Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

20 Mei 2020

FILE 398 : Shalat Berjama'ah dengan Shaf Renggang karena Takut Wabah (Korona, dll)

Bismillaahirrohmaanirrohiim              
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
.... 
 
Hukum Shalat Berjamaah dengan Shaf Renggang
Disusun oleh:
Yulian Purnama, S.Kom. Hafidhahullaah

Permasalahan:
.
Dalam rangka mencegah penularan wabah, sebagian masjid yang mengadakan shalat berjama’ah mengatur shaf shalat agar berjauhan antara satu orang dengan lainnya. Semisal jarak satu orang dengan yang lain sejauh 1 meter atau sekitar itu. Bagaimana hukum mengerjakan shalat dengan cara demikian?
 
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini. Sebagian melarangnya dan sebagian membolehkannya. Kita simak fatwa mereka berikut ini:

.
Fatawa Para Ulama yang Melarang
  1. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad
Soal:

Di sebagian masjid orang-orang mengerjakan shalat dengan keadaan satu orang dengan yang lain terdapat celah sekitar satu atau dua meter. Mereka mengklaim hal tersebut dilakukan untuk mencegah penularan penyakit. Bagaimana hukum shalat dengan cara seperti itu?

Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah menjawab:

لا تصح الصلاة ويعتبرون أفراداً كما لو صلوا منفردين

“Shalat berjamaah dengan cara seperti itu, hukumnya tidak sah. Mereka dianggap seperti shalat secara sendiri-sendiri sebagaimana jika mereka melakukan shalat seorang diri”

(Hal ini ditanyakan kepada beliau pada kajian kitab al-Muwaththa’ hari Sabtu, 19 Rajab 1441 H / 14 Maret 2020)

  1. Fatwa Syaikh Ali Abu Haniyyah
Beliau mengatakan:

مما رأيته وسئلت عنه مرارا هذه الليلة صلاة التراويح هذه التي أداها بعض المصلين في ساحة مواقف سيارات في مدينة يافا المحتلة وعلى هذه الهيئة

فأقول

١صلاة التراويح شعيرة ظاهرة تصلى في المساجد كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم وأحياها عمر الفاروق رضي الله عنه، وأما تعمد إحيائها في الساحات والمواقف بهذه الصورة مع التسليم بغلق المساجد فهذا خلاف المقصود.

٢أرى البعض يحاول الفرار من البيوت وصلاة التراويح فيها جماعة بالأهل، والبحث عن جماعة هنا أو هناك ليندس فيها، ولا أرى ذلك إلا تقصيرا في حق اهل بيته من جهة، وعدم ارتباط كثير من المسلمين بالقرآن وحسن تلاوته من جهة أخرى

٣هذه الصلاة العجيبة في هذا الزمن العجيب غير مشروعة من حيث اعتبارها صلاة جماعة وهيأتها هذه غير واردة في السنة بل وصفها إلى البدعة أقرب منه إلى السنة.

٤ذهب بعض أهل العلم إلى أن هؤلاء المصلين يُعدّون فرادى لا جماعة لتباعدهم وعدم تراصهم ولا تسوية صفوفهم..

٥مع قولنا بعدم المشروعية إلا أننا لا نستطيع القول ببطلان هذه الصلاة لوجود من يفتي من أهل العلم بجوازها ولكننا نقول: الصلاة في البيوت خير منها

والله أعلم

نسأل الله أن يوفق جميع المسلمين لما يحب ويرضى

 علي أبو هنية المقدسي

١رمضان ١٤٤١هجري

أيام حصار كورونا


Terkait dengan apa yang aku lihat dan ditanyakan kepadaku berulang kali malam ini, tentang shalat tarawih yang dilaksanakan sebagian orang di lahan parkir sebagaimana yang diadakan di kota Jaffa dengan tata cara demikian, maka saya nyatakan:
  1. Shalat tarawih adalah syiar yang nyata yang dilaksanakan di masjid sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam dan dihidupkan kembali oleh Umar Al Faruq radhiallahu ’anhu. Maka mengadakannya di tempat parkir dengan sengaja, karena ditutupnya masjid-masjid, ini bertentangan dengan tujuan awalnya.
  2. Saya melihat sebagian orang yang pergi dari rumahnya sehingga tidak melaksanakan shalat tarawih bersama keluarganya di rumah, lalu kemudian mencari-cari jama’ah shalat tarawih di sana-sini untuk diikuti. Pertama, yang saya lihat ini adalah sikap taqshir (lalai) terhadap hak keluarga di rumah. Kedua, ini cerminan sikap kurangnya menyibukkan diri dengan Al Qur’an dan membacanya dengan baik
  3. Tata cara shalat yang aneh seperti ini diwaktu yang ajib (yaitu masa krisis), tidaklah disyariatkan jika dipandang sebagai shalat berjama’ah. Dan tata cara seperti ini tidak terdapat dalam Sunnah. Bahkan mensifatnya sebagai kebid’ahan lebih dekat daripada sebagai Sunnah.
  4. Sebagian ulama memandang bahwa orang yang shalat dengan cara demikian, dianggap sebagai shalat sendirian bukan shalat berjama’ah, karena jama’ahnya saling berjauhan dan tidak merapatkan shaf serta tidak meluruskannya.
  5. Ketika saya menyatakan hal ini tidak disyariatkan, di sisi lain saya tidak mampu mengatakan bahwa shalat seperti ini tidak sah karena adanya sebagian ulama yang memfatwakan bolehnya shalat dengan cara seperti ini. Namun saya nyatakan, shalat di rumah lebih baik daripada shalat dengan cara seperti ini.
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik untuk kaum Muslimin kepada perkara yang Allah cintai dan Allah ridhai

Ali Abu Haniyyah Al Maqdisi

1 Ramadhan 1441 H

Di masa-masa isolasi corona


  1. Fatwa Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi
Beliau menjelaskan:

في مسألة صلاة الجماعة في المساجد-مُتباعدين- بسبب وباء الكورونا

نحن بين قولين اشتهرا-كطرفَي نقيض-:
    ١-مَن توسّع في الجواز  
٢-ومَن ضيّق بالبطلان

وكلاهما فيه نظرٌ-عندي

ومنذ طُرحت هذه المسألة-ومِن اللحظة الأولى-توسّطتُ القولَ-ولله الحمد-: فأفتيتُ بصحّة الصلاة، مع مخالفة فعل التباعُد لواجب التراصّ، وضبط الصفوف

وقد أفتى شيخُنا العلامةُ الجليل عبدالمحسن العباد البدر-حفظه الله ورعاه-في حكم الصلاة-مع هكذا تباعُد أنها صلاة فُرادى

اللهمّ أذهِب عن هذه الأمّةِ الوباء والبلاء وكلَّ داء
.

“Dalam masalah shalat jama’ah di masjid dengan shaf renggang karena sebab wabah corona, maka kami berada di antara dua pendapat yang masyhur: 1. orang-orang yang bermudah-mudah membolehkan, dan 2. yang mempersempit masalah ini hingga menyatakan batalnya shalat tersebut. Kedua pendapat ini tidak tepat menurut saya.

Sejak munculnya masalah ini pertama kalinya, maka saya bersikap pertengahan -walhamdulillah-. Saya berpendapat shalat yang demikian tetap sah, namun terdapat mukhalafah (kekeliruan) karena renggangnya shaf padahal merapatkan shaf itu wajib dan wajib pula merapikan shaf. 

Dan guru kami, Syaikh Al Allamah Abdul Muhsin Al Abbad, telah memfatwakan bahwa shalat yang demikian dianggap shalat sendirian.

Ya Allah, hilangkanlah bencana, wabah dan setiap penyakit dari umat ini…”


Sumber fotohttps://septyanwidianto.web.id/wp-content/uploads/2020/04/shaf-renggang-saat-shalat-tarawih-masjidil-haram-scaled.jpeg


Fatawa Para Ulama yang Membolehkan
  1. Fatwa Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili
Beliau mengatakan:

يسأل المسلمون في البلدان التي يسمح فيها بالصلاة في المساجد بشرط التباعد بين المصلين عن حكم الصلاة في تلك الحال، والجواب أن الأصل تراص الصفوف وعندالجمهور تكره الصلاة في الصف المتقطع والحاجة تسقط الكراهة،وهذه الجائحة حاجةشديدةفتجوز الصلاة مع التباعد بشرط أن يكون في الصف أكثرمن واحد

“Kami ditanya tentang kaum Muslimin di negeri-negeri yang masih membolehkan shalat di masjid (di masa wabah) dengan syarat shafnya renggang berjauhan, bagaimana hukum shalat dengan kondisi demikian? Jawaban kami, hukum asalnya shalat itu dengan merapatkan shaf. Menurut jumhur ulama, makruh hukumnya shalat yang terputus shafnya. Sedangkan adanya hajat menggugurkan kemakruhan. Dan adanya kebutuhan untuk itu di masa ini, sangat mendesak sekali. Maka boleh shalat dengan shaf renggang berjauhan dengan syarat dalam satu shaf ada lebih dari satu orang” 

.
  1. Fatwa Syaikh Sa’ad Asy Syatsri
Beliau mengatakan:

“Tidak diragukan, upaya pencegahan penyakit untuk menjaga nyawa dan menghentikan penyebaran penyakit merupakan perkara taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla. Namun demikian, merapatkan shaf adalah perkara yang disyariatkan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان
  
Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Namun perintah merapatkan shaf ini tidak sampai wajib namun sifatnya mustahab (sunnah) menurut jumhur ulama. Oleh karena itu, kami memandang shaf yang renggang tidak berpengaruh pada keabsahan shalat. Lebih lagi ketika ada udzur yang membutuhkan adanya jarak.

Dan jumhur ulama dari kalangan ulama 4 madzhab menyatakan bahwa merapatkan shaf tidak wajib, mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam:

سوُّوا صفوفَكم فإنَّ تسويةَ الصَّفِّ مِن تمامِ الصَّلاةِ

Luruskanlah shaf kalian karena lurusnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat” (HR.  Bukhari no.723, Muslim no.433)

Menunjukkan bahwa perkara meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya mustahab bukan  termasuk rukun atau wajib shalat. Karena yang disebut تمامِ (penyempurna) dari sesuatu artinya itu adalah perkara tambahan dari asalnya. 

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam:

وأَقِيمُوا الصَّفَّ في الصَّلَاةِ، فإنَّ إقَامَةَ الصَّفِّ مِن حُسْنِ الصَّلَاةِ

Luruskanlah shaf dalam shalat, karena lurusnya shaf dalam shalat adalah bagian dari bagusnya shalat” (HR. Bukhari no. 722, Muslim no.435).

Menunjukkan bahwa merapikan shaf itu sunnah tidak wajib. Karena andaikan itu wajib maka tidak disebut “bagian dari bagusnya shalat”. Karena unsur bagus dari sesuatu berarti unsur tambahan dari sesuatu tersebut. 

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam kepada Anas bin Malik:

ما أَنْكَرْتُ شيئًا إلَّا أنَّكُمْ لا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ

Tidaklah ada yang aku ingkari dari kalian, kecuali satu hal yaitu kalian tidak meluruskan shaf” (HR. Bukhari no.724).

Namun Rasulullah tidak memerintahkan beliau untuk mengulang shalat. Ini menunjukkan bahwa merapatkan shaf bukan perkara wajib. Dan meninggalkannya tidak berpengaruh pada keabsahan shalat. Sebagaimana ini pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, ini juga pendapat imam 4 madzhab. Yang berpendapat wajib adalah Imam Ibnu Hazm Az Zhahiri yang ia menyelisihi para fuqaha. Oleh karena itu penerapan shaf renggang dalam shalat jama’ah tidak berpengaruh pada keabsahan shalat”.

.
  1. Fatwa Syaikh Musthafa Al Adawi
Soal:

Apakah boleh shalat berjama’ah dengan shaf renggang karena ada wabah corona? Semisal antara setiap orang berjarak 1 meter?

Beliau menjawab:

 تجوز مع عندنا نصوصا لكن الضرورة تجوز المحظورة

“Hal ini dibolehkan walau ada nash-nash (yang memerintahkan untuk merapatkan), namun kondisi darurat membolehkan yang tidak dibolehkan”

.
  1. Fatwa Syaikh Utsman Al Khamis
Beliau mengatakan: 

“Jika pemerintah mengizinkan untuk mengadakan shalat Jum’at yang dihadiri sepuluh orang misalnya yang posisinya saling berjauhan. Dengan asumsi berpegang pada pendapat bahwa shalat Jum’at sah dengan minimal tiga orang atau dua orang, tidak sampai 40 orang. Maka kita katakan, silakan hadiri, dengan posisi saling berjauhan dan mengupayakan berbagai sarana pencegahan (penyebaran wabah).

Perkaranya kembali kepada izin pemerintah. Jika pemerintah mengizinkan untuk mengadakan shalat jum’at dengan tata cara seperti ini maka ini tidak mengapa”.


Sumber gambarhttps://konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2015/09/Shaf-shalat-700x554.jpg


Sebab Perbedaan Pendapat 

Jika kita mengamati dengan cermat penjelasan para ulama di atas, sebab adanya perbedaan pendapat mengenai masalah ini berputar pada dua perkara:
  1. Apakah merapatkan shaf itu wajib ataukah sunnah?
  2. Andaikan wajib, apakah adanya wabah menjadi udzur untuk menggugurkan perkara yang wajib?
Ulama yang membolehkan shalat dengan shaf renggang di masa wabah, mereka berpegang pada pendapat jumhur ulama bahwa merapatkan shaf tidaklah wajib. Sebagaimana ini dijelaskan dengan sangat terang oleh Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dan Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili di atas. Atau, andaikan wajib maka kewajiban ini gugur dengan adanya udzur berupa kondisi wabah, sebagaimana zahir dari fatwa Syaikh Musthafa Al ‘Adawi.

Sedangkan ulama yang melarang shalat dengan shaf renggang berpegang pada pendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib. Dan tidak ada udzur untuk mengugurkan kewajiban ini, mengingat terdapat dalil-dalil yang membolehkan untuk shalat di rumah ketika ada masyaqqah (kesulitan), sehingga shalat tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mengugurkan kewajiban shalat.

Hati kami lebih tenang pada pendapat yang pertama, yang melarang tata cara shalat dengan shaf renggang. Namun tetap berkeyakinan bahwa shalat seperti itu sah. Mengingat dalil-dalil yang zahirnya menunjukkan kewajiban merapatkan shaf. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam:

اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري

Luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Bukhari no.719). .

dalam riwayat lain, terdapat penjelasan dari perkataan dari Anas bin Malik,

كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه

“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Bukhari no.725).

Dan wajib menempelkan kaki dengan kaki orang di sebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya. Inilah hakekat merapatkan shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah. Dalam Shahih-nya, membuat judul bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ  وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

“Bab menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shaf. An Nu’man bin Basyir berkata: aku melihat seorang di antara kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya”.

Dan ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Dan juga mengingat ijma’ ulama tentang bolehnya meninggalkan shalat jama’ah ketika ada masyaqqah, dan shalat di rumah. Sehingga tidak perlu menggugurkan kewajiban merapatkan shaf. Dan juga mengingat tidak terdapat dalil kuat terhadap tata cara shalat dengan shaf renggang demikian dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam atau pun para salaf.

Namun ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang longgar, yang para ulama pun berlonggar-longgar menyikapinya. Sehingga kita pun hendaknya bersikap longgar sebagaimana longgarnya para ulama. Kita bertoleran kepada orang lain yang beda pendapat dalam masalah ini, dan tidak mengingkari praktek shalat dengan shaf renggang, karena dikuatkan oleh banyak fatawa para ulama Ahlussunnah.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.


******
Sumber: muslim.or.id . 

Tambahan saya (Sa'ad): . 

Sumber untuk fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah
https://youtu.be/VB35uWPAwPs (menit 44:15 – 44:37) . 

Tambahan fatwa ulama yang melarang: . 

Majelis Eropa untuk Fatwa dan Riset (The European Council For Fatwa and Research)
 .
Dalam fatwa no. 7/30 (28 Maret 2020), sebagai jawaban atas pertanyaan tentang shalat berjamaah dengan cara social distancing, lembaga ini menjawab:

الأَوْلى في هذه الظروف إيقاف الصلوات في المساجد وأدائها في البيوت؛ فإنّ صلاة الجماعة سنّة مؤكدة، والحفاظ على أرواح الناس واجب، ولا يقبل تقديم السنة على الواجب

والصلاة على الصفة المذكورة تكلَّف وتعقيد لأمر يسّره الله، كما أنّها تُناقض روح صلاة الجماعة، وتهدم نصوصها الآمرة بالتقارب ورص الصفوف، والناهية عن صلاة المنفرد خلف الصف

على أنّ هذا الإجراء لا يحمي الناس من العدوى، حيث يختلطون ببعضهم دخولًا وخروجًا من المساجد، وسجودًا في الموضع الواحد، ولمسًا للأبواب عند فتحها، ويجب أن تكون المساجد عنوانًا على الالتزام بالنظم والقوانين والتحوط في الحفاظ على أرواح الناس لا العكس


“Pada kondisi seperti ini sebaiknya shalat di masjid dihentikan sementara, dan dilaksanakan di rumah masing-masing. Shalat berjamaah (di masjid) hukumnya sunnah muakkadah, sedangkan menjaga keselamatan jiwa manusia hukumnya wajib, sehingga mengutamakan perkara sunnah atas perkara wajib tidak tepat.

Shalat dengan cara tersebut terkesan dipaksakan dan mempersulit perkara yang dimudahkan Allah, ia juga bertolak belakang dengan ruh/hikmah disyariatkannya shalat berjamaah, menyalahi nash-nash yang memerintahkan untuk merapatkan saf dan melarang shalat sendirian di belakang shaf.

Selain itu cara seperti ini tidak menjamin orang-orang terhindar dari virus menular, sebab mereka tetap bercampur saat masuk dan keluar, sujud di tempat yang sama, begitu pula saat membuka pintu. Masjid haruslah menjadi contoh kedisiplinan terhadap peraturan dan undang-undang, juga dalam kehati-hatian dalam melindungi jiwa manusia, bukan malah sebaliknya.” 


Tambahan fatwa ulama yang membolehkan:  . 

Prof. DR. Khalid bin Ali al-Musyaiqih

Dalam artikel yang berjudul Hukum-hukum Fikih Terkait Virus Corona (الأحكام الفقهية المتعلقة بفيروس كرورنا ), hal. 17, masalah fikih no. 17, tentang hukum shaf yang berjauhan dalam shalat berjamaah, beliau menulis:

“Sunnah (tuntunan Rasulullah) bahwa shaf shalat haruslah berdekatan, jarak antara satu shaf dengan shaf berikutnya adalah seukuran tempat sujud. Tetapi jika (berjauhan jarak) diperlukan karena khawatir terjangkit penyakit, maka berjauhan shaf tidak mengapa, walaupun seorang harus shalat sendiri di belakang shaf karena hajat (kebutuhan). 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berpendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib, tetapi jika dibutuhkan (untuk shalat sendiri) seperti jika shaf sudah penuh, maka shalatnya sah dan kewajiban sejajar dengan saf menjadi gugur.

Begitu pula -wallahu a‘lam- jika ia takut terjangkit penyakit, kemudian shalat sendirian di belakang shaf, maka shalatnya sah, meskipun pada asalnya berbaris di shaf hukumnya wajib, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Ali bin Syaiban radhiyallahu ‘anhu, rasulullah bersabda: “Tidak (sah) shalat orang yang sendirian di belakang shaf.” (HR. Ahmad, dan yang lainnya). 

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika   
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

05 Mei 2020

FILE 397 : Beberapa Tuntunan Rasulullah dalam Menjaga Kesehatan

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...


Petunjuk Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam Menjaga Kesehatan

Artikel disusun oleh:
Tim pengasuh situs web Islamqa,  di bawah pengawasan umum Syaikh Muhammad Saalih al Munajjid hafidhahullaah


Pertanyaan:

Apakah di dalam sunnah terdapat atsar dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang khusus untuk menjaga kesehatan tubuh, kulit dan rambut ? Dan bagaimana kalau berfikir yang demikian ?

Apa saja yang beliau kerjakan untuk menjaga kehidupan yang sehat bersama ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, atau contoh yang lain dengan Khodijah –radhiyallahu ‘anha-, atau Fatimah –radhiyallahu ‘anha-, bagaimana mereka hidup dengan kehidupan yang sehat ?


Jawaban:
.
Alhamdulillah

Alloh –Ta’ala- telah mengutus Rasul-Nya Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa kabar gembira atau pemberi peringatan; untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin Alloh, memberi petunjuk kepada mereka pada jalan yang lurus.

Dia (Alloh) tidak mengutus beliau sebagai dokter yang mengobati penyakit-penyakit tubuh. Dia (Alloh) menyuruh Nabi untuk membangun masjid dan tidak menyuruh beliau untuk membangun rumah sakit.

Manusia juga menyukai penyembuhan Rabbani dengan al Qur’an yang mengobati penyakit-penyakit hati hingga menjadi beriman setelah kekafiran, menjadi taat setelah bermaksiat, mendapat petunjuk setelah sebelumnya berada dalam kesesatan. 

Al Qur’an tidak diturunkan untuk memberikan resep obat dari penyakit yang ada, meskipun al Qur’an juga bisa menjadi penawar bagi penyakit-penyakit hati dan fisik, sebagaimana firman Alloh –Ta’ala-:

قل هو للذين آمنوا هدى وشفاء 

“Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar ". (QS. Fushilat: 44)

وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين 

“Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al Isra’: 82)

Asy Syaukani –rahimahullah- berkata:

“Para ulama berbeda pendapat terkait makna “asy Syifa” menjadi dua pendapat: Pertama: Menjadi penawar pagi hati dengan hilangnya kebodohan, lenyapnya keraguan dan terbukanya tabir yang akan menuntun kepada Alloh –subhanahu wa ta’ala-. Pendapat kedua: Menjadi penawar bagi penyakit-penyakit yang nampak dengan ayat-ayat ruqyah dan perlindungan dan semacamnya. Tidak masalah jika penawar yang dimaksud dibawa pada kedua makna tersebut”. (Fathul Qadir: 3/362)
.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini bagian dari keberkahan al Qur’an dan kesempurnaan keutamaan yang terkandung di dalamnya. Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga menjadikan al Qur’an sebagai obat, diruqyah dengan ayat-ayat perlindungan yang syar’i, dan menyuruh untuk melakukan itu jika ada orang yang mengeluhkan masalahnya.


Imam Bukhori: 5016 dan Muslim: 2192 telah meriwayatkan dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفُثُ ، فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ بِيَدِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا 
.
“Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika mengeluhkan sesuatu, beliau membacakan pada diri sendiri ayat-ayat perlindungan dan meniupkannya, dan jika rasa sakitnya bertambah maka saya yang membacakan kepada beliau dan mengusapkannya dengan tangan beliau dengan mengharap barakahnya”.

Imam Bukhori: 3371 telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

 كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ :  إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ : أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُل شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ 
.
“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memohonkan perlindungan bagi Hasan dan Husain dengan bersabda: “Sungguh bapak kalian berdua dahulu dimohonkan perlindungan oleh Isma’il dan Ishak: “Saya berlindung dari kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari seluruh syetan dan seluruh serangga yang berbisa, dan dari setiap mata yang mencela”.

Beliau juga memperbanyak berdoa untuk kesehatan dan menyuruh orang lain agar melakukannya juga, kesehatan yang dimaksud adalah kebaikan agama dan dunia.

Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa dia berkata kepada bapaknya: “Wahai ayahku, sungguh saya mendengar anda berdoa setiap pagi:

 اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَدَنِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي سَمْعِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَصَرِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ، تُعِيدُهَا ثَلَاثًا حِينَ تُصْبِحُ وَثَلَاثًا حِينَ تُمْسِي ، وَتَقُولُ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنت ، تُعِيدُهَا حِينَ تُصْبِحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثًا حِينَ تُمْسِي , قَالَ: نَعَمْ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِنَّ فَأُحِبُّ أَنْ أَسْتَنَّ بِسُنَّتِهِ
. 
 رواه أحمد (19917) وأبو داود (5090) وحسنه الألباني في صحيح أبي داود
.
Ya Alloh, sehatkanlah badanku, sehatkanlah pendengaranku, sehatkanlah mataku, tiada Tuhan –yang berhak disembah- kecuali Engkau”. Anda mengulanginya sebanyak tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada sore hari. 
Anda juga berkata: “Ya Alloh aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran, Ya Alloh aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, tiada Tuhan –yang berhak disembah- kecuali Engkau, anda mengulanginya sebanyak tiga kali pada pagi hari dan sore hari.
Beliau menjawab: “Ya, wahai anakku, saya telah mendengar Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdoa seperti itu dan saya menyukai untuk mengikuti sunnah beliau”. 
(HR. Ahmad: 19917 dan Abu Daud: 5090, dan dihasankan oleh Al Baani dalam Shahih Abu Daud)

Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bisa jadi memberikan resep dan pengobatan yang sesuai dengan selain dari al Qur’an dan ruqyah, dan menyuruh semua yang bermanfaat dan melarang apa yang membahayakan. 


Imam Muslim: 1204 telah meriwayatkan dari Utsman –radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang seseorang jika mengeluhkan kedua matanya pada saat dia berihram:

ضَمَّدَهُمَا بِالصَّبِرِ 
.
“Balutlah kedua matanya dengan perasan kayu yang pahit”.

Al Hakim: 7438 telah meriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
 إذا حم أحدكم فليشن عليه الماء البارد ثلاث ليال من السحر 
 .
وصححه الألباني في "الصحيحة" :1310 
.
“Jika seseorang dari kalian suhu badannya panas, maka percikkanlah air dingin selama tiga malam pada waktu sahur”. 
(Dishahihkan oleh al Baani dalam Ash Shahihah: 1310)

Imam Bukhori: 5680 telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ : شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ ، وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ 
.
“Kesembuhan itu pada tiga hal: minum madu, hijamah (bekam), dan al Kay (dipanggang dengan api), dan saya melarang umatku melakukan al Kay”.

Di antara tata cara yang agung yang bermanfaat bagi kesehatan dan mencegah penyakit: meninggalkan sifat rakus pada makanan, mencegah diri dari berlebihan dan sifat mubadzir pada makanan.


Imam Tirmidzi: 2380 telah meriwayatkan dari Miqdam bin Ma’diy Karib berkata: Saya mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
 وصححه الألباني في صحيح الترمذي


“Tidaklah ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam kecuali perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa makanan yang bisa menegakkan tulang sulbinya. Jika dia harus makan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafasnya”. 
(Dishahihkan oleh Al Baani dalam Shahih Tirmidzi)

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Inilah yang bermanfaat bagi tubuh dan jantung, karena jika perut diisi dengan makanan, maka jatahnya minuman menjadi sempit, dan jika telah diisi dengan minuman maka ruang untuk bernafas menjadi sempit. Maka dengan demikian beban tubuh semakin berat terasa gelisah dan capek, sama dengan seorang tukang panggul yang membawa beban berat. Efek dari itu akan menyebabkan rusaknya hati, anggota tubuh menjadi malas untuk beribadah, dan memicu bangkitnya syahwat dan butuh pelampiasan, maka dari itu perut yang terisi penuh akan membahayakan jantung dan tubuh secara keseluruhan”. (Zaadul Ma’ad: 4/17)

Maksudnya bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau senantiasa menjaga dirinya, dan kesehatan fisiknya dengan empat perkara:
  1. Diruqyah dengan al Qur’an dan membaca ayat-ayat perlindungan yang disyari’atkan
  2. Dengan berdo’a dan memohon kesehatan
  3. Dengan tindakan pencegahan, hal ini tentu lebih baik dari pada pengobatan
  4. Sesuai dengan apa yang Alloh kabarkan dan ajarkan kepada beliau mengenai pengobatan dan obatnya
Adapun rambut beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara rutin beliau mandi, menyisir rambutnya, memakai minyak rambut, dan bercelak. Beliau juga pernah bersabda:

 مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ
  .
رواه أبو داود :4163


“Barang siapa yang mempunyai rambut maka hormatilah”. 
(HR. Abu Daud: 4163 dan dishahihkan oleh Al Baani)

Imam Tirmidzi: 1851 telah meriwayatkan dari Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
  .
وصححه الألباني في صحيح الترمذي


“Konsumsilah oleh kalian zaitun, dan jadikanlah minyak rambut; karena ia berasal dari pohon yang diberkahi”. 
(Dishahihkan oleh Albaani dalam Shahih Tirmidzi)

Sedangkan mata beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah diriwayatkan bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memakai celak di mata kanan sebanyak tiga kali, dan mata kirinya sebanyak dua kali”. (HR Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat al Kubro: 1/376 dan dishahihkan oleh Albani dalam ash Shahihah: 633)

Imam Tirmidzi: 1757 telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 اكْتَحِلُوا بِالْإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
  .
وصححه الألباني في صحيح الترمذي


“Pakailah celak itsmid; karena akan membeningkan pandangan dan menumbuhkan bulu (mata)”. 
(Dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Tirmidzi)
.
Untuk menelaah rincian dari keadaan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam masalah di atas, kami sarankan agar anda merujuk pada bukunya Ibnul Qayyim yang sangat bermanfaat: “Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad”, khususnya pada jilid 4, pada jilid tersebut secara khusus membahas tentang thibbun nabawi (pengobatan ala Nabi). Demikian juga kami sarankan untuk membaca pada bab-bab tertentu dari kitab “Al Aadab asy Syar’iyyah wal Minah al Mar’iyyah” karangan Syamsuddin bin Muflih al Hambali.

Bahwa tidak selayaknya bagi orang yang berakal menjadikan semua keinginannya pada perkara tersebut, karena keinginan terbesarnya seharusnya adalah akherat dan apa yang akan bisa menyelamatkannya di hadapan Alloh.


Ibnu Majah: 257 telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ آخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ ، وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ 
 .
حسنه الألباني في صحيح ابن ماجة :207
 .
“Barang siapa yang menjadikan semua kesedihan (kerisauannya) menjadi satu, yaitu; kegelisahan tentang akherat kelak, maka Alloh akan mencukupkan baginya kesedihan dunia, barang siapa yang kegelisahannya tersebar pada kepentingan dunia saja, maka Alloh tidak akan peduli di lembah mana dia akan mati”. 
(Dihasankan oleh Albani dalam Shahih Ibnu Majah: 207).

Wallahu ta’ala a’lam.

******

Sumber: islamqa.info/id 
 
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,   
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika     
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin