Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

01 Januari 2023

FILE 433 : Paradoks Islam Agama Damai dan Tidak Memaksa

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Paradoks Islam Agama Damai dan Tidak Memaksa


Beberapa orang non muslim, bahkan beberapa orang muslim sendiri, sering mengemukakan dua pertanyaan kritis:

1. Jika Islam agama damai, mengapa dalam kajian sejarah dan riwayat hadits justru ditemukan bahwa Islam disebarkan dengan pedang?

2. Jika Islam mendakwahkan tidak ada paksaan dalam beragama, mengapa orang yang murtad dihukum bunuh? Kenapa tidak membiarkan dia untuk bebas pindah agama?

Dua pertanyaan di atas muncul atau disimpulkan berdasarkan pemahaman yang parsial atau sebagian kecil dari ajaran Islam yang sangat luas dan sempurna.

Tentunya jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dengan mudah dijelaskan secara luas dan tuntas oleh para ulama Islam yang kredibel dan mumpuni keilmuannya. Namun dengan nama Allah dan dengan izin Allah, pada postingan kali ini saya mencoba menanggapi dua pertanyaan tersebut secara ringkas dan parsial.


Jika Islam agama damai, mengapa dalam kajian sejarah dan riwayat hadits justru ditemukan bahwa Islam disebarkan dengan pedang?

Manusia diciptakan bukan hanya untuk bermain-main di dunia (sebagaimana makhluk yang tidak berakal, seperti binatang).
Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS. Al Mu'minun [23]: 115)
Penciptaan manusia memiliki tujuan yang sangat agung dan mulia, yaitu untuk beribadah hanya kepada Allah semata. 
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allahlah Maha Pemberi Rezeki, Yang mempunyai kekuatan, lagi Mahakukuh. (QS. Adz Dzariyat [51]: 56-58)
Dalam Islam, pengertian ibadah sangat luas dan tidak terbatas pada ritual seperti shalat dan puasa. Pengertian ibadah menurut para ulama antara lain segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai oleh Allah dan dilakukan secara sengaja dengan niat beribadah. Oleh karena itu, tersenyum kepada orang lain termasuk ibadah, [1] membersihkan sampah atau gangguan dari jalan termasuk ibadah, [2] makan bersama istri dengan menyuapi istri termasuk ibadah, [3] bahkan berhubungan badan dengan istri termasuk ibadah [4] (jika diniatkan menjalankan perintah Allah atau menjauhi larangan Allah).

Atas dasar itu, Allah mengutus para rasul untuk menyerukan agar manusia hanya menyembah Allah semata dan menjauhi semua bentuk peribadahan kepada selain Allah. 
Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!”. (QS. An Nahl [16]: 36)
Dalam menjalankan tugas untuk mengajak manusia agar memurnikan ibadah hanya kepada Allah (tauhid), Allah memerintahkan para rasul dan pengikutnya untuk berjihad.

Salah satu karakteristik Islam yaitu perintah dalam agama itu dilaksanakan sesuai dengan kemampuan. [5] Oleh karena itu, pelaksanaan jihad sebagai bagian dari perintah agama (yang bertujuan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah semata) juga dilaksanakan sesuai dengan kemampuan. Dalam hal ini, jihad dalam Islam dilakukan dengan kekuatan ilmu dan kekuatan fisik.

Kekuatan ilmu sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada awal dakwahnya di Mekkah, yaitu dengan menyeru dan mengajak manusia untuk bertauhid (beribadah kepada Allah semata dan menjauhi peribadahan kepada selain Allah) melalui nasihat atau diskusi, dengan argumentasi yang kokoh. Metode ini diisyaratkan Al-Qur'an dalam beberapa surat, antara lain:
Maka, janganlah engkau taati orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) jihad yang besar. (QS. Al Furqan [25]: 52)
Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf [12]: 108)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An Nahl [16]: 125)
Meski fase dakwah di Mekkah sudah lewat, namun metode jihad dengan kekuatan ilmu tetap berlaku sampai dengan hari kiamat, termasuk untuk meluruskan pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari Islam.

Metode jihad yang kedua yaitu dengan kekuatan fisik, misalnya melalui peperangan. Metode ini diterapkan pada kondisi tertentu ketika metode jihad dengan kekuatan ilmu tidak bisa lagi dilakukan, misalnya ketika orang kafir menghalang-halangi dakwah Islam atau memerangi umat Islam secara terang-terangan.
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah [2]: 190) 
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah [2]: 193)
Oleh karena itu, dalam setiap ekspansinya, Islam mengajarkan dan memberi bimbingan agar kaum muslimin tidak langsung menyerang suatu wilayah. Bimbingan Islam dalam ekspansi wilayah dakwah minimal terdiri dari tiga tahapan: 

Tahap yang pertama adalah memeriksa apakah sudah ada pemeluk Islam di wilayah itu, yang dibuktikan dengan diserukannya adzan sebagai penanda masuknywaktu shalat. [6]

Tahap kedua, apabila belum ada pemeluk agama Islam di suatu wilayah, maka diterapkan jihad keilmuan dengan menyeru dan mengajak penduduknya untuk memeluk agama Islam (mentauhidkan Allah). Apabila penduduknya enggan untuk memeluk Islam, maka diadakan perjanjian yang mewajibkan mereka untuk membayar jizyah dengan mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin (tidak diperangi dan tetap bebas menjalankan ibadah agama mereka). 

Tahap ketiga, apabila penduduk di suatu wilayah enggan memeluk Islam dan membayar jizyah, bahkan memerangi kaum muslimin atau menghalang-halangi dakwah Islam, maka diterapkan metode jihad secara fisik (berperang).

Bimbingan yang mewajibkan kaum kafir membayar jizyah apabila enggan memeluk agama Islam dinyatakan dalam QS. At Taubah [9] ayat 29 (yang artinya):
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Dan ketentuan ini, sebagaimana perintah lainnya dalam Islam, disesuaikan dengan kemampuan kaum muslimin. Artinya, selama pemerintahan kaum muslimin memiliki kekuatan (power) untuk menerapkan hal tersebut dan tidak ada hal-hal yang menghalangi perjanjian jizyah diterapkan (misalnya kesepakatan internasional negara-negara di dunia). 

Kita bisa melihat contoh penerapan hal ini ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan untuk mendakwahkan Islam kepada suku-suku dan kerajaan-kerajaan (Romawi, Persia, Habasyah, Mesir, Yaman, dll). Ketika sebagian penguasa atau raja tersebut menolak dakwah Islam, beliau tidak serta merta memerangi mereka. Namun beliau mengoptimalkan jihad keilmuan dengan mengirim sahabat-sahabatnya untuk mendakwahkan Islam ke daerah-daerah tersebut (sebagaimana pengutusan Abu Ubaidah bin Al Jarrah [7] dan Mu'adz bin Jabal [8] ke Yaman). Barulah ketika penguasa atau raja-raja tersebut memperlihatkan permusuhannya dan menghalang-halangi dakwah Islam secara terang-terangan, beliau menerapkan jihad fisik (sebagaimana kisah Perang Mu'tah dan Perang Tabuk). Hal ini juga diterapkan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah ketika melakukan ekspansi wilayah dakwah Islam (sebagaimana sejarah Perang Yarmuk di wilayah Romawi, Perang Qadisiyah di wilayah Persia, hingga penaklukan Yerusalem).

Hal lain yang menjadi catatan terkait dengan jihad adalah jihad merupakan ibadah yang sangat mulia dalam Islam, sebagaimana shalat. Dalam hadits diriwayatkan bahwa jihad adalah salah satu ibadah yang paling utama. [9] Oleh karena itu, menihilkan jihad sama artinya dengan menihilkan ibadah dalam Islam, seperti shalat (dinihilkan dengan sebatas berdo'a, berdalil QS. At Taubah ayat 103) dan puasa (dinihilkan sebatas menahan diri dari perbuatan buruk, berdalil perkataan Maryam dalam QS. Maryam ayat 26)

Ibadah dalam Islam memiliki dua hal yang harus dipenuhi, yaitu niat yang ikhlas dan pelaksanaan ibadah sesuai tuntunan atau contoh. Karena jihad termasuk ibadah, dengan sendirinya pelaksanaannya tidak terlepas dari dua hal tersebut (ikhlas dan sesuai tuntunan/bimbingan), sebagaimana ibadah ritual lainnya seperti shalat, zakat, dan haji.

Bimbingan Islam terkait jihad antara lain dijelaskan di atas. Dan masih banyak lagi bimbingan atau ketentuan Islam tentang jihad, yang telah dirangkum dan dijelaskan para ulama dengan sangat terperinci dalam kitab-kitab mereka.

Apabila jihad dipaksakan dengan bermodal semangat ikhlas tanpa mengindahkan bimbingan atau aturan yang telah digariskan Islam, kita khawatir terkena fitnah (ujian) atau hukuman (adzab). Sa'id bin Al Musayyib rahimahullah pernah ditanya oleh orang yang melakukan shalat sunah fajar (qabliyah shubuh) lebih dari dua raka’at dengan memperpanjang rukuk dan sujudnya, "Apakah Allah akan mengazab saya gara-gara saya shalat?". Maka Sa'id menjawab, "Bukan demikian, namun Allah akan mengazabmu karena menyelisihi sunnah (tuntunan Rasulullah terkait shalat sunah fajar)".

Oleh karena itu, kepada orang yang berjihad secara serampangan tanpa mengindahkan aturan atau ketentuan yang diatur dalam Islam, kita katakan: Allah bukan mengadzab karena jihadnya, namun Alah akan mengadzab karena menyelisihi tuntunan dalam jihad.
Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur [24]: 63)
Kita jelaskan ayat di atas dengan mengambil contoh penerapan jihad di zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh seseorang berjihad semaunya tanpa mengindahkan tuntunan atau arahan dari pemimpin, karena akibatnya pasti tidak baik. Misalnya, pelanggaran pasukan pemanah pada Perang Uhud yang dihukum Allah dengan kekalahan kaum muslimin, serta pelanggaran pasukan Abdullah bin Jahsy radliyallahu 'anhu yang berujung fitnah terhadap Islam berupa tudingan bahwa kaum muslimin berani melanggar kemuliaan bulan haram.

Berkaitan dengan contoh tersebut, maka seseorang tidak boleh berjihad mandiri tanpa komando atau perintah dari pemimpin kaum muslimin yang sah. Misalnya, kaum muslimin di Indonesia tidak boleh berperang di Suriah atau Palestina, tanpa ada arahan, perintah, atau persetujuan dari pemimpin kaum muslimin yang sah di Indonesia. 

Selain itu, tidak dibenarkan juga melakukan jihad dengan bom bunuh diri karena beberapa hal berikut:

1. Allah melarang bunuh diri (dengan alasan apapun), sebagaimana dinyatakan dalam QS. An-Nisa' [4] ayat 29 (yang artinya):
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.
2. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam meniadakan kesyahidan terhadap seseorang dari barisan kaum muslimin yang bunuh diri di medan perang karena tidak tahan sakit (padahal sebelumnya dia telah membunuh beberapa orang kafir), bahkan Rasulullah menyatakan bahwa orang tersebut di neraka. Hal ini berbeda dengan seseorang yang berperang mati-matian hingga dia meninggal dunia akibat perlawanan musuh dan tidak dimaksudkan bunuh diri dengan sengaja, misalnya kisah sahabat Al-Barra' bin Malik radliyallahu 'anhu yang menceburkan diri ke dalam benteng pertahanan musuh pada Perang Yamamah. Meski tindakan Al-Barra' terlihat seperti aksi bunuh diri namun di sana tetap ada kemungkinan hidup, terbukti beliau akhirnya lolos dari maut atau tidak mati. Sementara itu, pelaku bom bunuh diri umumnya mengetahui bahwa dirinya pasti ikut mati ketika bom meledak (memaksudkan dirinya untuk bunuh diri dan bukan terbunuh karena perlawanan musuh).

3. Target atau korban bom bunuh diri belum tentu sesuai, yakni sebagian kaum muslimin ikut terbunuh. Padahal terbunuhnya satu orang muslim saja itu lebih berat di sisi Allah daripada hancurnya dunia. Selain itu, terdapat larangan membunuh kafir dzimmi (dalam perlindungan kaum muslimin karena membayar jizyah), kafir musta'min (mendapat jaminan keamanan), dan kafir mu'ahad (memiliki perjanjian damai). 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam pada prinsipnya disebarkan dengan cara-cara damai, sebagaimana diperintahkan Allah dalam QS. An Nahl ayat 125. Penggunaan senjata untuk jihad menjadi pilihan terakhir ketika cara-cara damai untuk mendakwahkan Islam tidak memungkinkan dilakukan, misalnya karena ada penyerangan secara fisik untuk menghalang-halangi dakwah Islam.

Ilustrasi, sumber: facebook.com


Jika Islam mendakwahkan tidak ada paksaan dalam beragama, mengapa orang yang murtad dihukum bunuh? Kenapa tidak membiarkan dia untuk bebas pindah agama?

Islam memberikan kebebasan kepada pengikutnya maupun kepada manusia secara umum untuk menjalankan berbagai ajaran agama (perintah maupun larangan). Hal ini dapat dilihat pada beberapa ayat Al-Qur'an, antara lain:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS. Al Baqarah [2]: 256)   
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia (Allah) Mahamelihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Fusshilat [41]: 40)  
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al Maidah [5]: 48) 
Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. (QS. Al Baqarah [2]: 139Al Qashash [28]: 55Asy Syura [42]: 15)  
Untuk kamu agamamu dan untuk aku agamaku. (QS. Al Kafirun [109]: 6) 
Meski memberikan kebebasan kepada manusia, namun Islam tetap memberi rambu-rambu atau batasan terhadap kebebasan tersebut agar tidak melampaui batas. Oleh karena itu, Islam memberi hukuman atau sanksi apabila ajarannya dilanggar (perintah ditinggalkan atau larangan dilakukan) dalam rangka menjaga hak-hak Allah maupun hak-hak sesama manusia. Hukuman atau sanksi tersebut ada yang diberikan di akhirat dan ada sebagian yang diberikan di dunia. Hukuman yang diberikan di dunia bersifat terbatas (yaitu pada dosa-dosa tertentu atau dosa besar) dan ditegakkan/dilaksanakan oleh penguasa kaum muslimin atau wakilnya.

Contohnya kita bebas berhubungan badan untuk memuaskan nafsu biologis, namun dengan syarat dilakukan dalam ikatan pernikahan. Apabila hubungan badan dilakukan di luar nikah oleh orang yang sudah pernah menikah maka ancaman hukumannya adalah rajam sampai mati. Begitu pula ancaman bagi pelaku hubungan badan sesama jenis. Sedangkan apabila hubungan badan laki dan perempuan di luar nikah dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah maka hukumannya adalah dicambuk dan diasingkan.

Contoh lainnya, seorang muslim bebas mengambil barang orang lain, namun disyaratkan harus dengan kerelaan pemiliknya (baik dengan akad jual beli, sewa, pinjam, maupun hibah/pemberian). Apabila ketentuan ini dilanggar, dalam rangka menjaga hak orang lain, maka Islam memberi ancaman hukuman potong tangan bagi pencuri apabila terpenuhi ketentuannya. Di antaranya, barang yang diambil tanpa izin mencapai nilai tertentu (seperempat dinar), barang yang diambil dalam kondisi terjaga dan tersimpan rapi oleh pemiliknya, serta dilakukan secara sengaja dan tidak dalam kondisi terpaksa (misalnya karena kelaparan atau ketidaktahuan). 

Begitu pula manusia bebas untuk memilih agama. Namun dalam Islam, agama memiliki kedudukan yang paling tinggi. Agama menjadi barometer keutamaan seseorang di sisi Allah, dan bukannya suku bangsa, nasab (garis keturunan), kedudukan atau status sosial, maupun kelebihan fisik dan harta.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal. (QS. Al Hujurat [49]: 13) 
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah [2]: 21)
Agama Islam juga menjadi syarat utama diterimanya amal kebaikan di sisi Allah. Maka amal kebaikan orang kafir hanya mendapat balasan di dunia, namun di akhirat dia tidak mendapatkan balasan apapun selain neraka. [10]
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imran [3]: 19)  
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 85
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS. Ibrahim [14]: 18)  
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi walau sedikitpun. (QS. An Nisa' [4]: 123-124)
Oleh karena itu, Islam menjadikan agama sebagai pengikat paling kuat dalam kehidupan dunia. Pengikat persaudaraan yang paling utama adalah agama Islam, bukan hubungan keluarga, pertemanan, maupun suku/kebangsaan. Hal ini karena persaudaraan keIslaman akan kekal hingga di akhirat nanti.
Teman-teman akrab pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa. (QS. Az Zukhruf [43]: 67) 
Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al Fath [48]: 29)
Mengingat agama menjadi barang yang paling berharga dalam Islam, maka penjagaan terhadap agama juga menjadi penjagaan yang paling kuat. Penjagaan ini menunjukkan besarnya kasih sayang dan perhatian Islam kepada para pemeluknya. Hal sama juga dilakukan Islam terhadap para wanita muslimah, yaitu dengan mewajibkan mereka memakai jilbab. [11]

Permisalannya seperti orang tua yang memberi perlindungan dan penjagaan kepada anak yang paling disayanginya dari orang jahat atau hal-hal tidak baik. Juga seperti seseorang yang memiliki beberapa barang berharga (uang, emas, properti, kendaraan, dsb) maka barang yang menurutnya paling berharga akan mendapat penjagaan yang paling ketat dan berlapis. Sebaliknya, apabila barang tersebut menurutnya tidak berharga maka penjagaannya akan longgar atau bahkan tidak dijaga sama sekali dan tidak dipedulikan apabila hilang atau diambil siapapun. Seperti itulah pandangan Islam terhadap agama. Agama bukan seperti baju yang bebadiganti dadibuang kapanpun pemiliknya mau.

Selain itu, penjagaan terhadap tauhid (pemurnian ibadah hanya kepada Allah semata) juga menjadi salah satu dari lima kebutuhan utama yang dijaga oleh Islam (agama, jiwa, keturunan/nasab, harta, dan akal). Hal ini untuk menjaga hak yang paling besar, yaitu hak Sang Pencipta. [12]

Untuk mewujudkan penjagaan terhadap agama, maka Islam memberikan hukuman yang keras kepada orang yang tidak mau memeluk Islam atau murtad (keluar dari Islam), yaitu diperangi atau dihukum bunuh.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah [2]: 193) 
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu ‘anhumaa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya)Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan amalan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari 'Utsman bin 'Affan radliyallaahu 'anhu, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga perkara, yaitu: berzina setelah menikah, atau membunuh orang maka ia dibunuh, atau kafir setelah masuk Islam maka ia dibunuh." (HR. Nasa-ihadits nomor 3990)
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya)Siapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Nasa-i)
وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه -فِي رَجُلٍ أَسْلَمَ ثُمَّ تَهَوَّدَ-: لَا أَجْلِسُ حَتَّى يُقْتَلَ, قَضَاءُ اَللَّهِ وَرَسُولِهِ, فَأُمِرَ بِهِ, فَقُتِلَ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُدَ: وَكَانَ قَدْ اُسْتُتِيبَ قَبْلَ ذَلِكَ 
Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal Radliyallaahu 'anhu -tentang orang yang masuk Islam kemudian memeluk agama Yahudi-: "Aku tidak akan duduk sebelum ia dibunuh, (karena ini adalah) keputusan hukum dari Allah dan Rasul-Nya". Lalu diperintahkan untuk membunuhnya dan ia dibunuh. (HR. Bukhari dan Muslim). 
Dalam riwayat Abu Dawud (ada tambahan): Orang itu telah disuruh bertaubat sebelumnya.
(Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Bulughul Maram, bagian Kitab Hukuman Pidana (Hudud), Bab Memerangi Penjahat dan Membunuh Orang Murtad)
Contoh penerapan hukum bunuh bagi orang murtad dapat dilihat pada zaman Rasulullah ketika beliau memerintahkan untuk membunuh Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh yang kembali kafir setelah beriman (HR. Abu Dawud, dinilai hasan oleh Syaikh Albani). Hal yang sama juga dilakukan oleh khalifah Abu Bakar radliyallaahu 'anhu ketika beliau memerangi orang-orang yang murtad setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Namun sebagaimana hukum Islam lainnya, hukuman bunuh bagi orang yang murtad juga memiliki ketentuan-ketentuan dan tidak diterapkan secara sembarangan. Di antaranya:

1. Hukuman bunuh tidak diterapkan ketika ada penghalang ('udzur), misalnya karena dipaksa. 

Penghalang lainnya yaitu karena mendapat perlindungan. Dalam kasus murtadnya Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh, dia tidak jadi dibunuh ketika Rasulullah menaklukkan Kota Mekkah, karena mendapat jaminan keamanan (perlindungan) dari 'Utsman bin 'Affan. (HR. Abu Dawud dan Nasa-i)

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga tidak membunuh orang murtad yang kabur ke luar wilayah kekuasaan kaum muslimin. Sebagaimana pernah ada seorang lelaki nasrani dari kalangan Bani Najjar yang masuk Islam dan menghafal surat al-Baqarah dan surat Ali Imran. Laki-laki ini menjadi sekretaris Nabi. Kemudian ia murtad lalu kabur dan bergabung dengan ahli kitab (HR. Muslim)

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga tidak membunuh kaum munafik yang jelas-jelas telah murtad keluar dari Islam namun masih menampakkan keislaman (Islam KTP), untuk menjaga agar tidak muncul tuduhan Rasulullah membunuh sahabatnya yang (secara kasat mata) masuk Islam.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga tidak membunuh Dzul Khuwaishirah (perintis pemikiran Khawarij) yang telah menuduh Rasulullah berbuat tidak adil/zalim sehingga berkonsekuensi meragukan terjaganya Rasulullah dari dosa dan maksiat. Dalam hal ini pada diri Dzul Khuwaishirah terdapat keraguan (syubhat), yaitu tidak memahami hikmah perbuatan Rasulullah dalam membagi harta rampasan perang.

2. Ancaman hukuman bunuh kepada orang yang murtad juga tidak diterapkan secara langsung ketika dinyatakan murtad. Sebagian ulama memberi batasan waktu tertentu bagi orang yang murtad agar dia didakwahi untuk diminta bertaubat dan kembali masuk Islam, sebelum ditegakkan hukuman bunuh (berdasarkan kisah murtadnya Jabalah bin Aiham pada masa khalifah Umar bin Khattab radliyallahu 'anhu). 
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. (QS. Ali Imran [3]: 86 
Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (murtad) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. Ali Imran [3]: 89)
Hal ini merupakan bentuk kasih sayang Allah, karena penyebab murtad biasanya karena adanya syubhat (keraguan tentang Islam) atau dorongan syahwat (kesombongan, tekanan ekonomi, rasa malas, dan sebagainya). Syubhat dihilangkan dengan diajak diskusi dan diberi pemahaman yang benar tentang hal-hal yang meragukannya. Sedangkan syahwat dihilangkan dengan penyaluran zakat untuk melunakkan hatinya (muallafati quluubuhum) atau nasihat-nasihat (untuk menghilangkan dorongan nafsunya).

Apabila dua hal ini (syubhat dan syahwat) sudah dihilangkan namun seseorang bersikeras tetap murtad maka dia adalah orang yang lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, sehingga diperlakukan padanya hukum-hukum sebagaimana orang kafir (diperangi sehingga bersyahadat, shalat, dst). Murtadnya orang tersebut akan digantikan Allah dengan orang lain yang lebih baik keislamannya, sedangkan bagi dia (yang murtad) hanyalah kerugian di dunia dan di akhirat. Permisalannya seperti orang yang sudah disayangi, dijaga, dan dimuliakan, namun lebih memilih penderitaan dan kehinaan bagi dirinya.  
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Mahamengetahui. (QS. Al Ma-idah [5]: 54)
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah [2]: 217)
3. Sebagaimana memerangi kaum kafir (jihad perang) dilakukan di bawah komando pemimpin, maka hukuman bunuh bagi orang murtad juga ditegakkan atas perintah pemimpin kaum muslimin, sama seperti penegakan hukuman pidana lainnya (rajam, potong tangan, qisas, hukuman cambuk); dan bukan dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau golongan tertentu dari kaum muslimin.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan hukuman bunuh bagi orang murtad adalah untuk menjaga agama, karena agama adalah perkara yang paling penting (berharga) dalam Islam serta berkaitan dengan hak yang paling besar, yaitu hak Allah sebagai Sang Pencipta manusia. Selain itu, juga sebagai pelajaran bagi kaum muslimin akan beratnya ancaman hukuman bagi orang yang murtad, sehingga diharapkan mereka terdorong untuk memperdalam keyakinannya agar tetap kokoh dalam Islam.

Wallaahu a'lam.


Referensi:

Catatan kaki:

[1] Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“ (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash Shahihah hadits nomor 572)

[2] Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

[3] Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), Sesungguhnya tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat ikhlas untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau akan diberi pahala karenanya, sampai-sampai apa yang Engkau berikan ke mulut isterimu (juga akan diberi pahala oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

[4] Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), Hubungan badan antara kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab,Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa? Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

[5] Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya), Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.” (QS. At Taghabun [64]: 16) 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

[6] Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang menceritakan bahwaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu jika akan menyerang satu kaum, beliau tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari hingga menunggu waktu subuh. Apabila azan Shubuh terdengar, maka beliau tidak jadi menyerang. Namun bila tidak mendengarnya, maka beliau menyerang mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

[7] Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan bahwaAl-Aqib dan As-Sayyid (gelar dua pemuka/orang terpandang) dari Najran mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk bermubahalah (saling melaknat) dengan beliau. 

Salah satu dari mereka berkata kepada temannya; 'Jangan kamu lakukan, Demi Allah, Seandainya dia benar seorang nabi maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita'

Kemudian keduanya berkata: 'Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya kecuali memang orang itu sangat terpercaya.' 

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya." 

Maka para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Berdirilah wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!

Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Dialah orang kepercayaan umat ini'.” (HR. Bukhari)

Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhudia menceritakan bahwa, Penduduk Yaman datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata: “Ya Rasulullah, kirimkanlah kepada kami seseorang yang dapat mengajari kami tentang sunnah dan Islam”. Beliau lalu menarik Abu Ubaidah seraya bersabda:Inilah orangnya, dia adalah orang kepercayaan umat ini” (HR. Muslim) 

[8] Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu ‘anhumaa, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz radhiyallahu 'anhu ke Yaman, beliau bersabda (yang artinya), Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum Ahli Kitab (yaitu Nasrani), maka hendaklah pertama kali yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa anna Muhammadar Rasûlullâh -dalam riwayat lain disebutkan, Sampai mereka mentauhidkan Allâh.’- 

Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. 

Jika mereka telah mentaati hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir. 

Dan jika mereka telah mentaati hal itu, maka jauhkanlah dirimu (jangan mengambil) dari harta terbaik mereka, dan lindungilah dirimu dari do’a orang yang teraniaya karena sesungguhnya tidak satu penghalang pun antara do’anya dan Allâh.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

[9] Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 'Amal ibadah apa yang paling utama?' Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab'Shalat pada waktunya'. Saya bertanya lagi, 'Kemudian apa lagi?' Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab'Berbakti pada kedua orang tua'. Saya bertanya lagi, 'Kemudian apa lagi?' Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab'Jihad di jalan Allah'.” (HR. Bukhari dan Muslim)

[10] Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya)"Allah tidak mendzalimi seorang mukmin atas amalan kebaikan yang dia lakukan, Allah membalas kebaikannya di dunia dan di akhirat. Adapun orang kafir maka Allah memberinya makanan (rizki) di dunia sebagai balasan atas kebaikannya, akan tetapi di akhirat nanti, maka kebaikannya tidak ada nilainya lagi dan dia tidak mendapatkan balasan apa-apa.” (HR. Muslim)

[11] Sebagaimana dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam QS. Al Ahzab [33] ayat 59: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. 

Dari ayat tersebut dapat dilihat bahwa hikmah perintah memakai jilbab bagi wanita muslimah ada dua, yaitu (1) agar dikenali, sebagai ciri wanita muslim (2) terhindar dari berbagai gangguan. Tentunya hal ini terikat dengan syarat, jilbab yang dipakai sesuai dengan tuntunan syari'at (silakan baca di sini).

Ajaibnya, pertanyaan untuk menggugat kewajiban jilbab pun mirip dengan pertanyaan untuk menggugat hukuman bunuh bagi orang murtad. Menurut mereka, mewajibkan wanita untuk memakai jilbab berarti mengekang kebebasan wanita untuk mengeksresikan dirinya, padahal tidak ada paksaan dalam menjalankan syari'at Islam

Seandainya mereka mau memahami, akan didapatkan bahwa jilbab adalah bentuk kasih sayang dan penjagaan Islam terhadap para wanita sebagai pemuliaan kepada mereka. Silakan simak tinjauan Jilbab: Antara Islam, Yahudi, dan Nasrani (klik pada tulisan). 

Berikut saya kutip sebagian pembahasannya: 

"Beberapa kalangan, terutama di belahan negara-negara Barat, mungkin cenderung untuk menertawakan bahwa kesederhanaan (modesty) berguna untuk perlindungan. Alasan mereka adalah perlindungan yang terbaik yaitu memperluaskan pendidikan, berperilaku yang sopan, dan pengendalian diri. 

Kami akan mengatakan: semua itu baik tapi tidak cukup. 

Jika tindakan yang ada dipandang perlindungan yang sudah cukup, lalu mengapa wanita-wanita di Amerika Utara saat ini tidak berani berjalan sendirian di kegelapan atau bahkan cemas melewati tempat parkir yang sepi? 

Jika pendidikan adalah suatu penyelesaian lalu mengapa Universitas Queen yang terkenal pelayanan pendidikannya terpaksa harus mengantar pulang para mahasiswi di dalam kampus? 

Jika pengendalian diri adalah jawabannya, lalu mengapa kasus pelecehan sex di tempat kerja diberitakan di media massa nyaris setiap hari ?"

[12] Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Lalu beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadaku: 'Wahai Mu’âdz! Tahukah engkau apa hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allâh? 

Aku menjawab, ‘Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ 

Beliau bersabda, ‘Hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allâh ialah sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun'.” (HR. Bukhari dan Muslim)

******
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin