapatkan wanita) sedang hamil atau adanya pengakuan (berzina).”[10] 

Pada hadits-hadits di atas disebutkan dengan jelas tentang adanya syariat rajam untuk orang yang berzina yang sudah menikah. Begitu pula rajam pernah dilakukan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita al-Ghâmidiyah, kepada seorang laki-laki yang bernama Mâ’iz dan kepada yang lainnya. 


APAKAH ORANG YANG BERZINA YANG SUDAH MENIKAH JUGA DIDERA SELAIN DIRAJAM? 

Para Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut madzhab Imam Ahmad, hukuman untuknya ada dua, yang pertama adalah didera, kemudian dirajam. 

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu bahwasanya didatangkan kepada beliau seorang wanita bernama Syurâhah yang telah berzina dan dia telah menikah, kemudian beliau menderanya di hari Kamis dan merajamnya di hari Jumat. Kemudian beliau berkata: 

 جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللهِ ، وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Saya dera dia dengan Kitab Allâh dan saya rajam dia dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[11] 

Adapun madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafî memandang bahwa orang tersebut tidak perlu didera tetapi langsung dirajam, karena tidak didapatkan dalil dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan rajam dengan dera. Allâhu a’lam

Pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad lebih berhati-hati, karena ini: 

1. Disebutkan pada hadits kedua, hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu 'anhu di atas bahwasanya orang yang sudah menikah mendapatkan dua hukuman, yaitu didera kemudian dirajam. 

2. Termasuk sunnah dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu (salah satu al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn) yang kita diperintahkan untuk mengikutinya. 

3. Tidak ada kabar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderanya, tidak menjadi dalil akan tidak adanya dera, karena al-mutsbit muqaddam ‘alan-nâfi (yang menetapkan didahulukan dari yang mentiadakan) Allâhu a’lam

Firman Allâh Azza wa Jalla : 

 وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ 

“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat.” 

Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikan “Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh,” 

Di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut [12]

1. Janganlah kalian kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian mentiadakan dan tidak menegakkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh). 

Ini adalah pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i dan asy-Sya’bi rahimahumullâh. 

Ini juga sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: 

 تَعَافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ , فَمَا بَلَغَنِى مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ 

“Saling memaafkanlah kalian di dalam perkara hudud di antara kalian. Adapun jika salah satu hudud telah sampai kepadaku maka hukumnya menjadi wajib.”[13] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa wajib menjalankan hudud jika perkara tersebut sudah sampai kepada sang hakim, sehingga sang hakim tidak boleh menunda-nunda penyelesaiannya. 

2. Janganlah kalian kasihan ketika melaksanakan prosesi hukuman tersebut, sehingga kalian memelankan pukulan, tetapi pukullah dia dengan pukulan yang menyakitkan. Ini adalah pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri rahimahumallâh. 

3. Terdapat atsar dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan anaknya yang bernama ‘Ubaidullah, beliau berkata: 

أَنَّ جَارِيَةً لِابْنِ عُمَرَ زَنَتْ، فَضَرَبَ رِجْلَيْهَا، -قَالَ نَافِعٌ: أَرَاهُ قَالَ: وَظَهْرَهَا-، قَالَ: قُلْتُ: وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ. قَالَ: يَا بُنَيَّ جَلْدُهَا فِي رَأْسِهَا، وَقَدْ أَوْجَعْتُ حَيْثُ ضَرَبْتُ

“Sesungguhnya seorang budak wanita Ibnu Umar telah berzina, kemudian beliau memukul kedua kakinya -Nafi’ (perawi hadits) berkata, ‘Menurut saya dia juga berkata, ‘dan punggungnya’.’ (Ubaidullah berkata), 

Kemudian saya berkata, ‘dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh.’ 

Kemudian beliau pun mengatakan, ‘Wahai anak kecilku, saya telah men-jald-nya (memukulnya) di kepalanya dan saya telah menyakitinya ketika saya pukul.’.”[14] 

Atsar ini menunjukkan bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua (pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri), karena ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Umar menggunakan dalil ini ketika terjadi prosesi dera tersebut dan Ibnu ‘Umar tidak mengingkari pemahamannya terhadap ayat tersebut. Allâhu a’lam

Firman Allâh Azza wa Jalla : 

 إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ 

“Jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. 

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Lakukanlah hal tersebut, yaitu tegakkanlah hudud kepada orang yang berzina dan keraskanlah ketika memukulnya, tetapi jangan sampai membuat memar, agar dia berhenti dan berhenti juga orang yang melakukan hal serupa dengan perbuatan tersebut.”[15] 

Firman Allâh Azza wa Jalla : 

 وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ 

“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” 

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat hukuman kepada orang yang berzina, ketika dia di-jald (didera), maka disaksikan oleh orang-orang. Hukuman ini jika disaksikan oleh orang banyak, maka sangat berguna untuk orang yang berzina agar tidak mengulanginya. Ini jika sebagai bentuk penghinaan atas apa yang telah mereka lakukan jika disaksikan oleh orang banyak.”[16] 

Para Ulama berselisih tentang berapa jumlah minimal saksi yang menyaksikan prosesi penghukuman ini, di antara pendapat-pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut[17]

1. Paling sedikit disaksikan oleh satu orang. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan an-Nakha’i. 

2. Paling sedikit disaksikan oleh dua orang. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair dan ‘Atha’. 

3. Paling sedikit disaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat az-Zuhri dan Qatadah. 

4. Paling sedikit disaksikan oleh empat orang, karena ini sejumlah saksi dalam persaksian zina. Ini adalah pendapat Malik dan Ibnu Zaid. 

5. Paling sedikit disaksikan oleh lima orang. Ini adalah pendapat ar-Rabi’ah. 

Dan disebutkan pendapat yang lain. Rahimahumullâh al-jamî’


HUKUMAN BAGI PELAKU ZINA DI AKHIRAT 

Orang yang berzina diancam akan diazab oleh Allâh Azza wa Jalla di neraka dengan azab yang pedih jika dia tidak bertaubat kepada Allâh. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan mimpinya kepada para sahabat –dan mimpi beliau layaknya wahyu-. Beliau menceritakan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh dua malaikat, yaitu Jibril dan Mikail untuk menyaksikan berbagai jenis manusia. 

Kemudian tibalah beliau di sebuah lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Di dalam lubang itu ada laki-laki dan wanita-wanita telanjang. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah orang-orang itu?” 

Tetapi tidak dijawab oleh mereka berdua. Kemudian Beliau pun beralih ke tempat lain. Hingga akhirnya, Malaikat Jibril pun memberitahukan, “Adapun orang-orang yang engkau lihat di lubang tadi, mereka adalah para pezina.”[18] 

Demikianlah hukuman yang Allâh berikan kepada para pezina di akhirat nanti. Akan tetapi, perlu kita pahami, jika seorang muslim berzina dan mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan tersebut, maka dia telah melakukan dosa besar, apabila Allâh ingin mengazabnya maka Allâh akan azab dia, tetapi jika Allâh ingin mengampuninya maka itu adalah hak Allâh untuk mengampuninya. Tetapi selama dia masih beragama Islam, jika ternyata dia masuk ke dalam neraka, maka dia tidak akan kekal di dalamnya, dan akhirnya dia juga akan dimasukkan ke dalam surga. 

Dengan demikian kita tidak boleh melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang yang telah ketahuan berzina, seperti mengatakan, “Dia itu adalah penghuni neraka,” atau dengan perkataan, “tidak mungkin dia masuk surga.” 

KESIMPULAN 

1. Surat an-Nûr memiliki banyak hukum di dalamnya dan Allâh mewajibkan umat Islam untuk mengamalkannya. 

2. Hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera/dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun di daerah lain yang bisa meng-qashar shalat jika bersafar ke sana. 

3. Pengasingannya dilakukan seperti “tahanan kota” dan “wajib lapor”. 

4. Hukuman bagi orang yang berzina yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah adalah dirajam, yaitu dilempar oleh orang banyak dengan batu sampai meninggal. Tetapi sebelum dirajam, maka dia juga didera sebanyak 100 kali, menurut salah satu pendapat. 

5. Adapun di akhirat orang-orang yang berzina akan dimasukkan ke dalam lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Mereka di sana tidak mengenakan pakaian sehelai pun. 

Demikian tulisan ini. Semoga bermanfaat dan kita memohon kepada Allâh agar senantiasa menjaga kita dari fitnah syahwat dan tidaklah menyalurkannya kecuali pada suatu yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla. 

Amin. 

DAFTAR PUSTAKA 

1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsîr. Jâbir bin Musa al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam. 

2. Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah. 

3. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Ar-Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah. 

4. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Ar-Riyâdh: Dâr ath-Thaibah. 

5. Tafsir Ibni Abi Hatim. Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Shîdâ: al-Maktabah al-‘Ashriyah. 

6. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes. 

(Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc M.A, Pengajar di Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur, Sumatera Selatan. https://kuncikebaikan.com

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] 

_______ 

Footnote:

[1] Akan disebutkan pendapat lain tentang ini, di dalam penjabaran ayat. 

[2] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 990. 

[3] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/7. 

[4] HR. Al-Bukhâri no. 6827 dan 6828 dan Muslim no. 1697/4435 dan 1698/4436. 

[5] Ini adalah jawaban dari surat An-Nisa’ ayat 15. 

[6] HR Muslim no. 1690/4414 

[7] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XV/247-248. 

[8] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 46/13. 

[9] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XXII/125. 

[10] HR Muslim no. 1691/4418. 

[11] HR Ahmad no. 942, 1185, 1190 dan 1317 dari Asy-Sya’bi rahimahullâh. Syaikh Syu’aib al-Arnauth dkk. men-shahih-kannya. 

[12] Lihat Tafsîr al-Baghawi VI/8-9 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/7-8. 

[13] HR Abu Dawud no. 4378 dan an-Nasai no. 4886. Syaikh al-Albani menghukuminya hasan dalam Shahîh An-Nasâi

[14] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2518 no. 14095. 

[15] Tafsîr Ibni Katsîr VI/8. 

[16] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr VI//8. 

[17] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/9 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/8-9. 

[18] Lihat HR al-Bukhâri no. 1386.

******

Sumber: almanhaj.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin