Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
MUNGKINKAH SUNNAH DAN SYI'AH BERSATU ?
Penulis: Syaikh Muhibbuddin Al Khatiib
Alih Bahasa: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul termulia, keluarga dan seluruh sahabatnya. Wa Ba’du.
Seruan kepada taqriib (pendekatan) antara agama Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah dengan selain mereka dari kalangan Ahlusunnah, Zaidiyyah dan Ibadiyyah yang gencar di kumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah. Dan shohibul fadhilah, penulis besar Islam Sayyid Muhibbuddin Al Khathiib telah melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte Syi’ah guna mencari sarana taqriib ini dalam buku-buku tersebut. Dan terbukti bagi beliau bahwa terwujudnya taqriib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini dikarenakan para penggagas agama Syi’ah tidak menyisakan satu sarana pun untuk terjadinya taqriib tersebut. Mereka telah menegakkan agama Syi’ah di atas pilar-pilar yang bertentangan dengan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang diserukan oleh para sahabat beliau, serta agama terang benderang nan bercahaya yang beliau wariskan, sehingga tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang benar-benar binasa.
Karena berbagai nukilan yang disebutkan dalam karya tulis ini langsung diambil dari buku-buku utama sekte Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah, dengan disertai nomor halaman, serta penjelasan tentang edisi penerbitannya, sehingga tidak mungkin ada orang yang dapat mengingkarinya, maka kami merasa perlu untuk mempersembahkannya kepada seluruh manusia. Agar hidup orang yang hidup di atas penjelasan dan binasa orang yang binasa di atas penjelasan, dan hanya Allah lah yang menjadi pembela bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.
Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyyah Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar -suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al Ayyubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab “Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.
Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.
Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di
(*) Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi”, cet Percetakan Al Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da’i asal
Dan dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’
Bila perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan -bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.
Permasalahan Taqiyyah dalam agama Syi’ah
Penghalang pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At Taqiyyah(*). Taqiyyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah) akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan, juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran “Taqiyyah” dari mereka berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang telah memerankan peranan mereka.
(*) At Taqiyyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang pada hadits ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja’fary,
Di antaranya hadits yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir meriwayatkan suatu hadits yang di antara bunyinya: “At Taqiyyah ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyyah.” (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyyah jilid: 2 hal: 219).
Syaikh ahli hadits mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al I’tiqadaat: “Bertaqiyyah wajib hukumnya, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang meninggalkan sholat.” Ia juga berkata: “Bertaqiyyah wajib hukumnya, dan tidak boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent), dan barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari agama Allah Ta’ala, dan dari agama Al Imamiyyah, serta menentang Allah, Rasul-Nya dan para Imam.” (Baca risalah Al I’tiqadaat, pasal At Taqiyyah, terbitan
Celaan Syi’ah kepada shohabat Nabi: Al Jibtu & At Thoghut: Abu Bakar & Umar
Oleh karena itulah kaum Syi’ah senantiasa mengutuk sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum dan setiap orang yang menjadi penguasa dalam sejarah Islam selain sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Sungguh mereka telah berdusta atas nama Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa, bahwa beliau telah membenarkan para pengikutnya menjuluki Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Al Jibtu & At Thoghut.” (Al Jibtu dan At Thoghut ialah segala sesuatu yang disembah atau menjadikan manusia menyeleweng dari agama Allah. -pent).
Disebutkan dalam kitab Al Jarhu wa At Ta’dil (Al Jarhu wa At Ta’dil ialah salah satu disiplin ilmu hadits yang membahas tentang kredibilitas dan biografi para perawi hadits dan tarikh. -pent) terbesar dan terlengkap yang mereka miliki, yaitu buku “Tanqih Al Maqal Fi Ahwal Ar Rijaal” karya pemimpin sekte Ja’fariyyah Ayatullah Al Mamaqani, pada juz 1 hal: 207, edisi Pustaka Al Murtadhowiyyah, Najef tahun 1352 H ada suatu kisah yang dinukilkan oleh Syaikh besar Muhammad Idris Al Hilli pada akhir kitab “As Sara’ir” dari kitab “Masa’il Ar Rijal Wa Mukatabaatihim” kepada Maulana Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa ‘alaihissalaam dari sebagian pertanyaan Muhammad bin Ali bin ‘Isa, ia berkata: Aku menulis surat kepadanya menanyakan perihal seseorang yang memusuhi keluarga Nabi, apakah ketika mengujinya diperlukan kepada hal-hal lain selain sikapnya yang lebih mendahulukan Al Jibtu & At Thoghut? Maksudnya ia mendahulukan dua orang pemimpin dan sekaligus dua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua pembantu kepercayaan beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar radhaiallahu ‘anhuma. Kemudian jawabannya datang sebagai berikut: “Barang siapa yang meyakini hal ini, maka ia adalah seorang yang memusuhi keluarga Nabi.” Maksudnya: cukup bagi seseorang untuk disebut sebagai orang yang memusuhi keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bila ia mendahulukan Abu Bakar dan Umar (dibanding sahabat Ali bin Abi Tholib) dan meyakini keabsahan kepemimpinan mereka berdua.
Kata-kata “Al Jibtu” dan “At Thoghut” senantiasa digunakan oleh kaum Syi’ah dalam bacaan doa mereka yang disebut dengan “Doa Dua Berhala Quraisy”. Yang mereka maksudkan dari dua berhala dan dari kata “Al Jibtu” dan “At Thoghut” ialah Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Doa ini disebutkan dalam kitab mereka yang berjudul “Mafatihul Jinaan” hal: 114, kedudukan kitab ini bagaikan kitab “Dalaa’ilul Khairaat” yang telah menyebar luas di tengah-tengah berbagai negeri Islam. Bunyi doa ini sebagai berikut:
“Ya Allah, limpahkanlah sholawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan kutuklah dua berhala, dua sesembahan, dua tukang sihir Quraisy dan kedua anak wanita mereka berdua……”!! (*) Yang mereka maksud dengan kedua anak wanita mereka ialah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Ummul Mukminin Hafshah semoga Allah meridhai mereka dan seluruh sahabat.
(*) Doa ini juga dimuat dalam buku “Tuhfatul Awam Maqbul” yang memuat tanda tangan Ayatullah Al Khumaini, Ayatullah Syariatmudari, Ayatullah Abul Qasim Al Khu’i, Sayyid Muhsin Al Hakim At Thobathoba’i……dll, padahal dari mereka itu terdapat orang-orang yang dikatakan moderat, di antaranya Ayatullah Al Khu’i dan Sayyid Muhsin Al Hakim
Hari Pembunuhan Al Faruq Sebagai Hari ‘Ied Terbesar
Kebencian mereka kepada tokoh yang berhasil memadamkan api kaum majusi di Iran dan yang berhasil mengislamkan nenek moyang penduduknya, yaitu Sayyidina Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu tiada batas, sampai-sampai mereka menamakan pembunuhnya, yaitu Abu Lulu’ah Al Majusi -semoga kutukan Allah menimpanya- dengan sebutan: “Baba Syuja’uddin” (Ayah Sang Pemberani). Ali bin Muzhohir -salah seorang tokoh mereka- meriwayatkan dari Ahmad bin Ishaq Al Kummi Al Ahwash, Syaikh kaum Syi’ah dan pemuka mereka, bahwa hari pembunuhan Umar bin Al Khatthab adalah hari ‘ied terbesar, hari kebesaran, hari pengagungan, hari kesucian terbesar, hari keberkahan, dan hari hiburan.
Dimulai dari sahabat Abu Bakar, Umar -semoga Allah meridhoi keduanya- Sholahuddin Al Ayyuby rahimahullah dan seluruh tokoh yang telah berhasil menundukkan berbagai dinasti dunia, dan memasukkannya ke pangkuan agama Allah, dan yang telah memerintahnya dengan nama Islam hingga hari kita ini -seluruh mereka itu menurut ideologi Syi’ah- para penguasa perampas, lalim dan termasuk penghuni neraka; karena kepemimpinan mereka tidak sesuai dengan syariat, sehingga mereka tidak berhak menerima loyal, kepatuhan, dan dukungan dalam kebaikan dari kaum Syi’ah, kecuali sebatas tuntutan penerapan ideologi At Taqiyyah dan sebatas upaya menarik simpati mereka dan menyembunyikan kebencian kepada mereka.
Menanti Kedatangan Imam Mahdi Untuk Bersama-sama Membalas dan Membasmi Para Perampas Kekuasaan
Di antara prinsip dasar dalam ideologi mereka ialah: Bila suatu saat nanti Imam Mahdi telah bangkit, yaitu Imam mereka yang ke dua belas, yang menurut mereka saat ini sudah hidup dan sedang menanti saat kebangkitannya/revolusinya agar mereka ikut andil bersamanya menjalankan revolusi tersebut. Bila mereka menyebutkannya dalam buku-buku mereka, mereka senantiasa menuliskan di sebelah nama, atau julukan atau panggilannya dua huruf (عج) kependekan dari:
عجَّل الله فرجه
“Semoga Allah menyegerakan kebangkitannya.”
(Tatkala Imam Mahdi ini telah bangkit dari tidurnya yang amat panjang yang telah melebihi seribu seratus tahun) Allah akan menghidupkan kembali seluruh penguasa umat Islam yang telah lalu bersama-sama para penguasa yang ada pada masa kebangkitannya terutama yang mereka sebut dengan Al Jibtu & At Thoghut; Abu Bakar dan Umar dan para pemimpin setelah keduanya!! Kemudian Imam Mahdi ini akan menghukumi mereka atas perbuatan mereka merampas kekuasaan dari dirinya dan dari kesebelas nenek moyangnya. Karena -menurut mereka- kekuasaan itu sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hak mereka semata sebagai karunia Allah kepada mereka, dan tidak ada hak sedikit pun bagi selain mereka.
Dan setelah mengadili para thoghut tersebut, ia membalas mereka semua, sehingga ia memerintahkan untuk membunuh dan memusnahkan setiap lima ratus orang secara bersama-sama, hingga akhirnya ia genap membunuh sebanyak 3000 penguasa Islam sepanjang sejarah. Hukuman ini terjadi di dunia sebelum kebangkitan terakhir mereka, kelak di hari kiamat. Kemudian setelah mereka semua mati serta binasa, terjadilah kebangkitan terbesar, kemudian manusia masuk surga atau neraka. Surga bagi keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap orang yang berkeyakinan demikian ini tentang mereka dan neraka bagi setiap orang yang tidak termasuk kelompok Syi’ah.
Kaum Syi’ah menamakan penghidupan kembali, pengadilan dan pembalasan ini dengan sebutan “Ar Raj’ah”, dan hal ini merupakan bagian dari ideologi kaum Syi’ah yang tidak seorang Syi’ah pun yang meragukannya. Saya melihat sebagian orang yang berhati baik beranggapan bahwa ideologi semacam ini telah ditinggalkan oleh kaum Syi’ah akhir-akhir ini. Sudah barang tentu anggapan ini adalah salah besar dan menyelisihi realita, karena kaum Syi’ah sejak dinasti As Shafawiyyah hingga sekarang lebih ekstrem dalam meyakini ideologi-ideologi ini dibanding generasi sebelumnya. Mereka saat ini terbagi menjadi dua kelompok: orang-orang yang meyakini ideologi-ideologi tersebut dengan utuh dan orang-orang yang berpendidikan modern sehingga mereka menyeleweng dari berbagai khurofat ini kepada paham komunis. Penganut paham komunis di Irak dan Partai Tawaddah (Partai Kasih Sayang) di Iran, anggotanya ialah kaum Syi’ah yang telah menyadari kesalahan berbagai dongeng palsu mereka, sehingga mereka menganut paham komunis setelah sebelumnya menganut ajaran Syi’ah!!! Di masyarakat mereka tidak ada kelompok atau partai yang moderat, kecuali orang-orang yang menerapkan ajaran taqiyyah guna mencapai tujuan kelompok atau diplomasi atau partai atau pribadi, padahal ia menyembunyikan selain dari yang ia nampakkan.
Ideologi Ar Raj’ah dan Pembantaian 3000 Kaum Quraisy
Agar Anda memahami tentang ideologi Ar Raj’ah langsung dari buku mereka yang tepercaya, saya akan sebutkan untuk Anda ucapan Syaikh sekte Syi’ah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin An Nu’man, yang lebih dikenal di kalangan mereka dengan sebutan “Syaikh Al Mufid” dalam bukunya yang berjudul: “Al Irsyad Fi Tarikh Hujajillah ‘Alal ‘Ibaad”. Buku ini dicetak di
Al Fadhl bin Syazan meriwayatkan dari Muhammad bin Ali Al Kufi dari Wahb bin Hafsh dari Abu Bashir, ia menuturkan: Abu Ja’far (yaitu Ja’far As Shodiq) berkata: Akan diseru dengan nama Al Qaim (maksudnya: Imam mereka ke-12 yang mereka yakini telah lahir lebih dari sebelas abad silam, dan ia belum mati, karena ia akan bangkit dan mengadili), akan diseru dengan namanya pada malam 23 dan ia akan bangkit pada hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram), dan seakan-akan sekarang ini aku dapat melihat ia pada hari kesepuluh bulan Muharram sedang berdiri antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim, Malaikat Jibril berada di sebelah kanannya sambil menyeru: Berbaiatlah untuk Allah. Maka kaum Syi’ah berbondong-bondong dari segala penjuru dunia yang telah dipendekkan untuk mereka hingga akhirnya mereka semua dapat membai’atnya. Disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa ia akan berjalan dari Mekkah hingga tiba di Kuffah dan ia singgah di
Al Hajjal juga meriwayatkan dari Tsa’labah dari Abu Bakar Al Hadhrami dari Abu Ja’far ‘alaihi salam (yaitu Muhammad Al Baqir) ia berkata: Seakan-akan aku menyaksikan Al Qa’im ‘alaihi salam sedang berada di Najef kota Kuffah, ia datang dari kota Mekkah dengan diiringi oleh 5000 malaikat, Malaikat Jibril di sebelah kanannya, Malaikat Mikail di sebelah kirinya, sedangkan kaum mukminin di depannya, dan beliau mengutus pasukannya ke berbagai negeri.
Abdul Karim Al Ju’fi juga menuturkan, aku pernah berkata kepada Abu Abdillah (yaitu Ja’far As Shodiq) berapa lama Al Qaim ‘alaihi salam akan menguasai dunia? Beliau menjawab: Tujuh tahun, hari-harinya akan menjadi panjang, sampai-sampai satu tahun kepemimpinannya sama halnya dengan sepuluh tahun biasa, sehingga lama kepemimpinanya sama dengan tujuh puluh tahun yang biasa kalian alami. Abu Bashir bertanya kepadanya: Semoga aku menjadi tebusanmu, bagaimana cara Allah memanjangkan tahun? Ia menjawab: Allah memerintahkan al falak agar berhenti dan tidak banyak bergerak, dengan cara inilah hari dan tahun menjadi panjang. Bila masa kebangkitannya telah tiba, umat manusia selama bulan Jumadil Akhir dan sepuluh hari dari bulan Rajab akan ditimpa hujan lebat yang tidak pernah dialami oleh manusia, kemudian Allah menumbuhkan kembali daging dan badan kaum mukminin dalam kuburan mereka, seakan-akan sekarang ini, aku sedang menyaksikan mereka membersihkan tanah dari rambut-rambut mereka.
Abdullah bin Al Mughirah juga meriwayatkan dari Abu Abdillah (yaitu Ja’far As Shodiq) ‘alaihissalaam ia menuturkan: Bila Al Qaim dari keturunan (nabi) Muhammad telah bangkit, ia akan membangkitkan 500 orang dari orang-orang Quraisy, kemudian ia akan memenggal leher mereka, kemudian ia akan membangkitkan 500 lainnya, kemudian memenggal leher mereka juga, kemudian membangkitkan 500 lainnya, hingga ia melakukan hal itu sebanyak 6 kali. Aku pun bertanya: apakah jumlah mereka mencapai sebanyak ini? (Ia merasa keheranan akan hal itu, karena Khulafa’ Ar Rasyidin, Dinasti Umawiyyah, Abbasiyah dan seluruh penguasa umat Islam hingga zaman Ja’far As Shadiq tidak sampai sebanyak itu, juga tidak sampai satu persennya) Ja’far As Shodiq menjawab: Ya, dari mereka dan juga dari pengikutnya. Dan pada riwayat lain: Sesungguhnya kekuasaan kita adalah kekuasaan terakhir, tidaklah ada satu marga pun dari mereka melainkan pernah menjadi penguasa, agar mereka tidak berkata bila telah menyaksikan perilaku kita: Bila kami berkuasa niscaya kami akan berlaku seperti perilaku mereka.
Bersama Datangnya Al Mahdi, Mushaf Yang Asli Akan Kembali
Jabir Al Ju’fi meriwayatkan dari Abu Abdillah, ia berkata: Bila telah bangkit Al Qaim (sang penegak) dari keluarga Muhammad, ia akan mendirikan pertendaan guna mengajarkan Al Quran yang asli sebagaimana kala diturunkan(*) sehingga Mushaf tersebut akan terasa sulit bagi orang yang telah menghafal Al Quran (yaitu menghafal Al Qur’an yang telah disatukan oleh Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, sebagaimana yang ada pada zaman Ja’far As Shodiq), karena mushaf tersebut berbeda susunannya.
Abdullah bin Ajlan meriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihi salam, ia berkata: Bila Al Qaim (sang penegak) dari keluarga Muhammad telah bangkit, ia akan menghakimi manusia dengan hukum nabi Daud?!
Dan Al Mufaddhol bin Umar meriwayatkan dari
Teks-teks ini dinukilkan secara utuh dan dengan penuh kehati-hatian dari kitab salah seorang ulama’ terbesar mereka, yaitu Syeikhul Mufid, dan yang diriwayatkan dengan rentetan sanadnya yang tidak diragukan lagi telah dipalsukan atas nama Ahlul Bait, sehingga para pendusta tersebut yang telah menjadi pengikut mereka merupakan musibah terbesar yang menimpa ahlul Bait. Dan buku Syeikhul Mufid telah dicetak di
(*) Mengapa hal ini tidak pernah dilakukan oleh kakeknya, yaitu sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu selama ia menjabat sebagai kholifah? Apakah cucunya yang ke dua belas lebih besar pengorbanannya demi Al Quran dan agama Islam?
Celaan Terhadap Al Quran
Sampai pun Al Quran Al Karim, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum muslimin semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang padanya diturunkan Al Quran.
Bahkan salah seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al Murtadhowi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhowi dari pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka. Ulama
Buku karya At Thobarsy ini telah diterbitkan di
Sungguh kaum Syi’ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di
يأيها الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى الصِّراط المستقيم إلخ…
“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dst.” (**)
(**) Kelanjutan
Demikianlah
Dan seorang yang dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udy -beliau adalah kepala tim ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syaikh Muhammad Baduh- berhasil menemukan “Mushaf
Surat ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan Mazahib” dengan bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri, buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi.
Sebagaimana tokoh kota Najef ini berdalil dengan surat Al Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hal: 289, dari kitab “Al Kafi” (Judul lengkap Kitab ini ialah: Al Jami’ Al Kafi, karya Abu Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini menurut mereka sama kedudukannya dengan “Shohih Bukhori” menurut kaum Muslimin. Pada halaman tersebut dalam kitab Al Kafi termaktub sebagaimana berikut:
“Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam -maksudnya Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia menuturkan: “Dan aku berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang kita dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian.”
Tidak diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali Bin Musa Ar Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari oleh masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Teks Lengkap
Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat (Surat Al Wilayah) yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf
يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط مستقيم # نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين يوفون بعهد الله لهم جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا مكذبين # إن لهم في جهنم مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون المكذبون للمرسلين # ما خالفهم المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب وسبح بحمد ربك وعلي من الشاهدين #
“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
Al Quran yang mereka yakini, dan yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan, dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, seandainya seluruh ulama-ulama besar Syi’ah tidak meyakini bahwa Al Quran telah di selewengkan, mustahil mereka menyifati penulis buku yang memuat dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai sifat yang terpuji, misalnya ucapan mereka: semoga Allah menyucikan ruhnya, atau dia adalah imam para ahli hadits, Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau orang kafir karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al Quran tersebut dengan Al Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar luas dan yang termaktub pada Al Mushaf Al Utsmani, adalah alasan yang mendorong Husain bin Muhammad Taqi An Nury At Thobarsy untuk menuliskan bukunya yang berjudul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” (***)
(***) Salah seorang ulama’ terkemuka Syi’ah Agha Buzurk At Thohrany, penulis ensiklopedia Syi’ah yang telah masyhur “Az Dzari’ah Ila Tashonif As Syi’ah” menuturkan dalam bukunya: “Thobaqaat A’alaam As Syi’ah”, bagian kedua dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: “Nuqaba’ Al Basyar Fi Al Qarni Ar Rabi’ ‘Asyar”, pada hal: 544, cetakan Pustaka Al Ilmiah Najef 1375 H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nury At Thobarsy: “Ia adalah pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) pada generasi terakhir, dan termasuk ulama’ terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini.”
Apapun perihalnya, bukan hanya An Nury At Thobarsy pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) seorang yang menyatakan bahwa Al Quran telah diselewengkan, didapatkan ada imam-imam (Syi’ah) terkemuka lainnya yang sekelas dengannya menyatakan hal yang sama, misalnya Al Kulainy, penulis bukuAl Kafi dan Ar Raudhah, Al Kummi penulis buku tafsir yang disebut oleh An Najasyi dalam buku Rijalun Najasy pada hal: 183: “Ia memiliki kredibilitas tinggi (tsiqah) dalam hal hadits dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar mazhabnya”, dan juga Syaikh Mufid yang dinyatakan oleh An Najasyi dalam Rijalun Najasy hal: 284: “Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat, kredibilitas (tsiqah) dan ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang”, dan ia juga dipuji oleh sayyid Muhsin Al Amin dalam bukunya “A’ayanus Syi’ah” jilid 1/237, dan juga Al Kasyy, Al Ardubily, dan juga Al Majlisy
Seandainya seluruh tokoh terkemuka kaum Syi’ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al Quran, mustahil mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang menyebutkan dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai pujian ini, misalnya mereka menyebutnya dengan: Semoga Allah menyucikan jiwanya, atau dia adalah imam para ahli hadits. Seandainya mereka meyakini kebalikannya, niscaya mereka membantahnya, atau mencelanya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau mengafirkannya… karena apakah yang masih tersisa setelah seseorang meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan?
Walaupun kaum Syi’ah berusaha untuk mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri At Thobarsy dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, akan tetapi buku tersebut memuat beratus-ratus nukilan dari ulama’ mereka yang terdapat pada buku-buku mereka yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa mereka meyakini dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka tidak menginginkan terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al Quran.
Dengan demikian, ada dua Al Quran: yang pertama Al Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh setiap orang, dan yang kedua: Al Quran khusus yang tersembunyi, yang di antara isinya ialah
Di antara ayat yang menurut kaum Syi’ah telah dihapuskan dari Al Quran ialah ayat:
(وجعلنا عليا صهرك)
“Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu.”
Mereka beranggapan bahwa ayat ini telah dihapuskan dari
Dan bila sahabat Ali adalah menantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena menikahi salah seorang putri Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah ta’ala telah menjadikan sahabat Utsman bin Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:
لو كانت لنا ثالثة لزوجناكها
“Seandainya aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya.” (Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya Usudul Ghobah 1/749 & 1458 -pent).
Tokoh mereka yang bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Tholib At Thobarsy -salah seorang syaikh Ibnu Syahruasyub wafat thn 588 H dalam bukunya: “Al Ihtijaj ‘Ala Ahli Al Lijaaj” menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang zindiq (kaum sesat) -ia tidak menyebutkan namanya-: “Adapun sikapmu yang tidak peduli dengan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوْا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu suka.” (QS. An Nisa: 3)
Tidak ada kaitan antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu, bahwa kaum munafik(****) telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al Quran yang terletak antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?
(****) Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At Thobarsy dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini anda dapat mengetahui bahwa Abu Manshur At Thobarsy penulis buku “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka dengan kemunafikan.
Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, dengan bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa kepemimpinannya atas kaum muslimin sepertiga Al Quran yang telah dihapuskan dari tempat ini, dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya kembali, atau mempelajari dan mengamalkan kandungannya.
Dan tatkala pertama kali buku “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab” terbit dan beredar di tengah-tengah kaum Syi’ah dan lainnya di Iran, Nejef dan negri lainnya kurang lebih delapan puluh tahun silam -sedangkan buku ini penuh dengan puluhan bahkan ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya semacam ini- kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan segera menerjemahkannya ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi Al Ashfahani Al Kazhimi pada jilid 2 hal: 90 dari bukunya yang berjudul: “Ahsanul Wadi’ah”, yang merupakan penyempurna buku: “Raudhatul Jinan.”
Ada dua teks yang jelas dalam buku yang sederajat dengan Shohih Bukhori menurut mereka, yaitu buku “Al Kafi” karya Al Kulaini, teks pertama pada hal: 54, edisi thn 1278 H di Iran, yaitu, “Dari Jabir Al Ju’fi, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abu Ja’far ‘alaihissalaam berkata: Tidaklah ada seseorang yang mengaku telah menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali bin Abi Tholib dan para imam setelahnya.” Setiap orang Syi’ah yang membaca kitab “Al Kafi” ini -yang kedudukannya bagaikan Shohih Bukhori menurut Ahlusunnah- pasti mengimani teks ini.
Adapun kita Ahlusunnah, maka kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi’ah telah berdusta atas nama Al Baqir Abu Ja’far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sendiri selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota Kuffah- tidak pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebar luaskan serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai karunia dari Allah ta’ala- oleh khalifah Utsman radhiallahu ‘anhu, hingga zaman kita dan hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu ‘anhu memiliki mushaf lain, -sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya- niscaya ia akan mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar luaskan dan mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama islam!!
Sedangkan Jabir Al Ju’fi yang mengaku mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Ja’far Muhammad Al Baqir, walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah berkata: Aku tidak pernah melihat dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding ‘Atha’, dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al Ju’fi. (Silahkan baca makalah saya yang dimuat di Majalah Al Azhar hal: 307, edisi thn 1372 H).
Dan teks yang lebih nyata dustanya dibanding teks pertama dari Abu Ja’far yang terdapat pada buku “Al Kafi” ini, ialah teks dari anak beliau Ja’far As Shodiq rahimahullah ta’ala dan yang juga dimuat dalam Shohih Bukhori mereka “Al Kafi” hal: 57, edisi 1278 H Iran:
“Dari Abi Bashir, ia menuturkan: Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far As Shodiq)……hingga Abu Abdillah berkata: “Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf Fatimah ‘alaihas salaam …ia menuturkan: Aku pun bertanya: Apa itu Mushaf Fatimah? Ia menjawab: Mushaf seperti Al Quran kalian itu tiga kali lipat (tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf pun dari Al Quran kalian.”
Teks-teks orang-orang Syi’ah yang dipalsukan atas nama imam-imam Ahlul Bait ada sejak zaman dahulu, karena telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub Al Kulaini Ar Razi dalam bukunya “Al Kafi” lebih dari seribu tahun yang lalu, dan teks-teks tersebut ada jauh-jauh hari sebelumnya; dikarenakan ia menukilkan teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek pendiri paham Syi’ah.
Semasa Spanyol berada di bawah kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad ibnu Hazm beradu argumentasi dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka, dan beliau membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami penyelewengan dan bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut balik berdalil atas beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al Quran juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab mereka bahwa anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas Al Quran tidak juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi’ah tidak termasuk kaum muslimin. Silahkan baca “Al Fishol Fi Al Milal wa An Nihal” karya Ibnu Hazm, jilid 2 hal: 78 dan juz 4 hal: 182, edisi pertama Al Kairo.
Satu fakta berbahaya yang kami merasa perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan Islam: bahwa prinsip paham Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyyah yang dikenal juga dengan Al Ja’fariyyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh pemerintah islam sejak wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini -terkecuali tahun-tahun kepemimpinan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu- merupakan pemerintahan yang tidak syar’i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang berpaham Syi’ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka! Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi’ah dan ideologi mereka hanya ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan, semenjak Abu Bakar, dan Umar hingga para kholifah setelahnya hingga saat ini, apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan hingga hari Kiamat!
Abu Bakar & Umar Disalib Di Sebatang Pohon
Disebabkan ideologi “Ar Raj’ah” dan pengadilan para penguasa kaum Muslimin merupakan bagian dari ideologi dasar kaum Syi’ah, tidak mengherankan bila ulama mereka, yaitu Sayyid Al Murtadha, penulis buku “Amaali Al Murtadha”, yang sekaligus saudara kandung As Syarif Ar Radhi sang penyair dan sekutunya dalam pemalsuan tambahan kitab “Nahjul Balaghah”, yang mungkin saja mencapai sepertiga kitab aslinya, yaitu setiap bagian yang mengandung celaan dan kritikan kepada para sahabat. Sayyid Al Murtadha ini berkata dalam bukunya “Al Masail An Nushairiyyah” bahwasanya Abu Bakar dan Umar akan disalib di sebatang pohon pada hari tersebut, yaitu pada masa Al Mahdi (Yaitu imam mereka kedua belas, yang mereka sebut sebagai Al Qaim/penegak dari keluarga Muhammad), dan pohon tersebut sebelum penyaliban dalam keadaan hijau nan segar, dan akan menjadi kering seusai penyaliban!!?
Sepanjang masa, seluruh tokoh dan ulama sekte Syi’ah bersikap hina semacam ini terhadap kedua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus dua orang kepercayaan beliau Abu Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya, menerangi kuburnya, dan menyejukkan tempat persemayamannya- dan dari seluruh tokoh, para khalifah, penguasa, pemimpin, pejuang dan penjaga agama Islam, semoga Allah senantiasa meridhai mereka, dan melimpahkan balasan yang terbaik kepada mereka atas jasanya kepada agama Islam dan umatnya.
Dan saya pernah mendengar langsung dari da’i mereka -yang kala itu menjadi pengurus “Lembaga Pendekatan” dan sebagai donaturnya- mengaku kepada sebagian orang yang tidak berkesempatan untuk mengkaji permasalahan ini bahwa berbagai ideologi ini hanya ada pada masa silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah. Pengakuan ini nyata-nyata dusta dan merupakan penipuan, karena buku-buku yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan mereka mengajarkan ini semua, dan menganggapnya sebagai prinsip-prinsip sekte dan pokok-pokok utama ajarannya. Buku-buku yang dipublikasikan oleh ulama’ Najef, Iran, dan Jabal Amil pada zaman ini lebih jelek dibanding buku-buku mereka pada zaman dahulu, dan lebih keras dalam meruntuhkan berbagai upaya pendekatan dan toleransi.
Da’i Pendekatan “Al Khalisi” Mengingkari Keikutsertaan Abu Bakar & Umar Dalam Bai’at Ridwan
Sekedar contoh nyata akan hal di atas (kedustaan pernyataan mereka bahwa berbagai ideologi ini hanya ada pada masa silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah –ed muslim), kita sebutkan salah seorang dari mereka yang senantiasa mendengungkan di setiap pagi dan petang bahwa ia adalah salah satu pemrakarsa persatuan dan pendekatan, yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Mahdi Al Khalisi, tokoh yang memiliki banyak kolega di Mesir dan lainnya dari para penyeru “pendekatan” dan para tokoh yang siang dan malam berupaya untuk menyosialisasikannya di antara Ahlusunnah.
Tokoh penyeru terhadap persatuan dan solidaritas ini -semoga ia mendapatkan balasan setimpal dari Allah- menafikan nikmat iman sekalipun dari Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma!! Ia berkata pada bukunya “Ihya’us Syari’ah Fi Mazhabis Syi’ah” jilid 1 hal: 63-64: “Dan bila mereka berkata: Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar termasuk orang-orang yang ikut andil dalam “Bai’atur Ridhwan” yang telah ditegaskan akan keridhaan Allah atas mereka dalam Al Quran:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon.” (QS. Al Fath: 18)
Maka kami jawab: Seandainya Allah berfirman:
(لقد رضي الله عن الذين يبايعونك تحت الشجرة) أو (عن الذين بايعوك)
“Sungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang yang sedang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon” atau “telah membai’atmu” maka pada ayat ini terdapat petunjuk akan keridhaan Allah kepada setiap yang membai’at, akan tetapi karena Allah berfirman:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon,” maka tidak ada petunjuk pada ayat ini kecuali keridhaan terhadap orang-orang yang telah memurnikan keimanannya”!?
Makna dari ucapannya ini: bahwasanya Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma belum memurnikan keimanannya?! Sehingga tidak dicakup oleh keridhaan Allah?! Subhanallah¸ tentu ini adalah kedustaan yang amat besar, semoga Allah senantiasa meridhai keduanya, dan melimpahkan kepadanya kerahmatan dan keridhaan yang melimpah ruah, amiin.
Dan telah berlalu sebelumnya perkataan An Najafi (tokoh dari
Inilah dua pemuka agama sekte Syi’ah yang hidup semasa dengan kami, dan termasuk orang-orang yang senantiasa mengaku-ngaku memiliki loyalitas tinggi terhadap agama Islam dan kaum Muslimin, dan andil besar dalam segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi keduanya. Bila semacam ini ucapan dua orang pemuka agama sekte Syi’ah dalam tulisan-tulisannya yang telah diterbitkan dan yang menjelaskan tentang ideologi keduanya tentang orang terbaik dari kaum muslimin setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, atau minimal termasuk orang yang terbaik dalam sejarah Islam, maka apakah yang akan kita harapkan dari upaya toleransi dan ikut andil dalam upaya pendekatan antar berbagai mazhab. Dan apakah mereka semua itu adalah murni barisan ke
Di saat mereka menghinakan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pengikut mereka (Tabi’in) dan seluruh pemimpin kaum muslimin sepeninggal mereka serendah ini, padahal merekalah yang telah membangun kekuasaan Islam dan mewujudkan dunia Islam ini. Pada saat yang bersamaan, mereka -sekte Syi’ah- berkeyakinan tentang imam-imam mereka berbagai keyakinan yang para imam tersebut pasti berlepas diri dari hal-hal tersebut. Al Kulaini telah menuliskan dalam bukunya “Al Kafi” -buku ini bagi mereka bagaikan kitab “Shahih Bukhori” bagi kaum muslimin- berbagai karakteristik dan sifat kedua belas imam mereka. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa hingga tingkatan tuhan-tuhan bangsa Yunani kuno. Seandainya kita hendak menukilkan hal-hal semacam ini dari buku “Al Kafi” dan buku-buku terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid buku besar. Oleh karenanya, kami akan cukupkan dengan menukilkan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari buku “Al Kafi”, di antaranya judul bab-bab tersebut ialah:
1. Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul (Al Kafi jilid 1/255, kitab Al Hujjah).
2. Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwasanya Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri. (Al Kafi jilid 1/258 kitab Al Hujjah).
3. Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak
4. Bab: Bahwasanya
5. Bab: Bahwasanya Tidaklah
6. Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh
7. Bab: Bahwasanya
(*****) Nabi Daud ‘alaihissalam adalah salah seorang nabi-nabi Umat Yahudi. Bila Nabi Musa ‘alaihissalaam hidup sekarang ini, ia akan beragama dengan agama Islam dan berhukum dengan hukum Islam, bukan dengan hukum Taurat atau hukum nabi Daud -hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Al Baihaqy dll- mengapa para Imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum Nabi Daud?! Dan bila Nabi ‘Isa‘alaihissalam ketika turun kembali ke dunia kelak sebelum hari kiamat juga berhukum dengan hukum Al Quran, -sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim- dan bukan dengan hukum nabi Daud, mengapa para imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum keluarga Daud?! Bukankah ini merupakan indikasi kuat bahwa sebenarnya sekte Syi’ah hendak menghidupkan agama nabi Daud‘alaihi salam yaitu agama Yahudi di tengah-tengah masyarakat Islam??!! (pent-)
8. Bab: Bahwasanya Tidaklah Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh
9. Bab: Bahwasanya Bumi Seluruhnya Adalah Milik
Di saat mereka meyakini tentang 12 imam mereka hal-hal yang tidak pernah diakui oleh para imam tersebut, berupa pengetahuan tentang yang gaib, dan bahwasanya kedudukan mereka di atas kedudukan manusia biasa (Bahkan mereka meriwayatkan dari sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata, “Akulah yang telah menjadi tinggi kemudian menundukkan, dan akulah yang menghidupkan dan mematikan, akulah yang pertama dan terakhir, akulah yang nampak dan tersembunyi.” Sebagaimana disebutkan dalam buku “Al Ikhtishash” karya Syeikhul Mufid, sudah barang tentu berbagai sifat ini tidaklah dimiliki oleh selain Allah subhanahu wa Ta’ala. Dan juga seperti ucapan mereka, “Sesungguhnya para imam kami memiliki kedudukan yang tidak dapat dicapai oleh para malaikat yang didekatkan, tidak juga nabi yang telah diutus.”
Al Khumaini dalam bukunya: “Al Hukumah Al Islamiyyah” hal 52). Pada saat yang bersamaan sekte Syi’ah mengingkari segala hal yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hal-hal gaib, misalnya perihal penciptaan langit dan bumi, berbagai hal tentang surga dan neraka. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” yang berpusatkan di Kairo. Majalah ini memuat pada edisi ke-4, tahun ke-4, hal: 368, buah karya Kepala Mahkamah Syari’at Syi’ah Tertinggi di Lebanon, -seorang figur yang mereka anggap sebagai ulama’ mereka paling memikat tutur katanya- dengan tema: “Sebagian Dari Ijtihad-ijtihad Syi’ah Imamiyyah”. Pada makalah ini, ia menukilkan dari tokoh ahli ijtihad mereka yang bernama Syaikh Muhammad Hasan Al Asytiyani, bahwasanya ia berkata dalam bukunya: “Bahrul Fawaid” jilid 1, hal: 267: Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mengabarkan tentang hukum-hukum syariat, maksudnya: seperti hal-hal yang membatalkan wudhu, berbagai hukum haidh dan nifas, maka wajib untuk dipercayai dan diamalkan apa yang ia kabarkan. Dan bila ia mengabarkan tentang hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan bumi, bidadari dan istana di surga, maka tidak wajib untuk diimani, walaupun setelah kita tahu akan keabsahan hadits tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih-lebih bila keabsahannya masih diragukan!?
Ya Allah, amat mengherankan! Mereka berdusta dengan menisbatkan kepada para imam, bahwa mereka dapat mengetahui hal yang gaib, dan mereka beriman dengannya, padahal penisbatan hal tersebut kepada para imam tidak dapat dipastikan keabsahannya, di saat yang sama mereka menghalalkan diri untuk mengingkari berbagai berita tentang hal gaib yang telah terbukti keabsahannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta maknanya amat jelas nan tegas, misalnya ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang penciptaan langit dan bumi, berbagai perihal tentang surga dan neraka. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap hadits yang terbukti shahih tersebut tidaklah berkata-kata atas dasar hawa nafsunya, hadits itu tiada lain kecuali wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.
Setiap orang yang membandingkan antara berbagai hal yang dinisbatkan kepada para imam mereka dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan tentang hal gaib, niscaya akan terbukti baginya bahwa hal-hal gaib yang terbukti benar periwayatannya dari Rasulullah, baik dalam Al Quran atau hadits mutawatir nan shahih tidaklah mencapai sebagian kecil dari hal-hal yang didakwakan oleh sekte Syi’ah tentang kedua belas imam mereka, berupa ilmu gaib setelah terputusnya wahyu Allah dari penduduk bumi. Dan seluruh perawi hal-hal gaib dari kedua belas imam tersebut telah dikenal di kalangan ulama’ ahli Al jarh wa ta’dil (salah satu disiplin ilmu hadits yang membicarakan tentang kredibilitas para periwayat hadits) dari kalangan Ahlusunnah sebagai para pendusta, akan tetapi para pengikut mereka dari kalangan sekte Syi’ah tidak menggubris akan kenyataan itu, dan tetap mempercayai segala riwayat mereka tentang hal-hal gaib yang dimiliki oleh para imam.
Pada saat yang bersamaan pula majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” memuat tulisan hakim Mahkamah Syari’at Tertinggi di Lebanon, sekaligus mujtahid mereka, yaitu Muhammad Hasan Al Asytiyani, yang mempropagandakan dan menyerukan anggapan tidak wajibnya mempercayai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal gaib yang telah sah diriwayatkan darinya. Mereka hendak membatasi tugas kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang membatalkan wudhu, hukum haid dan nifas serta berbagai perincian ilmu fikih yang serupa dengannya. Akan tetapi mereka mengangkat martabat imam-imam mereka dalam hal gaib melebihi martabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliaulah yang mendapatkan wahyu, sedangkan para imam mereka tidak pernah mengaku mendapatkan wahyu. Dengan demikian, kami tidak tahu, pendekatan macam apakah yang mungkin dicapai antara kita dengan mereka setelah kita mengetahui fakta ini?!
Di antara hal yang dapat kita cermati pada setiap fase sejarah sekte Syi’ah dan sikap tokoh dan masyarakat umum mereka terhadap pemerintahan Islam, bahwa pemerintahan Islam apa saja, bila dalam keadaan kuat dan kokoh, mereka senantiasa menjilat kepada mereka sebagai penerapan ideologi Taqiyyah guna mengeruk kekayaannya, serta meraih berbagai jabatan. Kemudian bila pemerintah tersebut telah melemah atau diserang oleh musuh, segera mereka berpihak kepada barisan musuh dan melawan pemerintah islam. Demikianlah yang mereka lakukan pada akhir masa dinasti Umawiyyah, tatkala Bani Abbasiyyah mengadakan pemberontakan. Bahkan revolusi Bani Abbasiyyah terjadi berkat bujuk rayu sekte Syi’ah.
Kemudian mereka juga bersikap keji semacam ini dengan Dinasti Bani Abbasiyyah, tatkala mereka terancam oleh serangan Holako Khan dan Bangsa Mongolia para penyembah berhala terhadap Khilafah Islam, ibu kota kejayaan, pusat kemajuan serta ilmu pengetahuannya.
Bagi Syi’ah, Dua Kalimat Syahadat Tidak Cukup Sebagai Bekal Masuk Surga
Al Khunisari berkata “Seusai menukilkan ungkapan di atas, sayyid Ni’matullah Al MuShollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallami berkata: “Dan penjelasannya sebagai berikut: Seluruh kelompok bersepakat bahwa dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan (dari neraka -pent), dengan dasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(من قال لا إله إلا الله دخل الجنة)
“Barang siapa yang bersaksi bahwa ‘tiada sesembahan yang layak untuk disembah selain Allah’ niscaya ia akan masuk surga.”
Adapun kelompok Imamiyyah, mereka sepakat bahwa keselamatan tidak akan terwujud selain dengan sikap loyal kepada Ahlul Bait hingga imam kedua belas, dan berlepas diri dari seluruh musuh-musuh mereka (maksudnya Abu Bakar, Umar hingga manusia terakhir yang beragama Islam selain dari sekte Syi’ah, baik penguasa atau rakyat biasa), sehingga kelompok ini menyelisihi seluruh kelompok lain dalam hal ideologi ini yang merupakan sumber keselamatan.”
Sungguh At Thusi, Al Musawi dan Al Khunisari telah benar!! Dan dalam waktu yang bersamaan telah berdusta!!
Mereka benar bahwa seluruh kelompok memiliki kedekatan dalam hal prinsip dan berselisih dalam hal sekunder, oleh karena itu amat dimungkinkan untuk terjadinya solidaritas dan pendekatan antara berbagai kelompok yang dasar ideologinya saling berdekatan. Sedangkan pendekatan ini mustahil untuk terjadi bersama sekte Syi’ah Al Imamiyyah, karena mereka menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, dan mereka tiada pernah rela dari umat Islam hingga mereka semua mengutuk (Al Jibtu & At Thoghut) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma serta setiap muslim selain mereka hingga hari ini. Dan hingga mereka berlepas diri dari setiap orang selain Syi’ah sampai pun putri-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahkan dengan Dzu An Nurain Utsman bin Affan dan tokoh bani Umayyah sang pemberani nan mulia yaitu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ yang telah disanjung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari atas mimbar Masjid An Nabawi As Syarif dan di hadapan khalayak umat Islam kala itu, yaitu tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu hendak menikahi putri Abu Jahl, dan menjadikannya sebagai madu bagi putri pamannya Fathimah radhiallahu ‘anha (Setiap wanita anak saudara ayah seseorang yang manapun disebut juga sebagai anak paman, oleh karena itu penulis menyebut bahwa Fatimah radhiallahu ‘anha adalah sepupu sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, karena ia adalah putri saudara sepupunya) kemudian Fatimah mengadukannya kepada ayahnya. Dan juga (Syi’ah tidak akan pernah rela -ed muslim) hingga umat islam berlepas diri dari Imam Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Tholib, dan seluruh Ahlul Bait yang tidak sudi untuk tunduk di bawah bendera Rafidhoh (Syi’ah Imamiyyah) dalam setiap ideologi mereka yang berkelok-kelok, yang di antaranya ialah meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan.
Dan sungguh mereka telah meyakini ideologi ini sepanjang masa dan pada setiap generasi mereka, sebagaimana yang dinukilkan dan dicatatkan oleh cendekiawan cemerlang sekaligus tokoh pujaan mereka, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsi dalam bukunya “Fashlul Khithaab Fi Itsbaat Tahrif Kitaab Rabbil Arbaab”. Seorang tokoh yang telah melakukan tindak kekejian dengan menuliskan setiap baris dari buku ini di sisi kuburan seorang sahabat mulia pemimpin
Sesungguhnya sekte Syi’ah mensyaratkan kepada kita agar terwujud toleransi dengan mereka dan agar mereka ridha dengan pendekatan kita kepada mereka: hendaknya kita ikut serta bersama mereka mengutuk para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berlepas diri dari setiap orang selain anggota sekte mereka, sampai pun putri-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak cucu beliau, dan sebagai baris terdepan dari mereka ialah Zaid bin Zainal ‘Abidin, dan setiap orang yang sejalan dengan beliau dalam mengingkari perilaku mungkar sekte Rafidhah (Syi’ah Imamiyyah). Inilah sisi jujur dari teks yang dinukil dari An Nushair At Thusi, dan yang disetujui oleh Sayyid Ni’matullah Al MuShollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallami dan Mirza Muhammad Baqir Al MuShollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallami Al Khunisari Al Ashbahani, dan tidak ada seorang syi’ah pun yang menyelisihinya, baik dari kalangan yang dengan tegas menampakkan ideologi taqiyyah atau yang menyembunyikannya.
Adapun sisi kedustaan mereka ialah pengakuan mereka bahwa sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan di akhirat menurut umat Islam selain sekte Syi’ah. Seandainya mereka berakal atau memiliki pengetahuan, niscaya mereka mengetahui bahwa dua kalimat syahadat menurut Ahlusunnah adalah pertanda masuknya seseorang ke dalam Islam. Dan orang yang telah mengucapkannya -walaupun ia sebelumnya adalah kafir harbi (Kafir Harbi ialah orang kafir yang menampakkan permusuhan terhadap Islam dan umat Islam -pent)- berubah menjadi orang yang dilindungi darah dan harta bendanya di dunia. Adapun keselamatan di akhirat, maka keselamatan hanya tercapai dengan keimanan yang benar, dan bahwasanya keimanan itu -sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz- memiliki berbagai kewajiban, syariat, batasan-batasan, dan sunnah-sunnah, barang siapa yang menjalankannya dengan sempurna, maka ia telah mencapai kesempurnaan iman, dan barang siapa yang tidak menjalankannya dengan sempurna, maka ia belum mencapai kesempurnaan iman. Dan mempercayai keberadaan imam mereka yang kedua belas tidak termasuk dari syariat iman, karena sebenarnya ia adalah figur rekaan yang dinisbatkan dengan dusta kepada Al Hasan Al ‘Askari yang wafat tanpa meninggalkan seorang anak pun, dan saudara kandungnya yang bernama Ja’far mewarisi seluruh harta warisannya, dengan dasar karena ia tidak meninggalkan seorang anakpun.
Marga Alawiyyin (Yang dimaksud dengan Alawiyyin ialah anak keturunan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu -pent) memiliki daftar keturunan yang kala itu dipegang oleh seorang perwakilan dari mereka, sehingga tidaklah dilahirkan seorang bayi pun dari mereka, melainkan akan dicatat padanya, dan padanya tidak pernah terdaftar seorang anak pun bagi Al Hasan Al ‘Askari. Dan marga Alawiyyin yang semasa dengan Al Hasan Al ‘Askari tidak pernah mengetahui bahwa ia meninggalkan seorang anak laki-laki.
Hakikat yang sebenarnya telah terjadi adalah: tatkala Al Hasan Al ‘Askari wafat dalam keadaan mandul, dan silsilah keimaman para pemuja mereka yaitu sekte Imamiyyah terputus, mereka menghadapi kenyataan bahwa paham mereka akan mati bersama kematiannya, dan mereka tidak lagi menjadi sekte Imamiyyah, karena tidak lagi memiliki imam. Oleh karena itu, salah seorang setan mereka yang bernama Muhammad bin Nushair, salah seorang mantan budak Bani Numair mencetuskan gagasan bahwa Al Hasan Al ‘Askari memiliki anak laki-laki yang disembunyikan di salah satu terowongan ayahnya(#), agar ia dan para sekongkolnya dengan nama Imam tersebut dapat mengumpulkan zakat dari masyarakat dan hartawan sekte Syi’ah! Dan agar mereka -walau dengan berdusta- dapat meneruskan propaganda bahwa mereka adalah pengikut para Imam.
(#) Dan terowongan ayahnya -seandainya memang benar bahwa ayahnya memiliki terowongan- maka para pengikut sekte Syi’ah tidak mungkin untuk memasukinya, karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far saudara kandung Al Hasan Al ‘Askari, dan ia meyakini bahwa saudara kandungnya yaitu Al Hasan tidak memiliki anak lelaki, tidak di dalam terowongan fiktif tersebut juga tidak di luarnya. Dan bila ia bersembunyi di berbagai terowongan!!! maka mana mungkin mereka dapat menemukannya…
Muhammad bin Nushair ini menginginkan agar dialah yang menjadi “Al Bab (pintu penghubung)” terowongan fiktif tersebut, sebagai penyambung lidah antara imam fiktif dengan pengikutnya, dan bertugas memungut harta zakat. Akan tetapi kawan-kawannya para setan penggagas makar ini tidak menyetujui keinginannya tersebut, dan mereka tetap bersikukuh agar yang berperan sebagai “pintu/Al Bab” ialah seorang pedagang minyak zaitun atau minyak samin. Pedagang ini memiliki toko kelontong di depan pintu rumah Al Hasan dan ayahnya, sehingga mereka dapat mengambil darinya segala kebutuhan rumah tangga mereka. Tatkala terjadi perselisihan ini, pencetus ide ini (yaitu Muhammad bin Nushair -pent) memisahkan diri dari mereka, dan mendirikan sekte An Nushairiyah yang dinisbatkan kepadanya.
Dahulu kawan-kawan Muhammad bin Nushair memikirkan supaya mereka mendapatkan cara untuk memunculkan figur “Imam Ke-12″ yang mereka rekayasa, dan kemudian ia menikah dan memiliki anak keturunan yang memegang tampuk Imamah sehingga paham Imamiyah mereka dapat berkesinambungan. Akan tetapi terbukti bagi mereka bahwa munculnya figur tersebut akan memancing pendustaan dari perwakilan marga Alawiyyin dan seluruh marga ‘Alawiyyin serta saudara-saudara sepupu mereka para khalifah dinasti Abbasiyyah dan juga para pejabat mereka. Oleh karenanya mereka akhirnya memutuskan untuk menyatakan bahwa ia tetap berada di terowongan, dan bahwasanya ia memiliki persembunyian kecil dan persembunyian besar, hingga akhir dari dongeng unik yang tidak pernah didengar ada dongeng yang lebih unik daripadanya, sampai pun dalam dongeng bangsa Yunani.
Mereka menginginkan dari seluruh umat Islam yang telah dikaruniai Allah dengan nikmat akal sehat agar mempercayai dongeng palsu ini!! Agar pendekatan antara mereka dengan sekte Syi’ah dapat dicapai?! Mana mungkin terjadi, kecuali bila dunia Islam seluruhnya telah berpindah tempat ke (rumah sakit jiwa) guna menjalani pengobatan gangguan jiwa!! Dan Alhamdulillah atas kenikmatan akal sehat, karena akal sehat merupakan tempat ditujukannya tugas-tugas agama, dan akal sehat -setelah nikmat iman yang benar- merupakan kenikmatan terbesar dan termulia.
Sesungguhnya umat Islam berloyal kepada setiap orang mukmin yang benar imannya, termasuk di dalamnya orang-orang saleh dari Ahlul Bait tanpa dibatasi dalam jumlah tertentu. Kaum mukminin terdepan yang mereka loyali ialah sepuluh sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga. Seandainya sekte Syi’ah tidak melakukan perbuatan kufur selain sikap mereka yang menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kesepuluh sahabat tersebut adalah penghuni surga, niscaya ini cukup sebagai alasan untuk memvonis mereka kafir.
Sebagaimana umat Islam juga berloyal kepada seluruh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak dan terbentuk dunia Islam, kebenaran dan kebaikan tumbuh subur di bumi Islam dengan tumpahan darah mereka. Merekalah orang-orang yang dengan sengaja sekte Syi’ah berdusta atas nama sahabat Ali dan anak keturunannya, sehingga mereka beranggapan bahwa mereka itu adalah musuh-musuh Ali dan anak-anaknya. Sungguh mereka telah hidup berdampingan bersama sahabat Ali dalam keadaan saling bersaudara, mencintai, bahu-membahu, dan mereka pun mati dalam keadaan saling mencintai dan bahu-membahu.
Amat tepat peyifatan tentang mereka yang Allah ta’ala sebutkan dalam
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Mereka amat keras terhadap orang-orang kafir dan saling mengasihi sesama mereka.” (QS. Al Fath: 29)
Dan pada firman-Nya dalam
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُوْلَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
“Padahal Allah-lah yang memiliki langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya dari pada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik.” (QS. Al Hadiid: 10)
Adakah mungkin Allah mengingkari janji-Nya?! Allah juga berfirman tentang mereka pada
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia.” (QS. Ali Imran: 110)
Di Antara Anak Ali bin Abi Tholib Adalah Abu Bakar, Umar & Utsman
Di antara bentuk kasih sayang Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib kepada saudara-saudaranya ketiga kholifah sebelumnya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua beliau wujudkan dengan memberi nama anak-anak beliau setelah Al Hasan dan Al Husain dengan nama-nama mereka. Di antara anak sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu ialah anak lelaki yang ia beri nama “Abu Bakar”, dan lainnya diberi nama “Umar” dan lainnya diberi nama “Utsman”. Beliau juga menikahkan putrinya Ummu Kultsum yang terbesar dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu(##). Dan sepeninggal beliau, ia dinikahi oleh saudara sepupunya, yaitu Muhammad bin Ja’far bin Abi Tholib, kemudian iapun meninggal sebelumnya, dan kemudian ia dinikahi oleh saudara lelaki Muhammad, yaitu ‘Aun bin Ja’far, kemudian Ummu Kultsum meninggal dunia sebagai istri beliau.
(##) Di antara lelucon adalah: bahwa sebagian buku Syi’ah mengingkari pernikahan sahabat Umar bin Al Khatthab dengan putri Ali Bin Abi Tholib. Bahkan mereka menyebutkan bahwa Ali dan keluarga menyerahkan kepada Umar wanita lain yang dirubah wajahnya menyerupai Ummu Kultsum… Lelucon ini seperti dinyatakan dalam pepatah:“Maksud hati mereka ingin meriasnya dengan celak, akan tetapi mereka malah menjadikan matanya buta!!” . Sepeninggal Umar bin Al Khatthab setelah ditikam oleh Abu Lulu’ah Al Majusi, apakah saudara sepupunya Muhammad bin Ja’far menikahi Ummu Kultsum yang sebenarnya ataukah menikahi wanita yang diubah wajahnya?! Demikian juga tatkala Muhammad bin Ja’far meninggal, apakah saudara kandungnya yaitu ‘Aun menikahi Ummu Kultsum ataukah wanita lain yang menyerupainya!?
Al Kulaini (salah seorang pentolan Syi’ah -ed muslim) menyebutkan sebuah hadits dari Zurarah dari Abu Abdillah ‘alaihissalaam perihal pernikahan
Bahkan At Thusi dalam bukunya, “Tahzibul Ahkaam” juz 2 halaman 380 menyebutkan bahwa Ummu Kultsum dan putranya yaitu Zaid bin Umar bin Al Khatthab meninggal dunia dalam pada waktu yang sama, sehingga masing-masing dari mereka berdua tidak saling mewarisi. Maka bagaimana sebagian buku tersebut mengingkari fakta pernikahan, kemudian mendatangkan riwayat-riwayat murahan tentang jin perempuan atau mereka menyerahkan kepada Umar bin Al Khatthab wanita lain yang menyerupainya!!
Dan sahabat Abdullah bin Ja’far (Ja’far dijuluki dengan Zil Janahain) bin Abi Tholib menamakan salah seorang putranya dengan nama “Abu Bakar”, dan menamakan anaknya yang lain dengan nama “Mu’awiyah”. Dan Mu’awiyah ini, yaitu bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Tholib telah menamakan salah seorang putranya dengan nama “Yazid”(*). Hal ini beliau lakukan, karena beliau mengetahui bahwa Yazid berperilaku baik nan terpuji, sebagaimana yang dipersaksikan oleh Muhammad bin Ali bin Abi Tholib. (Muhammad bin Ali bin Abi Tholib lebih dikenal dengan Muhammad bin Al Hanafiyyah -pent)
(*) Analisa ini perlu dikaji ulang; karena belum terbukti bahwa Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far bin Abi Tholib menamakan putranya dengan sebab mengharapkan agar anaknya menjadi seperti Yazid bin Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Sedangkan nama Yazid kala itu telah dikenal di masyarakat Arab, diantaranya panglima perang sekaligus sahabat mulia Yazid bin Abi Sufyan, paman Yazid bin Mu’awiyah.
Seandainya sikap berlepas diri yang menjadi tuntutan sekte Syi’ah sebagai tumbal terealisasinya “pendekatan” antara kita dengan mereka mencakup seluruh tokoh-tokoh yang mereka kehendaki, niscaya orang pertama yang berlaku salah ialah imam pertama mereka Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang telah menamakan putranya dengan nama: Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dan lebih besar lagi kesalahan beliau di saat beliau menikahkan putrinya dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Demikian juga Muhammad bin Al Hanafiyyah telah berdusta pada persaksiannya tentang Yazid, yaitu tatkala datang kepadanya Abdullah bin Muthi’ salah seorang tangan kanan Ibnu Zubair, kemudian ia mengaku bahwa Yazid biasa minum khamer, meninggalkan sholat, dan melanggar hukum Al Quran, maka Muhammad bin Ali bin Abi Tholib berkata kepadanya -sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah 8/233: “Aku tidak pernah melihat apa yang kalian sebut-sebut itu, padahal aku pernah hadir di majelisnya dan juga tinggal bersamanya. Yang aku saksikan ia senantiasa rajin menunaikan sholat, berupaya melakukan kebaikan, bertanya tentang ilmu fikih, dan senantiasa berpegang teguh dengan sunnah…” Mendengar yang demikian, Ibnu Muthi’ (dan kawan-kawannya -pent) berkata: “Sesungguhnya ia berperilaku demikian, dalam rangka berpura-pura di hadapanmu.” Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Memangnya apa yang ia takutkan atau yang ia harapkan dariku, sampai-sampai ia merasa perlu untuk berpura-pura khusyu’ di hadapanku? Apakah ia memperlihatkan kepada kalian perbuatan yang kalian sebut-sebut, yaitu berupa minum khamer? Seandainya ia memperlihatkannya kepada kalian, maka kalian adalah sekutunya! Dan bila ia tidak pernah memperlihatkannya kepada kalian, maka tidak halal bagi kalian untuk bersaksi dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” Mereka pun menjawab: “Berita ini bagi kami adalah benar, walaupun tidak kami saksikan sendiri.” Maka Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Allah tidak menerima metode semacam ini dari orang yang hendak bersaksi, oleh karenanya Allah berfirman:
إلاَّ من شَهِدَ بالحقِّ وهم يعلَمون
“Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan benar, sedangkan mereka benar-benar mengetahui.” (QS. Az Zukhruf: 86),
dan aku tidak ikut andil dalam urusan kalian sedikit pun.”
Bila demikian ini persaksian salah seorang putra Ali bin Abi Tholib tentang Yazid, maka akan kita sembunyikan ke manakah fenomena ini bila kita menuruti keinginan sekte Syi’ah dalam menyikapi beliau dan juga ayahnya (yaitu sahabat Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu), dan juga kepada orang yang lebih utama dari ayahnya dan juga lebih utama dibanding makhluk Allah lainnya, maksud saya ialah sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Tholhah, Az Zubair, Amr bin Al ‘Ash dan seluruh tokoh sahabat yang telah menjaga Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk kita. Sebagaimana mereka telah mewujudkan dunia islam ini yang dengannya dan untuknya kita hidup, semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua.
Sesungguhnya tebusan yang dituntut oleh sekte Syi’ah guna merealisasikan “pendekatan” antara kita dan mereka terlalu mahal, mengakibatkan kita kehilangan segala sesuatu serta tidak mendapatkan apa-apa. Dan hanya orang dungulah yang sudi untuk bertransaksi dengan orang yang menginginkan darinya suatu perniagaan yang padanya ia nyata-nyata merugi!!
Sesungguhnya loyalitas dan pelepasan diri (al bara’) yang merupakan asas agama sekte Syi’ah, sebagaimana yang ditegaskan oleh An Nushair At Thusi, dan dikuatkan oleh Ni’matullah Al MuShollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallami serta Al Khunisari tidak ada penjabarannya selain perubahan agama Islam serta permusuhan terhadap para tokoh yang di atas pundak merekalah negeri Islam berhasil ditegakan.
Sungguh mereka bertiga telah berdusta pada anggapan mereka bahwa sekte mereka adalah satu-satunya sekte yang menyelisihi ajaran kelompok lain, sesungguhnya sekte Isma’iliyyah menyerupai mereka. Sekte Isma’iliyyah menyelisihi umat Islam dalam hal-hal yang juga diselisihi oleh sekte Syi’ah Imamiyyah, selain pada hal penentuan sebagian figur keluarga/keturunan Nabi (ahlul bait) yang mereka berloyal kepadanya.
Sekte Syi’ah Imamiyah berloyal kepada seluruh figur yang diloyali oleh sekte Isma’iliyyah hingga pada Ja’far As Shadiq, dan kemudian mereka berbeda tentang figur imam setelahnya.
Sekte Imamiyyah berloyal kepada Musa bin Ja’far beserta keturunannya, sedangkan sekte Isma’iliyyah berloyal kepada Isma’il bin Ja’far beserta keturunannya.
Sikap ekstrem yang ada pada sekte Isma’iliyyah semenjak masa Isma’il dan setelahnya telah dijiplak oleh sekte Imamiyyah sejak masa dinasti As Safawiyyah, sehingga mereka pun terjerumus ke dalam jurang di bawah kepemimpinan Al Majlisi dan para kaki tangannya. Bila kelompok ekstrem dari sekte Syi’ah pada zaman dahulu merupakan minoritas, akan tetapi setelah itu hingga saat ini mereka menjadi mayoritas, mereka semua adalah ekstrem Syi’ah Imamiyyah tanpa terkecuali. Fakta ini telah diakui oleh tokoh terkemuka mereka dalam hal ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, yaitu Ayatullah Al Maamiqaani pada setiap kali ia menyebutkan biografi tokoh-tokoh ekstrem Syi’ah terdahulu. Ia mengumandangkan pada setiap kesempatan untuk membahas permasalahan ini dalam buku besarnya, bahwa: segala hal yang menjadi penyebab orang-orang ekstrem dianggap ekstrem, maka pada zaman ini menurut seluruh penganut paham Syi’ah sebagai bagian dari hal-hal yang prinsip/mendasar dalam paham Syi’ah!!
Dengan demikian, sikap ekstrem yang dahulu menjadi faktor pembeda antara sekte Isma’iliyyah dengan Syi’ah, sekarang dengannya mereka bersatu, tiada perbedaan antara mereka selain dalam hal figur-figur yang dituhankan oleh masing-masing mereka, atau dianggap kedudukannya melebihi kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau yang oleh sekte Imamiyyah melalui lisan Muhammad Hasan Al Asytiyaani diperbolehkan untuk tidak dipercayai dalam hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan bumi, dan karakteristik Surga dan Neraka. Pada saat bersamaan mereka menisbatkan kepada imam-imam mereka dan kepada imam mereka “kedua belas” berbagai hal yang menjadikan mereka sederajat dengan berbagai sesembahan bangsa Yunani Kuno.
Sesungguhnya pendekatan antara berbagai kelompok umat Islam dengan berbagai kelompok sekte Syi’ah adalah suatu hal yang mustahil tercapai, dikarenakan sekte Syi’ah menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, sebagaimana yang telah diproklamirkan oleh An Nushair At Tushi Dan dibenarkan oleh Ni’matullah Al MuShollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallami dan Baqir Al Khunisari, dan juga dibenarkan oleh setiap anggota sekte Syi’ah. Bila ini telah terjadi pada zaman An Nushair At Thusi, maka hal ini sejak zaman Al Majlisi hingga sekarang menjadi lebih parah dan lebih dahsyat!!.
Tidak diragukan lagi bahwa Sekte Syi’ah lah yang tidak rela dengan adanya pendekatan, oleh karena itu mereka berkorban dan mengeluarkan dana besar guna mempropagandakan “pendekatan” di negeri kita, sedangkan mereka enggan dan tidak rela bila hal tersebut disuarakan atau berjalan walau hanya selangkah di negeri Syi’ah, atau berpengaruh pada kurikulum sekolah-sekolah mereka.
Oleh karena itu upaya apa saja guna merealisasikan hal ini akan sia-sia bak permainan anak-anak, tidak ada gunanya, kecuali bila sekte Syi’ah sudi untuk berhenti dari mengutuk Abu Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya-, serta tidak lagi berlepas diri dari setiap orang di luar anggota sekte Syi’ah sejak wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Dan juga bila sekte Syi’ah telah berhenti dari ideologi pengkultusan para imam ahlul bait sampai-sampai melebihi martabat orang shaleh hingga mencapai martabat sesembahan bangsa Yunani. Karena ini semua merupakan tindak kejahatan terhadap agama Islam, dan perubahan arah agama Islam dari jalur yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, di antaranya oleh sahabat Ali bin Abi Tholib beserta anak keturunannya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka.
Bila Sekte Syi’ah tidak meninggalkan kejahatannya terhadap agama, aqidah dan sejarah Islam ini, maka mereka akan terkucilkan bersama ideologi mereka yang nyata-nyata menyelisihi seluruh prinsip umat islam, dan dijauhi oleh seluruh umat Islam untuk selama-lamanya
Ada suatu fenomena yang telah kami isyaratkan sebelumnya pada makalah ini secara singkat, yaitu sesungguhnya kaum komunis yang telah merajalela di Irak dan yang tergabung dalam Partai Tawaddah (Partai Kasih Sayang) di Iran yang memiliki peranan lebih besar bila dibanding peranan mereka di negeri-negeri Islam lainnya, sebenarnya merupakan sempalan dari sekte Syi’ah, sehingga kaum komunis di dua negeri tersebut terdiri dari generasi muda sekte Syi’ah!! Mereka mendapatkan paham Syi’ah terlalu tenggelam dalam khurafat, kehinaan, dan kedustaan yang tidak masuk akal, sehingga mengakibatkan mereka mengingkari paham tersebut! Pada saat yang bersamaan mereka mendapatkan organisasi-organisasi Komunis gencar dijajakan oleh para penyerunya, dan menebarkan berbagai tulisan dalam berbagai bahasa. Dan kaum komunis dalam menjajakan paham mereka menempuh metode ilmiah dalam hal perekonomian, sehingga dengan mudah mereka terperangkap dalam jeratnya. Seandainya kaum muda sekte Syi’ah mengenal ajaran agama Islam dengan murni dan kemudian mereka mengajinya tanpa dinodai oleh paham Syi’ah, niscaya mereka akan terlindung dari terjerumus ke dalam jurang komunis tersebut.
Tatkala terjadi tragedi fitnah “Al Bab/pintu” di Iran sebelum seratus tahun silam, dan Ali Muhammad As Syairazi mengaku sebagai pintu penghubung kepada Al Mahdi yang mereka nanti-nantikan, kemudian ia secara bertahap mengaku sebagai Imam Mahdi yang mereka nanti-nantikan, dan ia berhasil merekrut pengikut dari kaum Syi’ah Iran. Pemerintah
Oleh karena kaum Syi’ah dengan mudah terpedaya dengannya dan dengan mudah mereka memenuhi seruan “Al Bab” karenanya Pemerintah
Sebagaimana paham Syi’ah pada abad lalu telah menjadi biang menyebarnya berbagai paham yang serupa dengannya, misalnya seruan orang-orang yang mengaku sebagai “Al Bab” dan sekte “Baha’iyah”, demikian juga paham Syi’ah pada zaman sekarang telah menjadi biang munculnya sikap anti pati di tengah-tengah kaum terpelajar dari generasi mudah kaum Syi’ah yang mulai sadar. Ini semua terjadi karena paham Syi’ah terlalu hina sehingga tidak layak untuk diyakini oleh orang yang berakal sehat. Akibatnya mereka pun murtad dari paham Syi’ah dan bergabung dengan kaum Komunis yang dengan tangan terbuka menerima mereka. Sehingga dalam waktu singkat kaum Komunis telah memiliki pengikut di Irak dan
An Nushair At Thushi dan Ibnu Al Alqami Bersama Pasukan Holako Khan dan Bangsa Mongol Para Penyembah Berhala
Setelah ahli filosof sekaligus ulama Syi’ah yang bernama An Nushair At Thusi merangkaikan bait’-bait sya’ir guna menjilat kepada Khalifah Abbasiyah Al Mu’tashim, tidak berapa lama ia berbalik, pada tahun 655 H ia bersekongkol melawan sang khalifah dan menyegerakan runtuhnya kekuasaan umat Islam di
(**) Suatu kelaziman atas kita untuk mengisyaratkan di sini, bahwa cucu Holako Khan, yaitu Sultan Gazaan, tatkala datang pada tahun 699 H untuk menguasai negeri Syam, yang menjabat sebagai perdana menterinya ialah cucu pembela kekufuran At Thusi yang bernama Ashiluddin At Thusi. Gazaan melakukan berbagai kekejaman di kota Damaskus, memerkosa, menumpahkan darah, dan mencuri kitab-kitab ilmu. Hingga akhirnya Allah ta’ala memudahkan bagi Al Imam Al Mujahid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam memimpin umat Islam melawan diktator ini, dan kemudian Allah melimpahkan kemenangan atas beliau pada peperangan Syaqhab yang telah masyhur dan yang terjadi pada tahun 701 H.
Dan ikut serta pula bersama Syaikh sekte Syi’ah Nushair At Thusi dalam pengkhianatan besar ini dua orang sahabatnya: pertama, perdana menteri Syi’ah yang bernama Muhammad bin Ahmad Al ‘Alqami, dan kedua, penulis buku yang beraliran mu’tazilah yang lebih ekstrem dalam berpegang dengan paham Syi’ah, yang bernama Abdul Hamid bin Abi Al Hadid, ia adalah orang kepercayaan Ibnu Al ‘Alqami. Orang kedua ini sepanjang hidupnya memusuhi sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karenanya ia memenuhi buku karyanya yang merupakan syarah (penjabaran) dari buku “Nahjul Balaghah” dengan berbagai kedustaan yang telah mencoreng muka sejarah Islam. Dan hingga saat ini masih jua ada sebagian orang-orang yang tidak memahami hakikat masa lampau agama Islam dan berbagai sekte sempalan yang melekat kepadanya, sampai pun sebagian kaum cendekiawan dan terpelajar. (Al ‘Allaamah Abdullah bin Al Husain As Suwaidi telah menuliskan bantahan terhadap Ibnu Abi Al Hadid ini, dimana beliau menuliskan sebuah buku dengan judul: As Sharim Al Hadid Fi Ar Rad ‘Ala Ibni Abi Al Hadid ( الصارم الحديد في الرد على ابن أبي الحديد ) sebanyak 1000 halaman, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Zahid Al Kautsari dalam sebagian makalahnya).
Sesungguhnya Ibnu Al ‘Alqami yang telah membalas kelembutan Khalifah Al Musta’shim dan, kedermawanan beliau sehingga ia dipilih menjadi perdana menterinya, dengan pengkhianatan. Ia telah dikuasai oleh tabi’at aslinya yaitu pengkhianat dan jiwa yang hina sehingga ia sampai hati membalas buruk budi baik orang lain. Hingga saat ini sekte Syi’ah tak kunjung henti menampakkan rasa gembira dan merasa girang dengan permusuhan yang berhasil mereka lancarkan terhadap umat Islam pada petaka
Sub pembahasan ini telah terlanjur panjang lebar diutarakan, padahal kami berusaha untuk meringkaskannya dengan menyebutkan beberapa nukilan singkat dari berbagai buku rujukan terpercaya sekte Syi’ah. Dan kami akan tutup sub pembahasan ini dengan menukilkan satu teks lain yang berkaitan dengan masalah pendekatan, agar setiap muslim mengetahui bahwa pendekatan dapat saja terlaksana dengan berbagai aliran dan mazhab lain, sedangkan hal itu mustahil untuk terwujud bersama sekte Syi’ah secara khusus. Hal ini merupakan pengakuan dari mereka sendiri, sebagaimana dalam teks nukilan berikut ini:
Al Khunisaari -ia adalah seorang pakar sejarah sekte Syi’ah- menukilkan dalam buku “Raudhaat Al Jannaat” hal: 579, edisi ke-2 Teheran tahun 1367 H, tatkala ia menyebutkan biografi An Nushair At Thusi dengan panjang lebar, ia menyebutkan bahwa di antara ucapannya yang benar-benar bagus dan yang muncul dari sumber kebenaran dan penelitian, ialah ucapannya ketika ia menentukan Al Firqah An Najiyyah (kelompok selamat dari neraka -pent) dari ketujuh puluh tiga golongan, adalah kelompok Al Imamiyyah, ia berkata:
“Sesungguhnya aku telah mengkaji seluruh mazhab, dan aku telah mengetahui seluruh prinsip dan perincian mereka, kemudian aku dapatkan bahwa selain kelompok Imamiyyah memiliki keserupaan tentang prinsip utama dalam keimanan, walaupun ada beberapa perbedaan yang tidak berpengaruh sedikit pun terhadap keimanan, baik mereka menetapkannya atau mengingkarinya. Kemudian aku mendapatkan bahwa kelompok Al Imamiyyah menyelisihi prinsip-prinsip seluruh kelompok. Kalaulah seandainya ada kelompok selain mereka yang dianggap sebagai kelompok selamat, niscaya seluruh kelompok tersebut adalah kelompok selamat (Al Firqoh An Najiyyah). Ini membuktikan bahwa satu-satunya kelompok selamat tiada lain adalah kelompok Al Imamiyyah.”
Inilah yang dapat kami paparkan pada kesempatan ini, sebagai upaya kami untuk menjalankan kewajiban yang telah Allah letakkan pada bahu-bahu umat Islam, berupa kewajiban memberikan nasihat kepada Allah, Rasul-Nya, kalangan tertentu dari umat islam dan masyarakat umum mereka. Dan Allah akan senantiasa menjaga agama-Nya dan negeri Islam dari upaya penghancuran musuh dan makar mereka hingga hari Kiamat.
.
********
.
.
Syi’ah Mencela Sahabat Nabi
Penulis:
Muhammad Saifudin Hakim
(Alumni Ma’had ‘Ilmi)
.
Sahabat, Generasi Terbaik Umat Islam
Setelah kedudukan sebagai Nabi, tidak ada lagi kedudukan yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding kedudukan suatu kaum yang telah diridhai Allah untuk mendampingi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menjadi pembela agama-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya, dan sesudahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada diri sahabat telah terkumpul kelebihan dan keutaman yang banyak. Mereka adalah orang yang lebih dahulu masuk Islam. Mereka adalah orang yang mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berhijrah dan berperang, serta melindungi beliau. Mereka berjihad menghadapi musuh ketika cuaca sangat terik menyengat, padahal mereka sedang berpuasa. Mereka pula yang menyebarkan agama Islam ini ke berbagai wilayah. Oleh karena itu, umat Islam ini telah sepakat bahwasannya para sahabat radhiyallahu ‘anhum lebih mulia daripada orang setelah mereka dari umat ini, dalam segi ilmu, amal perbuatan, pembenaran, dan persahabatan dengan Rasulullah.
Karena tingginya kedudukan para sahabat pula, sampai-sampai harta yang mereka sumbangkan, demi mencari keridhaan Allah dalam situasi dan kondisi sesulit apapun, merupakan suatu amal yang tidak mungkin terjadi pada seorang pun dari umat ini dan tidak pula semisal ukuran pahalanya. Rasulullah bersabda, ”Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalau salah seorang di antara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka nilainya tidak akan mencapai satu mud (segenggam tangan) salah seorang mereka, dan tidak juga separuhnya.” (HR. Bukhari)
Syi’ah, Musuh Umat Islam
Namun sayangnya, telah muncul suatu kelompok (agama) yang menamakan dirinya dengan Syi’ah. Mereka mengaku muslim, akan tetapi mereka sangat membenci para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka mengkritik, mengecam, dan akhirnya berani mencela beberapa tokoh dari sahabat, serta merendahkan martabat mereka. Apabila mereka menyebutkan salah seorang sahabat, bukannya mengatakan radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) untuk mendoakan mereka, tetapi justru mengatakan la’natullah ‘alaihi (Semoga Allah melaknatnya). Bahkan yang lebih parah lagi, mereka sampai mengkafirkan seluruh sahabat kecuali beberapa orang saja, seperti Salman Al Farisi, Miqdad Al Aswad, dan Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhum. Untuk mendukung pemikirannya ini, mereka juga berani membuat hadits-hadits palsu tentang kejelekan sahabat tertentu atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal, ketika mereka mencela sahabat, secara tidak langsung mereka juga telah mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena jika para sahabat itu kafir dan fasik, jelas hal itu mencela Rasulullah. Karena agama seseorang itu tergantung pada agama teman-temannya. Seseorang bisa dicela gara-gara temannya, jika temannya itu jelek. Secara tidak langsung pula, mereka telah mencela Allah. Allah telah memilih dan mempercayakan risalah yang paling utama kepada Rasulullah, padahal pergaulan beliau adalah dengan orang-orang kafir?! Oleh karena itu kita meyakini bahwa celaan kepada sahabat adalah kedustaan besar kepada para sahabat, permusuhan kepada Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya.
Salah seorang sahabat yang menjadi korban kejahatan orang-orang Syi’ah adalah Mu’awiyah bin Abu Sofyan radhiyallahu ‘anhu. Keharuman nama dan sejarah perjalanan beliau yang begitu indah dalam kitab-kitab hadits dan sejarah yang terpercaya, telah dinodai oleh goresan tangan para pendusta yang memutarbalikkan sejarah. Ironisnya, virus pemikiran yang sangat keji ini telah lama subur dalam buku-buku pendidikan sejarah pada berbagai tingkatan madrasah di negeri kita. Sehingga semenjak dini anak-anak telah dibina untuk membenci seorang sahabat bernama Mu’awiyah. Dalam gambaran mereka, Mu’awiyah adalah musuh bebuyutan Khalifah Ali bin Abi Thalib! Mu’awiyah adalah seorang yang menghalalkan darah saudaranya hanya karena ambisi kekuasaan! Dan gambaran-gambaran mengerikan lainnya. Mereka telah tertipu dengan hadits-hadits palsu tentang celaan terhadap Mu’awiyah buatan orang Syi’ah yang memang terkenal pendusta.
Sejahat itulah orang-orang Syi’ah dalam membenci dan mencela beliau. Padahal, beliau adalah salah seorang sahabat Nabi. Bahkan, beliau dikenal termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk penulis wahyu untuk Rasulullah. Sampai-sampai Rasulullah telah berdoa untuk beliau, ”Ya Allah, jadikanlah dia penunjuk dan yang diberi petunjuk. Tunjukilah dia, dan berilah manusia petunjuk karenanya.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Adz-Dzahabi. Hadits hasan shahih)
Demikianlah sedikit penjelasan tentang keutamaan sahabat Rasulullah dan kekejian kaum Syi’ah yang mencela sahabat. Akhirnya, ya Allah saksikanlah bahwa kami mencintai sahabat Nabi-Mu dan berlepas diri dari perilaku kaum Syi’ah yang mencela para sahabat Nabi-Mu.
.
****
.
.
BIARKAN SYI’AH BERCERITA TENTANG AGAMANYA
Penulis:
Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zain
(Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
.
FAKTA PERTAMA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlul Bait (keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ahlul bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak diragukan lagi (menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (keluarga) nya.
Ahlusunnah mencintai dan mengasihi ahlul bait, mencintai dan mengasihi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa tidak ada yang ma’shum melainkan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keyakinan mereka juga: wahyu telah terputus dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak seorang pun dari para manusia yang telah mati bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi, kita Ahlusunnah menjunjung tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan mereka agar senantiasa mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa kita juga berlepas diri dari musuh-musuh mereka.
Di pihak lain, orang-orang Rafidhah (Rafidhah adalah salah satu julukan kelompok Syi’ah. Julukan ini disebutkan oleh ulama kontemporer mereka Al Majlisy dalam kitabnya
1. Karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.
2. Versi lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan paling kufur.
Di antara sikap ekstrem mereka, klaim mereka bahwa para imam mengetahui hal-hal yang gaib, dan mereka mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi, tidak terkecuali. Mereka mengetahui apa-apa yang ada dalam hati, apa-apa yang ada dalam tulang belakang kaum pria dan apa-apa yang ada dalam rahim kaum wanita. Mereka juga mengetahui apa yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat.
Al Kulainy dalam kitabnya al-Kaafi -yang mana ini merupakan kitab yang paling shahih menurut Rafidhah-, dia telah mengkhususkan di dalamnya bab-bab yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di jilid I, hal 261, dia berkata, “Bab bahwasanya para imam mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari pengetahuan mereka.” Dia juga telah meriwayatkan dalam halaman yang sama dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa mereka mendengar Abu Abdillah ‘alaihis salam (yang dia maksud adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui apa-apa yang ada di dalam surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu serta yang akan datang.”
Dia juga berkata dalam jilid I, hal 258, “Bab bahwasanya para imam mengetahui kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kemauan mereka sendiri.”
Di antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka para imam memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau mereka; mereka bisa menghidupkan orang yang telah mati, juga menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena kusta, kemudian dunia akhirat milik para imam, mereka berikan kepada siapa saja sesuai dengan kehendak mereka.
Al-Kulainy di jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Apakah kalian pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Benar!” Lantas aku bertanya lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pewaris para nabi mengetahui apa yang mereka ketahui?” “Benar!”, jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah kalian menghidupkan orang yang sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang terkena penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.”
Husain bin Abdul Wahab dalam kitabnya ‘Uyun al-Mu’jizat hal 28 bercerita bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak diketahui pembunuhnya, “Berdirilah -dengan izin Allah- wahai Mudrik bin Handzalah bin Ghassan bin Buhairah bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab! Sesungguhnya Allah dengan izin-Nya telah menghidupkanmu dengan kedua tanganku!” Maka berkatalah Abu Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit dalam keadaan memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari dan bulan, sembari berkata, “Aku dengar panggilanmu wahai yang menghidupkan tulang, wahai hujjah Allah di kalangan umat manusia, wahai satu-satunya yang memberikan kebaikan dan kenikmatan. Aku dengar panggilanmu wahai Ali, wahai Yang Maha Mengetahui.” Maka berkatalah amirul-mu’minin, “Siapakah yang telah membunuhmu?” Lantas orang tersebut memberitahukan pembunuhnya.
Berkata al-Kasany dalam kitabnya ‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din jilid II, hal 597, “Semua makhluk diciptakan untuk mereka (para imam), dari mereka, karena mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada mereka. Karena -tanpa diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia dan akhirat hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat untuk mereka dan milik mereka.
Dengarlah salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan bahwasanya Nabiyullah Isa ‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali rodhiallahu ‘anhu, “Wahai para manusia, beberapa hari yang lalu telah dirayakan hari kelahiran Isa al-Masih, yang telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali bin Abi Thalib!”
Berkata Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya Al-Hukumah al- Islamiyah hal 52, “Sesungguhnya para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap kekuasaan dan pengawasan mereka.”
Sulaim bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta dengan perkataannya, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali, “Wahai Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu pengetahuan Allah yang paling agung sesudahku, engkau adalah tempat bersandar yang paling besar di hari kiamat. Barang siapa bernaung di bawah bayanganmu niscaya akan meraih kemenangan. Karena hisab (penghitungan amal) para makhluk berada di tanganmu, tempat kembali mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan amalan), shirath (jalan yang mengantarkan para hamba ke surga), dan al-mauqif (tempat berkumpulnya semua makhluk di hari akhir) semua itu adalah milikmu. Maka barang siapa yang bersandar kepadamu, niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelisihimu niscaya akan celaka dan binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”
Na’udzubillah…
Dengarlah Basim al-Karbalaiy menghasung dan mendorong orang-orang Rafidhah untuk pergi ke kuburan Ali radhiallahu ‘anhu dan meminta kesembuhan darinya, berihram dan thawaf di sekitar kuburannya, “Wahai yang berada di bawah kubah putih di
Di dalam kitab Wasail ad-Darojat karangan ash-Shaffar (hal 84), Abu Abdillah berkata: Konon Amirul Mu’minin pernah berkata, “Aku adalah ilmu Allah, aku adalah hati Allah yang sadar, aku adalah mulut Allah yang berbicara, aku adalah mata Allah yang melihat, aku adalah pinggang Allah, aku adalah tangan Allah.”
Na’uzubillah dari ghuluw ini!
Dengarlah Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia melekatkan kepada Ali sifat-sifat rububiyah Allah, “Dan di antara khutbah-khutbahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku mempunyai semua kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya sesudah Rasulullah kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku pemilik sirath dan mauqif, aku pembagi (distributor) surga dan neraka dengan perintah Robb-ku. Akulah yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan buah-buahan. Akulah yang memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai. Akulah yang menyimpan ilmu, akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan alam, akulah sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba diperintahkan untuk berdoa dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala dan yang membangkitkan manusia dari dalam kubur. Akulah penguasa hari kebangkitan. Akulah yang menyelamatkan Nuh, yang menyembuhkan Ayub. Akulah yang menegakkan langit dengan perintah Tuhanku. Akulah si pemegang keputusan yang tidak dapat diubah, hisab para makhluk berada di tanganku.
Dalam kitab Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya Hasan bin Yusuf bin al- Muthahhir al-Hilly (hal ini disebutkan, Akhthab Khawarizm meriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tatkala Allah ciptakan Adam dan Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya, Adam bersin lantas mengucapkan, “Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya, “Engkau telah memuji-Ku wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku kalau bukan karena dua hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam bertanya, “Mereka berdua dari keturunanku?”, “Betul wahai Adam. Angkatlah kepalamu dan lihatlah!” Maka Adam mengangkat kepalanya, dan ternyata telah tertulis di atas ‘Arsy, “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah, Muhammad nabi kasih sayang dan Ali penegak hujjah. Barang siapa yang mengetahui hak Ali maka dia akan suci dan bahagia, dan barang siapa yang taat kepadanya meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku akan Kumasukkan ke dalam surga. Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang siapa yang tidak taat kepada Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya akan Kumasukkan ke dalam neraka!”
Lihatlah wahai para hamba Allah, bagaimana dia mengedepankan ketaatan kepada Ali di atas ketaatan kepada Allah!!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 33): Pengarang buku Masyariq al-Anwar telah meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Mufadhal bin ‘Amr: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis salaam tentang perihal sang imam; bagaimana ia bisa tahu apa yang ada di penjuru bumi, padahal ia berada di rumah yang tertutup? Lantas ia menjawab, “Wahai Mufadhal, sesungguhnya Allah telah menciptakan di dalam diri mereka 5 ruh:
1. Ruh kehidupan, yang dengannya dia bisa memukul dan naik.
2. Ruh kekuatan, yang dengannya dia bisa bangkit.
3. Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa makan dan minum.
4. Ruh keimanan, yang dengannya dia memerintahkan dan berbuat adil.
5. Ruh kudus, yang dengannya dia mengemban kenabian. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah ruh kudus ke tubuh sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah. Dengan ruh itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia bisa mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih apapun dia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia bukanlah seorang imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku bersama Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan akulah yang menjadikan api itu dingin serta menyelamatkan. Aku juga bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang menyelamatkan dia dari ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan Taurat kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama Yusuf di dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian aku hembuskan angin baginya.”
Lantas apa yang tersisa untuk Allah?! Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ziarah Makam Husain Lebih Utama Dari Haji Ke Baitullah
Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid I, hal 371) dan di dalam kitab al-Mazar karangan al-Mufid (hal 58) disebutkan: Dari Yunus bin Dzobyan, berkata Abu Abdillah, “Barang siapa yang ziarah ke makam Husain pada malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Idul Fitri dan malam hari Arafah dalam satu tahun, niscaya Allah akan tuliskan baginya pahala 1000 ibadah haji yang mabrur, 1000 ibadah umrah yang diterima dan akan dikabulkan baginya 1000 doa yang berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan dia di dunia dan akhirat.”
Bahkan menurut orang-orang Rafidhah, para penziarah makam Husain itu lebih utama daripada orang-orang yang berada di
Na’udzubillah!
Dalam kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid V, hal 372) disebutkan: Dari Zaid asy-Syahham, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam berkata, “Barang siapa yang ziarah makam Abu Abdillah (Husain) ‘alaihis salam pada hari ‘Asyura sedang dia mengetahui hak-haknya, seakan-akan dia telah menziarahi Allah di ‘Arsy-Nya.”
Na’udzubillah dari ghuluw dan kesesatan ini!
FAKTA KEDUA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Al Quran.
Semua umat Islam telah berijma’ bahwasanya kitab Allah selalu terjaga dari pengubahan, penambahan ataupun pengurangan. Ia terjaga dengan penjagaan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Syi’ah dan Keyakinan Mereka Tentang Tahrif (distorsi, pengubahan) Al Quran
Ulama-ulama Syi’ah yang paling menonjol yang berpendapat bahwa Al Quran telah mengalami distorsi adalah: Al-Kulainy, al-Qummy, al-Mufid, ath-Thobarsy, al-Kaasyany, al-Jazairy, al-Majlisy, al-’Amily, al-Khuu’iy, dan masih banyak yang lainnya.
Pertama:
Mari kita mulai dari al-Kulainy pengarang kitab al-Kaafi, kitabnya yang paling terpercaya di kalangan orang-orang Rafidhah. Pengarang berkata dalam jilid II, hal 634, ((Dari Hisyam bin Salim dari Abu Abdillah ‘alaihis salam ia berkata, “Sesungguhnya Al Quran yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri dari 17.000 ayat”)). Padahal sepengetahuan kita ayat-ayat Al Quran hanya berjumlah 6.000 ayat lebih sedikit. Riwayat kedua disebutkan dalam (jilid I, hal 228). Riwayat ketiga disebutkan dalam (jilid I, hal 228).
Riwayat keempat disebutkan dalam jilid I, hal 229: ((Dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ia berkata, “Sesungguhnya yang berada di tangan kami adalah mushaf Fathimah. Tahukah kalian apa itu mushaf Fathimah?” Aku bertanya, “Apa itu mushaf Fathimah?” Ia menjawab, “Mushaf Fathimah tebalnya tiga kali lipat Al Quran kalian. Demi Allah tidak ada satu huruf pun dari Al Quran kalian, disebutkan di dalam mushaf Fathimah!”)).
Kedua:
Di antara ulama Rafidhah yang berpendapat bahwa Al Quran telah mengalami distorsi; Ali bin Ibrahim al-Qummy yang berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 36): ((Di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110). Berkata Abu Abdillah kepada yang membaca ayat ini, “Umat yang terbaik, lantas membunuh amirul mukminin Hasan dan Husain bin Ali ‘alaihima salam??” Lantas ada yang bertanya, “Bagaimana sebenarnya ayat tersebut diturunkan wahai putra Rasulullah?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian para imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia)”)).
Ketiga:
Ni’matullah al-Jazairy dalam jilid II, hal 363.
Keempat:
Al-Faidl al-Kaasyaany salah seorang ahli tafsir mereka yang tersohor dan pengarang Tafsir ash-Shafy, berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 49), ((Kesimpulan yang dapat diambil dari berita-berita ini dan riwayat-riwayat lainnya yang berasal dari ahlul bait ‘alaihis salam bahwasanya Al Quran yang ada di hadapan kita ini tidaklah sempurna, sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Di dalamnya ada yang diubah dan banyak pula yang telah dihapus; seperti nama Ali dari berbagai ayat, lafadz aalu (keluarga) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nama-nama kaum munafikin dan hal-hal lainnya. Juga Al Quran tersebut tidak sesuai dengan susunan yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam)).
Kelima:
Ahmad bin Manshur Ath-Thabarsy dalam kitabnya al-Ihtijaj (jilid I, hal 55) telah menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tatkala menceritakan kisah-kisah yang berkenaan dengan dosa-dosa dalam Al Quran, Allah telah menyebutkan secara terang-terangan nama para pelaku dosa tersebut. Akan tetapi para sahabat telah menghapus nama-nama tersebut, jadilah kisah-kisah itu disebutkan tanpa nama-nama pelakunya.
Keenam:
Berkata Muhammad bin Baqir Al Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid 89, hal 66): ((Bab distorsi dalam ayat-ayat Al Quran, sehingga tidak sesuai lagi dengan apa yang diturunkan oleh Allah)).
Ketujuh:
Muhammad bin Muhammad an-Nu’man yang dijuluki al-Mufid dalam kitabnya Awaail al- Maqaalaat (hal 91).
Kedelapan:
Abul Hasan Al ‘Aamily dalam muqaddimah kedua dari kitab tafsirnya Mira’ah al-Anwar wa Misykaah al-Asraar (hal 36) menyatakan, ((Ketahuilah, sesungguhnya Al Haq yang kita tidak bisa elakkan -berdasarkan kabar-kabar yang mutawatir ini dan lainnya- bahwa Al Quran yang ada di hadapan kita, telah diubah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya orang-orang yang mendapatkan tugas untuk menyampaikan Al Quran telah menghapus banyak kata-kata dan ayat-ayat)).
Kesembilan:
Abul Qasim al-Khuu’iy (Ulama kontemporer syiah) dalam kitabnya al-Bayan (hal 236). Dengarlah Adnan al-Waa’il yang memberikan contoh salah satu distorsi yang dialami Al Quran: ((Ketika turun ayat (yang artinya) “Hai para rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang Ali. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya. Allah memelihara kamu dari gangguan manusia.” (QS Al Maaidah: 67)).
FAKTA KETIGA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai para sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummahatul mu’minin.
Keutamaan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tingginya kedudukan serta derajat mereka, sudah merupakan sesuatu yang diketahui oleh semua orang. Hal itu juga termasuk hal-hal yang diketahui dari agama Islam secara dharurah. Ini disebabkan karena melimpahnya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, baik dari Al Quran maupun As Sunnah. Sekarang bukan waktunya untuk menyebutkan semua dalil-dalil itu, akan tetapi barangkali kami akan menyebutkan sebagian saja:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً)) الفتح:29
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka, tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
Ayat yang mulia ini mencakup seluruh sahabat karena mereka semua bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menguatkan apa yang telah lalu: hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim; dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari dari Abu Sa’id dia berkata: ((Pada suatu saat terjadi suatu masalah antara Khalid bin Walid dengan Abdurrahman bin ‘Auf, lantas Khalid memaki Abdurrahman. Ketika mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memaki salah seorang dari sahabatku, sesungguhnya jika salah seorang dari kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan dapat menyamai (pahala) satu genggam atau setengah genggam (nafkah) salah seorang dari mereka.” Hadits ini juga mencakup seluruh sahabat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memaki salah seorang dari sahabatku.”
Syi’ah dan Penghinaan Mereka Terhadap Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam kitab ar-Raudhah min al-Kafi (hal 245) disebutkan, ((Dari Hanan, dari bapaknya, dari Abu Ja’far ‘alaihis salam, ia berkata, “Sesungguhnya para manusia telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tiga orang.” Lantas aku bertanya: “Siapakah tiga orang itu?” Dia menjawab: “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifary dan Salman al-Farisy.”)).
Ash-Shafy dalam tafsirnya (jilid V, hal 28) berkata, ((Dari Abdurrahman bin Katsir, dari Abu Abdillah, dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad: 25). Dia berkata, “fulan dan fulan”, yang dia maksud adalah Abu Bakar dan Umar)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 53), ((Telah diriwayatkan dalam berita-berita khusus bahwa tatkala Abu Bakar sholat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menggantungkan berhala di lehernya, dan sujudnya adalah untuk berhala itu)). Na’udzubillah dari kedustaan ini!
Dengarlah salah seorang syaikh orang Syi’ah yang tanpa tedeng aling-aling melaknat Ash Shiddiq, (( Para ulama Syi’ah telah bersaksi bahwa ada riwayat-riwayat valid yang kevalidannya melahirkan dalil-dalil atas si penjahat Abu Bakar, hal tersebut karena adanya dia di masjid dan kembalinya dia dari pasukan pertama. Kedua melanggar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga tidak sholatnya dia bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dengarlah wahai siapa yang berkata, Tidak boleh melaknat. Semoga Allah melaknat Abu Bakar!, semoga Allah melaknat Abu Bakar!, semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dan semoga Allah melaknat Umar dan para pembangkang lainnya! Semoga Allah melaknat siapa saja yang tidak rela dengan dilaknatnya mereka! Kebencian-kebencian umat ini…)).
Dengan busuknya Ni’matullah al-Jazary berkata dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 63), ((Konon Umar terkena penyakit di duburnya dan tidak bisa disembuhkan kecuali dengan air mani para lelaki)).
Berkata Zainudin al-Bayadhy dalam kitabnya ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim (jilid III, hal 129), ((Sebenarnya Umar itu telah menyembunyikan kekufuran dan memperlihatkan keislaman)).
Dalam kitab al-Anwar an-Nu’maniyah milik Ni’matullah al-Jazairy (jilid I, hal 81) disebutkan, ((Telah disebutkan dalam riwayat-riwayat khusus bahwasanya syaitan dibelenggu dengan 70 belenggu dari besi jahanam lantas digiring ke padang mahsyar, tiba-tiba sesampainya di sana dia melihat seseorang di depannya yang ditarik oleh malaikat azab dan di lehernya terdapat 120 belenggu dari belenggu-belenggu jahanam, dengan terheran-heran syaitan itu mendekat lantas bertanya, “Apa yang dikerjakan orang yang amat malang ini hingga siksaannya jauh lebih berat dariku? Padahal aku telah menyesatkan para makhluk hingga aku masukkan mereka ke dalam pintu-pintu kebinasaan.” Maka berkatalah Umar (Maksudnya makhluk malang yang dibelenggu dengan 120 rantai neraka jahanam adalah amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu! Qaatalahumulloh! -pen) kepada si syaitan, “Tidak ada yang kukerjakan melainkan hanya merampas kekhilafahan Ali bin Abi Thalib.”)).
Di antara yang dituduhkan gerombolan orang-orang Rafidhah terhadap amirul mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu; apa yang disebutkan oleh Zainuddin al-Bayadhy dalam kitabnya ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim (jilid III, hal 30), ((Pada suatu saat di zaman Utsman didatangkan seorang perempuan untuk dihukum hadd, lantas oleh Utsman perempuan tersebut dizinai terlebih dahulu baru kemudian diperintahkan untuk dirajam)).
Belum puas Rafidhah dengan tuduhan keji ini, bahkan dalam kitab yang sama dan halaman yang sama disebutkan bahwa Utsman itu termasuk orang-orang yang dipermainkan (para laki-laki) dan bertingkah laku seperti perempuan, serta suka main rebana.
Dengarlah bagaimana Hasan ash-Shaffar berbangga karena Rafidhah-lah yang telah membunuh Utsman radhiallahu ‘anhu, ((Sesungguhnya Syiah-lah yang telah membunuh Utsman, semoga Allah memberikan pahala yang baik buat mereka)).
Al-Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid XXX, hal 237) berkata, ((Kisah-kisah yang menerangkan kekafiran Abu Bakar dan Umar, penyelewengan mereka, serta pahala orang yang melaknat dan berlepas diri dari mereka dan dari bid’ah-bid’ah mereka amat sangat banyak untuk disebutkan dalam satu jilid atau dalam buku yang berjilid-jilid lainnya)).
Muhammad al-’Ayasyi dalam tafsirnya (jilid III, hal 20) surat an-Nahl:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS. An Nahl: 90)
Al-’Ayasyi berkata: Al- Fahsyaa (perbuatan keji) yaitu yang pertama (maksudnya Abu Bakr), al-Munkar (kemungkaran) yaitu yang kedua (maksudnya Umar al-Faruq), al-Baghy (permusuhan) yaitu yang ketiga (maksudnya: Utsman bin Affan).
Semoga Allah meridhai seluruh shahabat.
Bahkan al-Majlisy dalam (jilid XXX, hal 235) menukil dari Tafsir al-Qummy dalam firman Allah ta’ala,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
“Katakanlah: aku berlindung kepada Rabb al Falaq.”
Al-Falaq adalah kawah di Jahanam, seluruh penghuni neraka memohon perlindungan kepada Allah darinya karena saking panasnya, lantas kawah itu minta izin untuk bernafas, maka diizinkanlah, akibatnya terbakarlah neraka jahanam. Dan di dalam kawah tersebut ada sebuah peti yang mana penghuni kawah tersebut memohon perlindungan kepada Allah darinya karena saking panasnya. Peti itulah yang dinamakan Tabut. Di dalam Tabut itu ada enam orang terdahulu dan enam orang yang hidup setelah zaman mereka. Adapun enam orang yang hidup setelah zaman mereka adalah: nomor pertama, kedua, ketiga dan keempat. Nomor pertama maksudnya Abu Bakar, yang kedua maksudnya Umar, yang ketiga Utsman dan yang keempat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhum.
Al-Majlisy berkata dalam (jilid XXX, hal 237), ((Keterangan tentang dua orang Arab badui yang pertama dan kedua -yakni Abu Bakar dan Umar-, yang tak pernah beriman kepada Allah sekejap mata pun)). Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup Rafidhah sampai sini, bahkan mereka melampaui batas hingga ‘menyerang’ Ummahatul Mukminin. Berkata Ja’far Murtadho dalam bukunya Hadits al-Ifk (hal 17), ((Sesungguhnya kami meyakini, sebagaimana (keyakinan) para ulama-ulama besar kami pakar pemikiran dan penelitian, bahwa isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpeluang untuk kafir sebagaimana istri Nuh dan istri Luth)), dan yang dimaksud istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah ‘Aisyah. Hasyim al-Bahrany berkata dalam tafsirnya al-Burhan (jilid IV, hal 358) surat at-Tahrim, ((Berkata Syarafuddin an-Najafy, “Diriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihis salam bahwa dia berkata dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.” (QS. At Tahrim: 10)
Perumpamaan ini Allah buat untuk Aisyah dan Hafshah, karena keduanya demo terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuka rahasianya)).
Ali bin Ibrahim al-Qummy berkata, ((Lantas Allah membuat perumpamaan untuk ‘Aisyah dan Hafshah dan berkata, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba-hamba kami, lalu kedua istri itu berkhianat.” Demi Allah yang dimaksud dengan berkhianat tidak lain hanyalah berzina (na’udzubillah). Niscaya akan dilakukan hukum had atas fulanah (yang dia maksud adalah ‘Aisyah) atas apa yang dikerjakannya di jalan Bashrah. Dikisahkan bahwa fulan (yang dia maksud Thalhah) mencintai ‘Aisyah. Tatkala ‘Aisyah akan safar ke Bashrah, berkatalah Thalhah, “Kamu itu tidak boleh safar kecuali dengan mahram.” Lantas Aisyah mengawinkan dirinya dengan fulan, dalam suatu naskah disebutkan dengan Thalhah)).
Berkata Muhammad al-‘Ayasyi dalam tafsirnya (jilid XXXII, hal 286) surat Ali Imran, dari Abdush Shamad bin Basyar dari Abi Abdillah radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Tahukah kalian Nabi itu meninggal atau dibunuh? Sesungguhnya Allah berfirman,
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad).” (QS. Ali Imran: 144).
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diracuni sebelum wafatnya, dan mereka berdualah yang meracuninya (yakni ‘Aisyah dan Hafshah)! Sesungguhnya dua perempuan tersebut dan bapak mereka adalah sejahat-jahat ciptaan Allah! Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup al-Majlisy sampai di situ, bahkan dia berkata dalam kitabnya Bihar al-Anwar (jilid XXXII, hal 286), ((Dari Salim bin Makram dari bapaknya ia berkata, Aku mendengar Abu Ja’far ‘alaihis salam berkata di dalam firman Allah,
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتاً وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan-perlindungan selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba.” (QS. Al Ankabut: 41).
Laba-laba itu adalah al-Humaira (Aisyah-pen). Kenapa dimisalkan dengan laba-laba? karena dia adalah binatang yang lemah dan membuat sarang yang lemah; begitu pula al-Humaira (yakni Aisyah), dia itu binatang yang lemah, lemah kedudukan dan akal serta agamanya. Hal itu menjadikan pendapatnya lemah dan akalnya yang tolol, hingga melakukan pelanggaran dan permusuhan terhadap Tuhannya. Persis dengan sarang laba-laba yang lemah!))
FAKTA KEEMPAT: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlusunnah.
Tuhan Orang Syi’ah Beda Dengan Tuhan Ahlusunnah
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 278), ((Sesungguhnya kami (kaum Syi’ah) tidak pernah bersepakat dengan mereka (Ahlusunnah) dalam menentukan Allah, nabi maupun imam. Sebab mereka (Ahlusunnah) mengatakan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang menunjuk Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai pengganti Muhammad sesudah beliau wafat. Kami (kaum syi’ah) tidak setuju dengan Tuhan model seperti ini, juga kami tidak setuju dengan model nabi yang seperti itu. Sesungguhnya Tuhan yang memilih Abu Bakar sebagai pengganti nabi-Nya, bukanlah Tuhan kami. Dan nabi model seperti itu pun bukan nabi kami!)). Na’udzubillah dari kekufuran dan kesesatan ini!!!
Pengertian an-Naashib Dalam ‘Kamus’ Rafidhah
An-Nawaashib mufradnya naashib. Definisinya menurut Ahlusunnah adalah: Orang-orang yang mengalahkan serta melaknat Ali dan keluarganya. Sedangkan definisinya versi orang-orang Syi’ah: An-Nawashib adalah Ahlusunnah yang mencintai Abu Bakar, Umar dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya radhiallahu ‘anhum.
Husain Aal ‘Ushfur ad-Darraz al-Bahrany dalam kitabnya al-Mahasin an-Nafsaniyah Fi Ajwibati al-Masail al-Khurasaniyah (hal 147) berkata, ((Berita-berita yang bersumber dari para imam ‘alaihis salam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan an-Nashib adalah yang biasa dipanggil dengan julukan Sunni)). Dia juga berkata, ((Tidak perlu lagi dipermasalahkan bahwa yang dimaksud dengan an-Nashibah adalah Ahlusunnah)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid II, hal 306-307), ((Adapun orang Nashibi, kondisi dan hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka bisa dijelaskan dalam dua hal: Pertama, siapakah yang dimaksud dengan an-Nashib yang diceritakan dalam berbagai riwayat mereka itu lebih jahat dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi. Yang juga mereka itu kafir dan najis menurut ijma’ para ulama imamiyah… Dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di antara ciri khas orang-orang Nawashib adalah: mendahulukan selain Ali atasnya)). Perkataan orang satu ini menunjukkan bahwa setiap yang mendahulukan kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman sebelum kepemimpinan Ali radhiallahu ‘anhu, maka dia adalah Nashibi menurut versi orang-orang Rafidhah; padahal orang-orang Nashibi itu menurut mereka lebih jahat dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi, bahkan dianggap kafir dan najis!!! Na’udzubillah!!
Kaum Rafidhah Menghalalkan Harta dan Nyawa Ahlusunnah
Berkata Yusuf al-Bahrany dalam kitabnya al-Hadaaiq an-Naadhirah Fii Ahkaam al-‘Itrah ath- Thaahirah (jilid XII, hal 323), “Sesungguhnya anggapan bahwa an-Nashib itu muslim, dan juga anggapan bahwa agama Islam tidak membolehkan untuk mengambil harta mereka, ini semua tidak sesuai dengan ajaran kelompok yang benar (maksudnya Syi’ah –pen) mulai dari dahulu sampai sekarang, yang mana mereka itu mengatakan bahwa an-Nashib itu kafir dan najis serta boleh diambil hartanya bahkan dibenarkan untuk dibunuh.”
Dalam kitab Wasail asy-Syi’ah karangan al-Hur al-’Amily (jilid XVIII, hal 463) disebutkan, ((Berkata Dawud bin Farqad, Aku bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis salam, “Apa pendapatmu tentang an-Nashib?” Dia menjawab, “Halal darahnya (nyawanya -pen) tapi aku bertaqiyyah (Lihat maksud dari istilah taqiyyah di epilog dari tulisan ini -pen). darinya. Seandainya engkau bisa membunuhnya dengan cara meruntuhkan suatu tembok atasnya atau kamu tenggelamkan dia, supaya tidak ketahuan bahwa kamulah pembunuhnya, maka lakukanlah!”)). Aku bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan hartanya?” Dia menjawab, “Musnahkanlah hartanya semampumu!”)).
Dalam kitab ar-Raudhah min al-Kafi (hal 285) disebutkan, ((Dari Abu Hamzah, Aku bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Sebagian kawan-kawan kami memfitnah dan menuduh yang tidak-tidak terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka?” Dia menjawab, “Lebih baik engkau tinggalkan perbuatan itu! Demi Allah wahai Abu Hamzah sesungguhnya seluruh manusia adalah anak-anak pelacur kecuali para pendukung kita!!”)). Yang dia maksud adalah: bahwa semua manusia adalah anak-anak hasil perzinaan kecuali orang-orang Syi’ah (Bagaimana mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! -pen). Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Orang-Orang Rafidhah Mengkafirkan Golongan Ahlusunnah
Al-Faidl al-Kasyany dalam kitabnya Minhaj an-Najah (hal 48) berkata, “Barang siapa yang mengingkari keimaman salah seorang dari mereka (yakni para imam yang dua belas) maka sesungguhnya dia itu sama dengan orang yang mengingkari kenabian seluruh para nabi.”
Berkata al-Maamaqaany dalam kitabnya Taudhih al-Maqaal (jilid I, hal 208), “Kesimpulan yang dapat diambil dari kitab-kitab, bahwa setiap yang tidak bermazhab itsna ‘asyar (syi’ah) akan diterapkan baginya hukum orang kafir dan musyrik di akhirat.”
Dengarlah orang-orang Rawafidh yang terang-terangan melaknat para ulama Islam seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Samahah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah: “Ini syeikh Bin Baz, kalian anggap dia itu syaikh?! Wahai orang-orang yang najis!, orang-orang yang kotor!, wahai para pengikut Ibnu Taimiyyah si anjing itu! Wahai para pengikut Bin Baz al-Munafiq si buta mata dan hati! Semoga Allah melaknat dia!!! Semoga Allah melaknat dia!! Anjing kalian ikuti?!, kalau bukan karena kalian binatang niscaya kalian tidak akan mengikuti binatang, babi seperti Bin Baz!!!)). Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Keyakinan Rafidah Mengenai Al-Mahdi Yang Dinanti-nantikan
Ahlusunnah meyakini bahwa di akhir zaman nanti akan muncul seorang dari ahlul bait, Allah kokohkan dengannya agama Islam, dia berkuasa tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman. Bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya, langit menurunkan hujannya, harta melimpah ruah tanpa batas. Adapun Rafidhah, maka telah terjadi kontradiksi dalam keyakinan mereka tentang al-Mahdi; terkadang mereka mengingkari lahirnya al-Mahdi sebagaimana yang dikatakan oleh al-Kulainy dalam kitabnya Ushul al-Kafi (jilid I, hal 505), Ibnu Baabawaih al-Qummy dalam kitabnya Kamaal ad-Din Wa Tamaam an-Ni’mah (hal 51), juga al-Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid 50, hal 329), bahwa al-Mahdi tidak akan dilahirkan, sebab harta warisan ayah al-Mahdi yang bernama al-Hasan al-’Askary sudah terlanjur dibagi-bagi.
Akan tetapi terkadang mereka mengatakan bahwa al-Mahdi telah dilahirkan, akan tetapi dia masih bersembunyi di suatu tempat yang bernama gua as-Saamuroi, dan akan muncul kelak di akhir zaman untuk membantu Syi’ah dan membunuhi musuh-musuh mereka dari kalangan Ahlusunnah.
Agar kerancuan itu lenyap, akan kita sebutkan perbedaan-perbedaan antara Mahdinya orang Islam dengan Mahdi yang diklaim oleh orang Rafidhah.
Pertama, Mahdinya orang Islam bernama Muhammad bin Abdullah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Namanya (al-Mahdi -pen) sama dengan namaku, dan nama bapaknya (al-Mahdi -pen) juga sama dengan nama bapakku.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzy, serta dishahihkan oleh al-Albany dalam Misykaat al-Mashabih). Adapun Mahdi yang diakui oleh orang Rafidhah bernama Muhammad bin al-Hasan al-‘Askary sebagaimana yang disebutkan oleh al-Arbaly dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 226).
Kedua, Mahdinya orang Islam belum dilahirkan hingga sekarang dan dia akan dilahirkan di akhir zaman. Adapun mahdinya orang Rafidhah sesungguhnya telah dilahirkan pada tahun 255 H. Berkata al-Arbaly dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 236), “Al-Mahdi lahir pada malam pertengahan Sya’ban tahun 255 H, lantas tatkala berumur lima tahun dia masuk gua as-Samuroi di Irak. Dan sekarang dia masih hidup.” Jadi sejak tahun itu sampai hari ini mahdi khurafatnya orang Rafidhah sudah berumur 1168 tahun!!!
Ini syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir berusaha keras untuk membuktikan adanya al-Mahdi khurafat mereka, “Manusia itu bisa saja hidup ribuan tahun, ditambah lagi kita tidak mengetahui umur yang disebutkan dalam Al Quran. Sedangkan umur 70 tahun, 60 tahun, 80 tahun, itu semua umur alami. Umur itu tidak ada yang tahu panjangnya kecuali Allah. Mungkin saja seseorang hidup seumuran Nuh. Nuh hidup 3000 tahun. Ilmu mutakhir membuktikan bahwa tidak ada suatu hal yang menghalangi panjangnya umur seseorang, seandainya Allah menghendaki. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena Allah menciptakanmu tidak hanya untuk hidup 60 tahun kemudian kamu mati, seandainya jika memang belum ada sebab-sebab kematian. Para ilmuwan berkata: Seandainya manusia selalu berada di atas metode ilmiah yang tepat di dalam makannya, minumnya, pakaiannya, tidurnya dan bangunnya, niscaya dia bisa hidup ribuan tahun!”
Ketiga, Mahdinya orang Islam dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keturunan al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu, adapun mahdi yang diklaim oleh Rafidhah itu keturunan al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu.
Keempat, Mahdinya orang Islam tinggal selama 7 tahun, adapun Mahdi yang diklaim oleh Rafidhah tinggal selama 70 tahun.
Kelima, Mahdinya orang Islam memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Adapun Mahdinya orang Rafidhah, sesungguhnya dia akan membunuhi orang-orang Islam musuh-musuh Rafidhah, bahkan dia akan menghidupkan kembali ash-Shiddiq dan al-Faaruq; Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, kemudian menyalib keduanya, juga mencambuk Aisyah dengan cambukan had. Sebagaimana disebutkan dalam kitab ar-Raj’ah karangan Ahmad al-Ahsaa’iy (hal 161).
Bahkan Mahdinya Rafidhah banyak melakukan pembunuhan di muka bumi ini terutama orang-orang Quraisy. Sampai-sampai mereka berkata: bahwasanya al-Mahdi akan membunuh dua pertiga dari penduduk bumi.
Demi Allah, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah pekerjaan al-Masih ad-Dajjal! Bahkan dalam Bihaar al-Anwar (jilid 52, hal 354) disebutkan, ((Telah diriwayatkan dari Abu Ja’far ‘alaihis salam bahwa dia berkata: Hingga kebanyakan manusia berkata: “Dia bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad, seandainya dia dari keluarga Muhammad, niscaya dia itu akan bersikap lemah lembut.”)).
Keenam, Mahdinya orang Islam menegakkan syariatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun mahdinya yang diklaim Rafidhah dia akan menegakkan hukum keluarga Dawud, bahkan akan menyeru Allah dengan nama Ibraninya. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Ushul al-Kaafi (jilid I, hal 398).
Ketujuh, Mahdinya orang Islam Allah turunkan dengannya hujan, lantas bumi menumbuhkan tetumbuhannya. Adapun Mahdinya Rafidhah maka akan menghancurkan Ka’bah, Masjidil Haram, Masjid Nabawi bahkan akan menghancurkan semua masjid (yang ada di muka bumi -pen). Sebagaimana yang disebutkan oleh ath-Thusy dalam kitabnya al-Gharib (hal 472).
Kedelapan, Mahdinya orang Islam memerangi Yahudi dan Nasrani, sampai agama betul-betul menjadi milik Allah semata, dan dia beserta nabi Isa akan membunuh Dajjal. Adapun Mahdinya orang-orang Rafidhah maka dia akan berdamai dengan orang Yahudi dan Nasrani, lantas menghalalkan darah orang Islam dan membalas dendam terhadap mereka. Sebagaimana diterangkan al-Majlisy dalam kitabnya Bihar al-Anwar (jilid 52, hal 376).
Dengan demikian hilanglah ketidakjelasan perbedaan antara dua mahdi. Dan tidak mungkin Mahdinya orang Islam dengan Mahdinya orang Rafidhah itu satu.
FAKTA KELIMA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Hari ‘Asyura.
Pada hari ‘Asyura orang-orang Islam menunaikan ibadah puasa, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Kitab-kitab orang Rafidhah juga memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura, akan tetapi anehnya orang-orang Rafidhah sendiri mengingkari puasa tersebut, bahkan menuduh bahwa orang-orang kerajaan Umawi-lah yang membuat-buat riwayat-riwayat palsu yang menghasung puasa ‘Asyura.
Setiap tahun, pada hari-hari bulan Muharam, terutama tanggal sepuluh, orang-orang Rafidhah melakukan perbuatan-perbuatan ‘aib yang memalukan; mulai dari memakai pakaian hitam, mengadakan majelis-majelis Al Husainiyah, mengadakan ceramah-ceramah dan perkumpulan-perkumpulan yang diselingi dengan pelaknatan terhadap Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan anaknya Yazid serta kepada bani Umayyah secara keseluruhan. Juga mereka menganiaya diri mereka sendiri dan memukuli diri mereka dengan rantai dan pedang. Serta masih banyak penyelewengan-penyelewengan syariat lainnya, yang mana itu semua dengan dalih mengungkapkan rasa bela sungkawa dan berkabung atas kematian Husain radhiallahu ‘anhu.
Dengarlah syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir yang melegalisir aksi orang-orang Rafidhah pada hari ‘Asyura, “Jangan kalian dengar orang yang berkata bahwa memukul-mukul kepala dengan rantai, menampar dan menangis itu haram, sesungguhnya mereka itu tidak paham agama Islam. Pada asalnya sesuatu itu diharamkan seandainya membahayakan, kalau membahayakan baru bisa dikatakan haram, dan ini tidak ada hubungannya dengan memukul-mukul kepala dan memukul-mukul kaki, siapa bilang itu haram? Mengharamkan sesuatu butuh dalil, karena pada asalnya segala sesuatu itu hukumnya halal!!”
Inilah ulama kita yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang mengingkari bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran Rafidhah pada hari-hari ‘Asyura dengan perkataannya, “Orang yang menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari penebusan dosa dan hari berkabung, sebagaimana orang-orang Rafidhah yang pada hari itu mereka memukul-mukul dada-dada dan tubuh-tubuh mereka serta memukul-mukul diri mereka dengan besi, mencaci maki dan melaknat. Ini semua merupakan sebagian dari kebodohan, kesesatan serta kebid’ahan mereka yang tercela. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari itu semua. Niyahah (ratapan), memukul-mukul pipi, serta merobek-robek pakaian, tetap merupakan perbuatan mungkar, kapan saja dan di mana saja sampai pun pada hari di mana Husain terbunuh, atau di saat musibah apapun. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan itu dan bersabda, ‘Tidak termasuk dari golongan kami: orang-orang yang memukul-mukul pipi dan merobek-robek pakaian serta menyeru dengan seruan jahiliyah.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Allah melaknat ash- Shaliqah, al-Haliqah serta asy-Syaqqah.’ Ash-Shaliqah: adalah orang yang meraung-raung ketika terjadi musibah, al-Haliqah: yang menggundul rambutnya, asy-Syaqqah: yang merobek-robek pakaiannya. Ini semua merupakan kemungkaran, na’udzubillah!. Orang-orang Rafidhah memperbolehkan aksi-aksi tersebut dengan dalih bahwa itu ungkapan dukungan terhadap ahlul bait dan sebagai ungkapan kesedihan. Padahal dengan aksi-aksi tersebut mereka telah menyakiti diri mereka sendiri dan menjadikan Allah murka terhadap perbuatan buruk tersebut, sebab aksi itu telah menyelisihi syariat dan merupakan bid’ah yang mungkar.”
Bagaimana mungkin kita bisa bersatu dengan orang-orang yang selalu mencekoki masyarakatnya setiap tahun dengan perasaan dendam dan dengki terhadap Ahlusunnah, dengan dalih bahwa Ahlusunnah-lah yang telah membunuh Husain. Padahal kitab-kitab Syi’ah dipenuhi riwayat-riwayat yang membuktikan bahwa orang Syia’h Kufah-lah yang telah mengkhianati Husain radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sebelumnya mereka telah berkhianat kepada saudara dan bapaknya.
Dalam kitab Maqtal al-Husain karya Abdul Razak al-Mukrim (hal 175) disebutkan: ((Bahwa Husain radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya merekalah yang telah mengkhianatiku, lihatlah surat-surat yang berasal dari Kufah ini! Sesungguhnya merekalah yang telah membunuhku!”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab Muntaha al-Aamal Fi Tarikh an-Nabiy wa al-Aal (jilid I, hal 535).
Bahkan referensi Syi’ah yang tersohor Muhsin al-Amin dalam A’yaan asy-Syi’ah (jilid I, hal 32) berkata, “Kemudian 20.000 penduduk Irak yang telah membai’at Husain mengkhianatinya dan meninggalkannya, padahal tali bai’at masih tergantung di leher mereka. Kemudian mereka membunuh al-Husain.”
Dalam kitab al-Ihtijaj karangan ath-Thabarsy (hal 306) disebutkan, ((Bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan julukan Zainal Abidin berkata: “Wahai para manusia, demi Allah tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian-lah yang telah menulis surat terhadap bapakku, lantas kalian tipu dia?! Kalian telah berjanji dan membai’at bapakku lantas kalian bunuh dan terlantarkan dia?! Celakalah kalian atas apa yang telah kalian lakukan. Bagaimana kelak kalian bisa memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau kelak berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan kalian rusak kehormatanku, sesungguhnya kalian bukanlah dari golongan kami!’”)).
Dalam kitab Maqtal al-Husain karangan Murtadha ‘Ayyad (hal 83) dan dalam kitab Nafs al-Mahmum karangan ‘Abbas Al Qummy (hal 357) disebutkan, ((Tatkala Imam Zainal Abidin rahimahullah lewat dan melihat orang Kufah menangis dan meratap (berkabung atas meninggalnya Husain), beliau membentak mereka seraya berkata, “Kalian meratapi diri kami??! Lantas siapakah yang membunuh kami? (kalau bukan kalian?? –pen)”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab al-Ihtijaj karya ath-Thabarsy (hal 304).
Dengarlah ulama kita Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang menerangkan kejadian yang sebenarnya tentang Husain radhiallahu ‘anhu, juga menerangkan sikap Ahlusunnah terhadap fitnah tersebut: “Tatkala Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu mendengar berita tentang kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh Yazid bin Mu’awiyah, beliau keluar dari Mekkah menuju Irak, dengan tujuan menyatukan kalimat kaum muslimin di atas kebaikan serta menegakkan syariat Islam. Sebagian saudara-saudaranya dari para sahabat telah menasihatinya agar tidak pergi, tapi beliau berijtihad untuk berangkat. (Tatkala mendengar keberangkatan al-Husain) Ubaidullah bin Ziyad mengutus pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’id bin Abi Waqqas, hingga terjadilah peperangan antara dua pihak. Orang-orang yang bersama Husain saat itu sedikit sekali yaitu keluarga dia. Maka terbunuhlah Husain dan banyak korban berjatuhan dari orang-orang yang bersamanya di suatu tempat yang bernama Karbala. Ubaidullah bin Ziyad telah bersalah karena perbuatannya, sebenarnya Husain sudah berkehendak pulang dan meninggalkan fitnah, atau pergi ke Yazid, atau pergi ke daerah sekitar. Akan tetapi pasukan tersebut terus memerangi dia sampai akhirnya membunuh dia dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk melindungi dia. Hingga terbunuhlah Husain dalam keadaan terzalimi dan tidak bersalah. Maka terjadilah musibah besar yang membuka pintu keburukan yang besar! nas’alullah al-’afiyah!”
Mereka (Ubaidullah dkk) telah berbuat salah dengan perbuatan mereka tersebut, semoga Allah meridhai Husain dan memberi rahmat kepadanya, kepada kita serta kepada semua kaum Muslimin. Semoga Allah membalas orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan balasan yang setimpal. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan-kejahatan Rafidhah dan perbuatan-perbuatan mereka yang hina, serta Allah kembalikan mereka ke pangkuan Islam dan petunjuk.
Epilog
Para pembaca yang budiman, setelah kita melakukan ‘pengembaraan’ dari satu referensi ke referensi yang lain yang berada di perpustakaan kelompok Syi’ah, penulis ingin menarik perhatian para pembaca kepada dua perkara penting yang erat kaitannya dengan pembahasan kita kali ini.
Dua hal itu adalah:
Pertama- Kami rasa setiap yang membaca makalah ini akan bisa langsung menarik kesimpulan betapa sesatnya kelompok yang satu ini, bahkan dia bisa mengatakan bahwa yang menganut keyakinan tersebut di atas tidak lagi bisa dianggap beragama Islam. (Bahkan ada salah seorang awam yang tatkala membaca awal makalah ini, tidak bisa mengeluarkan kata-kata kecuali hanya: “Ini kelompok dholal (sesat) banget sich!”).
Yang ingin kami jelaskan di sini: Sedemikian sesatnya kelompok Syi’ah ini, masih ada -sampai detik ini- orang-orang yang berusaha dengan gigihnya untuk menyatukan antara Syi’ah dan Ahlusunnah di bawah satu payung, dan mengatakan bahwa perbedaan kita dengan Syi’ah hanyalah seperti perbedaan antara empat mazhab Ahlusunnah; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Entah karena mereka tidak tahu kesesatan Syi’ah atau karena pura-pura tidak tahu. Wallahua’lam… Kalau tidak tahu kenapa berbicara, bukankah orang yang tidak tahu sebaiknya diam saja? Kalaupun tahu kenapa tidak menerangkan hakikat kelompok Syi’ah itu kepada pengikutnya??
Berikut penulis bawakan statemen-statemen pembesar kelompok pergerakan ini yang terang-terangan berusaha menyatukan antara Ahlusunnah dan Syi’ah (Silahkan baca: ibid hal: 238-268, dan al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim bin Sulthan al-’Adnani, hal: 68-71)
Mari kita mulai dengan perkataan pendiri kelompok ini Hasan al-Banna rahimahullah, “Ketahuilah bahwa Ahlusunnah dan Syi’ah semuanya termasuk kaum muslimin, mereka disatukan dengan kalimat La ilaaha illAllah wa anna Muhammadan Rasulullah (Padahal syahadat orang Syi’ah mereka tambahi dengan: wa anna ‘aliyyan waliyyullah washiyyu rasulillah wa khalifatuhu bila fashl. Silahkan lihat cover buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, karya as-Sayyid Mandzur Husain -pen), ini adalah inti aqidah, Sunah dan Syi’ah sepakat di dalamnya, dan di atas kesucian. Adapun perkara khilaf antara keduanya, maka itu termasuk perkara-perkara yang bisa kita dekatkan antara keduanya.” (Dzikrayat La Mudzakkirat hal 249-250).
Umar at-Tilmisani rahimahullah berkata dalam suatu makalah dia asy-Syi’ah Wa as-Sunnah, “Usaha penyatuan antara Syi’ah dan Sunnah merupakan kewajiban para ahli fikih zaman ini.” (Majalah ad-Da’wah al-Mishriyyah edisi 105, Juli 1985 M). Dalam kitabnya yang lain disebutkan, “Syi’ah itu suatu kelompok yang kira-kira mirip dengan empat mazhab dalam Ahlusunnah… Memang di sana ada berbagai perbedaan, akan tetapi mungkin untuk dihilangkan, seperti: nikah mut’ah, jumlah istri seorang muslim -dan itu terdapat di sebagian sekte kelompok mereka- dan lain sebagainya. Yang mana perbedaan-perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadikan perpecahan antara Sunnah dan Syi’ah.” (Al-Mulham al-Mauhub Hasan al-Banna, Umar Tilmisani).
Berkata Dr. Muhammad al-Ghazali rahimahullah, “Betul, saya termasuk orang yang berkepentingan dalam usaha penyatuan antara mazhab-mazhab Islam. Saya selalu bekerja keras dan terus-menerus di Kairo. Saya berteman dengan Muhammad Taqy al-Qummy, Muhammad Jawad Mughniyah, dan ulama-ulama besar Syi’ah yang lain.” (Mauqif ‘Ulama al-Muslimin hal 21-23).
Bahkan tatkala gembong Syi’ah abad ini Ayatullah al-Khomeini (orang yang ‘merestui’ pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar (Karena dia merestui buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, as-Sayyid Mandzur Husain, yang di dalamnya terdapat doa shanamai quraisy, yang dipenuhi dengan cacian dan laknatan kepada ash-Shiddiq dan al-Faruq)) berhasil melakukan revolusi di Iran, tokoh-tokoh organisasi pergerakan ini berbondong-bondong mengucapkan selamat dan bahkan mendukung kepemimpinannya:
Berkata Al Maududi rahimahullah, “Sesungguhnya revolusi al-Khomeini adalah revolusi yang islami, dipelopori oleh jama’ah islamiyah dan para pemuda yang dididik dalam tarbiyah islamiyah di kancah pergerakan Islam. Maka seluruh kaum muslimin dan gerakan-gerakan Islam berkewajiban untuk mendukung revolusi ini dengan dukungan yang sebesar-besarnya, serta bekerjasama dengan mereka di segala aspek.” (Asy-Syaqiqani, hal 3. dan Mauqif Ulama al-Muslimin, hal 48).
Fathi Yakan rahimahullah berkata, “Dan di dalam sejarah Islam baru-baru ini, terdapat bukti atas perkataan yang kami ucapkan. Bukti itu adalah: percobaan revolusi islami yang ada di Iran; percobaan yang diperangi oleh setiap kekuatan kafir di muka bumi ini, dan masih terus diperangi, karena revolusi ini islami dan tidak memihak ke timur maupun ke barat.” (Abjadiyat at-Tashawwur al-Haraki Li al-’Amal al-Islami, hal 148).
Bahkan at-Tandzim ad-Dauly Lijama’ati al-Ikhwan al-Muslimin (Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin) telah menerbitkan memorandum yang berisi, “Dengan ini, Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin menyeru setiap pemimpin organisasi pergerakan Islam di Turki, Pakistan, India, Indonesia, Afghanistan, Malaysia, Philipina dan organisasi Ikhwanul Muslimin di negeri-negeri Arab, Eropa dan Amerika untuk mengirim utusan mereka guna membentuk suatu delegasi yang akan diberangkatkan ke Teheran dengan menggunakan peShollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallamat khusus. Dengan tujuan untuk menemui al-Imam Ayatullah al-Khomeini, dalam rangka menekankan dukungan pergerakan Islam yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin, Hizb as-Salamah Turki, al-Jama’ah al-Islamiyah di Pakistan, al-Jama’ah al-Islamiyah di India, Jama’ah Partai Masyumi di Indonesia, Angkatan Belia Islam Malaysia, al-Jama’ah al-Islamiyah di Philipina. Pertemuan itu merupakan salah satu tanda kebesaran Islam dan kemampuannya untuk mencairkan perbedaan-perbedaan ras, kebangsaan dan mazhab…” (Majalah al-Mujtama’ al-Kuwaitiyah, edisi 434, 25/2/1979).
Wahai para pembaca yang budiman, apakah perbedaan itu berhasil dicairkan dengan cara menundukkan setiap perbedaan pendapat di bawah Al Quran dan As Sunnah, atau dengan cara diam dan pura-pura cuek dengan segala macam bentuk perbedaan, entah itu klaim bahwa Al Quran tidak sempurna, pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar, atau tuduhan yang dilontarkan kepada Ummul Mu’minin Aisyah bahwa dia telah berzina, serta dosa-dosa besar lainnya???!! Allahulmusta’an wa ‘alaihit tuklan…
Kedua- Barangkali ada di antara kita -setelah membaca makalah ini- semangatnya berkobar untuk menasihati orang-orang Syi’ah, entah itu di Madinah atau di kampungnya. Bisa jadi -dan itu memang sudah terjadi- tatkala kita ungkapkan fakta-fakta tersebut di atas, mereka akan menjawab, “Itu semua tidak ada dalam ajaran Syi’ah!” Kalau itu jawaban mereka apa langkah kita selanjutnya?
Perlu diketahui bersama, bahwa orang Syi’ah mempunyai suatu ’senjata’ yang bernama taqiyyah (Silahkan lihat: Min ‘Aqaid asy-Syi’ah, Abdullah bin Muhammad as-Salafy, hal: 32-33). Salah seorang ulama kontemporer mereka mendefinisikan taqiyyah dengan perkataannya, “Taqiyyah adalah mengucapkan atau berbuat sesuatu yang tidak engkau yakini, dengan tujuan untuk melindungi diri dan harta dari marabahaya, atau agar harga dirimu terjaga.” (Asy-Syi’ah Fi al-Mizan, Muhammad Jawad Mughniyah, hal 48).
Al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi (hal 482-483) menyebutkan, ((Abu Abdilah berkata, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya 9/10 agama kita terletak di dalam taqiyyah, barang siapa yang tidak bertaqiyyah maka dia dianggap tidak mempunyai agama!!”)).
Jadi orang-orang Syi’ah menganggap bahwa taqiyyah itu hukumnya wajib. Maka kalau ada di antara mereka yang mengingkari fakta-fakta ini, ketahuilah bahwa mereka sedang bertaqiyyah alias berbohong. Wallahua’lam, semoga bermanfaat! dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan…
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajmain.
Catatan Redaksi:
Ikhwah sekalian, tulisan ringkas di atas merupakan sedikit dari kesesatan dan kejahatan agama Syi’ah (Rafidhoh). Ketahuilah wahai saudaraku, risalah agama Islam sampai kepada kita melalui perantara para sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabatlah yang mendampingi dan berjuang dengan mengorbankan segala harta dan jiwa mereka membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah Islam dan menegakkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallah. Para sahabat lah yang telah membenarkan risalah yang dibawakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika kaum kafir dan musyrik mendustakannya. Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji para sahabat di dalam kitab-Nya yang mulia Al-Qur’anul Karim. Dan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memuji para sahabatnya di dalam hadits-hadits beliau. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, para sahabat lah yang meneruskan risalah keislaman ini, mereka menyebar ke seluruh dunia dalam rangka mengajak umat manusia kepada Islam. Dan sekarang, para anak cucu Majusi (agama Syi’ah Rafidhoh) telah lancang mencela, melaknat, dan mengkafirkan para sahabat -radhiallahu ‘anhum ajma’in-. Secara tidak langsung para anak cucu majusi (agama Syi’ah) telah mengkafirkan seluruh kaum muslimin karena islam yang kita anut ini sampai kepada kita melalui dakwah para sahabat yang notabene telah dikafirkan oleh agama Syi’ah!
Oleh karena itu wahai saudaraku, janganlah kita tertipu oleh slogan-slogan kosong agama Syi’ah yang ingin membentuk opini “Kesatuan antara Sunni dan Syi’ah”. Slogan tersebut adalah slogan kosong yang lahir dari kelicikan para anak cucu majusi tersebut. Ketika mereka minoritas di suatu negara, mereka berusaha mengambil hati kaum muslimin di negara tersebut dengan menampakkan topeng mereka dan menyembunyikan borok mereka di balik itu, sehingga seolah-olah yang terlihat adalah hal-hal yang baik. Tidaklah heran, karena salah satu aqidah mereka adalahtaqiyyah , yaitu menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa-apa yang mereka sembunyikan di hati mereka. Ya, sama persis dengan aqidahnya orang-orang munafik! Jika slogan “Kesatuan antara Sunni dan Syi’ah” berhasil mereka bentuk, maka mereka para anak cucu majusi tersebut akan semakin leluasa menancapkan kuku-kuku kesesatan mereka kepada kaum muslimin. Waspadalah saudaraku, waspadalah! jagalah aqidah kita dan aqidah keluarga-keluarga kita dari cengkeraman aqidah sesat agama Syi’ah! Janganlah kita lengah walau sekejap! marilah kita bahu membahu sesuai dengan kemampuan kita, menjelaskan kepada ummat akan bahaya Syi’ah.
Sumber : Muslim.or.id
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
ya jelas, wong sampeyan Wahabiy, kacungnya ulama Saudi, Khawarij, yg bisanya cuma memusuhi saudara muslimnya sendiri, ngebom di pasar, bunuh orang tak berdosa, pentung sana sini, akhlak iblis!!
BalasHapus"Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar)." (QS. Al-Israa' [17]:48 dan QS.Al-Furqoon[25]: 9)
BalasHapusKalo cuman menukil ayat kemudian menisbatkan kepada orang lain ya saya juga bisa carikan puluhan ayat buat sampeyan mas.
BalasHapusTapi apa anda bisa bantah pernyataan saya itu ?
Apa pernah kalian pada Wahabiy sekali aja gak memusuhi kelompok muslim yang lain ? Apa sih yang gak salah di mata kalian ?
Gak ada!! Kecuali klaim kebenaran kalian sendiri.
Bagaimana anda yang Wahabiy tak memusuhi Syi'ah lha wong dalam sejarah munculnya paham Wahabiy ini diawali dengan membantai ratusan orang Syi'ah yang sedang berziarah di Karbala.
Sadar mas.. pintu taubat masih terbuka mumpung hayat masih dikandung badan. Buka mata, buka hati, apa yang bisa dilakukan para Wahabiy di dunia ini kalo ndak aksi terorisme di sana sini ??
Saya kurang tahu sejarah yang anda ceritakan di atas. Itu terjadi tahun berapa dan dipimpin siapa. Kalo anda berkenan menjelaskan secara detail, saya sangat menghargai.
BalasHapusSaya juga ingin mengetahui dasar anda mengatakan kalau wahabiy tidak bisa melakukan apapun di dunia kecuali terorisme.
Waspada terhadap buku-buku terbitan Syi'ah di Indonesia. Lebih lengkapnya, lihat diskusi pada komentar di artikel berikut:
BalasHapushttp://basweidan.wordpress.com/2010/06/27/awas-buku-beracun-di-sekitar-anda/
http://www.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Armen%20Halim%20Naro/Bahaya%20Syiah%20Terhadap%20Islam
KEKEJAMAN KAUM SYI'AH TERHADAP AHLUSSUNNAH
BalasHapus