Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

12 Desember 2019

FILE 391 : Kisah Asiyah, istri Fir'aun

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
....

Wanita Beriman dari Keluarga Fir’aun

.
Dalam surat at-Tahrîm, Allâh Azza wa Jalla menceritakan kisah istri Fir’aun yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, beribadah hanya kepada-Nya saja serta dengan penjagaan Allâh, dia selamat dari kejahatan dan kezhaliman orang-orang kafir.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan Allâh membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, isteri Fir’aun, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. 
QS. At-Tahrîm [66]: 11
Allâh Subhanahu wa Ta’ala membuat perumpamaan tentang orang–orang yang beriman dengan keadaan istri Fir’aun yang menjadi istri seorang yang paling parah kekafirannya kepada Allâh Azza wa Jalla ketika ia berkata “Wahai Rabbku! Bangunkan untukku sebuah rumah disisi-Mu di surga! Selamatkan aku dari kekuasaan, cobaan dan berbagai perbuatan jahat Fir’aun serta selamatkanlah aku dari kaum yang mengikutinya dalam kezhaliman dan kesesatan serta selamatkan aku dari siksaan mereka.[1]
Imam al-Qurtubi rahimahullah berkata, “Ada yang mengatakan, bahwa perumpamaan ini adalah dorongan untuk orang-orang yang beriman agar bersabar dalam menghadapi kesulitan. Yaitu jangan sampai kesabaran kalian dalam menghadapi cobaan lebih lemah daripada kesabaran istri Fir’aun ketika bersabar dari siksaan Fir’aun.[2]
Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun mengimani risalah yang dibawa oleh Nabi Musa Alaihissallam. Berawal dari perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada ibu Musa untuk memasukkan Musa ke peti dan menghanyutkannya ke sungai Nil, lalu sungai itu membawanya ke tepi dan diambil oleh istri Fir’aun. Allâh Azza wa Jalla telah melimpahkan kasih sayang-Nya dan akhirnya Musa diasuh dalam pengawasan Allâh di istana Fir’aun yang merupakan musuh Allâh dan musuhnya.[3] 
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا ۗ إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ ﴿٨﴾ وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ ۖ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَىٰ أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah isteri Fir’aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. janganlah kamu membunuhnya, Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari. 
QS. Al-Qhashas [28]: 8-9
ASIYAH MENGASUH MUSA
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa para budak perempuan telah memungut Musa dari sungai (Nil) yang dihanyutkan dalam peti tertutup. Namun mereka tidak berani membukanya sampai mereka meletakkannya di hadapan istri Fir’aun yang bernama Asiyah binti Muzahim. Setelah istri Fir’aun membuka peti tersebut dan menyingkap tabirnya, ia melihat wajah Musa yang bersinar cerah dengan cahaya kenabian dan keagungan. Pada saat melihatnya, ia begitu menyukai dan mencintainya. 
Ketika Fir’aun datang, dia bertanya, ‘Apa ini?’ dan memerintahkan agar anak itu dibunuh, istrinya meminta anak itu kepada Fir’aun dan membelanya, dengan mengatakan,“Ia adalah penyejuk hati bagiku dan bagimu, janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak” maka Fir’aun berkata kepadanya, ‘Bagimu mungkin bermanfaat, namun bagiku tidak. Maksudnya, aku tidak membutuhkan dan tidak ada kepentingan dengannya.
Ucapan istrinya, “Mudah-mudahan anak ini bermanfaat bagi kita.” Ucapan ini sudah menjadi nyata. Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla telah menganugrahkan manfaat yang diharapkannya itu. Di dunia, ia mendapatkan petunjuk melalui anak tersebut, sedangkan di akhirat, ia menempati surga juga karenanya.
Perkataannya, “atau kita ambil ia menjadi anak,” yaitu dengan cara mengadopsinya, karena keduanya belum punya keturunan. Allâh berfirman, yang artinya, “sedang mereka tidak menyadari.” Maksudnya mereka tidak mengetahui apa  yang dikehendaki Allâh padanya. [4]
Dan dinukil dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:[5]
وَالَّذِي يُحْلَفُ بِهِ لَوْ أَمَرَّ فِرْعَوْنُ أَن يَكُوْنَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَهُ كَمَا أَمَرَّتِ امْرَأَتُهُ لَهَدَاهُ اللهُ كَمَا هَدَاهَا وَلَكِنَّ الله حَرَّمَ ذَلِكَ
Demi Allâh! Seandainya Fir’aun mengatakan ia adalah penyejuk hati baginya sebagaimana yang dikatakan istrinya maka Allâh akan memberikan hidayah sebagaimana istrinya mendapatkan hidayah, akan tetapi Allâh mengharamkan hal itu bagi Fir’aun
Ketika dalam pengasuhan di istana Fir’aun, Musa kecil pernah menarik jenggot Fir’aun dan itu menyebabkannya murka sampai ingin membunuhnya. Namun Asiyah mencegahnya dan mengatakan bahwa dia hanya seorang anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Akhirnya, Fir’aun menguji akalnya dengan meletakkan kurma dan bara api dihadapan Musa, kemudian Musa ingin meraih kurma namun raja itu mengarahkan tangannya ke bara api maka Musa kecil mengambilnya dan meletakkan di atas lidahnya. Akibatnya, lisan Musa mendapatkan kepelatan (kurang sempurna dan kurang jelas dalam mengucapkan kata-kata). [6] Wallâhu a’lam
Karenanya, Fir’aun berkata :
أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ
Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? 
QS. Az-Zukhruf [43]: 52
SEBAB KEIMANAN ASIYAH
Ketika terjadi pertarungan antara tukang sihir Fir’aun dengan Nabi Musa, Asiyah istri Fir’aun ikut menyaksikan seraya berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla untuk kemenangan Musa melawan Fir’aun dan tukang sihirnya. Pengikut Fir’aun yang melihatnya menyangka bahwa dia mencurahkan perhatiannya karena rasa simpatinya terhadap Fir’aun dan pengikutnya, padahal sesungguhnya kegundahannya dan harapan (kemenangan) hanya kepada Musa.[7]
Ibnu Jarir rahimahullah berkata, “Istri Fir’aun bertanya siapakah yang menang dalam pertandingan ini, maka dikatakan kepadanya yang menang adalah Musa dan Harun maka dia berkata aku beriman kepada Rabbnya Musa dan Harun.[8] 
Peristiwa yang baru disaksikan adalah sebuah bukti dari kekuasaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang mampu membuka mata hatinya untuk menerima keimanan sebagai pegangan hidup. Seketika itu Asiyah menyatakan diri sebagai Muslim, bahkan dia juga berani berterus terang kepada Fir’aun.
UJIAN KEIMANAN
Fir’aun yang mengetahui keimanan istrinya bergegas keluar menemui para pembesarnya, dia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahim?” Mereka memuji dan menyebutkan kebaikannya (Asiyah). Maka Fir’aun berkata, “Sesungguhnya dia beribadah kepada tuhan selain aku.” Kemudian para pembesarnya mengatakan, “Kalau begitu bunuh saja dia!” Lalu disiapkan baginya tiang-tiang pasak kemudian kedua tangan dan kakinya diikat. Asiyah berdoa, “Wahai Rabbku! Bangunkan untukku di sisi-Mu rumah di surga.” Dan Fir’aun datang ketika Asiyah sedang tertawa karena diperlihatkan rumahnya di surga. Maka Fir’aun berkata, “Apakah kalian tidak heran melihat kegilaannya. Kita menyiksanya namun dia malah tertawa.” Maka kemudian Allâh pun mencabut nyawanya.[9]
Dari Ibnu Jarir rahimahullah, “Fir’aun mengirim utusan kepada Asiyah dan mengatakan, ‘Carilah batu yang paling besar, bila dia masih tetap dalam keimanannya maka timpakanlah batu itu kepadanya, namun jika dia menarik kembali perkataannya, dia tetap istriku.’ Ketika para utusan itu datang, Asiyah mengangkat pandangannya ke langit dan melihat rumahnya di surga maka dia tetap dalam keimanannya lalu nyawanya dicabut. Para utusan itu menimpakan batu besar tadi ke jasad yang sudah tidak ada ruhnya. [10]
Dengan demikian Asiyah selamat dari siksaan pukulan batu yang akan dibenturkan oleh utusan Fir’aun.
Dari Abu Utsman al Hindi dari Salman al Farisi, “Asiyah disiksa diterik matahari maka ketika dia tersengat panasnya matahari para malaikat menaungi dengan sayap-sayap mereka,”[11] 
Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan Asiyah dari perbuatan orang kafir yang menyiksanya dan menyelamatkannya dari penduduk Mesir kaum Qibthi yang zhalim maka Allâh mengangkat (ruhnya) ke surga dia makan dan minum dan mendapatkan kenikmatan di dalamnya.[12]
 PELAJARAN DARI KISAH INI
  1. Hubungan antara Mukmin dan kafir tidaklah membahayakan sedikitpun apabila dia memisahkan diri dari kekufuran dan perbuatan orang-orang kafir tersebut. Qatadah mengatakan, “Fir’aun adalah penduduk bumi yang paling membangkang dan paling kafir kepada Allâh Azza wa Jalla. Tetapi -demi Allâh-, kekufuran suaminya tidak membahayakan istrinya ketika dia taat kepada Rabbnya, agar mereka mengetahui Allâh adalah hakim yang Maha Adil.. Tidak seorangpun yang disiksa kecuali karena dosanya sendiri.[13]
  2. Penjagaan Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya yang beriman serta pertolongan-Nya dengan janji dan kabar gembira yang meneguhkan keimanan. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah mengutus malaikat untuk menaungi Asiyah dan memperlihatkan istana yang telah disiapkan di surga serta mencabut nyawanya sebelum siksaan menimpanya.
  3. Kedengkian orang-orang kafir kepada orang-orang beriman sangat besar, bahkan Fir’aun tidak memperdulikan istri yang tadinya sangat dia cintai tetap harus merasakan pedih siksaannya.
  4. Keutamaan Asiyah istri Fir’aun, Kesabaran dan pilihannya untuk tetap berada di dalam keimanan meski siksaan menghadang, serta kebenaran firasatnya kepada Nabi Musa Alaihissallam tatkala Asiyah berkata,“Ia adalah penyejuk mata hati bagiku.” [Al-Qhashas/28:9]
  5. Penetapan karamah untuk para wali Allâh yang shalih.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XXI/1439H/2017M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1] Lihat at-Tafsir alMuyassar hlm 561 surat at-Tahrîm ayat 11
[2] Jami’ Li ahkamil Qur’an 7/178;  al Qurthubi; Maktabah Rusyd; ar-Riyadh
[3] lihat QS. Thâha/20:38-39
[4] Lihat Shahih Qashashil Anbiya’ hlm 257; Muassasah Gharraas; al Kuwait
[5] AlBurhan Fî Qashashil Qur’an hlm 312
[6] Lihat Shahih Qashash al Anbiya hlm 271, Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Thaha ayat 25-28)
[7] AlBurhan Fî Qashashil Qur’an hlm 375
[8] Tafsir Ibnu Katsir surat at-Tahrim ayat 11
[9] Jami’ Li Ahkamil Qur’an 7/178
[10] Tafsir Ibnu Katsir tafsir surat at-Tahrim ayat 11
[11] Lihat Jami’ Li Ahkamil Qur’an 7/179
[12] lihat Jami’ Li Ahkamil Qur’an tafsir surat at-Tahrim ayat 11
[13] Tafsir Ibnu Katsir surat at-Tahrim ayat 11
***** .

Sumber: almanhaj.or.id 
Baca Juga:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika   
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

11 November 2019

FILE 390 : Mudarah dan Mudahanah terhadap Maksiat

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
.... .

Sikap Mudarah dan Mudahanah Terhadap Kemaksiatan
Disusun oleh:
Yulian Purnama hafidhahullaah
.
Bersikap lembut kepada suatu maksiat dan penyimpangan terkadang adalah sikap yang bijak. Namun juga sikap demikian adalah sikap yang keliru dalam syari’at. Kedua sikap ini disebut dengan mudarah dan mudahanah. Simak tulisan ringkas ini untuk mengetahui bagaimana sikap lembut yang dibolehkan dan yang terlarang terhadap pelaku maksiat dan penyimpangan, serta apa perbedaan di antara keduanya. 
.
Definisi Mudahanah
. 
Mudahanah secara bahasa asalah mashdar dari داهنَ – يداهن yang artinya: menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hakikatnya. Secara istilah, mudahanah artinya menampakkan keridhaan kepada kemaksiatan tanpa ada pengingkaran, demi kepentingan duniawi. Al Munawi menjelaskan:
.
المداهنة أن ترى منكراً تقدر على دفعه فلا تدفعه، حفظا لجانب مرتكبه، أو لقلة مبالاة بالدين
.
“Al mudahanah adalah anda melihat kemungkaran yang mampu anda ingkari namun tidak anda ingkari, karena untuk melindungi pelakunya atau karena kurangnya pembelaan pada agama” (At Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif, hal. 394).
.
Al Qurthubi mengatakan:
.
والمداهنة: ترك الدين لصلاح الدنيا
.
“Mudahanah adalah meninggalkan agama demi kepentingan dunia” (Fathul Bari libni Hajar, 10/454).
.
Contohnya:
  • Lelaki mencukur jenggotnya demi bisa diterima bekerja padahal ia tahu terlarang mencukur jenggot
  • Wanita melepas jilbab agar bisa diterima oleh teman-teman kuliahnya padahal ia tahu wanita wajib berjilbab
  • Menyediakan hidangan minuman keras kepada tamu yang memang gemar minum-minuman keras
  • Seorang RT menyelenggarakan acara dangdutan padahal ia tahu hal tersebut terlarang
  • Melakukan kesyirikan agar dikatakan sebagai orang yang memiliki kearifan lokal
  • Ikut acara yang termasuk kebid’ahan agar dianggap sebagai orang yang berbaur dan suka bersosialisasi
Dan semisalnya.
.
Hukum Mudahanah 
.
Mudahanah terlarang dalam Islam. Allah sebutkan dalam Al Qur’an:
.
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
.
Maka mereka (kaum Musyrikin) menginginkan supaya kamu bersikap lunak (mudahanah) lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)” 
QS. Al Qalam: 9
.
Dalam ayat ini Allah Ta’ala mengatakan bahwa kaum Musyrikin ber-mudahanah kepada kaum Mu’minin agar kaum Mu’minin bermudahanah kepada mereka, yaitu mengorbankan akidah mereka demi agar bisa bersatu dan rukun dengan kaum Musyrikin. Dijelaskan dalam Tafsir Al Qurthubi:
.
قال ابن عباس وعطية والضحاك والسدي : ودوا لو تكفر فيتمادون على كفرهم . وعن ابن عباس أيضا : ودوا لو ترخص لهم فيرخصون لك . وقال الفراء والكلبي : لو تلين فيلينون لك
.
“Ibnu Abbas, Athiyyah, Adh Dhahhak dan As Suddi menjelaskan makna ayat ini: mereka menginginkan kalian kafir sehingga mereka bisa terus berada dalam kekufuran mereka. Tafsir Ibnu Abbas yang lainnya: mereka menginginkan kalian memberi kelonggaran kepada mereka (dalam akidah) sehingga mereka nanti akan memberi kelonggaran kepada kaum Muslmiin. Al Farra’ dan Al Kalbi mengatakan: Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak (mudahanah) lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)”.
.
Maka mudahanah terlarang dalam Islam karena sikap mudahanah berarti melanggar sebagian ajaran agama demi mendapatkan maslahat duniawi. Allah Ta’ala berfirman:
.
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
.
“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah” 
QS. Al Baqarah: 41
.
Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi mendapatkan keuntungan dunia. Ibnu Katsir menjelaskan:
.
لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة
.
“Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayatku dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena dunia itu hal yang kecil (remeh)” (Tafsir Ibnu Katsir).
.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
.
مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
.
“Barangsiapa mencari ridha Allah ketika orang-orang tidak suka, maka akan Allah cukupkan ia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia, dengan kemurkaan Allah. Akan Allah buat ia terbebani oleh manusia”
.
Dalam riwayat lain:
.
من التمس رِضا اللهِ بسخَطِ الناسِ ؛ رضِيَ اللهُ عنه ، وأرْضى عنه الناسَ ، ومن التَمس رضا الناسِ بسخَطِ اللهِ ، سخِط اللهُ عليه ، وأسخَط عليه الناسَ
.
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah walaupun orang-orang murka, maka Allah akan ridha padanya dan Allah akan buat manusia ridha kepadanya. Barangsiapa yang mencari ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan buat orang-orang murka kepadanya juga” (HR. Tirmidzi no.2414, Ibnu Hibban no.276, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
.
Termasuk mudahanah, ketika seseorang menampakkan keridhaan kepada pelaku kemungkaran tanpa ada pengingkaran sama sekali. Padahal Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:
.
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان
.
Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, no. 49)
.
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:
.
والمداهنةَ محرَّمة ، والفرق أن المداهنة من الدهان وهو الذي يظهر على الشيء ويستر باطنه ، وفسرها العلماء بأنها : معاشرة الفاسق وإظهار الرضا بما هو فيه من غير إنكار عليه
.
“Mudahanah hukumnya haram. Perbedaan antara mudahanah dan mudarah adalah bahwa mudahanah itu dari ad duhhan, artinya menampakkan sesuatu namun menutupi hakekatnya. Para ulama memaknai mudahanah dengan mengatakan bahwa mudahanah adalah bergaul dengan orang fasiq dan menampakkan keridhaan terhadap maksiat yang ia lakukan tanpa ada pengingkaran” (Fathul Bari, 13/703). 
Mudarah
Mudarah secara bahasa adalah mashdar dari دارى – يُداري /daaraa – yudaarii/ yang artinya: bersikap lembut. Secara istilah, mudarah artinya bersikap lembut kepada orang lain dan mengalah darinya agar ia tidak menjauhkan diri sehingga bisa memberi nasehat dan memperbaikinya
.
Ibnu Manzhur menyebutkan
.
مُدَارَاةُ الناسِ أَي مُلايَنَتُهُم وحُسنُ صُحْبَتِهِم واحْتِمالُهُم لئَلاَّ يَنْفِروا عَنْكَ
.
“Mudarah terhadap orang lain artinya bersikap lembut kepadanya dan mempergaulinya dengan baik, mengalah darinya, agar ia tidak menjauhkan diri” (Lisaanul ‘Arab).
.
Ibnu Bathal mengatakan:
.
المدَاراة: خفض الجناح للناس، ولين الكلام وترك الإغلاظ لهم في القول
.
“Al Mudarah adalah merendahkan diri di depan orang lain, melembutkan perkataan dan tidak kasar kepadanya dalam berkata” (Syarah Shahih Al Bukhari, 9/305)
.
Al Munawi mengatakan:
.
المدَاراة: الملاينة والملاطفة
.
“Al mudarah artinya bersikap lemah lembut” (At Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif, 301)
.
Contoh mudarah:
  • Berkata-kata yang lembut kepada pelaku maksiat agar ia bisa menerima nasehat
  • Bergaul bersama pelaku maksiat dalam perkara yang dibolehkan, dengan harapan bisa mendakwahkannya
  • Tidak langsung mengingkari kemungkaran seseorang, hingga saat yang tepat untuk mengingkarinya
  • Menjaga diri dari keburukan orang fajir dan fasiq
  • Berlaku lembut dan santun ketika mendakwahkan masyarakat yang awam dan pemimpin
  • Bergaul dengan penuh bakti terhadap orang tua yang fasiq
Dan contoh-contoh yang lain. 
Hukum Mudarah
Mudarah dibolehkan atau bahkan terkadang dianjurkan dalam syariat berdasarkan dalil-dalil yang banyak dari Al Qur’an dan As Sunnah. Di antaranya: 
Dalil Al Qur’an
Pertama
.
Ketika Nabi Syu’aib mendapati kaumnya suka mencurangi timbangan, maka beliau tidak ingkari dengan keras, melainkan dengan kata-kata yang lembut agar mereka mau menerima nasehat. 
.
Allah sebutkan dalam Al Qur’an:
.
وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ
.
“Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu”” 
QS. Hud: 86
.
Perkataan “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman” ini adalah mudarah.
.
Kedua
.
Seorang lelaki Mukmin dari penduduk Mesir ketika mendapati kaumnya mengingkari dakwah Nabi Musa, ia mengatakan perkataan yang lemah lembut, sebagaimana yang diceritakan dalam ayat:
.
وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ يَوْمِ الْأَحْزَابِ
.
“Dan orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu” 
QS. Ghafir: 30
.
Ketiga
.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika mendapati ayahnya bersikeras menjadi penyembah berhala, beliau tetap berbicara dengan ayahnya dengan penuh sopan santun, tidak disikapi dengan keras. Bahkan beliau gunakan panggilan “yaa abati” yang merupakan panggilan yang sangat santun kepada ayahnya.
.
إذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئاً يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطاً سَوِيّاً
.
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?”. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus” 
QS. Maryam: 42-43
.
Keempat
.
Allah Ta’ala perintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam untuk berkata-kata yang lemah lembut kepada Fir’aun. Padahal Fir’aun sangat kufur hingga mengaku tuhan.
.
Allah Ta’ala berfirman:
.
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى 
فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى 
قَالا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَن يَطْغَى 
قَالَ لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى 
فَأْتِيَاهُ فَقُولا إِنَّا رَسُولا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكَ وَالسَّلامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; 
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. 
Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas”. 
Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”. 
Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk” 
QS. Thaha: 42-47
.
Kelima
.
Allah Ta’ala perintahkan seseorang yang orang tuanya kafir dan mengajak pada kekufuran untuk tetap berbuat baik kepada orang tuanya tersebut. Namun tidak boleh mengikuti kekufuran orang tuanya. 
.
Allah ta’ala berfirman:
.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” 
QS. Luqman: 15
Dalil As Sunnah
Pertama
.
Dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
.
أنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ ائْذَنُوا لَهُ فَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ أَوْ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ أَلَانَ لَهُ الْكَلَامَ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْتَ مَا قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ فِي الْقَوْلِ فَقَالَ أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ 
( متفق عليه )
.
“Ada seorang lelaki yang ingin bertemu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka Nabi bersabda (kepada Aisyah): “biarkan ia masuk, namun sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk anak teman kita atau seburuk-buruk teman”. 
Namun ketika lelaki tersebut masuk, Nabi ternyata berkata-kata dengan perkataan yang lembut kepadanya. 
Maka Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau tadi mengatakan yang engkau katakan, namun mengapa engkau melembutkan perkataan kepadanya?”. 
Nabi Shallallahu 'alaihi Wa sallam bersabda: “Wahai Aisyah, manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah adalah yang dijauhi orang-orang atau diwaspadai oleh orang-orang karena khawatir akan keburukan sikapnya”” (HR. Bukhari no. 6131, Muslim no.2591)
.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersikap baik dan melembutkan perkataan kepada orang yang buruk. Ini adalah bentuk mudarah.
.
Kedua
.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
.
استوصوا بالنساء خيرًا؛ فإنهنَّ خلقن من ضِلع، وإنَّ أعوج شيء في الضلع أعلاه، فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج، فاستوصوا بالنساء خيرًا
.
“Berilah nasehat yang baik kepada para wanita. Karena mereka diciptakan dari tulang yang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka jika kalian luruskan dengan keras, ia akan patah. Namun jika dibiarkan ia akan terus bengkok. Maka berilah nasehat yang baik kepada para wanita” (HR. Bukhari no.5186, Muslim no. 1468).
.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan berbuat baik dalam menyikapi kesalahan wanita, tidak disikapi dengan keras namun juga tidak dibiarkan kesalahannya. Ini adalah bentuk mudarah.
.
Ketiga
.
Dari Abu Bisyr Ja’far bin Abi Iyyas, ia berkata, aku mendengar ‘Abbad bin Syurahbil (seorang lelaki dari Bani Ghubar) berkata:
.
أَصَابَنَا عَامُ مَخْمَصَةٍ، فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ، فَأَتَيْتُ حَائِطًا مِنْ حِيطَانِهَا، فَأَخَذْتُ سُنْبُلًا فَفَرَكْتُهُ وَأَكَلْتُهُ، وَجَعَلْتُهُ فِي كِسَائِي، فَجَاءَ صَاحِبُ الْحَائِطِ، فَضَرَبَنِي وَأَخَذَ ثَوْبِي، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِلرَّجُلِ «مَا أَطْعَمْتَهُ إِذْ كَانَ جَائِعًا، أَوْ سَاغِبًا، وَلَا عَلَّمْتَهُ إِذْ كَانَ جَاهِلًا» ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَدَّ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ، وَأَمَرَ لَهُ بِوَسْقٍ مِنْ طَعَامٍ، أَوْ نِصْفِ وَسْقٍ
.
Dari Abu Bisyr Ja’far bin Abi Iyyas, ia berkata, aku mendengar ‘Abbad bin Syurahbil (seorang lelaki dari Bani Ghubar) berkata:
.
“Aku mengalami masa paceklik. Maka aku pun datang ke kota Madinah. Ketika itu aku sampai di salah satu kebun yang ada di Madinah. Kuraup kurmanya dan kumakan, dan sebagian kusimpan di bajuku. Lalu pemilik kebun datang. Ia memukulku dan mengambil bajuku. 
.
Aku pun datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku ceritakan kejadian tersebut. 
.
Maka Rasulullah pun berkata kepada pemilik kebun: ‘Mengapa engkau tidak beri makan orang ini jika memang ia kelaparan? Mengapa engkau tidak ajari ia jika memang ia tidak paham?‘ 
.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan pemilik kebun mengembalikan pakaiannya dan memberikannya setengah atau satu wasaq kurma” (HR. Abu Daud [1/408-409], An Nasaa-i [2/209], di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/815).
.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam justru memperlakukan dengan baik orang yang melakukan pencurian karena jahil dan kelaparan. Ini adalah bentuk mudarah.
.
Keempat
.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:
.
كنا في غزاة – قال سفيان مرة : في جيش – فكسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال الأنصاري : يا للأنصار ، وقال المهاجري : يا للمهاجرين ، فسمع ذاك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : (ما بال دعوى جاهلية ) . قالوا : يا رسول الله ، كسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال : (دعوها فإنها منتنة) فَسَمِعَ بذلكَ عبدُ اللَّهِ بنُ أُبَيٍّ، فَقالَ: فَعَلُوهَا، أما واللَّهِ لَئِنْ رَجَعْنَا إلى المَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأعَزُّ منها الأذَلَّ، فَبَلَغَ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَقَامَ عُمَرُ فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ: دَعْنِي أضْرِبْ عُنُقَ هذا المُنَافِقِ، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: دَعْهُ، لا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أصْحَابَهُ
.
“Suatu ketika di Gaza, (sebuah pasukan) ada seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (ayo berpihak padaku).’ Orang muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (ayo berpihak padaku)’. 
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: ‘Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah.’ 
.
Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar.’ 
.
Beliau bersabda: ‘Tinggalkan sikap yang demikian karena yang demikian adalah perbuatan busuk’.
.
Abdullah bin Ubay (tokoh munafiqin) pun mendengar peristiwa ini. Ia berkata: “sungguh orang-orang Anshar sengaja melakukannya. Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat (Anshar) akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya (Muhajirin)”. 
.
Perkataan Abdullam bin Ubay ini sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka Umar pun berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal leher orang munafik ini!”. 
.
Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Biarkan dia, jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh kaumnya sendiri”” (HR. Al Bukhari no.4905, Muslim no. 2584).
.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membiarkan Abdullah bin Ubay, tokoh munafiqin, yang telah melakukan provokasi di tengah kaum Muslimin dan tidak berbuat keras kepadanya. Dalam rangka menjaga maslahat agama, yaitu agar tidak tercipta stigma negatif bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membunuhi sesama Muslim. Ini adalah bentuk mudarah.
Perkataan Salaf Tentang Mudarah
Abud Darda’ radhiallahu’anhu berkata:
.
إنا لنكشر في وجوه أقوام ونضحك إليهم، وإنَّ قلوبنا لتلعنهم
.
“Sungguh kami pernah tersenyum dan tertawa bersama suatu kaum, padahal hati kami melaknat mereka” (Hilyatul Auliya, 1/222).
.
Maksudnya beliau berlaku baik dan penuh senyuman kepada orang-orang yang buruk sampai-sampai beliau melaknatnya dalam hati. 
.
Umar bin Khathab radhiallahu’anhu juga berkata:
.
خالطوا الناس بالأخلاق، وزايلوهم بالأعمال
.
Pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik, namun selisihilah mereka dalam amalan” (Mudarasatun Naas libni Abid Dunya, 37).
.
Semisalnya dengan ini, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu juga berkata:
.
خالط الناس وزايلهم، ودينك لا تُكْلِمنَّه
.
Pergaulilah orang-orang namun selisihilah mereka. Agamamu jangan dikompromikan” (Al Uzlah lil Khathabi, 99).
.
Maksudnya terhadap orang-orang yang memiliki penyimpangan dalam beragama, hendaknya tetap bergaul dengan mereka dengan akhlak yang baik, namun jangan ikuti penyimpangan mereka dalam beragama.
.
Al Hasan Al Bashri mengatakan:
.
كانوا يقولون : المدَاراة نصف العقل، وأنا أقول هي العقل كلُّه
.
“Para salaf mengatakan: mudarah adalah setengah akal. Adapun aku, aku katakan bahwa mudarah itu berarti menggunakan seluruh akal” (Al Adab Asy Syar’iyyah, 3/468)
Perbedaan Mudarah Dan Mudahanah
Jika diperhatikan, antara mudarah dan mudahanah ada sisi kesamaan, yaitu sama-sama bersikap baik dan lembut kepada orang-orang yang buruk dan mengalah kepada mereka. Namun mudarah dibolehkan sedangkan mudahanah terlarang. 
.
Maka bagaimana membedakan keduanya?
.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan:
.
أنَّ المدَاراة: بذل الدنيا لصلاح الدنيا، أو الدين، أو هما معًا، وهي مباحة وربما استحبت. والمداهنة: ترك الدين لصلاح الدنيا
.
Mudarah adalah mengorbankan dunia demi kemaslahatan dunia atau kemaslahatan agama atau keduanya sekaligus. Hukumnya mubah dan terkadang bahkan dianjurkan. Sedangkan mudahanah adalah meninggalkan agama demi kepentingan dunia” (Fathul Bari libni Hajar, 10/454).
.
Abu Bakar Ath Thurthusi rahimahullah mengatakan:
.
وقال أبو بكر الطرطوشي: (المدَاراة: أن تداري الناس على وجه يسلم لك دينك)
.
“Mudarah adalah engkau berbuat baik kepada orang lain dalam rangka menyelamatkan agamamu” (Sirajul Muluk, 11/36).
.
Ibnu Bathal rahimahullah menjelaskan:
.
المدَاراة مندوب إليها، والمداهنة محرمة، والفرق أنَّ المداهنة من الدهان وهو الذي يظهر على الشيء ويستر باطنه، وفسَّرها العلماء بأنها معاشرة الفاسق، وإظهار الرضا بما هو فيه من غير إنكار عليه، والمدَاراة هي الرفق بالجاهل في التعليم، وبالفاسق في النهي عن فعله، وترك الإغلاظ عليه حيث لا يظهر ما هو فيه، والإنكار عليه بلطف القول والفعل، ولا سيما إذا احتيج إلى تألفه ونحو ذلك
.
Mudarah disunnahkan, sedangkan mudahanah diharamkan. Perbedaannya, mudahanah berasal dari duhhan, artinya menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hakikatnya. Sebagian ulama menafsirkan mudahanah artinya bergaul dengan orang fasik dan menampakkan keridhaan kepada dia tanpa melakukan pengingkaran. Sedangkan mudarah adalah berbuat lemah lembut kepada orang jahil dalam rangka mengajarkannya. Atau berlaku lembut kepada orang fasiq dalam mengingkari perbuatannya, dan tidak berlaku keras kepadanya karena ia tidak menampakkan kesalahannya, serta mengingkarinya dengan kata-kata dan perbuatan yang lembut. Lebih lagi jika orang tersebut butuh untuk didekati (karena baru masuk Islam) atau semisalnya” (Fathul Bari Ibnu Hajar, 10/528).
.
https://www.radiorodja.com/45040-disunnahkannya-mudaroh-dan-meninggalkan-mudahanah/

.
Maka perbedaannya, mudarah dilakukan tanpa mengorbankan agama, tanpa melakukan perkara yang diharamkan agama serta dilakukan demi kemaslahatan agama
.
Sedangkan mudahanah dilakukan dengan mengorbankan agama dengan melakukan yang dilarang agama, demi kemaslahatan dunia.

*****
.
Sumber: muslim.or.id 
.
Baca Juga:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika   
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin