Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

12 Desember 2020

FILE 406 : Hukum Arisan

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Arisan dalam Pandangan Islam

Disusun oleh:
Ust. Kholid Syamhudi Lc. hafidhahullaah
 
 

Hampir seluruh penduduk di pelosok tanah air mengenal yang namanya arisan. Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya. Ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain. 

Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri ini, di negara Arab juga telah dikenal sejak abad kesembilan hijriyah yang dilakukan oleh para wanita Arab dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni, hingga kini fenomena ini masih berkembang dengan pesat. 

Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan penjelasan hukum syar’i bentuk mu’amalah seperti ini oleh para Ulama. Apalagi permasalah ini termasuk kontemporer dan belum ada sebelumnya di masa para salaful ummah dahulu. Fenomena ini demikian semarak dilakukan kaum Muslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu mereka serta bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam?

HAKEKAT ARISAN
Kata Arisan adalah istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi di antara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm:57)

Ini sama dengan pengertian yang disampaikan Ulama dunia dengan istilah jum’iyyah al-Muwazhzhafin atau al-qardhu al-ta’awuni

Jum’iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para Ulama sebagai bersepakatnya sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama dengan yang dibayarkan yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada akhir setiap bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya, kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan kepada salah seorang anggota pada bulan kedua atau setelah enam bulan –sesuai dengan kesepakatan mereka-. Demikianlah seterusnya, sehingga setiap orang dari mereka menerima jumlah uang yang sama seperti yang diterima orang sebelumnya. Terkadang arisan ini berlangsung satu putaran atau dua putaran atau lebih tergantung pada keinginan anggota.

Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan uang kepada anggota yang menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah menerimanya, kecuali orang yang pertama mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berhutang terus setelah mendapatkan arisan, juga orang yang terakhir mendapatkan arisan maka ia selalu menjadi pemberi hutang kepada anggota.

Berdasarkan hal ini, apabila salah seorang anggota ingin keluar dari arisan pada putaran pertama diperbolehkan selama belum pernah berhutang (belum menarik arisannya). Apabila telah berhutang maka ia tidak punya hak untuk keluar hingga selesai putaran arisan tersebut sempurna atau melunasi hutang-hutang kepada setiap anggota arisan.

Berdasarkan definisi di atas, para Ulama memberikan tiga bentuk arisan yang umum beredar di dunia; yaitu:

Pertama : Sejumlah orang bersepakat untuk masing-masing mereka membayarkan sejumlah uang yang sama yang dibayarkan pada setiap akhir bulan atau akhir semester dan semisalnya. Kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan dalam bulan pertama untuk salah seorang dari mereka dan pada bulan berikutnya untuk yang lain dan seterusnya sesuai kesepakatan mereka. Demikian seterusnya hingga setiap orang menerima jumlah uang yang sama dengan yang diterima oleh anggota sebelumnya. Arisan ini bisa berlanjut dalam dua putaran atau lebih tergantung kesepakatan dan keridhaan peserta. Dalam bentuk ini tidak ada syarat harus menyempurnakan satu putaran.

Kedua : Bentuk ini menyerupai bentuk yang pertama, namun ada tambahan syarat semua peserta tidak boleh berhenti hingga sempurna satu putaran.

Ketiga : Bentuk ini mirip dengan bentuk kedua, hanya saja ada tambahan syarat harus menyambung dengan putaran berikutnya.

 

HUKUM ARISAN SECARA UMUM
Ada dua pendapat para Ulama dalam menghukumi arisan dalam bentuk yang dijelaskan dalam hakekat arisan di atas, tanpa ada syarat harus menyempurnakan satu putaran penuh (yakni bentuk pertama).

Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh Abdurrahman al-Barak.

Argumentasi mereka adalah:
1. Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad hutang bersyarat yaitu menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga dari peserta lainnya. Ini adalah hutang yang membawa keuntungan (qardh jarra manfaatan). Padahal para Ulama sepakat semua hutang yang memberikan kemanfaatan maka itu adalah haram dan riba, seperti dinukilkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’, halaman ke-120 dan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 6/346.

2. Hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan mengharap wajah Allah dan membantu meringankan orang yang berhutang. Oleh karena itu dilarang orang yang menghutangkan menjadikan hutang sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang yang berhutang.

3. Dalam arisan ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi seperti dua jual beli dalam satu transaksi (bai’atain fi bai’ah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

نَهَى النَّبِيُّ صلّ الله عليه وسلّم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli [HR. Ahmad dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 5/149]

Itu adalah pendapat sekelompok Ulama yang pertama, sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari al-hafizh Abu Zur’ah al-‘raqi (wafat tahun 826) (lihat Hasyiyah al-Qalyubi 2/258), fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar (Hai’ah Kibaar al-Ulama) Saudi Arabia, di antara mereka Syaikh Abdulaziz bin Baz (mufti Saudi Arabia terdahulu), dan Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin, serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin.

Argumentasi mereka adalah:
1. Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena hutang yang membantu meringankan orang yang berhutang. Orang yang berhutang dapat memanfaatkan uang tersebut dalam waktu tertentu kemudian ia mengembalikannya sesuai dengan jumlah uang yang diambilnya tanpa ada penambahan dan pengurangan. Inilah hakekat hutang (al-qardh al-mu’tad) yang sudah diperbolehkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ para Ulama. Arisan adalah salah satu bentuk hutang. Hutang dalam arisan serupa dengan hutang-hutang biasa, hanya saja dalam arisan berkumpul padanya hutang dan menghutangkan (piutang) serta pemanfaatan lebih dari seorang. Namun kondisi ini tidak menyebabkan dia terlepas dari hakekat dan penamaan hutang.

2. Hukum asal dalam transaksi muamalah adalah halal. Semua transaksi yang tidak ada dalil syariat yang mengharamkannya diperbolehkan. Anggap saja arisan ini tidak termasuk jenis hutang, maka ia tetap pada hukum asalnya yaitu diperbolehkan selama tidak ada dalil shahih yang melarangnya.

3. Arisan berisi unsur kerjasama, tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, karena ia adalah salah satu cara menutupi kebutuhan orang yang butuh dan menolong mereka untuk menjauhi mu’amalat terlarang.

4. Manfaat yang didapatkan dari arisan ini tidak mengurangi sedikit pun harta orang yang meminjam uang dan kadang orang meminjam mendapatkan manfaat yang sama atau hampir sama dengan yang lainnya. Sehingga mashlahat (kebaikannya) didapatkan dan akan dirasakan oleh seluruh peserta arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian atau mendapatkan tambahan manfaat pada pemberi hutangan yang menjadi tanggungan peminjam. Syariat yang suci ini tidak akan mengharamkan kemashlahatan yang tidak berisi kemudharatan.

PENDAPAT YANG RAJIH
Setelah melihat argumentasi para Ulama di atas, penulis buku Jum’iyyah al-Muwadzafin Prof. DR. Abdullah bin Abulaziz al-Jibrin me-rajih-kan pendapat yang membolehkan dengan alasan:

1. Kuatnya argumentasi pendapat ini
2. Lemahnya pendapat yang mengharamkannya, karena:

• Alasan pertama pendapat ini lemah disebabkan arisan tidak termasuk hutang bersyarat, sebagaimana telah diungkapkan oleh pemilik pendapat yang membolehkan.

• Alasan kedua juga lemah karena hutang diperbolehkan walaupun tidak diniatkan mendapatkan pahala dan keridhaan Allah. Karena hutang pada hakekatnya disyariatkan untuk membantu orang yang membutuhkannya.

• Alasan ketiga juga lemah karena hadits larangan dua jual beli dalam satu akad tidak pas diterapkan pada arisan ini.

3. Pendapat yang membolehkan lebih pas dan sesuai dengan ushul dan kaedah syariat, karena seluruh syariat dibangun di atas dasar “mengambil maslahat dan menolak kemudharatan dan kerusakan”.

Dengan demikian jelaslah hukum Arisan tanpa syarat yang menjadi bentuk pertama ini hukumnya adalah boleh.

HUKUM BENTUK KEDUA, YAITU ARISAN DENGAN SYARAT HARUS SEMPURNA SATU PUTARAN
Dalam bentuk yang kedua ini, para Ulama pun berbeda pendapat sama dengan bentuk yang pertama. Pendapat yang mengharamkannya menganalogikan (qiyas) kepada pengharaman bentuk pertama. Sehingga argumentasi seputar pengharaman bentuk kedua ini sama dengan bentuk yang pertama dengan ditambahkan adanya syarat tambahan syarat manfaat untuk yang menghutangkan. Syarat tambahan itu adalah adanya pihak ketiga atau lebih yang meminjamkan uangnya (dengan membayar iuran arisan tersebut). Ini tidak diperbolehkan karena riba disebabkan adanya tambahan manfaat keuntungan yang didapatkan oleh pemberi hutang.

Pendapat ini dapat dijawab bahwa "syarat" yang disepakati para Ulama dalam mengharamkan dan memberlakukan hukum riba pada sesuatu adalah adanya penetapan "syarat manfaat" berupa keuntungan yang dirasakan dan diperoleh oleh pemberi hutang dari orang yang berhutang hanya karena semata-mata hutang. Dan ini tidak ada dalam bentuk arisan ini; karena manfaat keuntungan yang disyaratkan disini tidak diberikan oleh penghutang sama sekali dan juga manfaat keuntungannya dirasakan oleh semua peserta arisan kecuali yang dapat urutan terakhir karena ia hanya memberikan hutang terus dan tidak berhutang kepada yang lainnya.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Abdullah bin Jibrin membolehkan arisan bentuk ini.

PENDAPAT YANG RAJIH
Prof. DR. Abdullah Ali Jibrin setelah meneliti dan menjelaskan argumentasi para Ulama seputar masalah ini, beliau mengatakan,”Belum nampak bagiku adanya faktor yang menyebabkan terlarangnya arisan yang bersyarat seperti ini. Tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan sandaran dalam mengharamkannya. Hukum asal dalam mu’amalat itu halal. Arisan ini memiliki manfaat untuk semua pesertanya tanpa menimbulkan madharat pada salah satu dari mereka. [Jum’iyyah al-Muwadzaffin, hlm. 53].

Dengan demikian bentuk kedua inipun diperbolehkan secara syariat.

BENTUK KETIGA: BERSYARAT SELURUH PESERTA HARUS MENYEMPURNAKAN LEBIH DARI SEKALI PUTARAN
Hakekat model arisan seperti ini adalah arisan dengan syarat pemberi hutang memberikan syarat kepada orang yang akan berhutang kepada mereka untuk menghutangkan kepadanya di putaran kedua dan seterusnya.

Hukum masalah ini pun berkisar pada masalah bolehkah orang yang menghutangkan sesuatu menetapkan syarat pada yang berhutang untuk memberinya hutangan di waktu yang akan datang dan apakah syarat tersebut memberikan tambahan manfaat keuntungan pada pemberi hutang pertama?

Yang rajih dalam bentuk ini adalah haram, karena ada padanya "syarat" tambahan manfaat keuntungan untuk yang menghutangkan hanya karena hutang yang pertama tadi.

Demikianlah hukum arisan yang belum mengalami perubahan dan tambahan-tambahan. Sedangkan arisan-arisan yang berkembang dewasa ini, masih harus diteliti kembali kehalalannya dengan melihat sistem yang dibuat dalam arisan tersebut. Apabila sesuai dengan yang telah dijelaskan hakekatnya maka hukumnya adalah yang sudah dijelaskan diatas. Apabila tidak sesuai maka harus diteliti dan dihukumi sesuai dengan system yang diperlakukan dalam bentuk arisan tersebut.

Wallahu a’lam.

(Makalah ini disarikan dari buku Jum’iyyah al-Muwadzdzafin (al-Qardh at-Ta’awuni) karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdulaziz Ali Jibrin, hlm 5-56, terbitan Dar alam al-Fawaid, cetakan pertama/Dzulqa’dah 1419H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

******

Sumber: almanhaj.or.id 
 
Subhanakallohumma wa bihamdihi,    
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika     
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

20 November 2020

FILE 405 : Tayammum dengan Satu Kali atau Dua Kali Tepuk?

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Tata Cara Tayammum

Dijawab oleh:
Asatidzah Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Majalah As-Sunnah
 
 

Pertanyaan:

Assalamu’alaikumu warahmatullahi wa Barakatuh

Mana yang lebih rajih: tayammum satu kali tepuk dengan mengusap muka kemudian langsung kedua pergelangan tangan atau dua kali tepuk satu ke muka dan satu lagi ke tangan sampai siku.

Jawab:

Wa’alaikumus salam Warahmatullahi Wabarakatuh

Memang dalam masalah yang saudara tanyakan ada perbedaan pendapat para ulama ahli fikih. Namun pendapat yang lebih kuat adalah sekali tepuk atau tempel ke tanah, sebagaimana dijelaskan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu [QS. Al-Mâ’idah [5]:6].

Tayamum ini cukup dengan sekali tepukan. Apalagi didukung oleh hadits ‘Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu 'anhu yang berkata:


بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ، فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدِ المَاءَ، فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ، ثُمَّ نَفَضَهَا، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Lantas Beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya Beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali tepukan lalu meniupnya. Kemudian Beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. [HR. Al-Bukhâri no. 347, Muslim no. 368].

Dan dalam salah satu lafadz riwayat al-Bukhâri rahimahullah ,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَنِي ، فَأَجْنَبْتُ فَتَمَعَّكْتُ بِالصَّعِيدِ، فَأَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْنَاهُ، فَقَالَ: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا. وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku, lalu aku mengalami junub sehingga aku berguling-guling di atas tanah. kemudian kami datangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Sebenarnya cukup untukmu berbuat demikian! Beliaupun mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali tepuk (usapan)”.

Hal ini diperjelas dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah :

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الْأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً

Sebenarnya cukup untukmu berbuat demikian! Kemudian Beliau pun menepukkan kedua tangannya ke tanah sekali tepuk

Demikian juga dalam hadits Abu Juhaim al-Anshâri Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ، فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ، حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari arah sumur Jamal, lalu seorang menjumpai Beliau dan memberi salam, lalu Beliau tidak menjawab salam hingga menghadap ke tembok lalu mengusap wajah dan kedua tangannya kemudian menjawab salam tersebut. [Muttafaqun ‘alaihi].

Pendapat ini adalah pendapat mazhab Hanâbilah[1].

Ilustrasi tayammum

Adapun kewajiban tayammum dengan dua kali tepukan, sekali untuk wajah dan sekali untuk tangan adalah pendapat mazhab Hanafiyah dan satu pendapat dari mazhab Mâlikiyah dan menjadi pendapat mu’tabar dalam mazhab asy-Syâfi’iyah [2] 
berargumentasi dengan hadits ‘Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

أَنّ عَمَّارا كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّهُمْ تَمَسَّحُوا وَهُمْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّعِيدِ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَضَرَبُوا بِأَكُفِّهِمُ الصَّعِيدَ، ثُمَّ مَسَحُوا وُجُوهَهُمْ مَسْحَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ عَادُوا فَضَرَبُوا بِأَكُفِّهِمُ الصَّعِيدَ مَرَّةً أُخْرَى فَمَسَحُوا بِأَيْدِيهِمْ كُلِّهَا إِلَى الْمَنَاكِبِ وَالْآبَاطِ مِنْ بُطُونِ أَيْدِيهِمْ

‘Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa mereka bertayammum ketika mereka bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menggunakan tanah untuk shalat Subuh, lalu mereka menepuk dengan telapak tangan mereka tanah kemudian mengusap wajah sekali usapan kemudian kembali memukulkan telapak tangan mereka ke tanah sekali lagi untuk mengusap tangan mereka semuanya sampai ke pundak dan ketiak dari telapak tangan mereka. [HR Abu Dawud no. 318 dan disahihkan al-Albâni].

Namun disanggah keabsahan hadits ini karena Abaidullâh bin Abdillâh bin ‘Utbah rahimahullah tidak bertemu dengan ‘Ammâr  bin Yâsir Radhiyallahu 'anhu[3]

Seandainyapun dihukumi hadits yang sahih, maka bisa dijawab dengan dua sisi:

  1. ‘Ammâr Radhiyallahu 'anhu tidak menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka berbuat demikian. Beliau hanya menceritakan bahwa kami melakukan ini dan itu. Ketika beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari beliau tata cara tayammum. Sehingga yang menjadi hujjah adalah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Dasar jawaban ini adalah ‘Ammâr sendiri mengajari kaum muslimin setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan ketika beliau menjadi pemimpin daerah di masa kekhilafahan Umar Radhiyallahu 'anhu di Kufah bahwa tayammum dengan sekali tepuk untuk wajah dan tangan. [4]
  2. Apabila hal itu terjadi dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun, maka tata cara tayammum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelahnya menjadi penghapusnya. Hal ini diutarakan imam asy-Syâfi’i dan selainnya. [5]

Demikian juga berdalil dengan hadits yang berbunyi:

التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةً لِلْوَجْهِ , وَضَرْبَةً لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ

Tayammum dua tepukan, tepukan untuk wajah dan tepukan untuk kedua tangan hingga siku.

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhumaa secara marfû’ sebagaimana dikeluarkan oleh ad-Darâquthni rahimahullah dalam Sunan-nya 1/180-181, al-Hâkim rahimahullah dalam al-Mustadrak 1/179 dan selainnya dari beberapa jalan:

  1. Jalan periwayatan pertama, ada padanya Ali bin Zhabyân seorang perawi matrûk (lemah sekali).
  2. Dalam jalan kedua, ada Sulaimân bin Arqam juga seorang matrûk (lemah sekali).
  3. Dalam jalan ketiga, ada Sulaimân bin Abi Dawud al-Harâni seorang perawi yang lemah sekali.

Sehingga hadits ini dihukumi hadits yang lemah. 

Ada juga penguat dari hadits Jâbir bin Abdillâh Radhiyallahu anhu dikeluarkan oleh ad-Darâquthni dalam sunannya 1/181, al-Hâkim 1/288 dan al-Baihâqi dalam as-Sunan al-Kubra 1/207. Namun yang benar hadits ini mauqûf kepada Jâbir Radhiyallahu 'anhu.

Demikian juga ada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma yang semakna dengannya dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil 2/442 dan al-Bazâr dalam musnadnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nashbur Râyah 1/153 dan Talkhîsh al-Habîr 1/152-153. Namun ada perawi bernama al-Harîsy bin al-Khirît seorang perawi yang lemah, sehingga Abu Hâtim rahimahullah berkata: Ini hadits mungkar dan al-Harîsy bin al-Khirît seorang syaikh yang haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah[6]

Oleh karena itu hadits-hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama, di antaranya:

  1. Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau berkata: Tidak sah dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertayammum dengan dua tepukan dan tidak juga mengusap hingga siku.[7]
  2. Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau berkata: Hadits-hadits tentang tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu Juhaim dan ‘Ammâr . Selainnya ada yang lemah dan ada yang diperselisihkan apakah marfu’ sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah mauquf saja dan yang rajih tidak marfu[8]
  3. Asy-Syaukâni rahimahullah, beliau berkata: Kesimpulannya seluruh hadits-hadits yang shahih tidak ada kecuali menyebut sekali tepukan. Semua yang ada tentang dua tepukan tidak lepas dari kelemahan yang menggugurkannya dari derajat i’tibar….Yang benar adalah berhenti dengan yang sudah ada dalam Shahihain dari hadits ‘Ammâr Radhiyallahu 'anhu berupa mencukupkan satu tepukan..[9]
  4. Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam al-Irwâ’ 1/187 dan Silsilah adh-Dha’îfah 3427.

Dengan demikian, jelaslah pendapat yang mencukupkan sekali tepukan adalah pendapat yang rajih (kuat).

Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XXI/1439H/2017M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

_______

Footnote
[1] lihat al-Mughni 1/320
[2] lihat al-Mabsûth 1/106-
107, al-Istidzkâr 3/164 dan al-Majmû’ 2/186
[3] lihat Fathul Bâri; Ibnu Rajab 2/56-57
[4] lihat Jâmi’ at-Tirmidzi 1/271, al-Ausâth 
2/51-52 dan Ma’âlim as-Sunan 1/86
[5] As-Sunan al-Kubra 1/208, Fathul Bâri ; Ibnu Rajab 2/87-88
[6] lihat al-‘Ilal 1/47
[7] Zâd al-Ma’âd 1/199
[8] Fathul Bâri 1/444
[9] lihat as-Sail al-Jarrâr 1/324-325 dan Nailul Authâr 1/310

******

Sumber: almanhaj.or.id 
 
File terkait:  

Subhanakallohumma wa bihamdihi,    
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika     
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

11 November 2020

FILE 404 : Apakah Dahi Wajib Menempel Langsung ke Lantai Ketika Sujud?

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Apakah Dahi Wajib Menempel Langsung ke Lantai Ketika Sujud?

Disusun oleh:
Yulian Purnama hafidhahullaah
 

Pertanyaan: apakah ketika sujud dalam shalat, dahi atau kening harus langsung menempel pada lantai (tanpa ada penghalang)? 

Jawaban dari pertanyaan di atas adalah bahwa dahi atau kening tidak wajib menempel langsung ke lantai. Namun jika bisa menempel ke lantai langsung tanpa penghalang, itu lebih utama. Jika terhalang oleh sesuatu yang muttashil (bersambungan) dengan orang yang shalat, seperti terhalang peci, sorban, ujung kain lengan, atau semisalnya, maka sujudnya sah dan shalatnya sah. 

 

Dalil Pendapat Jumhur Ulama 

Ini adalah pendapat jumhur ulama. 

Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

 كُنَّا نُصَلِّي مع رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ في شِدَّةِ الحَرِّ، فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنَ الأرْضِ، بَسَطَ ثَوْبَهُ، فَسَجَدَ عليه 

Dahulu kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam cuaca yang sangat panas. Jika kami tidak mampu menempelkan dahinya ke tanah, maka dibentangkan kain bajunya lalu sujud di atas kain tersebut“ 

(HR. Bukhari no.1208, Muslim no.620)

Juga hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ’anhu, ia berkata:

  لقد رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في يومٍ مَطِيرٍ ، وهُوَ يتَّقِي الطِّينَ إذَا سَجَدَ بِكِسَاءٍ عليهِ يجْعَلُهُ دونَ يَدَيْهِ إلَى الأرضِ إذَا سَجَدَ

Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika turun hujan beliau berlindung dari tanah ketika sujud menggunakan kain yang dibentangkan di bawah kedua telapak tangannya, di tanah ketika beliau sujud” 

(HR. Ahmad no. 2385, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij al Musnad)

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan:

 ولا تجب مباشرة المصلي بشيء من هذه الأعضاء . قال القاضي : إذا سجد على كور العمامة أو كمه أو ذيله ، فالصلاة صحيحة 

“Tidak wajib orang yang shalat menempelkan semua anggota sujudnya secara langsung (ke lantai). Al Qadhi berkata: jika orang sujud tertutup lipatan sorbannya atau ujung kain sorbannya maka sah shalatnya” (Al Mughni, 1/305). 

Imam an Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan masalah ini beliau mengatakan:

 وقال مالك وأبو حنيفة والأوزاعي وإسحاق وأحمد في الرواية الأخرى : يصح ، قال صاحب التهذيب : وبه قال أكثر العلماء 

“Pendapat Malik, Abu Hanifah, Al Auza’i, Ahmad dalam salah satu riwayat, mereka mengatakan: sujudnya sah. Penulis kitab at Tahdzib mengatakan: ini adalah pendapat mayoritas ulama” (Al Majmu’, 3/397-400). 

 

Jika Rambut Terjurai Hingga Menutupi Kening 

Dari sini, maka jika rambut terjurai hingga menutupi kening, maka tidak mengapa dan tidak perlu ditahan dengan tangan. Karena justru terdapat larangan terhadap hal ini. 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

 أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا 

Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota sujud) dan diperintahkan untuk tidak menahan rambut ataupun pakaian (ketika sujud)” 

(HR. Bukhari no. 810, Muslim no. 490)

Namun jika ia memakai peci atau semisalnya yang menahan rambutnya sehingga tidak menghalangi, dan keningnya bisa menempel ke lantai, itu lebih utama. 

Imam an Nawawi mengatakan: 

 العلماء مجمعون على أن المختار مباشرة الجبهة للأرض 

“Para ulama sepakat bahwa yang paling utama adalah kening menyentuh lantai secara langsung” (Al Majmu’, 3/397-400). 

Wallahu a’lam.

 
******

Sumber: muslim.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,    
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika     
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

10 Oktober 2020

FILE 403 : Pembagian Surat dalam Al-Qur'an

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Pembagian Surat dalam al-Qur'an

Disusun oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
 
 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, 
 
wa ba’du, 
 
Dilihat dari panjang pendeknya, surat dalam al-Qur'an dibagi menjadi 4: 
 
[1] Surat at-Thiwal 
 
Dari kata thawil (طويل) yang artinya panjang. Surat at-Thiwal adalah surat yang panjang-panjang. Jumlahnya ada 7, karena itu sering disebut dengan as-Sab’u at-Thiwal (7 surat yang panjang). Meliputi: al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa, al-Maidah, al-An’am, al-A’raf, dan al-Anfal. 
 
[2] Surat al-Mi-in 
 
Dari kata Mi-ah (المائة) yang artinya angka seratus. Surat al-Mi-in berarti surat yang jumlah ayatnya kurang lebih seratus ayat. 
 
[3] Surat al-Matsani 
 
Dari kata tsanna (ثنَّى) yang artinya mengulang. Menurut keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Said bin Jubair, disebut demikian karena Allah banyak mengulang tentang kewajiban-kewajiban (al-Faraid), hukum-hukum syariat, kisah-kisah (al-Qashas), dan perumpamaan (al-Amtsal). Berdasarkan urutannya, surat al-Matsani adalah surat setelah al-Mi-in. 
 
[4] Surat al-Mufashal
 
Dari kata al-Fashl (الفصل) yang artinya batas. Disebut al-Mufashal dari kata al-Fashl yang artinya sekat/pembatas. Sehingga dinamakan mufashal karena ayatnya pendek-pendek. Ada juga yang mengatakan, dinamakan Mufashal karena suratnya pendek-pendek, sehingga banyak pemisah basmalah-nya. Kemudian, menurut pendapat yang kuat, dimulai dari surat Qaf hingga surat an-Nas. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/393). 
 
Dasar mengenai pembagian ini adalah hadis dari Watsilah bin al-Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
 أُعْطِيتُ مَكَانَ التَّوْرَاةِ السَّبْعَ، وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الزَّبُورِ الْمَئِينَ، وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الْإِنْجِيلِ الْمَثَانِيَ، وَفُضِّلْتُ بِالْمُفَصَّلِ 
 
Aku diberi pengganti isi Taurat dengan as-Sab’u (7 surat panjang), dan aku diberi pengganti isi Zabur dengan surat al-Mi-in, dan aku diberi pengganti isi Injil dengan al-Matsani, dan aku diberi tambahan dengan surat-surat al-Mufashal.” 
(HR. Ahmad 16982 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
 
Al-Baihaqi menjelaskan hadis ini:
 
 والأشبه أن يكون المراد بـ (السبع) في هذا الحديث (السبع الطول) و(المئين) كل سورة بلغت مائة آية فصاعدًا، و(المثاني) كل سورة دون (المئين) وفوق (المفصل) 
 
Yang mendekati, makna kata ‘as-Sab’u’ dalam hadis ini adalah as-Sab’u at-Thiwal (7 surat yang panjang); sementara makna al-Mi-in adalah semua surat yang jumlah ayatnya 100 atau lebih. Istilah Al-Matsani maknanya adalah semua surat yang jumlah ayatnya di bawah al-Mi-in, di atas al-Mufashal
 
 
Selanjutnya, surat al-Mufashal terbagi menjadi 3: 
 
(a) Thiwal Mufashal – mufashal yang panjang. 
 
Dimulai dari surat Qaf hingga surat al-Mursalat (akhir juz 29). 
 
(b) Wasath Mufashal – mufashal pertengahan. 
 
Dimulai dari surat an-Naba’, hingga surat ad-Dhuha 
 
(c) Qishar Mufashal – mufashal pendek. 
 
Dimulai dari surat al-Insyirah, hingga akhir al-Quran, yaitu surat an-Nas. 
 
(at-Tahrir wa at-Tanwir, 1/85). 
 
Demikian, Allahu a’lam.
 
******

Sumber: konsultasisyariah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,    
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika     
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin