Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

04 April 2024

FILE 448 : Tidak Memakai Cincin di Jari Telunjuk dan Jari Tengah

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Dilarang Memakai Cincin di Jari Tengah & Telunjuk?

Dijawab oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
 
 

Pertanyaan:

Apa ada larangan pake akik di jari tengah? Aku denger ada hadisnya. 

Mohon pencerahannya tad…


Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Anda bisa perhatikan hadis berikut,

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏‏أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ ، قَالَ :‏ ” ‏فَأَوْمَأَ ‏‏إِلَى الْوُسْطَى ، وَالَّتِي تَلِيهَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku memakai cincin di dua jari: ini dan ini. Beliau memegang jari tengah dan jari setelahnya. (HR. Muslim 5614)

Dari hadis ini, an-Nawawi menetapkan judul,

باب النهي عن التختم في الوسطى والتي تليها

Bab, larangan memakai cincin di jari tengah dan jari setelahnya.

Dalam Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi mengatakan,

وَيُكْرَه لِلرَّجُلِ جَعْله فِي الْوُسْطَى وَاَلَّتِي تَلِيهَا لِهَذَا الْحَدِيث , وَهِيَ كَرَاهَة تَنْزِيه

Makruh bagi lelaki memakai cincin di jari tengah dan jari setelahnya, karena hadis ini. Dan ini larangannya makruh. (Syarh Shahih Muslim, 14/71).


Ilustrasi: sumber tribunnews.com


Maksud Jari Setelahnya?

Kita simak keterangan al-Qurthubi,

ولو تختم في البنصر لم يكن ممنوعا ، وإنما الذي نهي عنه في حديث علي – رضي الله عنه – الوسطى والتي تليها من جهة الإبهام ، وهي التي تسمى المسبحة ، والسبابة

Jika ada orang yang memakai cincin di jari manis, tentu tidak terlarang. Yang dilarang dalam hadis Ali Radhiyallahu ‘anhu, adalah memakai cincin di jari tengah dan jari setelahnya ke arah jempol, yaitu jari telunjuk. (al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, 5/414).

An-Nawawi juga memberikan keterangan bahwa penyebutan telunjuk, ada di riwayat selain Muslim. an-Nawawi mengatakan,

وَرُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ فِي غَيْرِ مُسْلِمٍ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Hadis ini juga diriwayatkan di selain Shahih Muslim, dengan menyebutkan telunjuk dan jari tengah. (Syarh Shahih Muslim, 14/71)


Jari yang Tepat

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, menceritakan,

كَانَ خَاتِمُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى هَذِهِ. وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصَرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

Cincin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di jari ini. Lalu Anas memegang kelingking tangan kirinya. (HR. Muslim 5610).

An-Nawawi menegaskan,

وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ جَعْلُ خَاتَمِ الرَّجُلِ فِي الْخِنْصَرِ وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَإِنَّهَا تَتَّخِذُ خَوَاتِيمَ فِي أَصَابِعَ

Kaum muslimin sepakat bahwa yang sesuai sunnah, lelaki memasang cincinnya di kelingking. Sementara wanita boleh memakai cincinnya di jari manapun. (Syarh Shahih Muslim, 14/71)

Demikian, Allahu a’lam

******

Sumberkonsultasisyariah.com 

Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

03 Maret 2024

FILE 447 : Apakah Membunuh Orang Islam Menjadikan Kekal di Neraka?

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Apakah Membunuh Seorang Mukmin Kekal Di Neraka?

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ust. Mu’tashim, Lc. MA. hafidhahullaah

 
Pertanyaan: 

Assalāmu’alaikum ustadz. Semoga Allāh selalu merahmati dan melindungi ustadz dan seluruh umat muslim. 

Ustadz, dalam surat An-Nisa: 93 disebutkan bahwa “orang yang membunuh mu’min dengan sengaja, maka akan kekal di neraka."

Yang manakah pendapat yang lebih kuat ustadz, apakah pembunuh tersebut mendapat ampunan jika bertaubat atau tidak?

Jazākallāhu khairan.

(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh.

Aamiin, juga semoga Allah mengumpulkan kita semua di dalam surgaNya.

Sebagaimana firman Allah ta`ala:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam. Ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisâ`/4:93)

Sebagaimana yang dipahami bahwa kekal yang dimaksudkan menunjukkan beratnya siksa bukan kekal bermakna abadi di neraka, selama orang yang melakukan pembunuhan tersebut masih sebagai seorang muslim.

Terkait dengan para pelaku dosa besar atau dalam hal ini dosa pembunuhan, apakah akan diampuni oleh Allah ta`ala bila bertaubat atau tidak akan diampuni?

Pendapat ahlussunnah wal jamaah, yang berbeda dengan pendapat madzhab Khawarij atau Mu`tazilah, bahwa para pelaku dosa besar dan masuk di dalamnya pelaku pembunuhan, tidaklah dianggap telah keluar dari Islam, dan kekal di neraka. Kekekalan di neraka hanya akan dijatuhkan kepada orang yang kafir atau munafik.

Sehingga pelaku dosa besar, atas kehendak dan rahmat Allah, akan diampuni oleh Allah bila bertaubat dari perbuatannya. Sebagaimana yang telah Allah nyatakan dari banyak ayatnya, semisal di dalam firman Allah ta`ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah (dosa syirik) tersebut, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisaa`/4: 48)

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya”. (QS. Al-Furqon/25 : 68 – 71)

Dan ayat-ayat yang lainnya yang menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni seorang muslim yang berbuat kesalahan, selain dosa syirik, atas kehendak dan ketetapan Allah.


Ilustrasi, sumber: nasihatsahabat.com


Terkait dengan permasalahan kata kekal yang diancamkan pada ayat tersebut, atau bahkan pada sebagian ayat-ayat yang lain yang mengancam para pelaku dosa besar dengan menggunakan kata kekal di neraka atau dengan kata telah kafir atau kata yang serupa para ulama memberikan arahan bahwa yang dimaksudkan bahwa kata atau kalimat tersebut tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman dan mengekalkannya di neraka. Ia hanya sebagai celaan dan ancaman kuat dari Allah kepada para pelaku tersebut dengan maksud penekanan bahwa perbuatan itu adalah dosa besar, pelakunya akan bisa mendapatkan siksa besar bila ia tidak mau bertaubat kepada Allah.

Terkait dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ad-Dhohak, dan ulama yang lain, yang berpendapat bahwa tidak ada taubat dari dosa pembunuhan yang disengaja, pendapat itu dijelaskan oleh para ulama bahwa ia adalah bagian dari ancaman yang sangat tegas kepada para pelaku tersebut, namun tidak menunjukkan bahwa ia akan kekal abadi dan tidak akan keluar dari neraka selama-lamanya, karena ayat dan hadist menunjukkan bahwa seorang muslim yang bertaubat secara benar maka Allah akan mengampuninya, atas kehendak dan ketetapannya. Sebagaimana ayat yang telah disebutkan sebelumnya.

Juga sebagian ulama memahami bahwa maksud dari Ibnu Abbas dan Ad-Dhohak adalah ditujukan kepada mereka yang telah menghalalkan pembunuhan tersebut, sehingga ia telah menjadi kafir karena telah berani menghalalkan yang diharamkan oleh Allah.

Sebagian yang lain menafsirkan, bahwa kekekalan yang dimaksudkan adalah lamanya tinggal di dalamnya, tidak menunjukkan abadinya ia di tempat tersebut. Sebagaimana orang Arab biasa menggunakan kata kekal kepada makna lama/panjangnya tinggal di tempat tertentu.

Wallahu a`lam.

Silahkan lihat link berikut untuk memperjelas dalam masalah ini:

https://www.saaid.net/Doat/alaskar/18.htm 

******

Sumberbimbinganislam.com
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

02 Februari 2024

FILE 446 : Rakyat yang Baik Melahirkan Pemimpin yang Baik

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi wa sallam            

Wa ba'du

...

Warga Negara Baik Melahirkan Penguasa Yang Baik

Disusun oleh:
Tim Redaksi Majalah As-Sunnah hafizhahumullaah
 

Pemimpin yang bersih, jujur, amanah, cerdas, tegas, bersahaja, merakyat dan lain sebagainya tentu menjadi dambaan semua orang yang mengharapkan masa depan yang baik. Ini sudah pasti, namun untuk mewujudkannya bukan hal mudah. Islam sangat menghargai pemimpin yang adil. Pemimpin adil adalah satu di antara tujuh golongan yang mendapatkan naungan Arsy Allâh di saat tidak ada naungan sama sekali dari terik sinar matahari yang panas membakar, kecuali naungan Arsy tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa diantara tujuh golongan yang mendapatkan naungan 'Arsy Allah Azza wa Jalla di hari kiamat kelak adalah pemimpin yang adil.

Sampai di sini, semua sepakat dan menginginkan keadilan pemimpin yang mendatangkan kebaikan untuk Negara dan rakyat yang dipimpinnya. Lalu timbul pertanyaan besar dalam hati, bagaimanakah mewujudkannya? 

Para Ulama Rabbani mengingatkan bahwa jika kita menginginkan pemimpin yang baik, maka kita harus memulai perbaikan itu dari diri kita dan masyarakat, sebab ada satu kaidah yang sudah baku dan terbukti dalam sejarah, “Sebagaimana keadaan kalian, begitulah keadaan pemimpin kalian.”

Sebagai insan yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, kita berkewajiban mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kita yakin bahwa Allâh satu-satunya Dzat Yang Memutuskan dan Pemberi taufik. Barangsiapa menyimpang dari jalan Nabi-Nya, maka tidak akan beruntung selamanya.

Apabila kita merenungi Kitabullâh, niscaya kita akan dapati bahwa tiap kali berbicara tentang khilâfah, tamkîn (pemberian tampuk kepemimpinan atau kedudukan) dan mulk (kekuasaan), al-Qur`an selalu mengaitkan semua itu dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya, dalam firman Allâh tentang istikhlâf  (pelimpahan tugas sebagai penguasa) :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Dan ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku  hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” [Al-Baqarah/2:30].

Jika kita perhatian kesamaan muatan ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, kita dapati bahwa Allâh lah yang menetapkan kekuasaan bagi siapa saja yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya :

وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ

Dan Allâh memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. [al-Baqarah/2:247].

Karakter seorang pemimpin sangat berkaitan erat dengan karakter para rakyatnya, jika rakyat baik maka pemimpin juga baik, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya al-Hasan al-Basri rahimahullah ketika mendapati ada sebagian masyarakat yang hendak memberontak dan melawan kebengisan al-Hajjaj bin Yusuf yang terlah membunuh ratusan ribu kaum Muslimin, beliau rahimahullah mengatakan bahwa al-Hajjâj adalah hukuman dari Allâh atas mereka. Lalu beliau rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian merespon hukuman Allâh ini dengan pedang! Namun sambutlah hukuman ini dengan bertaubat kepada Allâh dan tunduk kepada-Nya! Bertaubatlah kalian, niscaya kalian akan terpelihara darinya!” [1]

Ilustrasi, sumber: thoriqussalaf.com

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyampaikan sebuah pesan yang sangat menyentuh, seakan belum pernah ada pesan ahli ilmu yang lebih menyentuh dari itu. Beliau rahimahullah mengatakan, 

“Renungilah hikmah Allâh Azza wa Jalla yang telah memilih para raja, penguasa dan pelindung umat manusia berdasarkan perbuatan rakyatnya, bahkan seakan perbuatan rakyat tergambar dalam perilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat istiqamah dan lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan berbuat zhalim. Jika tindakan penipuan telah merata di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula pemimpin mereka. Jika rakyat bakhil dan tidak menunaikan apa yang menjadi hak-hak Allâh Azza wa Jalla yang ada pada mereka, maka para pemimpin juga akan bakhil dan tidak menunaikan hak-hak rakyat yang ada pada mereka. Jika dalam bermuamalah, rakyat mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka juga akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan berbagai beban tugas yang berat. Semua yang diambil oleh rakyat dari orang-orang lemah maka akan diambil paksa oleh para pemimpin dari mereka. Jadi (karakter) para penguasa itu tampak jelas pada perilaku rakyatnya.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari nasehat para Ulama rabbani ini dalam mewujudkan pemimpin yang kita harapkan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam al-Uqûbât, no. 52 dengan sanad shahih dan dalam satu riwayat dalam Thabaqât Ibnu Sa’ad, 7/164 dan dalam kitab Jumal min Ansâbil Asyrâf, Bilâdzri (7/394) dengan sanad yang shahih.

--oo00OO00oo--

Sumberalmanhaj.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

01 Januari 2024

FILE 445 : Belajar Kesabaran dari Kisah Nabi Ayyub 'Alaihissalaam

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Kisah Nabi Ayyub 'Alaihissalaam

Disusun oleh:
Syaikh Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi hafidhahullaah
 

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. 

Amma Ba’du:

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita beberapa kisah nabi dan rasul di dalam kitab-Nya yang mulia agar dijadikan sebagai pelajaran, ibroh bagi kita, meneguhkan hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memperkuat keimanan orang-orang yang beriman dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." [QS. Yusuf/12: 111].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكُـلاًّ نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاء الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءكَ فِي هَـذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

"Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman." [QS. Hud/11: 120]

Di antara rasul yang diceritakan di dalam Al-Qur’an adalah Nabi Ayyub 'alaihis salam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ

"Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah." [QS. Al-Anbiya’/21: 83-84]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنَّا وَذِكْرَى لِأُوْلِي الْأَلْبَابِ وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِب بِّهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

"Dan ingatlah akan hamba Kami, Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya; “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan”. (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." [QS. Shad/38 : 41-44]

Ulama tafsir dan sejarah mengatakan, “Pada mulanya Ayyub 'alaihis salam adalah seorang lelaki yang memiliki banyak harta, berupa tanah yang luas, hewan ternak dan kambing, yaitu pada sebuah belahan bumi yang bernama Tsaniyah, di Huran, yang terletak di negeri Syam. 

Ibnu Asakir berkata, “Semua lahan yang luas itu adalah miliknya, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji dirinya dengan kehilangan semua harta tersebut. Dia diuji dengan berbagai macam ujian yang menimpa tubuhnya, sehingga tidak ada sejengkalpun dari bagian tubuhnya kecuali ditimpa penyakit, kecuali hati dan lisannya. Dia selalu berzikir dengan kedua indra tersebut, bertasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala siang dan malam, pagi dan sore. Akhirnya dengan penyakit tersebut seluruh temannya merasa jijik terhadapnya, sahabat karibnya menjadi tidak tenang dengannya. Setiap orang merasa jijik dengannya, baik kerabat atau teman jauh. 

Akhirnya dia diasingkan pada sebuah tempat pembuangan sampah di luar kota tempat tinggalnya, dan tidak ada yang menemaninya kecuali seorang istrinya, yang selalu menjaga hak-haknya dan membalas budi baik yang pernah dilakukan terhadap dirinya serta dorongan rasa belas kasihan padanya. Dia bekerja untuk mendapat upah dari orang lain, lalu dia membelikannya makanan dengan upah itu, dibarengi dengan rasa sabar melepas semua harta dan anak, bersabar dengan penyakit suami setelah hidup dalam kenikmatan dan kehormatan yang pernah disandangnya. 

Innaa Lillahi Wa Innaa Ilaihi Roji’un

Sebelumnya dijelaskan bahwa sang istri bekerja kepada orang lain untuk mengejar upah yang digunakan utnuk membeli makanan bagi Ayyub 'alaihis salam. Lalu masyarakat tidak lagi membutuhkannya karena mereka mengetahui bahwa wanita itu adalah istri Ayyub. Mereka takut jika terkena dengan penyakit yang menimpa Ayyub atau tertular dengan penyakit melalui interaksi secara langsung dengan sang istri. Akhirnya dia tidak menemukan seorangpun yang bisa memberinya pekerjaan yang mendatangkan upah. 

Lalu dia pergi menuju orang-orang yang kaya dan menggadaikan kepang rambutnya dengan makanan yang banyak lalu makanan itu dibawanya kepada Ayyub dan Ayyub berkata, “Dari manakah engkau mendapatkan makanan ini?" Dan dia marah kepadanya. Sang istri menjawab, “Aku telah bekerja pada banyak orang dan mendapatkan upah karenanya." 

Lalu pada keesokan harinya dia tidak menemukan seorangpun yang menyuruhnya bekerja dan akhirnya dia kembali menjual belahan kepangan rambut yang kedua lalu membeli makanan dengannya. Namun Ayyub tetap mengingkarinya, bahkan dia bersumpah bahwa dirinya tidak mau memakan makanan ini sehingga sang istri memberitahukan dari manakah dia memperoleh makanan ini. Akhirnya sang wanita membuka kerudung yang menutupi kepalanya. Lalu pada saat dia melihat rambut istrinya telah tercukur rata, dia berdo’a:

أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang“. [QS. Al-Anbiya’/21: 82].

Lalu Allah mendatangkan pertolongan-Nya kepadanya:

ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ

"(Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum." [QS. Shad/38: 42]

Artinya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: Pukullah bumi ini dengan kakimu. Maka diapun melaksanakan perintah Tuhan-Nya, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memancarkan mata air yang dingin. Dan Dia memerintahkan kepadanya agar dia mandi dan minum dari air tersebut, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan semua penyakit dan penderitaan yang menimpa tubuhnya baik yang lahir atau batin, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikannya dengan kesehatan yang sempurna baik lahir dan batin serta harta yang banyak sehingga limpahan harta menghujani dirinya, belalang-belalang dari emas.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata:

بَيْنَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ أَيُّوبُ يَحْتَثِي فِي ثَوْبِهِ فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى وَعِزَّتِكَ وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ

"Pada saat Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba belalang dari emas terjatuh kepadanya lalu Ayub menangkapnya dengan pakaiannya. Lalu Tuhannya berseru kepadanya: Wahai Ayyub! Tidakkah Aku telah mencukupkanmu dari apa yang kau pandang sekarang ini? Ayyub menjawab: Benar wahai Tuhanku akan tetapi aku tidak pernah merasa cukup dengan keberkahan yang Engkau berikan kepadaku”. [1]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan keluarganya yang telah tiada, sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ

"Dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah." [QS. Al-Anbiya’/21: 84]

Dikatakan tentang penafsiran ayat tersebut bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghidupkan mereka. Dalam perkataan yang lain disebutkan: Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganti rugi baginya saat hidup di dunia dan pendapat yang lain berkata maksud firman di atas adalah lain. Hal itu sebagai kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, dan belas kasihan serta peringatan bagi orang-orang yang beribadah. [2]

Ilustrasi, sumber: rumahhufazh.or.id

Di antara pelajaran yang bisa dipetik dari cerita Nabi Ayyub 'alaihis salam ini adalah:

Pertama

Beratnya ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Nabi Ayyub ‘alaihis salam. Semua ujian itu tidak menambahkannya kecuali kesabaran, harapan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, pujian dan rasa syukur kepada-Nya, sehingga Ayyub adalah sebagai contoh dalam kesabaran, dia sebagai contoh dalam menghadapi berbagai penyakit. 

Al-Suddy berkata, “Semua kulit luar sudah berjatuhan sehingga tidak ada yang tersisa kecuali tulang dan urat. 

Diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam kitab musnad-nya dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Nabi Allah, Ayyub, bertahan dengan penuh kesabaran menghadapi berbagai penyakit dalam waktu delapan belas tahun. Dia ditolak oleh kerabat dekat dan jauh kecuali dua lelaki dari saudaranya, keduanya selalu datang kepadanya baik pada waktu pagi atau sore. 

Suatu hari, salah seorang dari mereka berkata kepada yang lain: Apakah engkau mengetahui bahwa Ayyub telah berbuat dosa dengan dosa yang tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun di dunia ini?. Maka teman yang satu bertanya: Dosa apakah yang pernah dilakukan oleh Ayyub?. Sahabat itu berkata: Sejak delapan belas tahun dia tidak pernah dikasihsayangi oleh Allah sehingga Allah menyembuhkan penyakit yang dideritanya. 

Lalu pada saat mereka berdua pergi menemui Nabi Ayyub, salah seorang shahabatnya tidak bersabar menahan dirinya dan akhirnya menceritakan apa yang pernah didengarnya. Maka Ayyub berkata: Aku tidak memahami apa yang kalian katakan, hanya saja Allah mengetahui bahwa aku pernah melewati dua orang lelaki yang sedang bertikai, lalu mereka berdua mengingatkan nama Allah, lalu akupun kembali ke rumahku dan aku membantu keduanya untuk menghapuskan kesalahan mereka, karena aku tidak suka mereka menyebut nama Allah kecuali untuk suatu kebenaran…”. [3]

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnad-nya dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya, dia berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah siapakah orang yang paling besar cobaannya?. Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang yang shaleh, kemudian orang yang terbaik dari manusia. Seseorang akan diuji berdasarkan tingkat keagamaannya. Jika dia memiliki agama yang tipis maka ujiannyapun diperingan, dan jika dia memiliki agama yang kuat maka ujiannyapun akan ditambah, sehingga dirinya akan berjalan di muka bumi ini tanpa memiliki kesalahan”. [4]


Kedua

Dikatakan: Wahai orang yang sedang diuji, wahai orang yang sedang diuji pada harta, anak-anak dan diri kalian, bersabarlah dan kejarlah pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya Dia pasti akan mengganti. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [QS. Al-Baqarah/2: 155-157]

Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah peringatan bagi mereka yang diuji pada jasadnya, hartanya dan anak-anaknya. Dia memiliki tauladan pada Nabi Ayyub 'alaihis salam, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengujinya dengan penderitaan yang lebih besar namun dia tetap bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Dia memberikan kelapangan baginya”. [5]


Ketiga :

Bahwa orang yang ditimpa suatu musibah lalu dia mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan istirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun) maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah terlewatkan, sama seperti apa yang telah dialami oleh Ayyub 'alaihis salam. 

Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahih-nya dari Ummu Salamah bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Tidaklah seorang muslim ditimpa oleh suatu musibah lalu dia mengucapkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah, yaitu membaca: (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun Allahumma Ajirni fi mushibati wakhluf li khairan minha). Sesungguhnya kita adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada Allah-lah kita akan kembali, ya Allah berikanlah bagiku balasan kebaikan atas musibah yang menimpaku dan berikanlah balasan yang baik bagiku”. Barangsiapa yang membaca do’a di atas maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantikan baginya dengan sesuatu yang lebih baik darinya. 

Ummu Salamah berkata, “Pada saat Abu Salamah meninggal dunia aku berkata: Siapakah orang yang lebih baik dari Abu Salamah, shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan bagiku untuk mengucapkannya maka akupun membacanya. Ummu Salamah berkata: Maka akupun dinikahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [6]


Keempat

Di dalam kisah ini terdapat risalah bagi para istri yang beriman bahwa mereka harus bersabar menghadapi suami-suami mereka yang menderita sakit atau kemiskinan atau cobaan lainnya.

Lihatlah istri Ayyub 'alaihis salam sebagai contoh, dia sungguh sabar dan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan segala cobaan yang menimpa suaminya. 

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak diperbolehkan seseorang manusia untuk bersujud kepada manusia yang lain. Dan seandainya diperbolehkan seseorang bersujud kepada manusia yang lain maka sungguh aku akan memerintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya karena keagungan hak suami atas dirinya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya dari ujung kaki sang suami terdapat luka yang memancarkan nanah dan darah kemudian dia (istri) meminumnya, sungguh hal itu belum memenuhi hak sang suami”. [7]


Kelima

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan bagi hamba-Nya yang bertaqwa jalan keluar dan kelapangan. Sesungguhnya Nabi Ayyub bersumpah untuk memukul istrinya dengan seratus cambukan. 

Ibnu Katsir berkata, “Pada saat Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyembuhkan dirinya, maka dia diperbolehkan untuk mengambil sekumpulan kayu, yaitu kumpulan tangkai kurma, lalu dia memukulnya dengan satu pukulan. Dan hal itu sebagai ganti dari seratus pukulan serta dengannya dia telah memenuhi sumpah dan tidak melanggarnya. Maka ini adalah salah satu bentuk kelapangan dan jalan keluar yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang bertaqwa kepada-Nya dan mentaati-Nya. Apalagi terhadap istrinya yang begitu sabar dan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, jujur dan berbuat baik serta dewasa. 

Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri penderitaan ini dan menyebutkan sebabnya dengan firman-Nya:

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

"Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." [QS. Shad/38: 44].

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.


[Disalin dari  قصة نبي الله أيوب عليه السلام  Penulis Syaikh Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah : Muzaffar Sahidu . Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]

______

Footnote

[1] Al-Bukhari: no: 279

[2] Al-Bidayah wan Nihayah: 1/507-509

[3] Musnad Abu Ya’la: 6/299 no: 3617

[4] Musnad Imam Ahmad: 1/172

[5] Al-Bidayah Wan Nihayah: 1/513

[6] Shahih Muslim: no: 918

[7] Musnad Imam Ahmad: 20/65 no: 12614


******

Sumberalmanhaj.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin