Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

02 Januari 2021

FILE 408 : Patutkah Jin (Penunggu) Diberi Sesajen?

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Makanan & Minuman Jin

Disusun oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
 
 

Sebuah Pengantar dari saya (Sa'ad):

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌۭ مِّنَ ٱلْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍۢ مِّنَ ٱلْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًۭا

"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan."

QS. Al Jin [72]: 6

Masih sering kita temui sebagian orang yang dengan susah payah menundukkan dirinya dengan memberi makan (umumnya disebut sesajen atau tumbal) kepada partner-nya dari kalangan jin. Kalau kita tanya, alasannya akan bermacam-macam, semisal:

"Ini yang membantu saya melariskan dagangan"

"Ini yang membuat hasil panen melimpah"

"Ini yang membuat ikan hasil tangkapan melimpah"

"Ini yang membuat usaha saya sukses"

"Ini yang membuat desa ini aman dari wabah dan berbagai musibah"

"Ini yang (membantu) menjaga keluarga kita"

"Mereka itu juga penduduk sini, tetangga kita, hanya saja tidak kelihatan. Dengan tetangga sebelah rumah atau tamu saja, kita dianjurkan berbagi makanan. Begitu juga ini, kita niatkan berbagi (sedekah) kepada tetangga kita yang tidak kelihatan"

dan seterusnya.

Pertanyaan selanjutnya: sedekah adalah termasuk ibadah. Islam telah memberikan pengajaran yang sangat baik tentang bagaimana berinteraksi dengan Allah, dengan sesama manusia, bahkan dengan hewan. Begitukah Islam mengajarkan kita berinteraksi dengan jin (baca: makhluk ghaib)?

Ketika ada tamu dari kalangan jin yang datang kepada Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam, mereka meminta bekal kepada beliau. Adakah ketika itu beliau menyembelihkan unta/kambing untuk mereka?

Jawabannya adalah tidak. Beliau hanya memberikan ketentuan bahwa makanan bagi mereka adalah setiap tulang dari hewan yang disembelih dengan nama Allah. 

Oleh karena itu, beliau melarang kita (baca: kaum muslimin) untuk beristinja' (bersuci dari buang air) dengan tulang hewan, karena itu adalah makanan saudara kita dari kalangan jin. Hal ini termasuk bentuk pemuliaan manusia kepada jin, yaitu memuliakan makanan mereka, sebagaimana kita juga memuliakan makanan manusia.

Wallaahu a'lam.

Selesai pengantar



Pertanyaan:

Seperti apakah makanan dan minuman jin? Lalu apa yang harus kita waspadai agar tidak bareng mereka?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa jin melakukan aktivitas makan dan minum sebagaimana manusia.

Di antaranya,

[1] Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita tidak meniru kebiasaan setan ketika makan dan minum.

Dalam hadis dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Jika salah seorang di antara kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Ketika minum, minumlah dengan tangan kanan. Karena setan itu makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim 2020).

[2] Peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang makan tidak membaca basmalah

Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ

“Jika salah seorang di antara kalian memasuki rumahnya, lalu ia berdzikir pada Allah ketika memasukinya dan ketika hendak makan, maka setan pun berkata (pada teman-temannya), “Sungguh kalian tidak mendapat tempat bermalam dan tidak mendapat makan malam.” Namun ketika seseorang memasuki rumah dan tidak berdzikir pada Allah, setan pun berkata (pada teman-temannya), “Akhirnya, kalian mendapatkan tempat bermalam.” Jika ia tidak menyebut nama Allah ketika makan, setan pun berucap (pada teman-temannya), “Kalian akhirnya mendapat tempat bermalam dan makan malam.” (HR. Muslim 2018).

Dalam hadis dari Umayyah bin Mihshon Radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah duduk dan saat itu ada seseorang yang makan tanpa membaca Bismillah hingga makanannya tersisa satu suapan. Ketika ia mengangkat suapan tersebut ke mulutnya, ia mengucapkan: “Bismillah awwalahu wa akhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا زَالَ الشَّيْطَانُ يَأْكُلُ مَعَهُ فَلَمَّا ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اسْتَقَاءَ مَا فِى بَطْنِهِ

“Setan terus makan bersamanya hingga ketika ia menyebut nama Allah (Bismillah), setan memuntahkan apa yang ada di perutnya.” (HR. Abu Daud 3768, Ahmad 18963 dan al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan).

[3] Permintaan jin muslim kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

Bahwasanya ia pernah membawakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wadah berisi air wudhu dan untuk istinja' beliau. Ketika ia membawanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa ini?” “Saya, Abu Hurairah”.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta, “Carikan beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci. Dan jangan bawakan padaku tulang dan kotoran.” Abu Hurairah berkata, “Kemudian aku mendatangi beliau dengan membawa beberapa buah batu dengan ujung bajuku. Hingga aku meletakkannya di samping beliau dan aku berlalu pergi. Ketika beliau selesai buang hajat, aku pun berjalan menghampiri beliau dan bertanya, “Ada apa dengan tulang dan kotoran?” Beliau bersabda,

هُمَا مِنْ طَعَامِ الْجِنِّ ، وَإِنَّهُ أَتَانِى وَفْدُ جِنِّ نَصِيبِينَ وَنِعْمَ الْجِنُّ ، فَسَأَلُونِى الزَّادَ ، فَدَعَوْتُ اللَّهَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَمُرُّوا بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ إِلاَّ وَجَدُوا عَلَيْهَا طَعَامًا

“Keduanya (tulang dan kotoran) termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari daerah Nashibin dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Lalu aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar setiap kali mereka melewati tulang dan kotoran, mereka mendapatkan makanan padanya”. (HR. Bukhari 3860)

Dalam hadis lain dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَسْتَنْجُوا بِالرَّوْثِ وَلاَ بِالْعِظَامِ فَإِنَّهُ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ

“Janganlah kalian beristinja’ (membersihkan kotoran pada dubur) dengan kotoran dan jangan pula dengan tulang karena keduanya merupakan bekal bagi saudara kalian dari kalangan jin.” (HR. Tirmidzi no. 18. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[4] Penjelasan Ibnul Qayyim

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa khamr adalah minuman setan. Karena Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan.” (QS. Al Maidah: 90).

Allah sebut, minum khamr adalah perbuatan setan. Artinya khamr termasuk minuman setan. (Alam jin wa Syayathin, hlm. 20)


Apa Jenis Makanan Jin?

Berdasarkan beberapa dalil di atas, ada beberapa benda yang menjadi makanan jin,

[1] Tulang dari binatang yang disembelih dengan menyebut nama Allah

[2] Kotoran hewan, dan ini menjadi makanan hewan jin

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwa para Jin datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta kepada beliau makanan yang halal. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,

لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ . يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا . وَكُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ

“Makanan halal untuk kalian adalah semua tulang hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Ketika tulang itu kalian ambil, akan penuh dengan daging. Sementara kotoran binatang akan menjadi makanan bagi hewan kalian.” (HR. Muslim 450)

[3] Makanan yang dikonsumsi umumnya manusia. Karena jin juga turut makan bersama kita.

[4] Makanan yang haram, seperti bangkai dan hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah.

Sebagaimana manusia muslim dilarang untuk makan hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, jin muslim juga dilarang untuk memakannya. Sehingga binatang semacam ini dimakan oleh jin kafir. (Alam Jin wa Syayathin, Dr. Umar al-Asyqar, hlm. 20)

Semua keterangan di atas sekaligus mengajarkan kita beberapa adab agar kita tidak terganggu jin.

Demikian, Allahu a’lam.

******

Sumber: konsultasisyariah.com
 
File terkait:  

Subhanakallohumma wa bihamdihi,    
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika     
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

01 Januari 2021

FILE 407 : Al Fa'lu vs Tathayyur

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Al Fa’lu Mencakup Semua Yang Membuat Optimis Dalam Kebaikan

Disusun oleh:
Ust. Yulian Purnama hafidhahullaah
 
 

Al Fa’lu adalah berangan-angan dan merasa optimis terhadap kebaikan. Al Fa’lu adalah lawan dari tathayyur atau thiyarah, yaitu beranggapan sial terhadap sesuatu, sering disebut masyarakat kita dengan tahayul. 

Contoh thiyarah adalah mengatakan: 

burung gagak itu terbang ke kiri, berarti kalau kita lewat jalan yang sebelah kiri akan sial” 

jangan berdiri di pintu, nanti kamu sulit jodoh“. 

Ini adalah thiyarah dan ini terlarang dalam Islam. Nabi Muhammad Shallallahu ’alahi wasallam bersabda:

 الطيرة شرك، الطيرة شرك، وما منا إلا، ولكن الله يذهبه بالتوكل 

thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, dan tidaklah itu muncul dari diri kita kecuali dalam benak saja, namun Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal” (HR. Abu Daud no. 3850, At Tirmidzi no. 1614, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud). 

Adapun al fa’lu adalah kebalikan dari itu, seperti mengatakan: 

wah, alhamdulillah datang teman kita si Sahl (artinya mudah), insya Allah urusan kita akan mudah“. 

bayi saya senang dan tertawa kalau digendong pak guru, nampaknya dia akan menjadi anak pandai“. 

Ini adalah al fa’lu dan ini dibolehkan dalam Islam

Nah, apa saja yang termasuk al fa’lu? Silakan simak penjelasan berikut ini. 

Soal: 

Wahai Syaikh, semoga Allah senantiasa menjaga anda, 

Apakah perkataan Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam: يُعْجِبُني كذا (hal ini membuatku takjub) itu merupakan sifat yang manusiawi ataukah menunjukkan suatu hukum syar’i? 

Semisal sabda Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam:

 لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ 

tidak ada penyakit menular, tidak ada thiyarah, dan al fa’lu membuatku kagum” (HR. Bukhari – Muslim)[1]

Dan juga pada hadits al fa’lu ini disebutkan الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ dua kata yang ma’rifah (istilah dalam ilmu nahwu), yang menunjukkan pembatasan. 

Maka apakah kita katakan bahwa al fa’lu yang dibolehkan hanya kalimat thayyibah (kalimat-kalimat yang baik) saja ataukah juga mencakup yang lainnya? 

Semoga Allah memberkahi anda. 

Syaikh Muhammad Ali Firkus menjawab:

 الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلام على مَنْ أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد

Makna dari يُعْجِبني (membuatku takjub) adalah: “al fa’lu membuatku kagum, karena al fa’lu adalah mengangan-angankan kebaikan”. 

Dan mengangan-angankan kebaikan itu dianjurkan. Karena tathayyur itu merupakan bentuk prasangka buruk kepada Allah, sedangkan al fa’lu adalah prasangka baik kepada Allah. Dan Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam dalam hal ini menjelaskan perkara yang sudah menjadi tabiat manusiawi, dan menunjukkan kecintaan beliau kepada fitrah manusia yang ia sesuai dengan tabiat manusiawi tersebut. 

Sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim[2] rahimahullah bahwa kecintaan beliau ini sebagaimana kecintaan beliau terhadap manisan dan madu[3]

Beliau bersabda:

 حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ 

Aku ditakdirkan untuk memiliki kecintaan pada beberapa perkara dari dunia kalian…” Dan disebutkan oleh beliau di antaranya wanita dan minyak wangi[4], dan beliau juga menyukai suara yang bagus dalam membaca Al Qur’an dan adzan, 

Singkatnya, beliau menyukai semua kesempurnaan dan kebaikan serta segala hal yang mengantarkan kepada keduanya. Demikian. 

Dan bentuk khabar yang bisa dimaknai sebagai hashr (pembatasan), yang disebutkan para ulama ushul fiqih dengan istilah ta’riful juz’ain (dua hal yang ma’rifah) adalah sebagaimana hadits:

 تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ 

shalat itu batas pengharamannya adalah takbir, dan batas penghalalannya adalah salam“. [5]

Dalam kasus ini, baru bisa diterapkan makna hashr (pembatasan). Mafhumnya, tidak mungkin seseorang dikatakan memulai shalat kecuali dengan melakukan takbir dan tidak dikatakan selesai shalat kecuali dengan salam. Ini adalah madzhabnya jumhur, pendapat yang berbeda hanya dari Hanafiyah dan Zhahiriyah. 

Maka kaidahnya: konteks khabar yang seperti demikian bisa dimaknai dengan hashr (pembatasan) selama tidak ada dalil yang menggugurkan pembatasan tersebut. Jika ada dalil maka dimaknai sesuai dalil. 

 

Dan zahir hadits di atas (hadits tentang al fa’lu) adalah bermakna umum dan luas cakupannya mencakup semua kalimat yang merupakan jalan kebaikan. Maka al fa’lu tidak terbatas pada kalimat thayyibah saja namun juga mencakup semua hal yang membuat dada lapang dan mengangankan kebaikan. Baik itu berupa kalimat thayyibah, atau (merasa optimis) karena nama yang baik, atau (merasa optimis) karena keberadaan orang yang shalih, atau (merasa optimis) karena lewat di tempat yang baik, ini semua termasuk dalam prasangka baik kepada Allah Ta’ala. 

Oleh karena itulah mengapa Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam menyukai al fa’lu, yaitu karena ia merupakan bentuk prasangka baik kepada Allah Ta’ala. 

Dan poin lain yang menunjukkan bahwa al fa’lu tidak terbatas pada kalimat thayyibah adalah peristiwa Suhail bin Amr dalam perjanjian Hudaibiyah. Ketika Suhail akan bergabung untuk berunding bersama Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam, tatkala Rasulullah melihat Suhail datang, beliau bersabda:

 سُهِّلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ 

Perkara kalian akan dimudahkan[6]

Maka terjadilah sebagaimana yang diharapkan, yaitu dihasilkan kebaikan dengan kedatangan Suhail.

 والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلَّم تسليمًا 

*** 

Catatan kaki 

[1] HR. Bukhari dalam kitab Ath Thib bab “laa ‘adwa” no. 5776, Muslim dalam kitab As Salam no. 2224, dari hadits Anas radhiyallahu ’anhu 

[2] Miftah Daaris Sa’adah (3/306), karya Ibnul Qayyim 

[3] Lihat hadits yang dikeluarkan Al Bukhari dalam kitab Ath’imah bab “Al halwa wal ‘asl” no. 5431, Muslim dalam kitab Ath Thalaq no. 1474, dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ’anha 

[4] HR. An Nasa’i dalam kitab ‘Asyaratun Nisa bab “Hubbun nisa” no. 3939, Al Baihaqi (dan ini merupakan lafadznya) no. 13454, dari hadits Anas radhiyallahu ’anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 3124. 

[5] HR. Abu Daud dalam kitab Ath Thaharah bab “Fardhul wudhu” no. 61, At Tirmidzi dalam kitab Ath Thaharah bab “Maa ja’a anna miftahas shalah ath thuhur” no. 3, Ibnu Majah dalam kitab Ath Thaharah bab “Miftahus shalah ath thuhur” no. 275, dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami' no. 5885. 

[6] HR. Bukhari dalam kitab Asy Syuruth bab “Asy Syarthu fil jihad wal mushalahah ma’a ahlil harbi wa kitabatis syuruth” no. 2731, dari hadits Al Miswar bin Makhramah radhiyallahu ’anhuma dan Marwan bin Al Hakam. 

*** 

Sumber fatwa: http://www.ferkous.com/home/?q=fatwa-206

******

Sumber: muslimah.or.id 
 
Subhanakallohumma wa bihamdihi,    
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika     
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin