Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

17 April 2008

FILE 43 : Nasihat untuk LDII

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

LDII :

NASIHAT UNTUK KEMBALI KE MANHAJ SALAFUS SHOLIH

.

Penulis:

Ustadz Muhammad Arifin Badri

.

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, semoga Allah melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya kepada kita semua. Berikut adalah diskusi antara ustadz Muhammad Arifin Badri dengan Abu Altov membahas mengenai beberapa permasalahan yang padanya kaum LDII menyelisihi ajaran islam yang diajarkan oleh Rasululullah shollallahu’alaihiwasallam. Mudah-mudahan kita semua dapat mengambil pelajaran dari dialog ini dan semakin menambah keyakinan kita bahwa kebenaran itu adalah satu dan tidak berbilang, yaitu islam yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan dipahami oleh para sahabatnya, dan bukan yang selainnya. Semoga ini menjadi nasehat kepada kaum LDII untuk kembali kepada islam yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.

.

***

Ustadz Muhammad Arifin bertanya:

Dari yang saya ketahui, tentang dasar beragama LDII bahwa mereka mengharuskan agar ilmunya mangkul (dinukilkan langsung) dari seorang guru. Bukankah demikian?

Abu Altov menjawab:

“Yang saya ketahui benar demikian, Bapak. Bila Bapak Muhammad Arifin pernah belajar alQuran dan hadits dari siapapun entah ulama Mekah Madinah atau ulama disini dan apa yang dikatakan bapak dengan guru bapak tidak beda demikian pula yang dikatakan guru bapak tidak beda dengan gurunya, terus demikian dan terus demikian, sampai kepada para ulama salaf, para sahabat dan rosululloh SAW, Insya Alloh sayapun akan belajar kepada Bapak. Karena ilmu ini sangat asing dan jarang (sesuatu yang asing dan jarang pasti tidak mudah didapat dan dipahami) dan pasti suatu saat akan meninggalkan kita. Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan terangkat, tinggallah generasi kita yang hanya mengikuti kitab-kitab karangan, kitab-kitab terjemahan. kitab-kitab cetakan, ucapan-ucapan si A, Si B, si C dan hal ini sekarang ilmu ini siap-siap akan berpindah kenegara lain, selain mekah madinah. Sehingga yang disini Insya Alloh sebagian akan hijrah pula, bila Allah mengizinkan saya dan keluargapun ingin hijrah. Karena pada dasarnya kita hanyalah lembaran putih yang kosong yang belum terisi oleh goresan pena, sebagaimana para ulama terdahulu, seperti ahli membaca quran para ahli hadits, mereka sebagaimana gelas kosong yang belum terisi oleh air. Sedikit demi sedikit mendapat ilmu dengan belajar kepada ulama yang menjadi guru mereka.”

Ustadz Muhammad Arifin:

Pada penggalan komentar saudara Abu Altov di atas ada beberapa hal yang ingin saya komentari dan menurut hemat saya merupakan titik permasalahan yang menjadi pembeda antara paham LDII dan kaum muslimin secara umum:

Pertama: Saudara Abu Altov telah membuat suatu kaidah dan prinsip besar yang menurut hemat saya ini adalah prinsip yang layak untuk ditulis dengan tinta emas dan dijadikan sebagai pedoman hidup setiap muslim. Suatu keyakinan dan aqidah yang indah dan benar-benar mencerminkan akan kecintaan kepada kebenaran dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Kaidah tersebut tersurat dengan jelas dan gamblang pada ucapan Saudara kita Abu Altov berikut ini: “Bila Bapak Muhammad Arifin pernah belajar alquran dan hadits dari siapapun entah ulama Mekah Madinah atau ulama disini dan apa yang dikatakan bapak dengan guru bapak tidak beda demikian pula yang dikatakan guru bapak tidak beda dengan gurunya, terus demikian dan terus demikian, sampai kepada para ulama salaf, para sahabat dan Rosululloh SAW, Insya Alloh sayapun akan belajar kepada Bapak.”

Inilah pedoman hidup yang semestinya dipegang erat-erat dan diamalkan oleh setiap muslim, yaitu senantiasa mengamalkan agama islam yang murni bersih dari noda kesyirikan atau bid’ah. Yaitu syari’at islam yang pernah diamalkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, dan yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnaah-sunnah beliau shollallahu’alaihiwasallam. Dan inilah wasiat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kepada ummatnya, sebagaimana yang dikisahkan oleh sahabat Irbadh bin Sariyyah rodiallahu’anhu:

قال: (صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا؛ فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة)

“Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan agar senantiasa setia mendengar dan taat, walaupun ia (pemimpin/penguasa) adalah seorang budak ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah kholifah-kholifah yang telah mendapat petunjuk lagi cerdik. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat.” (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll)

Inilah wasiat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, yaitu senantiasa menjalankan syari’at Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam yang murni bersih dari noda-noda bid’ah dan juga kesyirikan. Wasiat beliau ini sering beliau sampaikan kepada ummatnya, agar umatnya senantiasa ingat dan tidak melalaikannya. Dalam berbagai kesempatan beliau mengulang-ulangnya dengan teks yang berbeda-beda, akan tetapi kandungannya sama, diantaranya ketika beliau beliau menyampaikan khutbah hari arafah pada haji wada’:

وقد تركت فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله. رواه مسلم

“Sungguh aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian, satu hal yang bila kalian berpegang teguh dengannya, niscaya selama-lamanya kalian tidak akan tersesat, bila kalian benar-benar berpegang teguh dengannya, yaitu kitab Allah (Al Qur’an).” (Muslim)

Dari wasiat ini kita dapat menarik suatu prinsip dan sekaligus standar kebenaran dalam agama islam. Prinsip dan standar tersebut ialah: “Al Qur’an dan As Sunnah dengan pengamalan yang selaras dengan pengamalan yang pernah diterapkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam beserta para sahabatnya, yang diantaranya oleh khulafa’ ar rasyidun. Sehingga jelaslah bahwa setiap yang menyelisihi prinsip ini adalah sesat dan menyesatkan.

Berdasarkan prinsip ini syari’at Islam tidak membenarkan adanya kultus terhadap seseorang sepeninggal Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dan tidak ada orang yang ma’shum (terlindung dari kesalahan) selain Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, yang demikian ini karena Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam seperti yang dinyatakan dalam ayat berikut:

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى

“Dan ia tidaklah mengucapkan menurut hawa nafsunya, ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najem: 3-4)

Adapun selain beliau shollallahu’alaihiwasallam pasti memiliki kesalahan, kekurangan, dosa, kekhilafan dan kelalaian, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut:

كل ابن آدم خطاء وخير الخطائين التوابون. رواه أحمد والترمذي والدارمي والحاكم وغيرهم

“Setiap anak keturunan Adam adalah pelaku kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah orang yang banyak bertaubat.” (Riwayat Imam Ahmad, At Tirmizy, Ad Darimy Al Hakim dll)

Berdasarkan ini Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah menyatakan:

كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا صاحب هذا القبر صلى الله عليه وسلم

“Setiap orang pasti boleh diambil ucapannya dan juga boleh ditinggalkan selain ucapan penghuni kuburan ini (yaitu Rasulullah) shollallahu’alaihiwasallam.” (Siyar A’alam An Nubala’ 8/93).

Imam As Syafi’i rahimahullah juga berwasiat kepada kita semua dengan berkata:

ذا صح الحديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت قولا فأنا راجع عن قولي وقائل بذلك

“Bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya dari Rasulillah shollallahu’alaihiwasallam, kemudian aku berpendapat (menyelisihinya), maka aku telah meninggalkan pendapatku tersebut, dan mengikuti hadits tersebut.” (Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Asbahany 9/107).

Beliau (imam Syafi’i rohimahullah -ed) juga berpesan:

إذا وجدتم لرسول الله صلى الله عليه و سلم سنة فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد

“Bila kamu telah mendapatkan suatu hadits dari Rasulillah shollallahu’alaihiwasallam, maka ikutilah, dan janganlah engkau menoleh ke pendapat siapapun.” (Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Asbahany 9/107).

Imam Syafi’i sering sekali mengulang-ulang wasiat ini, dan saking banyaknya ucapan beliau yang semakna dengannya, sampai-sampai As Subky -salah seorang ulama’ mazhab As Syafi’i – menuliskan karya ilmiyyah dengan judul:

معنى قول الإمام المطلبي : إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Makna ucapan Imam Al Muthalliby (As Syafi’i): ‘Bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya, maka itulah mazhabku/pendapatku.’

Bila hal ini telah jelas bagi kita, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk hidup dalam dunia sempit bak katak dalam tempurung dalam beragama, sehingga senantiasa beranggapan bahwa kebenaran hanya milik kelompok tertentu atau guru tertentu atau aliran tertentu.

Kedua:

Abu Altov kemudian berkata:

“Karena ilmu ini sangat asing dan jarang (sesuatu yang asing dan jarang pasti tidak mudah didapat dan dipahami) dan pasti suatu saat akan meninggalkan kita. Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan terangkat.”

Saya amat heran dengan komentar dan keterangan saudara Abu Altov. Dari manakah sumber dan apakah dalil ucapannya ini?! Ucapannya ini jelas-jelas menyelisihi realita, sebab Al Qur’an dan As Sunnah yang merupakan sumber ilmu telah merata dan menyebar luas di masyarakat, setiap orang dapat membacanya dan mengkajinya. Sehingga ilmu itu tidak jarang dan juga tidak asing. Yang asing adalah pemahaman dan pengamalannya, betapa banyak yang membaca Al Qur’an, akan tetapi berapakah dari mereka yang paham artinya? Dan dari yang paham artinya, berapakah yang paham akan kandungannya? Dan dari yang paham akan kandungannya, berapakah yang mengamalkannya? Dari yang mengamalkannya, berapakah yang menyerukan dan mengajarkannya kepada orang lain dengan baik dan benar? Inilah yang jarang dan sedikit. Adapun Ilmu agama, maka telah merata dan banyak, yaitu dengan dibukukannya Al Qur’an dan hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam.

Oleh karena itu saya heran terhadap ucapan saudara Abu Altov ini, apakah maksudnya dan kandungan apa yang sedang ia siratkan dari ucapannya ini? Apakah yang ia maksud adalah ilmu yang terkandung dalam Al Qur’an dan hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang sekarang ada di rumah-rumah umat islam (selain warga LDII) atau di toko-toko kitab, pesantren-pesantren, perpustakaan para ulama’, ustadz, kiyai, muballigh, dan santri-santri tidak sah karena tidak disampaikan oleh guru LDII?! Ataukah LDII memiliki sumber ilmu (baca: Al Qur’an dan hadits-hadits) yang tidak dimiliki oleh masyakat umum di luar kelompoknya?

Ditambah lagi, anggapan bahwa ilmu agama itu tidak mudah dipahami, adalah suatu anggapan dan doktrin yang sesat lagi menyesatkan, sebab menyelisihi dan mendustakan berbagai dalil, diantaranya firman Allah Ta’ala:

فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.” (QS. Ad Dukhan: 57), dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya Kami telah mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 17)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan berkata: “Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an ini yang telah Kami turunkan, sehingga menjadi mudah, jelas, gamblang dengan menggunakan bahasamu (bahasa arab) yang merupakan bahasa yang paling fashih (jelas), gamblang, indah dan tinggi.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/147).

Ucapan Abu Altov ini menurut hemat saya adalah suatu doktrin yang amat buruk sekali yang mungkin ini adalah belenggu yang telah dililitkan oleh tokoh-tokoh LDII di leher setiap pengikutnya, agar mereka tidak mendengar dan membaca dari selain kelompoknya. Dan ucapan ini –menurut hemat saya- adalah salah satu bukti nyata akan kebenaran sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين . رواه البيهقي

“Yang (layak) memikul ilmu ini (ilmu agama) pada setiap generasi adalah orang-orang yang berkredibilitas tinggi. Mereka akan menepis penyelewengan orang-orang yang ekstrim (berlebih-lebihan) dan ajaran orang-orang sesat, dan takwil orang-orang bodoh.” (Riwayat Al Baihaqy)

Adapun diangkatnya ilmu, maka itu adalah suatu hal yang telah menjadi sunnatullah (ketentuan/takdir Allah) sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits berikut:

إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. متفق عليه

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para ulama’, hingga bila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’-pun, niscaya manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan mereka pun menjawab dengan tanpa ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan mungkin fakta diangkatnya ilmu inilah yang menjadikan kelompok LDII senantiasa eksklusif, dan takut bila ajarannya diketahui oleh khalayak umum secara terbuka. Alasan sikap mereka ini hanya ada satu, yaitu seperti yang ditegaskanoleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah:

إذا رأيت قوما يتناجون في دينهم بشيء دون العامة فاعلم أنهم على تأسيس ضلالة. رواه اللالكائي وابن أبي عاصم.

“Bila engkau mendapatkan suatu kaum yang berbicara tentang agama mereka dengan suatu hal yang dirahasiakan dari masyarakat umum, maka ketahuilah bahwa mereka sedang merintis kesesatan.” (Riwayat Al Lalaka’i dan Ibnu Abi ‘Ashim)

Ketiga:

Saudara Abu Altov berkata:

“Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan terangkat, tinggallah generasi kita yang hanya mengikuti kitab-kitab karangan, kitab-kitab terjemahan. kitab-kitab cetakan, ucapan-ucapan si A, Si B, si C.”

Menangislah dan bersedihlah, karena antum telah beranggapan bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah ilmu langka. Dan menangislah serta selalu bersedihlah, karena antum telah mengganggap bahwa kebenaran (Al Qur’an dan As Sunnah) yang ada di masyarakat sudah tidak ada harganya, sehingga antum merasa kesulitan untuk mendapatkan ilmu, dan kesulitan untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.

Teruslah menangis dan bersedih, karena ternyata sebagian orang yang berada disekitar antum termasuk orang-orang yang digambarkan oleh ibnu Abbas dalam kisah berikut:

عمر بن الخطاب رضي الله عنه ذات يوم يحدث نفسه، فأرسل إلى ابن عباس فقال: كيف تختلف هذه الأمة ونبيها واحد وكتابها واحد وقبلتها واحدة؟ فقال ابن عباس: يا أمير المؤمنين إنا أنزل علينا القرآن فقرأناه وعلمنا فيم أنزل، وإنه سيكون بعدنا أقوام يقرأون القرآن ولا يعرفون فيم نزل، فيكون لكل قوم فيه رأي، فإذا كان لكل قوم فيه رأي اختلفوا، فإذا اختلفوا اقتتلوا، فزبره عمر وانتهره، فانصرف ابن عباس ثم دعاه بعد فعرف الذي قال، ثم قال إيه أعد علي. رواه سعيد بن منصور

“Pada suatu hari Umar bin Al Khatthab rodiallahu’anhu sedang merenung, kemudian ia memanggil Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya: Bagaimana umat ini dapat berselisih, padahal nabinya satu, kitab sucinya satu dan qiblatnya juga satu? Maka Ibnu Abbas menjawab: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur’an diturunkan kepada kita, kemudian kita membacanya, dan kita mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan. Dan sesungguhnya setelah zaman kita nanti, akan ada orang-orang yang membaca Al Qur’an dan tidak mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan, sehingga masing-masing kelompok akan memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentangnya. Dan bila setiap kelompok telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri, niscaya mereka akan berselisih. Dan bila mereka telah berselisih, niscaya mereka akan saling berperang. Maka Umar menariknya dengan kuat dan memarahinya, lalu Ibnu Abbas berpaling dan pergi. Kemudian selang beberapa saat, Umar memanggilnya lagi dan ia telah memahami (menyetujui) jawabannya, kemudian ia berkata: Ulangilah sekali lagi jawabanmu itu.” (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam kitabnya As Sunnan 1/176, no: 42)

Keempat:

Saudara Abu Altov berkata:

“sekarang ilmu ini siap-siap akan berpindah kenegara lain, selain mekah madinah. Sehingga yang disini Insya Allooh sebagian akan hijrah pula, bila Allah mengizinkan saya dan keluargapun ingin hijrah.”

Apakah dalil antum dalam sangkaan dan dakwaan ini, darimanakah antum mengetahui hal gahib?! Apa indikasi/pertanda berpindahnya ilmu dari negri Mekkah dan Madinah? Menurut antum, ilmu akan berpindah ke negri mana? Bukankah dakwaan antum ini bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ وهو يأرز بين المسجدين كما تأرز الحية إلى جحرها. رواه مسلم

“Sesungguhnya agama Islam datang (turun) dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana ketika datang pertama kali, dan Islam itu akan kembali ke antara dua masjid (Masjid Haram dan Masjid Nabawi) layaknya seekor ular kembali ke lubangnya.” (Riwayat Muslim)

Ustadz Muhammad Arifin bertanya:

Bukankah orang yang membaca Al Quran kemudian membaca tafsirnya yang telah dibukukan oleh para ulama’ misalnya tafsir at thabari, Ibnu Katsir dll berarti telah mengambil ilmunya dengan cara mangkul?

Abu Altov menjawab:

“Kalau demikian saya tidak tahu. Tetapi, adakah hal ini sesuai dengan penyampaian ilmu dari guru kepada murid? kalau iya berarti saya cukup membeli buku saja dan terus saya amalkan, siapa gurunya? ya buku dan pencetaknya itu, namanya manusia tempat salah terlebih bila cetakannya salah bagaimana mengamalkan ibadah, siapa yang salah, siapa yang bertanggungjawab karena ilmu ini adalah ilmu masalah akhirot.”

Mengomentari penggalan ucapan Abu Altov ini saya hendak mengatakan: Allah Ta’ala telah memudahkan Al Qur’an sehingga dapat dipahami dengan mudah, oleh karena itu dalam setiap ayat atau hadits, yang memerintahkan manusia untuk membaca, merenungi dan mentadabburi ayat-ayat Allah tidak disebutkan persyaratan harus dibimbing oleh seorang guru, apalagi dari kelompok tertentu, apalagi dari kelompok LDII saja. Diantara dalil-dalil tersebut ialah firman Allah Ta’ala berikut:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيراً

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa’: 82)

Saya yakin orang-orang LDII tidak akan dapat menyebutkan satu ayat atau hadits yang mensyaratkan belajar harus dari guru, bila tidak maka ilmu yang ia peroleh tidak sah atau tidak benar.

Memang benar dan saya setuju bahwa belajar dari guru yang telah menghabiskan umur dan waktunya dalam mengkaji dan mempelajari ilmu akan lebih baik hasilnya dan lebih cepat daripada belajar sendiri, serta akan lebih sedikit kesalahannya. Akan tetapi hal itu tidak berati tidak sah dan tidak boleh membaca Al Qur’an langsung dari Mushaf dan tanpa ada guru yang membimbing atau membaca hadits dari kitab-kitab hadits serta syarahnya dengan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang guru. Apalagi harus dari kelompok tertentu, misalnya LDII, maka jelas lebih tidak ada dalilnya, lha wong LDII baru ada kemaren sore…

Sebagai salah satu dalil yang meruntuhkan doktrin dan belenggu LDII ini ialah kisah berikut:

عن أبي جحيفة قال: قلت لعلي رضي الله عنه : هل عندكم شيء من الوحي إلا ما في كتاب الله؟ قال: والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما عندنا إلا ما في القرآن إلا فهما يعطيه الله رجلا في القرآن. رواه البخاري.

“Dari Abu Juhaifah, ia berkata: Aku pernah berkata kepada sahabat Ali (bin Abi Thalib): Apakah anda memiliki wahyu selain yang tercantum dalam Kitabullah (Al Qur’an)? Beliau menjawab: Sungguh demi Dzat Yang Telah Membelah biji-bijian, dan Yang Telah Menciptakan Manusia, aku tidak mengetahui wahyu selain yang termaktub dalam Al Qur’an,kecuali pemahaman yang Allah karuniakan kepada seseorang terhadap Al Qur’an.” (Riwayat Al Bukhari)

Pada kisah ini sahabat dan sekaligus Khalifah Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa ia tidak memiliki wahyu yang dikhususkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk beliau atau yang hanya diketahui oleh beliau saja. Beliau hanya memiliki pemahaman terhadap Al Qur’an yang mungkin tidak dimiliki oleh orang muslim lainnya. Pernyataan beliau ini membuktikan bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an tidak mesti ditimba dari guru, bahkan beliau menyatakan bahwa bisa saja Allah membukakan hati atau melimpahkan pemahaman kepada seseorang tanpa harus mendapatkan pemahaman tersebut dari seorang guru.

Kesimpulan saya ini selaras dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

نضَّر الله أمرأً سمع منا حديثا فحفظه حتى يبلغه غيره، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والدارمي وغيرهم

“Semoga Allah melimpahkan kebahagiaan kepada orang yang mendengarkan suatu hadits (sabda) dari kami kemudian ia menghafalnya hingga ia sampaikan kepada orang lain. Bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu kepada orang yang lebih faham (faqih) dari dirinya, dan bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu sedangkan dia tidak faqih (tidak paham).” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ad Darimy dan lainnya)

Pada hadits ini Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menyebutkan sebagian realita para pengemban ilmu, dan diantara yang beliau sebutkan ialah:

1. Kadang kala orang yang menghafal sesuatu ilmu (Al Qur’an & hadits) kemudian ia mengajarkannya kepada murid-muridnya, dan ternyata muridnya lebih bagus dan luas pemahamannya terhadap ayat atau hadits yang disampaikan oleh gurunya tersebut.

2. Dan kadang kala ada guru yang menyampaikan ilmu (Ayat & Hadits) kepada murid-muridnya, akan guru tersebut tidak memahami ayat dan hadits tersebut, dan murid-muridnya justru memahaminya dengan baik.

Dari kedua fenomena ini, kita simpulkan bahwa suatu pemahaman terhadap ayat atau hadits bila itu sesuai dengan metode yang ilmiyyah sehingga pemahaman tersebut benar, maka pemahaman itu dapat diamalkan dan sah, walaupun pemahaman tersebut tidak diperoleh dari seorang guru, apalagi dari LDII. Dan pemahaman murid yang tidak didapatkan dari gurunya tersebut oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dibenarkan dan tidak disalahkan, karena hadits di atas bermaknakan pujian terhadap seluruh macam orang yang disebutkan di dalamnya.

Bila hal ini telah jelas, maka belenggu “mangkul” yang dipasang di leher setiap anggota LDII tidak lagi ada artinya. Atau dengan kata yang lebih lugas, amat dimungkinkan bahwa guru-guru LDII adalah bagian dari sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:

ورب حامل فقه ليس بفقيه

“…Dan bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu sedangkan dia tidak faqih (tidak paham).”

Bila demikian maka tidak ada bedanya belajar dari guru dengan belajar dari membaca kitab dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Sama-sama memiliki kemungkinan salah: salah paham, salah cetak.

2. Bisa saja guru perannya tak ubah sebuah kitab, bisanya hanya sebatas membacakan, akan tetapi ia tidak paham.

3. Belenggu “mangkul” ala LDII tidak lagi berlaku dan sesat lagi menyesatkan, sebab menyelisihi berbagai dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits atau naluri sehat.

Abu Altov berkata:

“Berhubung keterbatasan waktu, tempat, keadaan diri saya yang sangat tidak memungkinkan, maka dalam mencari ilmu agama yang terkait sangat erat sekali dengan masalah ibadah, masalah pahala, masalah surga, saya tidak macam-macam cukup sesuai dengan kriteria atau syarat-syarat syahnya ilmu itu yaitu guru menerangkan, menjelaskan secara langsung dan baik dari alquran maupun hadits (bukhori, muslim, nasai, ibnu majah dan hadits lainnya) yang penting bukan hasil karangan dan muridpun menyimak baik apa yang disampaikan guru baik yang membawa kitab maupun yang tidak.”

Ustadz Muhammad Arifin Badri:

Mengomentarai perkataan Abu Altov ini, saya katakan: persyaratan ini hanyalah belenggu yang dililitkan oleh tokoh-tokoh LDII kepada setiap anggotanya, proteksi agar mereka tidak terbuka dan mencari kebenaran dengan menggunakan metode yang ilmiyyah, yaitu berfikir, merenungkan dan membandingkan berbagai pendapat, manakah yang lebih dekat atau bahkan selarasa dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Dan pada kesempatan ini saya ingin bertanya: Menurut doktrin LDII, sahkah keislaman orang kafir yang telah mengucapkan 2 kalimat syahadat akan tetapi pengucapannya tersebut tidak dibimbing oleh seorang guru baik dari LDII atau lainnya, melainkan dari hasil belajar sendiri?

Bila LDII menyatakan tidak sah, maka berarti LDII menentang dan mengkufuri sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

عن عبادة بن الصامت قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأنَّ محمَّداً عبدُهُ ورسُولُهُ، وأَنَّ عيسى عبد الله ورسُولُهُ، وكلمَتُهُ ألقَاهَا إلى مريم وروحٌ منه، والجنَّة حقٌّ والنَّارُ حقٌّ، أدخلَهُ اللهُ الجنَّةَ على ما كان من العمل.

Dari sahabat Ubadah bin As Shomit menuturkan: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: ”Barang siapa yang bersaksi bahwa tiada yang berhaq disembah selain Allah semata, Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya, dan ‘Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang Ia campakkan kepada Maryam, dan roh daripada-Nya (roh dari roh-roh yang Ia ciptakan), dan (bersaksi) bahwa surga itu benar-benar ada dan neraka itu benar-benar ada, niscaya Allah akan memasukkannya kedalam surga, apapun amalannya.” (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)

(إِنَّ اللهَ حَرَّم عَلَى النَّار من قَالَ: لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بذلك وجهَ اللهِ)

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan “La Ilaha IllaAllah” (Tiada yang berhaq disembah selain Allah), dengan penuh mengharap Wajah Allah (rasa keikhlasan).” (Muttafaqun ‘alaih)

Bila keislaman orang tersebut sah, maka runtuhlah belenggu “mangkul” ala LDII. Dan runtuhlah persyaratan sahnya ilmu yang Abu Althof sebutkan dalam ucapannya di atas. Akan tetapi dari fenomena dan ulah anggota LDII, dapat dipahami bahwa mereka tidak mengakui keislaman orang tersebut, oleh karena itu mereka senantiasa membasuh apapun yang tersenggol atau disentuh oleh selain kelompoknya. Mereka beranggapan bahwa orang yang ilmunya tidak mangkul maka tidak sah, dan bila tidak sah maka kesilamannya juga tidak sah, dan bila keislamannya tidak sah berarti ia kafir, dan orang kafir adalah najis, berdasarkan firman Allah Ta’ala berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrikin itu adalah najis.” (QS. At Taubah: 28)

LDII memahami kata “najis” pada ayat ini sebagai najis layaknya kotoran manusia, babi, anjing dll. Padahal arti sebenarnya yang dimaksud dengan “najis” pada ayat ini adalah najis maknawi, maksudnya orang-orang musyrikin itu hatinya, keyakinannya, dan amalannya najis (sesat). Adapun badannya, maka tidak ada bedanya dengan selain mereka, bila telah bersuci dengan mandi dll, maka badannya suci tidak najis. Sebagai buktinya: Allah Ta’ala dan Rasul-Nya membenarkan bagi orang islam untuk memakan makanan ahlul kitab (yahudi dan nasrani) padahal mereka adalah orang-orang musyrikin dan kafir. Seandainya yang dimaksud dengan najis adalah najis bak kotoran manusia, niscaya tidak akan boleh memakan makanan yang mereka buat, sebab dalam proses pembuatannya pasti mereka menyentuhnya dengan kedua tangannya. Bahkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab dibolehkan, ini membuktikan pemahaman LDII terhadap ayat di atas adalah salah dan menyesatkan, Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al Maidah: 5)

Perilaku nyleneh LDII ini tidak mungkin ditafsiri sebagai sikap berhati-hati, karena mungkin orang selain LDII tidak dapat membersihkan najis dari dirinya dengan baik, sebab Nabi shollallahu’alaihiwasallam sering bersinggungan dengan orang-orang yahudi dan nasrani, bahkan pernah memakan makanan mereka tanpa harus membasuhnya terlebih dahulu. Perilaku ini hanya ada satu penafsiran, yaitu mereka mengganggap bahwa selain anggotanya adalah kafir dan najis. Perilaku ini adalah bukti nyata bahwa LDII adalah generasi penerus khowarij yang senantiasa mengkafirkan selain kelompoknya, dan menganggap bahwa surga itu sempit sehingga tidak cukup untuk selain kelompoknya saja.

Bila ada yang bertanya: mengapa LDII dan nenek moyang mereka (kaum khowarij) bersikap demikian?

Jawabannya ada pada ucapan sahabat Ibnu Umar rodiallahu’anhu berikut:

إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين

“Sesungguhnya mereka itu biasa membawakan ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir, kemudian menerapkannya pada orang-orang mukminin.” (Riwayat At Thobary dan Al Bukhary)

Lanjutan

Memenuhi harapan saudara Luqman Taufiq, maka berikut saya akan berupaya menjawab berbagai pertanyaan yang ia ajukan kepada saya, seputar berbagai doktrin yang sedang melilit dan membelenggu dirinya (silahkan melihat komentar-komentar lain dari pengikut LDII dan pro LDII pada bagian akhir artikel ini -ed).

***

Pertanyaan Pertama:

Luqman Taufiq berkata,

“Kalo kita berada pada suatu wilayah (negara) minimal 3 orang dan salah satunya tdk mengangkat imam maka di katakan bahwa hidupnya tidak halal (nafasnya harom, sholatnya harom, hajinya harom bahkan jima’nya harom) nah kalo harom semua maka statusnya di samakan dgn org-2 kafir. Dan di katakan Bahwa Presiden bukanlah seorang imam, krn presiden hanya mengurusi masalah dunia aja, tidak pernah mengajak rakyatnya, meramut rakyatnya utk mengaji qur’an hadist (hal ini beda dgn imam kami). adapun dalil yg di gunakan:

a. Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu daerah kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi amir (pemimpin) (HR. Ahmad)

b. Barang siapa yang mati sedang ia tidak memiliki imam maka matinya dalam keadaan jahiliyyah (HR. Ahmad)

Mohon Pak Ustadz menjelaskan bagaimana kedudukan hadist tsb, sah apa tidak? trus bagaimana syarah yg bener menurut ulama?”

Jawaban: Agama Islam adalah agama yang mengajarkan agar umatnya senantiasa berbuat adil dan bijak, sehingga ucapan atau perbuatan apapun yang ia lakukan senantiasa mendatangkan kebaikan dan menghindarkannya dari kerugian, baik di dunia ataupun di akhirat. Bahkan dinyatakan dalam kaedah ilmu fiqih: “Syari’at Islam dibangun di atas upaya merealisasikan kemaslahatan dan menghindarkan kerugian/ kejelekan.”

Syeikh Abdurrahman bin Nasir As Sa’di dalam salah satu bait sya’ir beliau yang memuat kaedah-kaedah fiqih menyatakan:

والدين مبني على المصالح في جلبها والدرء للقبائح

“Dan agama itu dibangun diatas kemaslahatan

Dengan merealisasikannya dan menepis segala bentuk keburukan.”

Bahkan sebagian ulama’ menyimpulkan lebih tegas dengan menyatakan: seluruh syari’at Islam berpusat pada satu kaedah besar, yaitu upaya merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia, dalam kehidupan di dunia ataupun di akhirat, sebagaimana yang dipaparkan dengan panjang lebar oleh Imam Izzuddin bin Abdissalaam As Syafi’i dalam kitabnya: “Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam” (Kaedah-kaedah hukum tentang kemaslahatan umat manusia).

Kesimpulan beliau ini selaras dengan firman Allah Ta’ala:

خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِّلْمُؤْمِنِينَ

“Allah menciptakan langit dan bumi dengan al haq (penuh hikmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasan Allah bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al ‘Ankabut: 44)

Dan lebih jelas lagi sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam ayat lain:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً

“Dialah Allah Yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 29)

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (QS. Luqman: 20)

Berangkat dari prinsip dasar ini, dapat disimpulkan bahwa setiap hal yang akan mendatangkan kebaikan, dan menghindarkan dari petaka, baik di dunia ataupun di akhirat diajarkan dan dianjurkan dalam syari’at Islam. Dan sebaliknya setiap hal yang akan merugikan kehidupan mereka di dunia atau diakhirat, atau tidak ada gunanya pasti tidaklah diajarkan kepada umatnya.

Oleh karena itu hendaknya setiap umat Islam senantiasa menjadikan fakta ini sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian seorang muslim tidaklah berkata-kata atau berbuat kecuali dengan hal-hal yang berguna, baik di dunia atau di akhirat.

Bahkan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menjadikan hal ini sebagai standar mutu keislaman seseorang:

من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه. رواه أحمد والترمذي وابن ماجة وصححه الألباني

“Diantara pertanda kebaikan islam seseorang ialah ia meninggalkan hal-hal yang tidak perlu bagi dirinya.” (Riwayat Imam Ahmad, At Tirmizy, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albany)

Hal ini berlaku dalam seluruh urusan umat islam, termasuk di dalamnya urusan tatanan kemasyarakatan mereka. Tidaklah layak bagi umat islam untuk melakukan suatu hal yang tidak ada kegunaannya bagi mereka, misalnya mengangkat/membai’at seorang imam yang tidak dapat menjalankan tugasnya sedikitpun, tidak dapat menangkap penjahat, mengadili orang salah dan membela orang lemah, mempertahankan kedaulatan negara, mengatur pelaksanaan ibadah haji, menegakkan stabilitas ekonomi, keamanan negara, membela agama, memberantas syirik dan bid’ah dll.

Al Mawardi As Syafi’i rahimahullah berkata: “Umat manusia harus memiliki seorang pemimpin yang berkuasa, yang dengannya bersatu berbagai keinginan yang beraneka ragam, dan berkat kewibawaannya jiwa-jiwa yang berselisih dapat bersatu, berkat kekuatannya orang-orang yang zalim dapat dihentikan, dan karena rasa takut kepadanya jiwa-jiwa yang jahat lagi suka membangkang dapat dijinakkan. Hal ini karena sebagian manusia memiliki ambisi untuk menguasai dan menindas orang lain, yang tabiat ini tidaklah dapat dihentikan kecuali dengan kekuatan dan ketegasan.” (Dinukilkan dari Faidhul Qadir, oleh Al Munawi 4/143).

Penjabaran Al Mawardi ini selaras dengan ucapan sahabat Umar bin Khattab rodiallahu’anhu:

والله لما يزع الله بالسلطان أعظم مما يزع بالقرآن. رواه الخطيب البغدادي

“Sungguh demi Allah, pengaruh para pemimpin dalam mencegah manusia dari kemaksiatan lebih besar dibanding pengaruh Al Qur’an.” (Riwayat Al Khathib Al Baghdady)

Oleh karena itu tatkala hal-hal yang merupakan fungsi kepemimpinan ini tidak dapat atau tidak mungkin dilaksanakan, maka tidaklah ada gunanya bai’at dan kepemimpinan. Sehingga tidak heran bila Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam selama berada di kota Makkah, tidak menegakkan imamah/negara. Bahkan tatkala beliau ditawari oleh orang-orang Quraisy untuk menjadi pemimpin/penguasa -dengan konsekwensi tetap melestarikan praktek-praktek kesyirikan, dan segala tradisi jahiliyyah- beliau menolak tawaran tersebut. Kisah ini dapat dibaca di Sirah Ibnu Ishaq 1/503, Sirah Ibnu Hisyam 2/130, dan Al Bidayah wa An Nihayah 363.

Bahkan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah mewasiatkan hal ini kepada sahabtnya Huzaifah bin Yaman, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

عن حذيفة بن اليمان رضي الله عنه يقول: كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني، فقلت: يا رسول الله إنا كنا في جاهلية وشر، فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير شر؟ قال: نعم. فقلت: هل بعد ذلك الشر من خير؟ قال: نعم، وفيه دخن. قلت: وما دخنه؟ قال: قوم يستنون بغير سنتي ويهدون بغير هديي، تعرف منهم وتنكر. فقلت: هل بعد ذلك الخير من شر؟ قال: نعم: دعاة على أبواب جهنم، من أجابهم إليها قذفوه فيها. فقلت: يا رسول الله صفهم لنا. قال: نعم، قوم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا. قلت: يا رسول الله فما ترى إن أدركني ذلك قال: الزم جماعة المسلمين وإمامهم. قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك. متفق عليه

“Dari sahabat Huzaifah bin Al Yaman rodiallahu’anhu ia menuturkan: Dahulu orang-orang senantiasa bertanya kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepadanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpaku, Aku bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam jahiliyah, kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini (agama islam), maka apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan? Beliau menjawab: Ya. Aku pun bertanya kembali: Apakah setelah datangnya kejelekan tersebut akan ada kebaikan? Beliau menjawab: Ya, dan padanya terdapat kekeruhan. Akupun bertanya: Apakah kekeruhannya tersebut? Beliau menjawab: Sekelompok orang yang mengamalkan petunjuk selain petunjukku, sehingga engkau dapatkan pada mereka amalan baik dan juga kemungkaran. Aku kembali bertanya: Apakah setelah kebaikan tersebut akan ada kejelekan? Beliau menjawab: Ya, para da’i (penyeru) yang berada di pintu-pintu Jahannam, barang siapa memenuhi seruan mereka niscaya akan mereka campakkan ke dalamnya. Aku pun kembali bertanya: Ya Rasulullah, sebutkanlah kriteria mereka kepada kami. Beliau menjawab: Mereka itu dari bangsa kita, dan berbicara dengan bahasa kita. Aku pun kembali bertanya: Apakah yang engkau wasiatkan kepadaku bila aku mengalami keadaan itu? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah engkau dengan jama’atul muslimin dan pemimpin (imam/kholifah) mereka”. Aku pun bertanya: Seandainya kaum muslimin tidak memiliki jama’ah, juga tidak memiliki pemimpin (imam/kholifah)? Beliau pun menjawab: Tinggalkanlah seluruh kelompok-kelompok tersebut, walaupun engkau harus menggigit batang pepohonan, hingga datang ajalmu, dan engkau dalam keadaan demikian itu.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Hal ini tentu menyelisihi keimaman yang ada di berbagai sekte, termasuk LDII, dimana mereka membai’at seorang imam yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa, dan tidak dapat melakukan apa-apa, sehingga maksud dan tujuan adanya imamah benar-benar tidak tercapai.

Dengan demikian, Khilafah/Imamah dalam Islam bukan hanya sebatas simbol, atau titel atau gelar, walaupun tanpa ada gunanya. Akan tetapi Khilafah adalah salah satu kewajiban (syari’at) yang harus dilaksanakan dengan ikhlas dan selaras dengan syari’at Islam.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Wajib untuk diketahui bahwa mengatur/memimpin urusan masyarakat adalah salah satu kewajiban terbesar dalam agama, bahkan tidaklah akan tegak urusan agama dan juga urusan dunia tanpa adanya kepemimpinan. Karena urusan umat manusia tidaklah akan dapat tercapai dengan sempurna kecuali dengan cara bersatu saling memenuhi kebutuhan sesama mereka. Dan ketika mereka telah bermasyarakat, maka harus ada kepemimpinan, sampai-sampai Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم. رواه أبو داود من حديث أبي سعيد وأبي هريرة

“Bila tiga orang keluar dalam suatu safar/perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah)

Dan Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam kitabnya Al Musnad dari sahabat Abdullah bin Amer, bahwasannya Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

لا يحل لثلاثة يكونون في فلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم

“Tidaklah halal bagi tiga orang yang sedang berada di tanah terbuka (padang pasir/atau hutan atau yang serupa) melainkan bila mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.”

Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengharuskan agar seseorang sebagai pemimpin dalam perkumpulan yang kecil dan bersifat sementara yaitu hanya dalam perjalanan. Hal ini sebagai pelajaran pada perkumpulan-perkumpulan yang lainnya. Dan karena Allah Ta’ala telah mewajibkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan kewajiban ini tidaklah dapat dilakukan dengan sempurna tanpa adanya kekuatan dan kepemimpinan. Demikian juga halnya dengan kewajiban lainnya, yaitu jihad, menegakkan keadilan, pelaksanaan ibadah haji, shalat jum’at, perayaan hari raya, dan pembelaan terhadap orang yang tertindas, dan penerapan hukum had (hukum pidana) tidak dapat dilakukan melainkan dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan. Oleh karena itu diriwayatkan:

أن السلطان ظل الله في الأرض

“Penguasa/pemimpin adalah naungan Allah di bumi.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dari sahabat Abu Bakrah, dan dihasankan oleh Al Albani)

Dan dinyatakan:

ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بلا سلطان

“Enam puluh tahun di bawah kepemimpinan seorang imam yang jahat, lebih baik dibanding satu malam dengan tanpa penguasa.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/390).

Dari keterangan di atas, kita dapat pahami bahwa syari’at Islam mensyaratkan agar imam/khalifah yang memimpin masyarakat memiliki dua kriteria penting, dua kriteria yang saling melengkapi, yaitu:

1. Kepemimpinan

2. Kekuatan

Dan tugas utama dari kepemimpinan ialah menjalankan syari’at Allah, yaitu menegakkan hukum pidana, memimpin jihad, dan melindungi serta mengatur berbagai urusan rakyatnya. Oleh karena itu diriwayat dalam sebuah hadits:

السلطان ظل الله في الأرض يأوي إليه كل مظلوم من عباده. رواه البيهقي

“Pemimpin adalah naungan Allah yang ada di bumi, yang kepadanyalah setiap orang yang teraniaya akan berlindung.” (Riwayat Al Baihaqy, dengan sanad yang lemah)

Dan dalam hadits lain Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء، كلما هلك نبي خلفه نبي، وإنه لا نبي بعدي، وستكون خلفاء فتكثر، قالوا: فما تأمرنا؟ قال: فوا ببيعة الأول فالأول، وأعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم. متفق عليه

“Dahulu Bani Israil dipimpin/diatur oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal, maka digantikan oleh nabi lainnya. Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan nanti akan ada para penguasa, dan banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apakah yang engkau perintahkan kami (bila pemimpinnya lebih dari satu)? Beliau menjawab: Penuhilah bai’at orang yang lebih dahulu (memimpin), dan tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka, karena sesungguhnya Allah akan memintai pertanggung jawaban mereka tentang tugas yang mereka emban.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada hadits lain, beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به، فإن أمر بتقوى الله عز وجل وعدل، كان له بذلك أجر وإن يأمر بغيره كان عليه منه. رواه البخاري ومسلم

“Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu’anhu, dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya pemimpin/imam itu bagaikan perisai, digunakan untuk berperang dari belakangnya dan sebagai pelindung. Bila ia memerintahkan dengan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla dan berbuat adil, maka ia akan mendapatkan pahala, dan bila ia memerintahkan dengan selainnya, maka hanya dialah yang menanggung dosanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan berkata:

قال النووي: الإمام جنة أي كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين ويمنع الناس بعضهم من بعض ويحمي بيضة الإسلام ويتقيه الناس ويخافون سطوته ومعنى يقاتل من ورائه أي يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد والظلم مطلقا والتاء في يتقي مبدلة من الواو

“Seorang pemimpin/imam bagaikan perisai, karena ia menghalangi musuh dari mengganggu umat islam, dan mencegah kejahatan sebagian masyarakat kepada sebagian lainnya, membela keutuhan negara Islam, ditakuti oleh masyarakat, karena mereka kawatir akan hukumannya. Dan makna ‘digunakan untuk berperang dibelakangnya‘ ialah orang-orang kafir diperangi bersamanya, demikian juga halnya dengan para pemberontak, kaum khowarij, dan seluruh pelaku kerusakan dan kelaliman.” (Syarah Shahih Muslim oleh Imam An Nawawi 12/230).

Inilah konsep khilafah atau imamah (kepemimpinan) dalam syari’at Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa anggapan yang menyatakan: pemerintah (presiden) bukanlah imam, adalah anggapan yang salah, sebab kita semua tahu bahwa dengan pemerintahan yang ada banyak hal dapat terwujud, diantaranya: stabilitas keamanan, perekonomian, pengadilan, pelaksanaan ibadah haji, pembelaan negara dari serangan musuh dll.

Adapun kekurangan dalam hal pendidikan agama, maka pada prinsipnya pemerintah yang ada telah menjalankan sebagian tugas ini, yaitu melalui Departeman Agama, dan sekolah-sekolah islam yang ada. Akan tetapi para pelaksananyalah yang melakukan kesalahan-kesalahan, dan lalai dari tugasnya.

Hal ini bukan berarti saya menyatakan bahwa pemerintah yang ada telah menerapkan syari’at islam, akan tetapi banyak dari fungsi imamah tercapai dengan mereka, walaupun mereka belum menjadikan syari’at islam sebagai landasan hukum mereka.

Ditambah lagi doktrin LDII yang disebutkan oleh saudara Luqman Taufik, yaitu:

“dikatakan bahwa Presiden bukanlah seorang imam, krn presiden hanya mengurusi masalah dunia aja, tidak pernah mengajak rakyatnya, meramut rakyatnya utk mengaji qur’an hadist (hal ini beda dgn imam kami).”

Maka ini adalah suatu kesesatan tersendiri, sebab doktrin ini mengandung unsur paham sekuler, yaitu pemisahan antara urusan dunia dan agama. Padahal yang benar islam (imam) mengatur urusan dunia dan akhirat.

Doktrin ini juga merupakan kedustaan besar, sebab kita semua tahu bahwa pemerintah (sekarang ini –ed) –dengan segala kekurangannya- mengurusi keamanan umat islam, perekonomian, pendidikan, ibadah haji, puasa, pernikahan, pembagian warisan, menjaga kedaulatan negara, dll. Ini adalah bagian dari tugas imamah/kepemimpinan yang mereka jalankan, dan tidak mampu dijalankan oleh imam LDII/Imam Bithonah, sehingga lebih tepat bila kita menyebut imam LDII sebagai Imam Batholah (imam pengangguran). (Maaf sedikit kasar, tapi itulah fakta yang terjadi di alam nyata).

Sebagaimana doktrin ini juga mengandung pembodohan terhadap umat, sebab setiap orang tahu dan menyaksikan sendiri bahwa para imam yang dibai’at oleh kaum LDII tidaklah dapat menjalankan tugas utama imamah yang telah disebutkan di atas. Adapun seruan untuk mengaji Al Qur’an dan hadits, maka hal ini bukan hanya dapat dilakukan oleh imam-imam-an LDII, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh setiap orang yang berilmu, dari para mubaligh, ulama’, santri dll.

Adapun hadits yang disebutkan oleh saudara Luqman Taufik, berikut ini:

لا يحل لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة إلا أمروا عليهم. رواه أحمد

“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu daerah kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi amir (pemimpin).” (Riwayat Imam Ahmad)

Maka hadits ini ditafsiri oleh hadits lain yang senada dengannya dan dengan teks yang lebih tegas dan jelas:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا كنتم ثلاثة في سفر فليؤمكم أحد وأحقكم بالإمامة أقرؤكم . رواه مسلم وأحمد أبو داود وابن حبان وغيرهم واللفظ لابن حبان

“Dari Abu Sa’id Al Khudri rodiallahu’anhu, ia menuturkan: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah bersabda: “Bila kalian bertiga dalam suatu perjalanan, maka hendaknya salah seorang dari kamu menjadi imam kalian/pemimpin, dan yang paling berhak dari kalian untuk menjadi imam ialah yang paling banyak bacaannya (hafalannya).” (Riwayat Imam Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dll, dan teks hadits ini sesuai dengan riwayat Ibnu Hibban)

Dan bila hadits ini bila dipahami sesuai paham LDII, maka urusan umat akan kacau-balau, sebab di tengah masyarakat akan terdapat beribu-ribu Khalifah/Imam, karena dalam satu kota saja terdapat banyak rombongan musafir, dan setiap rombongan telah menunjuk pemimpin/ketua. Dan bila hal ini terjadi, maka apa gunanya Khilafah, dan pasti terjadi kekacauan, terlebih-lebih bila digabungkan dengan pengamalan terhadap hadits berikut:

إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما. رواه مسلم من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه.

Bila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Riwayat Muslim dari hadits Abu Sa’id Al Khudri rodiallahu’anhu)

Maka pertumpahan darah akan menimpa setiap musafir yang bepergian dengan cara berombongan. Dan sudah barang tentu, hal ini akan membumi hanguskan seluruh umat, sebab tidaklah suatu keluarga yang biasanya terdiri dari suami, istri dan anak, melainkan pernah bepergian/safar bersama-sama, sehingga otomatis mereka menunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin, dan kemudian keluarga lain yang safar terlebih dahulu akan memeranginya dan demikian seterusnya.

Oleh karena itu para ulama hadits yang meriwayatkan hadits ini menyebutkannya dalam bab Imamatus Shalat (imam dalam shalat berjama’ah). Dan mereka juga menjabarkan bahwa kepemimpinan ini diistilahkan dengan Kepemimpinan Safar. Dan kepemimpinan safar tidaklah sama dengan Kepemimpinan Khilafah. Kepemimpinan safar hanya terbatas dalam hal urusan safar belaka, misalnya tempat istirahat, yang mengendarai kendaraan, mengambil/membeli makanan, menentukan jalur yang akan ditempuh dst. Adapun menegakkan hukum pidana dan perdata, menggerakkan jihad, dll bukanlah wewenangnya. (Silahkan baca keterangan Al Munawi tentang hadits ini dalam kitabnya Faidhul Qadir 1/333).

Pahamilah wahai saudara-saudaraku, bahwa ilmu mangkul seperti yang pernah saya jabarkan dalam diskusi pertama, akan dapat menghindarkan kita dari kesalah pahaman semacam ini. Akan tetapi ilmu mangkul ala LDII justru malah menjerumuskan kita kedalam kesesatan dan kebinasaan semacam ini. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan ilmu dan pemahaman kepada kita semua.

Adapun hadits kedua yang disebutkan oleh saudara Luqman Taufiq, yaitu:

من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية. رواه الإمام أحمد

“Barang siapa yang mati sedang ia tidak memiliki imam maka matinya dalam keadaan jahiliyyah.” (Riwayat Imam Ahmad)

Hadits ini semakna dengan hadits lain yang berbunyi:

ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية . رواه مسلم

“Barang siapa yang mati sedang dilehernya tidak terdapat bai’at (kepada seorang imam) maka matinya dalam keadaan jahiliyyah.” (Riwayat Muslim)

Hadits-hadits ini harus dipahami sesuai dengan penjelasan saya di atas, sebab Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam sendiri telah mewasiatkan kepada umatnya bila umat islam tidak memiliki Khalifah atau jama’ah/negara, agar meninggalkan seluruh sekte yang ada di masyarakat. Beliau tidak memerintahkan umatnya agar tetap mengangkat khalifah atau imam walaupun kekhilafahannya hanya di bawah tanah, karena yang dapat hidup di bawah tanah dan kemudian memimpin di sana hanyalah bangsa cacing, tikus dan yang serupa. Adapun umat Islam maka diperintahkan untuk senantiasa hidup dan berpikir yang nyata, sehingga bila tidak mampu untuk menegakkan khilafah atau negara, maka tidak ada gunanya memaksakan diri, akan tetapi sebagaimana waksiat Nabi shollallahu’alaihiwasallam kepada sahabat Huzaifah bin Yaman berikut:

قال حذيفة رضي الله عنه: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك. متفق عليه

“Sahabat Huzaifah bertanya: Seandainya kaum muslimin tidak memiliki jama’ah, juga tidak memiliki pemimpin (imam/kholifah)? Beliau pun menjawab: Tinggalkanlah seluruh kelompok-kelompok tersebut, walaupun engkau harus menggigit batang pepohonan, hingga datang ajalmu, dan engkau dalam keadaan demikian itu.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Imam At Thobary rahimahullah berkata: “Pada hadits ini ada petunjuk bahwa bila pada suatu saat umat islam tidak memiliki seorang pemimpin/imam, sehingga mereka terpecah-belah menjadi berbagai sekte, maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk mengikuti siapa saja dalam hal perpecahan ini. Akan tetapi hendaknya ia menjauhi mereka semua -bila ia mampu melakukan hal itu- agar ia tidak terjerumus dalam kejelekan.” (Dinukil dari Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 13/44).

Bila Nabi shollallahu’alaihiwasallam mewasiatkan kita bila dalam keadaan kacau-balau karena tidak ada imam yang memimpin umat islam, agar tidak mengikuti sekte atau kelompok apapun, maka di saat umat islam telah memiliki pemerintahan yang sah, dan memiliki kekuatan, dan berbagai kelengkapan suatu negara, jelas tidak ada alasan untuk membai’at Imam Bawah Tanah yang bernegerikan di negeri antah berantah, atau Imam Bithonah (imam tersembunyi/terselubung).

Bukan hanya tidak boleh membaiat pemimpin baru, bahkan Nabi shollallahu’alaihiwasallam memerintahkan agar siapa saja yang menobatkan dirinya sebagai pemimpin tandingan agar diperangi atau dibunuh, sebagaimana ditegaskan pada hadits riwayat imam Muslim di atas, dan juga pada sabda beliau berikut ini:

من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه. رواه مسلم

“Barang siapa yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian telah bulat di bawah kepemimpinan seseorang, dan ia hendak memecah belah persatuan kalian dan merusak barisanmu, maka bunuhlah dia.” (Riwayat Muslim)

Pada kesempatan ini saya menyeru pengikut LDII untuk sedikit berfikir:

Bila imam yang mereka bai’at tidak mampu menampilkan batang hidungnya, apalagi menjalankan tugasnya, sampai-sampai dijuluki sebagai Imam Bithonah (imam pedalaman) maka apa kegunaan imam? Apakah manfaat yang dapat dipetik dari membai’atnya?

Bila menampakkan batang hidungnya sebagai imam tidak berani, maka bagaimana mungkin ia berani menegakkan keadilan atau menerapkan syari’at?!

Bila imam-nya sembunyi dan tidak mampu menerapkan hukum-hukum syari’at, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, rajam/cambuk bagi penzina, qishosh bagi oang yang membunuh dengan sengaja, menarik upeti dari ahli zhimmah, berarti ia tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Dan imam yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka halnya seperti yang dinyatakan dalam 3 firman Allah Ta’ala berikut ini:

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون

“Dan barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)

Atau firman-Nya berikut ini:

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang dzolim.” (QS. Al-Maidah: 45)

Atau firman-Nya berikut ini:

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (QS. Al Maidah: 47)

Bila demikian halnya, maka apa gunanya membai’at imam yang kafir atau zholim atau fasiq?

Bila Imam-nya saja sembunyi dan sampai-sampai dijuluki sebagai Imam Bithonah, maka pengikutnya lebih layak untuk sembunyi, dan hidup di negeri bawah tanah, entah bersama cacing atau makhluk lain.

Bila imamnya tidak berani menunjukkan dengan terus terang akan pembai’atan dirinya, maka amat dimungkinkan pada waktu yang sama ada berjuta-juta atau minimal beribu-ribu Imam Bithonah.

Bila imamnya sembunyi, maka mana mungkin ia mampu membela pengikutnya dari kelaliman selain kelompok LDII, apalagi sampai menangkap pencuri, atau perampok dan penjahat lainnya?!

Bila imamnya sembunyi dan takut untuk menampakkan jati dirinya, maka tidak mengherankan bila berbagai doktrin dan ajarannya disembunyikan dan dirahasiakan dari masyarakat umum. Oleh karena itu mereka berusaha mati-matian bahkan sampai berdusta untuk menyembunyikan bahwa mereka senantiasa mengkafirkan selain kelompoknya.

Adapun makna “mati dalam keadaan jahiliyyah” yang disebutkan dalam hadits yang dipertanyakan oleh saudara Luqman Taufiq di atas, maka maknanya ialah sebagaimana dijelaskan oleh Imam An Nawawi rahimahullah berikut ini: “Kematiannya bagaikan kematian orang-orang jahiliyyah, dari yaitu dalam kekacau-baluan tanpa adanya seorang pemimpin yang mengatur urusannya.” (Syarah Muslim oleh Imam An nawawi 12/238).

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata senada dengan ucapan An Nawawi: “Dan yang dimaksud dengan “kematian jahiliyyah” perihal kematiannya serupa dengan kematian orang-orang jahiliyyah, yaitu dalam kesesatan dan tidak memiliki seorang imam/pemimpin yang dipatuhi, hal ini karena orang—orang jahiliyyah tidak pernah mengenal kepemimpinan. Dan maksudnya bukanlah ia mati dalam keadaan kafir, akan tetapi ia mati dalam keadaan bermaksiat. Dan amat dimungkinkan penyerupaan ini adalah penyerupaan yang sebenarnya, maksudnya: ia mati seperti kematian orang jahiliyah, walaupun ia sendiri bukan orang jahiliyyah. Dan dimungkinkan juga penyerupaan ini sebatas teguran dan peringatan, sedangkan makna lahirnya tidak dimaksudkan. Dan yang menguatkan bahwa yang dimaksud dengan “jahiliyyah” hanya sebatas penyerupaan ialah sabda beliau pada hadits lain:

من فارق الجماعة شبرا فكأنما خلع ربقة الإسلام من عنقه. أخرجه الترمذي وابن خزيمة وابن حبان ومصححا من حديث الحارث بن الحارث الأشعري.

“Barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin (yang di bawah kepemimpinan seorang penguasa), maka seakan-akan ia telah melepaskan kekang Islam dari lehernya.” (Diriwayatkan oleh At Tirmizy, Ibnu KHuzaimah, Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh beliau, dari hadits riwayat Al Harits bin Al Harits Al Asy’ary. Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 13/9)

Dari keterangan Imam Nawawi dan Ibnu Hajar ini dapat dipahami bahwa seseorang disebut berperilaku jahiliyyah atau perlakuannya adalah jahiliyyah tidak serta-merta ia telah keluar dari agama islam, akan tetapi itu merupakan celaan dan suatu perbuatan dosa besar, dan pelakunya tidak murtad dari agama islam. Diantara buktinya ialah dua kisah berikut:

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه يقول: كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم في غزاة، فكسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار، فقال الأنصاري: يا للأنصار، وقال المهاجري: يا للمهاجرين. فقال رسول الله: ما بال دعوى الجاهلية؟! قالوا: يا رسول الله كسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار. فقال: دعوها فإنها منتنة، فسمعها عبد الله بن أبي، فقال: قد فعلوها؟! والله لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل. قال عمر: دعني أضرب عنق هذا المنافق. فقال: دعه لا يتحدث الناس أن محمدا يقتل أصحابه. متفق عليه

“Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia mengkisahkan, pada saat kami bersama Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam suatu peperangan, tiba-tiba ada seseorang dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seseorang dari kaum Anshar, maka orang Anshar tersebut berteriak meminta pertolongan kepada kaumnya orang-orang Anshar, dan sebaliknya orang Muhajirin tadi juga berteriak meminta bantuan kepada kaumnya orang-orang Muhajirin. Mendengar hal tersebut Rasulullah bersabda, ‘Mengapa kalian menyeru dengan seruan orang-orang jahiliyyah?!’ Mereka pun menjawab, ‘Wahai Rasulullah, ada seseorang dari Muhajirin yang memukul pantat seseorang dari kaum Anshar.’ Maka Nabi pun bersabda, ‘Tinggalkanlah, karena sesungguhnya itu (seruan jahiliyyah) adalah busuk.’ Maka tatkala Abdullah bin Ubay mendengar hal itu ia berkata, ‘Apakah mereka (orang-orang Muhajirin) benar-benar telah melakukannya (berbuat semena-mena terhadap kaum Anshar)? Sungguh demi Allah bila kita telah tiba di kota Madinah, niscaya orang-orang yang lebih mulia (Yang ia maksud ialah orang-orang Anshar –pen) akan mengusir orang-orang yang lebih hina.’ (Yang ia maksud ialah orang-orang Muhajirin). (Mendengar ucapan demikian ini) Umar bin Khattab berkata kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam, ‘Izinkanlah aku untuk memenggal leher orang munafiq ini (Abdullah bin Ubay),’ Maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda, ‘Biarkanlah dia, jangan sampai nanti orang-orang beranggapan bahwa Muhammad telah tega membunuh sahabatnya sendiri’.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Perbuatan sebagian sahabat ini dinyatakan dengan tegas oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam sebagai seruan jahiliyyah, akan tetapi Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak memvonis mereka telah murtad atau keluar dari agama islam, dan harus memperbaharui syahadatnya.

Kisah kedua:

قال أبو ذر رضي الله عنه : كان بيني وبين رجل كلام، وكانت أمه أعجمية، فنلت منها، فذكرني إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال: لي أساببت فلانا ؟ قلت: نعم. قال: أفنلت من أمه؟ قلت: نعم. قال: إنك امرؤ فيك جاهلية قلت: على حين ساعتي هذه من كبر السن؟ قال: نعم. متفق عليه

“Sahabat Abu Dzar rodiallahu’anhu mengisahkan: Pada suatu saat terjadi percekcokan antara aku dan seseorang , dan ibu orang itu adalah wanita non arab (seorang budak), kemudian aku mencela ibunya tersebut. Dan orang tersebut melaporkan aku kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam, maka beliau bersabda kepadaku: Apakah engkau telah bercaki-maki dengan fulan? Aku pun menjawab: Ya. Beliau bertanya lagi: Apakah engkau mencela ibunya? Aku pun menjawab: Ya. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya engkau adalah orang yang padamu terdapat perangai jahiliyyah’. Aku bertanya: Apakah hal itu terjadi setelah aku cukup umur seperti ini? Beliau menjawab: Ya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sahabat Abu Zar dinyatakan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam memiliki perangai orang-orang jahiliyyah, akan tetapi beliau tidak memerintahkannya untuk memperbaharui syahadatnya, ini membuktikan bahwa penyataan terhadap suatu ucapan atau perbuatan sebagai “perbuatan atau ucapan atau kejadian jahiliyyah” tidak serta-merta bermakna kafir atau murtad. Atau mungkinkah LDII telah memvonis kafir/murtad para sahabat yang menyerukan dengan seruan jahiliyyah dan juga Abu Zar yang kala itu terdapat perangai jahiliyyah??! Adakah orang-orang LDII yang berani menjawab pertanyaan ini dengan jujur dan tegas?

Dan diantara yang membuktikan kebenaran apa yang telah dijabarkan oleh imam An Nawawi dan juga Ibnu Hajar di atas ialah kisah berikut:

عن الحسن قال: لما قتل علي رضي الله عنه الحرورية، قالوا: من هؤلاء يا أمير المؤمنين، أكفار هم؟ قال: من الكفر فروا. قيل: فمنافقين؟ قال: إن المنافقين لا يذكرون الله إلا قليلا، وهؤلاء يذكرون الله كثيرا. قيل: فما هم؟ قال: قوم أصابتهم فتنة فعموا فيها. رواه عبد الرزاق

“Dari Al Hasan Al Bashry, ia menceritakan: Tatkala Kholifah Ali (bin Abi Tholib) telah berhasil menumpas kelompok Al Haruriyyah (khowarij), para pengikutnya bertanya: Siapakah mereka itu wahai Amirul Mukminin, apakah mereka itu orang-orang kafir? Beliau menjawab: Mereka itu orang-orang yang melarikan diri dari kekufuran. Dikatakan lagi: Kalau demikian apakah mereka itu orang-orang munafiqin? Beliau menjawab: Sesungguhnya orang-orang munafiqin tidaklah menyebut/berzikir kepada Allah melainkan sedikit sekali, sedangkan mereka itu banyak berzikir kepada Allah. Dikatakan kepada beliau: Lalu siapakah mereka itu: beliau menjawab: Mereka adalah orang-orang yang ditimpa fitnah (kesesatan) kemudian mereka menjadi buta karenanya.” (Riwayat Abdurrazzaq)

Kaum Haruriyyah telah memberontak kepada kholifah yang sah kala itu, yaitu sahabat Ali bin Abi Tholib rodiallahu’anhu, sehingga mereka semua mati dalam keadaan tidak ada ikatan bai’at pada lehernya, akan tetapi sahabat Ali -dan juga seluruh sahabat kala itu menyetujui ucapan beliau- tidaklah mengkafirkan mereka, tidak juga menganggapnya sebagai orang-orang munafiq.

Adapun pertanyaan saudara Luqman Taufiq selanjutnya, yaitu:

Luqman Taufiq berkata,

“Kalo kita tidak punya imam, tdk membaiatnya, kemudian tdk bergabung dengan jamaah yg ada imam tsb, maka kita dihukumi masih belum islam alias kafir. adapun dalil yg di gunakan : a. Dan barangsiapa mati sedang tidak ada ikatan bai’at pada lehernya maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim) Mohon di jelaskan bagaimana Praktek kita mengamalkan bai’at utk kondisi saat ini, apakah mati jahiliyyah tsb sama dgn penjelasan ulama LDII, yaitu mati sebelum datangnya islam (kafir)?

b. Innahu laa islama illaa bi-jamaatin, wa-laa jamaatin illaa bi-imaara-tin, wa-laa imaaratina illa bi- taatin”….Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa Jama’ah dan tidak ada Jama’ah tanpa Imarah (pimpinan) dan tidak ada Imarah tanpa taat (kepatuhan)…… (Riwayat Ad-Daarimi bab Dziha- bul ‘ilm)

Mohon Penjelasan ttg hadist mauquf tsb, apakah hadist tsb shohih ataukah dhoif, kalo dhoif sebabnya apa dan kalo shohih bagaimana syarah yang bener menurut penjelasan para ulama?”

Jawaban: Semoga Allah Ta’ala memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas kejujuran saudara Luqman Taufiq ini, kejujuran dengan mengakui bahwa LDII mengajarkan bahwa setiap orang yang tidak bergabung dengannya secara khusus atau secara umum tidak memiliki Imam, maka keislamannya tidak sah. Dan pada kesempatan ini saya hendak menyampaikan kabar gembira kepada saudara kita Luqman Taufiq, berupa sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:

عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر، وإن البر يهدي إلى الجنة، وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا، وإياكم والكذب، فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار ولا يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا. متفق عليه

“Hendaknya kalian berbuat jujur, karena kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan kepada surga, dan tidaklah seseorang senantiasa berbuat jujur dan berusaha untuk berbuat jujur hingga akhirnya dicatat di sisi Allah sebagai shiddiq (orang yang senantiasa jujur). Dan Jauhilah perbuatan dusta, karena kedustaan akan menunjukkan kepada kekejian, dan kekejian akan menunjukkan kepada neraka, dan tidaklah seseorang berbuat dusta dan berusaha untuk berdusta, hingga akhirnya dicatat di sisi Allah sebagai kazzab pendusta.” (Muttafaqun ‘alaih)

Adapun yang berkenaan dengan makna hadits yang dipertanyakan oleh saudara Taufiq Lukman, maka di atas telah dijabarkan makna “mati dalam keadaan jahiliyyah”.

Yang ingin saya tambahkan disini ialah: wahai saudaraku sekalian! Ketahuilah ini adalah rahasia berbagai perilaku nyleneh dan ketertutupan kaum LDII. Mereka meyakini bahwa selain kelompoknya adalah kafir karena tidak berbai’at dengan imamnya, sehingga keislamannya/ilmunya tidak mangkul. Dan (menurut mereka) setiap yang kafir adalah najis, sebagaimana yang telah saya bahas pada dialog pertama.

Bila diamati dan dicermati lebih mendalam, maka sebenarnya doktrin ini bukanlah hasil karya Nur Hasan Ubaidah pendiri LDII, akan tetapi ia hanyalah sekedar menjiplak (orang LDII akan membacanya: mencuri) doktrin yang telah lama dianut oleh sekte Syi’ah Imamiyyah. Syi’ah Imamiyyah mensyaratkan agar keislaman seseorang sah untuk membai’at imam yang ma’shum (tidak memiliki kesalahan), demikian juga halnya LDII, setiap orang muslim harus membai’at Imam Bithonah yang menurut mereka ma’shum, sehingga Al Qur’an dan hadits yang tidak dibacakan oleh Imam Bithonah atau perwakilannya tidak sah dan syahadatain yang tidak dibacakan dan dibimbing oleh Imam Bithonah atau agennya maka tidak sah, karena Al Qur’an, Hadits dan ucapan Syahadat tersebut (menurut doktrin mereka) adalah hasil curian, alias palsu atau bajakan atau tiruan, atau imitasi dan tidak asli. Innnalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Ini adalah sumber kesalahan mereka dan dua alasannya (yaitu bai’at dan mangkul) telah saya jabarkan pendalillan dan bantahannya. Dan pada kesempatan ini saya ingin sedikit manambahkan tentang keislaman orang yang ilmu atau syahadatnya tidak mangkul ala LDII dan tidak berbai’at kepada imam bithonah ala LDII.

عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما يقول: بعثنا رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى الحرقة، فصبحنا القوم فهزمناهم، ولحقت أنا ورجل من الأنصار رجلا منهم، فلما غشيناه، قال: لا إله إلا الله، فكف الأنصاري عنه، فطعنته برمحي حتى قتلته. فلما قدمنا بلغ النبي صلى الله عليه و سلم فقال: يا أسامة أقتلته بعد ما قال لا إله إلا الله؟ قلت: كان متعوذا. فما زال يكررها حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم. متفق عليه

Usamah bin Zaid rodiallahu’anhu berkata: “Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam mengutus kami ke al-Hirqah, maka kami menyerang mereka pada waktu pagi hari, dan kami berhasil menaklukkan mereka, kemudian aku dan seseorang dari al-Anshor mengejar salah seorang dari mereka, maka ketika kami berhasil menangkapnya, dia berkata: laa ilaaha illallah, maka orang anshor tadi menahan diri, sedangkan aku tetap menusuknya dengan tombakku, hingga akhirnya aku membunuhnya, maka ketika kami pulang, sampailah berita itu kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau berkata: Wahai Usamah! Apakah kamu bunuh dia setelah ia berucap laa ilaaha illallah? Aku berkata: ia mengucapkannya hanya ingin berlindung diri dariku, dan senantiasa beliau mengulangi pertanyaan tersebut, sampai-sampai aku berangan-angan seandainya aku tidak masuk Islam sebelum hari itu. (Muttafaqun’alaihi)

Dan pada riwayat Imam Muslim disebutkan:

فكيف تصنع بلا إله إلا الله إذا جاءت يوم القيامة؟ قال: يا رسول الله، استغفر لي. قال: وكيف تصنع بلا إله إلا الله إذا جاءت يوم القيامة؟ قال فجعل لا يزيده على أن يقول: كيف تصنع بلا إله إلا الله إذا جاءت يوم القيامة؟

“Bagaimana sikapmu dengan syahadat “la ilaha illallah” bila kelak datang pada hari qiyamat? Usamah pun berkata: Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan untukku. Beliau kembali bersabda: Bagaimana sikapmu dengan syahadat “la ilaha illallah” bila kelak datang pada hari qiyamat? Beliau tidaklah menjawab permohonan Usamah ini selain dengan sabdanya ini: Bagaimana sikapmu dengan syahadat “la ilaha illallah” bila kelak datang pada hari qiyamat?”

Bukankah orang yang dibunuh oleh Usamah bin Zaid ini dibunuh dalam keadaan tidak membai’at dan ilmunya juga tidak mangkul, karena ia mengucapkan syahadat “la ilaha illallah” di bawah ancaman pedang??!!

Dan pada kesempatan ini saya juga ingin bertanya kepada kaum LDII:

Bagaimana sikapmu dengan syahadat “la ilaha illallah” yang telah diucapkan oleh seluruh umat islam yang tidak tergabung dalam kelompokmu bila kelak datang pada hari qiyamat? Akankah kaum LDII mengatakan bahwa syahadat mereka adalah syahadat hasil curian, dan Al Qur’an serta Hadits yang diajarkan dan diimani oleh selain kelompok LDII adalah Al Qur’an dan Hadits curian sehingga tidak sah dan palsu?

Jawablah wahai LDII dengan tegas dan jangan lagi anda menjadi pengecut dengan menjawab: “Jawablah sendiri…”

Tapi kalau takut terbongkar kedok kalian, maka itu adalah bukti nyata pada diri anda sekalian akan kesesatan dan kehinaan diri kalian yang telah mendustai hati nurani sendiri.

Adapun penerapan bai’at pada masa kita ini dan di negeri kita Indonesia, maka sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang, kita memiliki pemerintahan yang sah, yang mengatur urusan umat, menjaga keamanan, keutuhan negeri umat islam, dst. Maka kita sebagai umat islam tidaklah dibolehkan untuk membai’at pemimpin baru baik Imam Bithonah atau Imam Batholah (pemimpin pengangguran) atau Imam Bathonah (pemimpin orang-orang yang berperut gendut).

Kewajiban kita ialah berjuang menegakkan kebenaran bersama pemimpin kita dan mendakwahi serta menasehati pemimpin kita bila ia melakukan kesalahan atau kesesatan, dan semua itu dilakukan dengan cara-cara yang bijak sehingga tidak membangkitkan fitnah, sebagaimana diwasiatkan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kepada umatnya:

من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية ولا ينـزعنَّ يدا من طاعة

”Barang siapa yang berada di bawah kepemimpinan seorang wali (pemerintah) dan ia melihatnya melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, hendaknya ia membenci tindak kemaksiatannya, dan jangan sekali-kali mencabut ikrar ketaatan.” (HR. Muslim, Ahmad)

إن الله يرضى لكم ثلاثا ويسخط لكم ثلاثا يرضى لكم أن تعبدوه ولا تشركوا به شيئا وأن تعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا وأن تناصحوا من ولاه الله أمركم

“Sesungguhnya Allah meridhoi untuk kalian tiga hal: Kalian beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, kalian berpegang teguh dengan tali (syariat) Allah dan tidak berpecah-belah, dan kalian menasehati orang yang Allah jadikan pemimpin atasmu.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al Muwattha’, dan Imam Ahmad)

يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس، قال: قلت : كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك ؟ قال: تسمع وتطيع للأمير وإن ضُرِبَ ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع.

“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang tidak menjalankan petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya seperti hati setan di dalam tubuh manusia. Hudzaifah berkata: ‘Aku katakan: Apa yang harus kulakukan ya Rasulullah jika aku mengalami hal itu?’ beliau bersabda: ‘Engkau mendengar dan menta’ati kepada pemimpin, walaupun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, dengar dan ta’atilah’.” (Riwayat Imam Muslim)

Adapun ucapan sahabat Umar bin Khatthab rodiallahu’anhu berikut ini:

لا إسلام إلا بجماعة، ولا جماعة الا بإمارة، ولا إمارة إلا بطاعة، فمن سوده قومه على الفقه كان حياة له ولهم ومن سوده قومه على غير فقه كان هلاكا له ولهم . رواه الدارمي

Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa Jama’ah (persatuan) dan tidak ada Jama’ah tanpa Imarah (kepemimpinan) dan tidak ada Imarah/kepemimpinan tanpa ketaatan (kepatuhan). Barang siapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya karena ilmunya/pemahamannya maka akan menjadi kehidupan bagi dirinya sendiri bagi dan juga bagi mereka, dan barang siapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya tanpa memiliki ilmu/pemahaman, maka akan menjadi kebinasaan bagi dirinya dan juga bagi mereka. (Riwayat Ad Darimy)

Maka ucapan beliau ini tidak ada bedanya dengan hadits-hadits di atas, sehingga tidak dapat dipahami sebagaimana pemahaman LDII, dengan berbagai penjelasan yang telah saya sebutkan di atas (silahkan dibaca artikel-artikel sebelumnya -ed).

Ditambah lagi sanad ucapan Umar bin Khatthab rodiallahu’anhu bila ditinjau dari segi ilmu hadits, maka sanadnya lemah dengan dua sebab:

1. Sofwan bin Rustum majhul (tidak diketahui status kredibilitasnya), sebagaimana dinyatakan oleh Az Zahabi dalam kitabnya Lisanul Mizan 3/191, dan disetujui oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Mizanul I’itidal 3/433.

2. Inqitho’ antara Abdurrahman bin Maisarah dengan sahabat Tamim Ad Dary yang meriwayatkan ucapan sahabat Umar bin Khatthab ini.

Dan seandainya shahih pun, maka ucapan sahabat Umar ini justru menjadi hujjah atas orang-orang LDII yang telah membai’at orang-orang yang tidak berilmu, bahkan banyak salah paham, atau bahkan sengaja salah paham, la haula wala quwwata illa billah.

Ini membuktikan kebenaran sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. متفق عليه

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para ulama’, hingga bila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’-pun, niscaya manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan mereka pun menjawab dengan tanpa ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kemudian menanggapi pertanyaan saudara Luqman Taufiq berikut ini:

Luqman Taufiq berkata,

“mau nambah lagi: warga LDII kalo haji di perbolehkan sholat di belakang imam masjidil harom maupun imam masjid nabawi (setau ane di luar itu tidak boleh) dengan alasan bahwa apa yg di pelajari oleh imam-2 masjidil harom tersebut sama dgn apa yang dibawa oleh abah H Nur Hasan. dikatakan bahwa mrk para ulama mekah medinah imamnya bukan Raja saudi melain ada imam tersembunyi atau istilah kami imam bithonah. Jadi kesimpulan kami bahwa imam-2 tsb adalah orang jamaah oleh krn itu kita boleh sholat dibelakang mereka. Pertanyaannya; 1. Apa betul Imam-2 masjidil harom maupun masjid nabawi menharamkan kitab karangan?( Istilah kami kitab di luar kutubussittah, atau kitab terjemahan, pendapat-2 seseorg)

2. Apa betul Imam-2 Masjidil harom dan Nabawi tsb memiliki imam Bithonah? ataukah imamnya rajanya?

3. Bisa Ngga ustadz menampilkan sekilas biografi imam-2 masjidil harom dan nabawi saat ini, dimana belajarnya mereka, trus siapa yg menunjuk mereka menjadi imam masjid?

Selama ini subhat yg beredar bahwa kami memiliki hubungan dengan imam-2 masjid tersebut, jadi ilmunya sama antara mereka dan ulama kami. Dan kami terus terang miskin sekali ttg info masalah ini. barang kali ustadz yg udah bertahun-2 di madinah bisa menjelaskan kpd kami secara gamblang dan ilmiah.”

Jawaban: Ini bukanlah kedustaan dedengkot LDII untuk yang kali pertama, akan tetapi dusta telah menjadi senjata dan tameng untuk menutup-nutupi kenylenehannya dan kesesatannya.

Perlu diketahui, bahwa seluruh Imam masjid Haram di Mekkah dan Masjid nabawi di madinah adalah pegawai negeri di kerajaan Saudi Arabia:

Di Masjid Haram Mekkah:

1. Syeikh Sholeh Bin Abdullah bin Humaid: Beliau adalah ketua Majlis Syura’ (Semacam DPR/DPA) di indonesia.

2. Syeikh Abdurrahman As Sudais, beliau adalah alumnus kemudian dosen di Ummul Qura University.

3. Syeikh Su’ud As Suraim beliau juga dosen di Universitas yang sama.

4. Syeikh Usamah bin Abdullah Al Khoyyath, beliau adalah salah seorang hakim/qodhi di Pengadilan Negeri Makkah. (Mereka berempat adalah alumnus Ummul Qura University)

5. Syeikh Muhammad bin Abdullah As Subayyil, maka beliau adalah Kepala Ri’asah ‘Amah Li Syuunil Masjidil Haram Wa Masjid Al Nabawi (Direktorat yang mengurusi masalah masjid Haram dan masjid Nabawi).

Di Masjid Nabawi Medinah:

1. Syeikh Ali Bin Abdurrahman Al Huzaifi, beliau adalah alumnus Islamic University Of Madinah, dan sekaligus dosen di Universitas tersebut.

2. Syeikh Solah Al Budair, beliau adalah salah seorang hakim di Pengadilan Negeri Madinah.

3. Syeikh Husain Alus Syeikh, beliau adalah salah seorang hakim di Pengadilan Negeri Madinah.

4. Syeikh Abdur Bari As Tsubaity, beliau adalah alumnus Islamic University of Madinah, dan Dosen di Kuliah Muallimin (semacam IKIP di Indonesia dahulu).

5. Syeikh Abdulmuhsin bin Muhammad Al Qasim, beliau adalah alumnus King Muhammad bin Sa’ud University.

Yang menunjuk mereka menjadi imam di kedua masjid tersebut ialah Raja Kerajaan Saudi Arabia, atas usulan dari Direktorat yang mengurus kedua masjid tersebut.

Dan perlu diketahui bahwa mereka semua itu mendapatkan gaji tetap dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia serta berbagai fasilitas atas jabatan sebagai imam Masjid Haram atau Masjid Nabawi tersebut.

Dengan demikian jelaslah bahwa imam mereka adalah Raja Kerajaan Saudi Arabia, dan bukan Imam Bithonah apalagi Imam Batholah (pengangguran) sebagaimana kedustaan murahan dan bodoh yang dipropagandakan oleh dedengkot LDII guna membodohi umatnya. Apa lagi sampai imamnya adalah dari kalangan LDII.

Demikianlah betapa kejinya tokoh-tokoh LDII terhadap ummatnya, sampai menjadikan mereka tega menipu dan membodohi pengikutnya sendiri.

Dialog kali ini insya Allah akan membahas beberapa permasalahan dan pertanyaan pada artikel sebelumnya yang diajukan oleh seorang saudara kita, yaitu Akhi Aris Wahyono yang pernah berkecimpung dan kemudian bertobat dari LDII. Sungguh betapa banyak syubhat-syubhat yang melilit para pengikut LDII, dan insya Allah kita akan mencoba menguraikannya satu persatu. Semoga Allah memudahkan…

Menanggapi komentar saudara Aris Wahyono –semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan ketetapan di atas kebenaran kepadanya- maka perlu diketahui bahwa perihal poin (b) yaitu yang berkenaan dengan kewajiban membayar infaq rutin atau persenan sebenarnya adalah tujuan utama dari berbagai propaganda dan doktrin yang diajarkan oleh kelompok LDII. Berbagai doktrin tersebut pada ujung perjalanannya adalah sarana untuk mengeruk harta umat islam dan sekaligus ongkang-ongkang alias nganggur sambil menikmati setoran upeti dari seluruh pengikutnya. Dan pungutan ini bila dimaksudkan sebagai pembayaran zakat, maka kita semua sudah mengetahui tentang berbagai ketentuan dan persyaratan syari’at zakat mal, dimulai dari nishob, haul, jenis harta, jumlah yang harus dibayarkan, serta orang-orang yang berhak menerimanya. Dan iuran rutin yang diajarkan oleh LDII sudah barang tentu tidak memperdulikan semua ini, oleh karena itu mereka hanya mempertimbangkan jumlah kekayaan, tanpa memperdulikan berbagai ketentuan zakat yang telah saya sebutkan di atas dan telah dijabarkan dalam Al Qur’an, yaitu dalam surat At Taubah ayat 60, dan berbagai hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam serta telah dipaparkan dengan gamblang dalam karya-karya ulama islam di sepanjang masa.

Dengan demikian, jelaslah bahwa iuran wajib LDII tersebut bukan zakat, karena dikenakan kepada setiap anggota. Padahal segala pungutan dari setiap muslim yang di luar zakat dan tanpa sebab yang dibenarkan merupakan bentuk pungutan zholim atau semena-mena dan termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)

Pungutan-pungutan semacam ini dalam islam disebut dengan “Al Muksu“/upeti. Penarikan upeti dari kaum muslimin diharamkan dalam syari’at Islam. Upeti hanya dibenarkan untuk diambil dari orang-orang ahluz zimmah (orang kafir/ahlul kitab yang tinggal di negeri islam).

Secara khusus Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah mengancam para penarik upeti semacam ini dalam sabdanya:

إن صاحب المكس في النار. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه، وصححه الألباني.

“Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.” (Riwayat Ahmad dan At Thobrany dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit rodiallahu’anhu, dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albany)

Kemudian klaim LDII bahwa yang tidak setor iuran wajib seperti itu atau berusaha mengakalinya akan masuk neraka, maka itu hanya sekedar doktrin kosong dan senjata untuk menakut-nakuti saja. Sebab bila pungutan wajib tersebut selain zakat, maka itu adalah upeti atau dalam bahasa arab disebut dengan Al Muksu. Dan bila itu adalah upeti maka yang diancam masuk neraka adalah pemungutnya dan bukan orang yang dipungut dan enggan membayar, sebagaimana ditegaskan dalam hadits di atas.

Adapun bila itu zakat, maka zakat tidak harus dibayarkan kepada kelompok LDII akan tetapi kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang dirinci dalam ayat 60 dari surat At Taubah. Dan dalam konsep kehidupan umat Islam di Indonesia, yang berhak memungut zakat adalah pemerintah yang sah di negeri kita, merekalah yang berkewajiban memungut zakat dari orang-orang kaya, dan kemudian dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu sahabat Mu’adz bin Jabal rodiallahu’anhu ketika diutus oleh nabi shollallahu’alaihiwasallam untuk berdakwah di daerah Yaman, beliau diwasiati oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dengan sabdanya berikut ini:

إِنَّك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادةُ أن لا إله إلا الله وفي رواية: إلى أَنْ يوحِّدوا الله- فإِنْ هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أَنَّ الله افترض عليهم خمس صلوات في كلِّ يوم وليلة، فإِنْ هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أَنَّ الله افترض عليهم صدقةً تُؤْخَذُ من أغنيائهم فتُرَدُّ على فقرائهم، فإِنْ هم أطاعوك لذلك، فإيَّاك وكرائم أموالهم، واتَّق دعوة المظلوم، فإِنَّه ليس بينها وبين الله حجاب . متفق عليه

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengucapkan syahadat (la ilaha illallah) -dan menurut riwayat yang lain: mentauhidkan (mengesakan) Allah-, Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari mereka. Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka jauhilah olehmu mengambil yang terbaik dari harta mereka (sebagai zakat). Dan takutlah tehadap do’a orang yang dizolimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antaranya dan Allah (untuk di kabulkan do’anya). (Muttafaqun ‘alaih)

Inilah zakat dalam islam, diambil dari orang kaya dan kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin dan mustahik lainnya yang telah disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.

Walau demikian bila ada dari umat islam yang ingin membayarkan zakatnya dengan sendiri tanpa melalui pemerintah, maka tidak ada larangan dari yang demikian.

Yang berkenaan dengan kewajiban mengikuti pengajian rutin, maka ini jelas-jelas menyelisihi firman Allah Ta’ala:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari mereka tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)

Ulama ahli tafsir dan juga lainnya telah menjabarkan bahwa ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Ilmu Wajib atas setiap orang muslim, yaitu ilmu yang menjadi syarat tegaknya agama seseorang, diantaranya ilmu bahwa hanya Allah Ta’ala Yang Berhak diibadahi, ilmu tentang tatacara sholat (walau tanpa harus menghafal dalil setiap gerakan shalat dengan terperinci) tatacara mensucikan najis, berwudhu, berpuasa dll. Diantara dalil yang menjadi dasar kewajiban menuntut ilmu macam ini ialah firman Allah Ta’ala berikut:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada Tuhan Yang Berhak diibadahi selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)

Dan juga sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد . متفق عليه

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada petunjuknya dari kami, maka amalannya itu ditolak.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ulama telah menjelaskan bahwa -berdasarkan hadits ini dan juga dalil-dalil lainnya- salah satu syarat diterimanya suatu amalan ialah bila amalan tersebut sesuai dengan ajaran Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sunnah beliau.

2. Ilmu yang merupakan fardhu kifayah, yaitu berbagai ilmu agama lainnya yang selain dari ilmu macam pertama, diantaranya mengetahui berbagai perincian ilmu agama dalam berbagai bagiannya dengan disertai dalil-dalinnya. Dan dalil dari ilmu jenis ini ialah ayat 122 dari surat At Taubah di atas.

Oleh karena itu dahulu zaman Nabi shollallahu’alaihi wasallam tidak setiap orang yang telah masuk islam terus menerus duduk belajar dengan beliau atau sahabat beliau, dari mereka akan yang senantiasa menyertai beliau kemanapun beliau pergi dan dari mereka ada yang hanya belajar pertama kali masuk islam, diantaranya buktinya ialah hadits berikut:

عن طلحة بن عبيد الله رضي الله عنه يقول: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم من أهل نجد ثائر الرأس يسمع دوي صوته، ولا يفقه ما يقول حتى دنا، فإذا هو يسأل عن الإسلام فقال رسول اللهصلى الله عليه و سلم: خمس صلوات في اليوم والليلة. قال: هل علي غيرهن؟ قال: لا إلا أن تطوع. قال: وذكر له رسول الله صلى الله عليه و سلم صيام شهر رمضان. قال: هل علي غيره؟ قال: لا ألا أن تطوع؟ قال: وذكر له رسول الله صلى الله عليه و سلم الصدقة. قال: فهل علي غيرها؟ قال: لا إلا أن تطوع؟ فأدبر الرجل وهو يقول: والله لا أزيد على هذا ولا أنقص. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أفلح إن صدق. رواه مسلم وأبو داود وغيرهما.

“Dari sahabat Tholhah bin Ubaidillah rodiallahu’anhu ia menuturkan: Datang seorang lelaki dari daerah Najed kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam keadaan rambutnya tidak rapi, terdengar dengungan suaranya, akan tetapi tidak dapat dipahami apa yang ia ucapkan hingga ia mendekat, dan ternyata ia bertanya tentang agama Islam. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kemudian bersabda: ‘Shalat lima waktu dalam sehari semalam.’ Sahabat Itu bertanya: ‘Apakah aku wajib melakukan selainnya?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan shalat sunnah.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga mengajarkan kepadanya tentang puasa bulan Ramadhan, Sahabat Itu bertanya: ‘Apakah aku wajib melakukan selainnya?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan puasa sunnah.’ Dan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam mengajarkan kepadanya tentang shadaqah (zakat). Sahabat Itu bertanya: ‘Apakah aku wajib melakukan selainnya?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan shadaqah sunnah?’ Kemudian sahabat itu berpaling dan pergi sambil berkata: ‘Sungguh demi Allah aku tidak akan menambah sedikitpun dari amalan-amalan ini dan juga tidak akan menguranginya.’ (Mendengar yang demikian) Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: ‘Ia akan sukses bila ia jujur (dengan ucapannya).’” (Riwayat Muslim, Abu Dawud dll)

Banyak ulama hadits menjelaskan bahwa hadits ini beliau sabdakan sebelum diwajibkannya ibadah Haji.

Sahabat ini hanya belajar ilmu jenis pertama, yaitu ilmu yang merupakan kewajiban atas setiap muslim, dan ternyata Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah memberikan kesaksian bahwa bila sahabat ini tetap komitmen dan benar-benar menjalankan ucapannya, maka ia akan sukses/selamat dari neraka.

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tidak memerintahkan agar sahabat ini kembali lagi ke majlis beliau atau menghadiri majlis ilmu yang ada di sekitar tempat ia tinggal atau dengan cara lainnya. Apalagi sampai mengancamnya dengan siksa neraka karena ia tidak mau belajar, dan tidak menghadiri pengajian. Dengan demikian hadits ini tidak selaras dengan doktrin LDII, yang mewajibkan belajar ngaji setiap minggu beberapa kali.

Bila ada yang bertanya mengapa LDII melakukan ini? Maka jawabannya –menurut hemat saya- doktrin ini hanya sekedar proteksi dan isolasi bagi setiap pengikut agar tidak belajar dan mendengar dari selain gurunya, sehingga tetap buta dan tidak dapat mendengar atau mengkaji ilmu agama dengan cara yang penuh obyektifitas, apalagi membandingkan dengan penjelasan selain kelompoknya.

Mengenai Pernikahan Bithonah adalah salah satu bentuk doktrin LDII yang tidak jelas dan tidak ada dalilnya, sebab pernikahan dalam Islam tidak disyaratkan dihadiri atau dilakukan di hadapan seorang Imam. Oleh karena itu dahulu, Nabi shollallahu’alaihiwasallam kadang kala tidak mengetahui bila salah seorang sahabatnya telah menikah hingga dikabari atau berjumpa dengan sahabat tersebut, sebagaimana kisah berikut:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم رأي على عبد الرحمن بن عوف أثر صفرة، فقال: ما هذا؟ قال: يا رسول الله إني تزوجت امرأة على وزن نواة من ذهب. قال: فبارك الله لك، أولم ولو بشاة . متفق عليه

“Dari sahabat Anas bin Malik rodiallahu’anhu, bahwasannya pada suatu hari Nabi shollallahu’alaihiwasallam menyaksikan pada diri Abdurrahman bin ‘Auf terdapat bekas minyak Za’faran, maka Beliau bertanya: ‘Apakah ini?’ Sahabat Abdurrahman-pun menjawab: ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita dengan mas kawin berupa emas seberat biji kurma.’ Beliau bersabda: ‘Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepadamu. Buatlah pesta walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Bila Kita hendak sedikit bersikap lugu di hadapan orang-orang LDII, maka kita akan bertanya kepada mereka: Wahai Imam Bithonah, antum semua memuja-muja ilmu mangkul hingga menjadikannya sebagai syarat keabsahan islam seseorang. Nah, dalam penerapannya, ilmu mangkul yang bagaimana dan dari siapa antum semua menjalankan Penikahan Bithonah semacam ini?! Mana dalilnya? Ulama siapa yang mengajarkan nikah bithonah?

Bila Imam Bithonah tidak dapat membuktikan kemangkulan praktek nikah bithonah semacam ini, maka ini membuktikan bahwa ilmu mereka tidak mangkul dan bila tidak mangkul maka tidak sah dst.

Pertanyaan dari seorang yang lugu ini juga dapat diterapkan pada berbagai doktrin mereka:

Mengaji harus tiap minggu: mana ilmu mangkul-nya? Ayat apa, hadits mana? Ucapan ulama siapa? Dst

Mengenai iuran wajib: mana ilmu mangkulnya? Ayat dan haditsnya mana? Dst.

Kemudian anggapan bahwa Islam yang murni telah berpindah dari Makkah dan Madinah? Adalah anggapan yang tidak mangkul apalagi sampai mengklaim bahwa Islam yang murni tersebut sekarang sedang berada di Indonesia. Nyata-nyata suatu hal yang tidak mangkul. Mana dalilnya? Ulama siapa yang menyatakan demikian? Bukankah kata Indonesia tidak ada dalam Al Qur’an, Hadits dan juga karya-karya ulama zaman dahulu, maka bagaimana klaim ini bisa dikatakan mangkul??!! Ini bukti nyata bahwa doktrin mereka bahkan keagamaan mereka tidak mangkul sehingga tidak sah (menurut kaedah LDII) dan tidak benar.

Sebagai salah satu bukti ketidakmangkulan dakwaan ini ialah pernyataan mereka sendiri yang hingga kini masih menganggap Makkah dan Madinah sebagai sumber ilmu agama, sampai-sampai mereka merasa perlu untuk mengutus utusannya yaitu Kholil Asy’ary dan Dawam Habibullah untuk belajar di Makkah, sebagaimana yang dituturkan oleh saudara Aris Wahyono.

Bukan hanya mengutus utusan untuk belajar di Makkah dan Madinah, bahkan keberadaan dua kader LDII ini di Mekkah mereka jadikan sebagai pelet dan pemikat atau propaganda atau sebagai legimitasi akan kemangkulan mereka.

Seharusnya bila mereka mengaku bahwa Islam yang benar dan murni sedang mangkal dan mendekam di Indonesia, maka mengapa mereka melakukan hal tersebut?! Seharusnya mereka merasa terhinakan dan dikhianati dengan adanya dua orang tersebut yang masih menganggap Makkah sebagai sumber ilmu. Harusnya mereka belajar saja di Indonesia ke Imam bithonah mereka atau kepada amir yang mewakili Amir Bithonah mereka. Atau kepada Abdudhahir bin Nurhasan yang sekarang sedang menjabat sebagai pimpinan LDII, sebagai warisan dari bapaknya.

Ataukah Imam Bithonah yang telah mereka bai’at benar-benar seperti yang saya katakan: Imam Batholah (imam pengangguran) yang tidak memiliki ilmu?!

Ataukah…

Fakta ini membuktikan bahwa LDII bingung, membingungkan, muter-muter akhirnya keputer dan keblinger, dan benar-benar tidak mangkul.

Jelas-jelas fakta yang mangkul ini membuktikan bahwa agama mereka tidak mangkul sehingga tidak benar alias sesat. Inilah penerapan kaedah mangkul yang benar, tidak seperti penerapan LDII.

Tapi saya harap para pembaca tidak heran dengan kebingungan kaum LDII dalam menerapkan ilmu mangkul, sebab orang yang merasa telah menguasai ilmu hadits dari mereka semisal Abil Baghda kebingungan nyari dalil untuk menegakkan ilmu mangkul-nya, dan akhirnya hanya bisa mendatangkan qiyas (penyerupaan) dengan ilmu nyopir metromini, makanya ilmunya juga muter-muter kayak metromini hingga akhirnya keblinger. Dan sudah barang tentu penyerupaan ini tidak mangkul, sebab di arab dan pada zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak ada metromini bukankah demikian wahai Abil Baghda??!!

Adapun mengenai Darul Hadits Al Kahiriyyah, maka sekolahan ini didirikan oleh Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah dan sudah barang tentu yang diajarkan serta kitab-kitab yang diajarkan tidak seperti yang didakwakan oleh LDII. Dan diantara staf pengajarnya saat ini ialah Syeikh Muhammad bin Jamil Zaenu, penulis buku: Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat, karya beliau ini adalah salah satu bukti nyata yang mendustakan ajaran LDII, dan membuktikan bahwa ilmu mangkul LDII benar-benar tidak mangkul.

Adapun dakwaan bahwa Syeikh Yahya bin Utsman membai’at Imam Bithonah, maka kedustaan ini tidak lebih besar dari kedustaan sebelumnya yang menyatakan bahwa Imam-imam Masjid Haram dan Nabawi membaiat Imam Bithonah, sama-sama bohong di siang bolong.

Menanggapi pertanyaan Abul Baghda: “mana dalil nya islam itu jaya dengan debat ?” Maka saya katakan: pertanyaan ini merupakan salah satu bukti bahwa ilmu mereka tidak mangkul, sehingga ‘ahli hadits muda ini’ tidak tahu bahwa diantara cara berdakwah yang mangkul menurut Al Qur’an atau hadits, atau praktek ulama salaf semenjak zaman dahulu kala hingga zaman kita ini adalah dengan debat yang dilakukan dengan cara-cara yang bijak nan ilmiyyah.

Untuk sedikit mengajari ilmu mangkul kepada saudara Abu Baghda, maka berikut saya sebutkan beberapa dalil yang benar-benar mangkul tentang dibenarkannya memperjuangkan kejayaan Islam melalui perdebatan:

1. Firman Allah Ta’ala:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (bijak) dan pelajaran yang baik dan debatlah/bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahel: 125)

2. Firman Allah Ta’ala:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS. Al Ankabut: 46)

Kedua ayat ini menganjurkan dan mensyari’atkan perdebatan dalam mendakwahkan kebenaran, tentu kedua ayat ini adalah salah satu bukti bahwa islam dan kebenaran dapat jaya melalui perdebatan yang ilmiyyah dan dengan hati lapang guna mencari kebenaran, sebagaimana dicontohkan oleh Imam As Syafi’i dalam ucapannya berikut:

ما ناظرت أحدا قط إلا أحببت أن يوفق ويسدد ويعان ويكون عليه رعاية من الله وحفظ وما ناظرت أحدا إلا ولم أبال بين الله الحق على لساني أو لسانه. رواه أبو نعيم في حلية العلماء 9/118

“Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang melainkan aku suka bila lawan debatku mendapatkan bimbingan, diluruskan dan pertolongan serta mendapatkan perlindungan dan penjagaan dari Allah (sehingga ucapannya benar). Dan aku tidak pernah berdebat dengan seseorang , melainkan aku tidak pernah perduli kebenaran itu Allah tunjukkan melalui lisanku atau lisannya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 9/118).

Dan dalam Al Qur’an dikisahkan berbagai perdebatan/jidal para Nabi ‘alaihimussalaam dengan kaumnya, sebagai contoh, perdebatan antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan Raja Namrud (raja Babilonia) yang dikisahkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَآجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رِبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِـي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِـي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu kekuasaan (kerajaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan,’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari arah timur, maka terbitkanlah dari arah barat’, lalu terbungkamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang dzalim.” (QS. Al Baqarah: 258)

Pada kisah ini, nampak dengan jelas dan gamblang bahwa kebenaran menjadi jaya dan tegak dengan perdebatang yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ’alaihissalam. (Mungkinkah kisah ini tidak termaktub dalam Al Qur’an anda wahai Abil Baghda?! Ataukah Ayat ini masih disimpan oleh Imam Bithonah anda dan belum sempat diajarkan kepada umat LDII?!)

Dan pada kesempatan ini saya juga jadi penasaran dengan kisah-kisah perdebatan para nabi ‘alaihimussalam lainnya yang dikisahkan dalam Al Qur’an, diantaranya dalam ayat dan surat berikut:

1. Ali Imran ayat 64 s/d71, & 183 s/d 184.

2. Al Maidah ayat 18.

3. Al An’am ayat 74 s/d 83.

4. Thaha ayat 47 s/d 75, dan masih banyak sekali kisah-kisah perdebatan antara para Nabi ‘alaihimusslamam dengan umatnya. Mungkinkah ayat-ayat yang mengisahkan kisah-kisah ini belum disampaikan oleh Imam Bithonah kepada umatnya, terutama kepada ‘muhaddits muda’ Abil Baghda, sehingga ia bertanya: “mana dalil nya islam itu jaya dengan debat ?” Hingga saat ini saya belum mendapatkan jawaban yang tegas dari kaum LDII: Apakah Al Qur’an yang diimani oleh LDII berbeda dengan yang ada di masyarakat/kaum muslimin selain LDII?, sehingga ‘Ahli Hadits Muda’ Abul baghda tidak bisa mendapatkan ayat yang mensyari’atkan berdakwah melalui perdebatan dengan cara-cara yang bijak??

Apakah LDII memiliki percetakan yang mencetak Al Qur’an khusus untuk mereka? Bila tidak punya, dan mereka menggunakan Al Qur’an yang dicetak dan dibaca oleh umunya umat islam selain warga LDII, maka mereka telah menggunakan Al Qur’an yang tidak mangkul melalui Imam Bithonah? Tentu ini tidak sah menurut ilmu mangkul LDII? Bahkan bila kita mengikuti ucapan saudara Rohmanudin pada komentarnya (lihat komentar Rohmanudin pada artikel sebelumnya), maka Al Qur’an itu adalah curian karena tidak mangkul melalui Imam Bithonah LDII.

Dan berikut contoh perdebatan Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan salah seorang sahabatnya dalam hal perzinaan:

عن أبي أمامة رضي الله عنه قال : إن فتى شابا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا رسول الله ! ائذن لي بالزنى. فأقبل القوم عليه فزجروه وقالوا مه مه ! فقال : ادنه. فدنا منه قريبا. قال: فجلس. قال: أتحبه لأمك ؟ قال : لا والله، جعلني الله فداك . قال : ولا الناس يحبونه لأمهاتهم . قال: أفتحبه لابنتك ؟ قال : لا والله يا رسول الله ! جعلني الله فداك . قال : ولا الناس يحبونه لبناتهم . قال أتحبه لأختك ؟ قال: لا والله جعلني الله فداك. قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم . قال أتحبه لعمتك ؟ قال : لا والله جعلني الله فداك . قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم . قال أتحبه لخالتك ؟ قال : لا والله جعلني الله فداك . قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم . قال: فوضع يده عليه وقال : اللهم اغفر ذنبه وطهر قلبه وحصن فرجه . فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء. رواه أحمد والطبراني والبيهقي وصححه الألباني

“Dari sahabat Abu Umamah rodiallahu’anhu, ia mengisahkan: Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.’

spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: ‘Apa-apaan ini!’

Kemudian Rasulullah bersabda kepadanya: ‘Mendekatlah,’

maka pemuda itu pun mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kemudian bersabda kepadanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?’

Pemuda itu menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kembali bertanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?’

Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu,’

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.’ Kemudian beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?’

Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.’ Rasulullah kembali bertanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu?’

Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.’ Rasulullah kembali bertanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu?’

Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.’

Kemudian Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, lalu berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.’

Maka semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong).” (Riwayat Ahmad, At Thabrani, Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albany)

Pada diskusi antara Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dengan pemuda tersebut nampak dengan jelas bahwa kebenaran hukum Allah Ta’ala dalam hal perzinaan tegak dan berjaya. Bukankah demikian wahai Abil Baghda?! (Mungkinkah ilmu mangkul ini tidak ada dalam kamus atau ensiklopedi Imam Bithonah anda?! Bila belum atau tidak ada maka tambahkan sekarang juga agar tidak ketinggalan zaman dan kadaluwarsa)

Dan salah satu contoh tegaknya kebenaran melalui perdebatan yang dilakukan dengan hikmah dan bijak, ialah kisah berikut:

Ibnu Abbas mengkisahkan kisah perdebatannya dengan orang-orang khowarij, beliau berkata: “Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan berkumpul di daerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib radliallahu ‘anhu: ‘Wahai Amirul mikminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat dluhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka.’

Ali berkata: ‘Aku takut atas dirimu.’

Aku menjawab: ‘Tidak akan terjadi apa-apa.’

Lalu aku berangkat menuju kepada mereka, dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka, dan mereka pun spontan menjawab: ‘Selamat datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang kemari?’

Aku berkata kepada mereka: ‘Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan menantunya, atas merekalah Al Qur’an diturunkan, sehingga mereka lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak seorang pun diantara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat), sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka katakan/yakini, dan hendaknya kalian pun menyampaikan apa yang kalian katakan/yakini.’

Lalu aku berkata kepada mereka: ‘Apakah yang kalian benci dari sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan anak pamannya?’

Mereka menjawab: ‘Ada tiga hal.’

Aku berkata: ‘Apakah itu?’

Mereka menjawab: ‘Adapun yang pertama: karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim (berhakim) dalam urusan Allah, padahal Allah telah berfirman:

إن الحكم إلا لله

Artinya: “Tiadalah hukum/keputusan, kecuali hukum Allah.” (QS. Yusuf: 67) apa urusan manusia dalam hukum Allah?’ ………

Aku berkata kepada mereka: ‘Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang manusia dalam urusan Allah, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat dari Al Qur’an, yang menyatakan bahwa Allah telah menyerahkan hukumnya kepada manusia dalam urusan yang berharga seperempat dirham, dan Allah memerintakan agar mereka memutuskan dalam urusan tersebut, Allah berfirman:

يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalan keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka hukumanya adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian.” (Al Maidah: 95), maka atas nama Allah Ta’ala, apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari binatang buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan perdamaian diantara mereka, sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia?’

Mereka menjawab: ‘Tentu keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama.’

-Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya- Dan dalam urusan seorang istri dengan suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:

وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما

Artinya: “Dan bila kalian kawatir ada persengketan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada keduanya.” (QS. An Nisa’: 35). Maka, atas nama Allah, apakah keputusan manusia dalam urusan perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya pertumpahan darah diantara mereka lebih utama ataukah, keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil menjawab tuduhan kalian?’

Mereka menjawab: ‘Ya.’ Kemudian dari mereka bertaubatlah sebanyak dua ribu orang sedangkan sisanya terbunuh dalam kesesatan.” (Riwayat At Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi dll)

Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada kaum LDII secara umum dan kepada saudara Abil Baghda secara khusus: “Kemanakah kedua ayat di atas dari kalian?! Apakah kedua ayat tersebut tidak termaktub dalam Al Qur’an yang dimangkulkan oleh Imam Bithonah yang telah anda bai’at? Mungkinkah Imam Mangkul anda telah membaiat anda untuk tidak mengakui ayat-ayat ini?

Saudara Abil Baghda, makanya belajarlah ilmu mangkul yang benar, dan jangan malah belajar ilmu mangkul ala sopir metro mini! (maaf kan anda sendiri yang menjadikan ilmu nyopir metro mini sebagai dalil)

Dan pada kesempatan ini saya ingin sedikit menegaskan lagi bahwa ilmu-ilmu yang –segala puji hanya milik Allah- telah diwariskan oleh para ulama’ dan diabadikan dalam karya-karya ilmiyyah mereka, semuanya adalah hak setiap orang muslim untuk mempelajarinya, tidak satupun dari mereka yang mensyaratkan suatu persyaratan tertentu bagi yang ingin membaca karya mereka. Bahkan Imam As Syafi’i –sebagaimana yang dikisahkan oleh muridnya Rabi’ bin Sulaiman- dengan tegas mengatakan:

قال ربيع بن سليمان: دخلت على الشافعي وهو عليل فسأل عن أصحابنا وقال يا بني لوددت أن الخلق كلهم تعلموا يريد كتبه ولا ينسب إلي منه شيء. رواه أبو نعيم في حلية الأولياء 9/118

“Rabi’ bin Sulaiman mengisahkan: Aku menjenguk As Syafi’i di saat beliau sedang sakit, kemudian beliau menanyakan perihal sahabat-sahabat kami, lantas berkata kepadaku: Wahai nak, aku berangan-angan seandainya seluruh manusia mempelajari karya-karyaku, dan mereka tidak menisbatkan sedikitpun dari karya-karya itu kepadaku. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 9/118).

Sehingga tuduhan mencuri ilmu sebagaimana yang didoktrinkan oleh Imam Bithonah (silahkan baca komentar saudara Rohmanudin yang dimuat pada akhir artikel sebelumnya) LDII tidak ada makna dan dasarnya, bahkan merupakan tuduhan palsu dan dusta. Doktrin itu hanya berfungsi membodohi umat LDII dan pengikutnya, sampai-sampai ‘ahli hadits muda’ LDII, yaitu saudara Abil Baghda tidak tahu kalau dalam Al Qur’an, hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam serta tauladan ulama salaf ada dalil, bahkan banyak dalil yang mensyari’atkan perdebatan/jidal guna menegakkan kebenaran, dan meruntuhkan dinasti kesesatan. Bila demikian halnya ahli hadits dari kalangan LDII, maka tidak heran bila orang-orang awam dari kalangan LDII benar-benar buta akan kebenaran.

Dan bila demikian halnya, maka saya dengan amat bangga dan amat bersyukur dan akan senantiasa bersyukur –insya Allah- kepada Allah Ta’ala yang telah melindungi saya dari berguru kepada ahli hadits atau guru ngaji dari kalangan LDII semacam saudara kita yang satu ini, yaitu Abil Baghda. Dan Pada kesempatan ini juga saya dengan bangga dan sadar telah mendapat kenikmatan yang amat besar karena diberi kesempatan untuk menimba ilmu di kota Madinah, kota Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam yang merupakan sumber ilmu dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, dan bukan mengais ilmu di negeri antah berantah yang dipimpin oleh Imam Bithonah.

Doktrin Mangkul

Mungkin ada dari pembaca yang bertanya-tanya: apa buktinya bahwa doktrin Mangkul LDII adalah hasil jiplakan dan hasil adopsi dari sekte Syi’ah Imamiyah adalah salah satu judul bab dalam kitab Al Kafi karya Al Kulainy:

باب: أنه ليس شيء من الحق في أيدي الناس إلا ما خرج من عند الأئمة وأن كل شيء لم يخرج من عندهم فهو باطل.

“Bab: Tidak ada sedikit pun kebenaran yang ada di masyarakat selain yang disampaikan oleh para imam, dan segala sesuatu yang tidak disampaikan oleh mereka maka itu adalah bathil.” (Al Kafi 1/399).

Kemudian Al Kulainy menyebutkan ucapan Abu Ja’far (salah seorang yang dianggap sebagai Imam Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah):

ليس عند أحد من الناس حق ولا صواب ولا أحد من الناس يقضي بقضاء حق إلا ما خرج منا أهل البيت وإذا تشعبت بهم الأمور كان الخطأ منهم والصواب من علي عليه السلام. الكافي للكليني 1/399.

“Tidaklah ada seseorang memiliki al haq tidak juga kebenaran, dan tidaklah ada seseorang yang memutuskan suatu keputusan yang benar, selain dengan apa yang telah kami ajarkan yaitu ahlul bait (anak keturunan Ali). Dan bila mereka telah berselisih dalam berbagai permasalahan, maka pasti merekalah yang salah dan kebenaran hanya datang dari Ali alaihis salam.” (Al Kafi oleh Al Kulainy 1/399).

Bandingkan antara ucapan apa yang saya nukilkan dari kitab Al Kafy karya Al Kulainy ini, dengan doktrin mangkul ala LDII. Saya yakin orang yang hati nuraninya masih terpancar kecintaan terhadap kebenaran dan rasa takut akan neraka serta harapan untuk masuk surga akan berkata: Sesungguhnya doa doktrin ini adalah sama dan tidak ada bedanya. Inilah sekte induk LDII.

Dengan demikian jelaslah asal usul doktrin mangkul ala LDII dan bahwa Nur Hasan Ubaidah hanyalah menjiplak dan mencuri doktrin Syi’ah Imamiyah dan kemudian dipoles dengan belajar hadits dengan penafsiran dan pemahaman yang mendukung kepentingannya, yaitu pemungutan upeti sebagaimana yang diakui oleh saudara Aris Wahyono (mantan pengikut LDII).

Imam Bithonah

Diantara yang menguatkan dugaan bahwa LDII adalah hasil jiplakan dari Syi’ah Imamiyyah ialah apa yang mereka sebut dengan Imam Bithonah. Dalam keyakinan Syi’ah Imamiyah dinyatakan bahwa umat islam harus dipimpin oleh seorang imam yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan dan perbuatan dosa), jumlahnya adalah 12 orang, dan imam mereka yang terakhir disebut dengan Muhammad bin Hasan Al Askary. Syi’ah Imamiyyah meyakini bahwa imam mereka yang ke 12 ini bersembunyi sejak berumur 4 atau 5 tahun di ruang bawah tanah, dan tidak ada yang dapat menjumpainya kecuali orang yang mereka istilahkan sebagai al bab (perwakilan/agen/amir perantara). Dan Mereka mengharamkan siapa saja untuk menentukan tempat persembunyiannya ini, bahkan sampai-sampai Al Kulainy berkata:

عن داود بن القاسم الجعفري قال : سمعت أبا الحسن العسكري الخلف من بعدي الحسن، فكيف بكم بالخلف من بعد الخلف؟ فقلت:ولم جعلني الله فداك؟ قال: إنكم لا ترون شخصه ولا يحل لكم ذكره باسمه. فقلت: فكيف نذكره؟ قال: قولوا: الحجة من آل محمد صلوات الله عليه وسلامه. الكافي للكليني 1/332-333.

“Dari Dawud bin Al Qasim Al Ja’fary, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abul hasan Al Askary (yaitu imam yang ke-10) berkata: ‘Penggantiku ialah Al Hasan (yaitu putranya sendiri), dan bagaimana sikap kalian dengan pengganti orang yang menggantikanku?’ Akupun bertanya: ‘Mengapa? Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu.’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya kalian tidak akan melihat orangnya, dan juga tidak halal bagi kalian untuk menyebutkan namanya.’ Maka aku pun bertanya: ‘Bagaimanakah kami menyebutnya?’ Ia menjawab: ‘Katakan: Orang yang menjadi hujjah dari keluarga Muhammad, semoga shalawat dari Allah dan salam-Nya terlimpahkan selalu kepadanya.’” (Al Kafi 1/332-333).

Bila kita bandingkan doktrin Syi’ah Imamiyah ini dengan doktrin LDII yang mengajarkan kepada umatnya agar berbai’at kepada Imam Bithonah yang senantiasa dirahasiakan jati dirinya (nama, tempat tinggal, umur dll), niscaya kita dapatkan dua doktrin ini serupa dan sama. Mungkin yang membedakan antara keduanya hanyalah hukum menyebutkan nama atau tempat tinggal imam tersebut.

Permusuhan Dari Kelompok Lain Bukanlah Standar Kebenaran Kemudian ada satu poin dari perkataan Abul Baghda yang terlupakan untuk saya komentari, yaitu ia berdalil dengan ucapan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam pada saat beliau menceritakan kisahnya menerima wahyu untuk kali pertama, yaitu ketika beliau menerima 5 ayat pertama dari surat Iqra’ di gua Hira’. Waraqah berkata kepadanya:

قال ورقة: م يأت رجل قط بما جئت به إلا عودي

“Tidak akan ada seorang pun yang membawa kebenaran semisal yang engkau bawa (ajarkan) melainkan akan dimusuhi.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kemudian Abul Baghda’ bertanya:

GOLONGAN ANDA DI HUJAT ? DI KAFIRKAN ? OLEH GOLONGAN LAIN ? TIDAK ? BERARTI ANDA BUKAN YANG DI MAKSUD DALAM HADITS INI.

Ahli Hadits muda ini (Abul Baghda’ –ed) menjadikan permusuhan yang ditujukan kepada suatu kelompok sebagai standar kebenaran? Sehingga menurut pemahaman ucapannya ini: karena LDII dimusuhi maka LDII adalah kelompok yang benar. Sedangkan kelompok lain selain LDII tidak dimusuhi, maka mereka tidak benar alias sesat. Subhanallah! Demikianlah pemahaman ahli hadits LDII muda ini? Betapa dangkalnya cara berfikir mereka?! Sekedar permusuhan yang ditujukan kepada suatu kelompok atau seseorang dijadikan sebagai dalil atau pertanda kebenaran kelompok atau orang tersebut.

Saya ingin bertanya: Siapakah diantara kita bahkan dari manusia yang ada di dunia ini yang tidak memusuhi perampok, pendusta, pengkhianat, penjilat, pemalsu, pencuri, pemerkosa, pemabok, pencopet, pemakan daging manusia??!! Saya yakin setiap orang memusuhi mereka. Nah, apakah permusuhan yang tertuju kepada mereka merupakan pertanda bahwa mereka adalah orang-orang yang dimaksudkan dari ucapan Waraqah bin Naufal??!! Jawablah dengan jujur wahai ahli hadits muda LDII! Semoga saja ahli hadits muda ini menjawab pertanyaan ini dengan: “Ya”, Dan bila demikian berarti agama LDII adalah agama berbagai pe-pe di atas. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dan bila ahli hadits muda ini menjawab: “Tidak”, demikian berarti pertanyaan yang anda ajukan serta pendalilan ini adalah salah serta sesat dan menyesatkan. Dan ini membuktikan betapa ngawur dan sesatnya pemahaman yang diajarkan oleh Imam Bithonah kepada anggotanya.

Standar kebenaran dalam agama islam ialah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang selaras dengan pamahaman Salafus Sholeh (para sahabat dan murid-muridnya), -sebagaimana yang telah saya jabarkan pada artikel saya tentang ilmu mangkul, dan bukan permusuhan yanng ditujukan kepada seseorang. Bahkan bila kita sedikit berfikir lebih jernih, permusuhan yang dilontarkan oleh kelompok LDII kepada selain mereka lebih besar dibanding permusuhan yang dilontarkan oleh kelompok lain kepada LDII. Hal ini karena LDII telah mengkafirkan selain kelompoknya, dan bila seseorang itu telah kafir, maka halal darah, jiwa, harta, serta kehormatannya untuk dirampas. Sedangkan permusuhan kelompok lain kepada LDII hanya sebatas meyakini bahwa LDII adalah aliran sesat, menyeleweng dari kebenaran/agama islam yang benar, dan belum sampai pada tahap meyakini mereka telah kafir keluar dari agama islam.

Sadarlah wahai saudaraku! berfikirlah jernih! gunakan akal sehatmu! Dan lapangkan dadamu untuk berdoa memohon hidayah/petunjuk dari Allah Ta’ala, agar anda ditunjukkan kepada kebenaran dan dihindarkan dari kesesatan. Berdoalah dengan doa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السَّماوا

Membaca komentar saudara Usman bin Ahmad pada artikel “Runtuhnya Dinasti LDII”, saya menjadi teringat kepada pepatah klasik dalam bahasa arab:

رمتني بدائها وانسلت

“Ia menuduhku dengan penyakit yang sedang ia derita sendiri, dan ia berpura-pura terbebas darinya.” [Pepatah ini memiliki kisah perseteruan unik yang dialami oleh seorang wanita beserta wanita-wanita sepermaduannya, bagi yang ingin mengetahuinya silahkan baca di kitab: Jamharatul Amsal, 1/475].

Saudara Usman berusaha menjelaskan paham warisan yang ia anut, yaitu doktrin usang LDII yang bertujuan menutup rapat-rapat mata pengikutnya, sambil ongkang-ongkang menikmati setoran upeti pengikutnya. Saya harap pembaca sekalian membandingkan komentar saudara Usman ini dengan pengakuan mantan anggota LDII, yaitu saudara Luqman Taufik yang dimuat pada artikel seputar LDII sebelumnya, yang berkata: “dikatakan Bahwa Presiden bukanlah seorang imam, krn presiden hanya mengurusi masalah dunia aja, tidak pernah mengajak rakyatnya, meramut rakyatnya utk mengaji qur’an hadist (hal ini beda dgn imam kami).” Setelah membandingkan antara keduanya, saya berkeyakinan bahwa penjabaran saudara Usman bersumberkan dari sumber yang sama dengan pengakuan saudara Luqman Taufik, yaitu doktrin Imam Madegol atau Imam Bithonah.

Untuk menjelaskan duduk permasalahan ini, maka saya akan sedikit menyebutkan penafsiran para ulama’ salaf tentang kata “Ulil Amri” yang disebutkan dalam ayat berikut:

يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

“Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah olehmu Allah dan ta’atilah Rasulullah, dan juga ulil amri diantara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)

Ulama’ ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari kata “Ulil Amri”, sebagaimana berikut:

1. Yang dimaksud dengan ulil amri ialah para ulama’ atau yang disebut dengan ahli fiqih. Pendapat ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas rodiallahu’anhu, Mujahid, Atha’ bin Saib dll.

2. Yang dimaksud dari Ulil Amri ialah para penguasa dari umat islam, atau kholifah atau umara’. Pendapat ini disampaikan oleh sahabat Abu Hurairah rodiallahu’anhu, Maimun bin Mahran, Ibnu Zaid, As Suddy, dll. Pendapat kedua ini juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodiallahu’anhu. [Pendapat-pendapat mereka semua ini dapat dibaca lengkap dengan sanadnya (jalur periwayatannya) di kitab: Tafsir At Thobary 5/147 dst, Tafsir Qurthuby 5/259, & Tafsir Ibnu Katsir 1/517-518].

Kedua pendapat ini sebenarnya tidaklah saling bertentangan, akan tetapi justru malah saling melengkapi, karena masing-masing ulama’ yang berbeda ucapannya ini tidak saling manafikan kebenaran pendapat yang lain. Yang mereka lakukan hanyalah memberikan penafsiran dengan menyebutkan salah satu contoh kongkrit dari kata “Ulil Amri”. Oleh karena itu Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

والظاهر والله أعلم أنها عامة في كل أولي الأمر من الأمراء والعلماء.

“Pendapat yang lebih kuat, -wallahu a’alam- yang kata “ulil amri” bersifat umum, mencakup ulil amri dari kalangan umara’ (pemimpin/penguasa) dan juga ulama’.” [Tafsir Ibnu Katsir 1/518].

Diantara yang menguatkan pendapat Ibnu katsir ini ialah sikap dan pendapat Ibnu ‘Abbas rodiallahu’anhu, dimana kedua pendapat ini adalah pendapat beliau. Ini membuktikan bahwa perbedaan ucapan mereka itu hanyalah sebatas perbedaan contoh dan bukan perbedaan makna atau maksud yang sebenarnya, sebab termasuk tradisi ulama’ salaf dalam menafsirkan ayat atau hadits, mereka menafsirkannya dengan cara menyebutkan contoh nyata dari penerapan ayat atau hadits tersebut.

Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya ulama’ salaf (terdahulu) sering sekali menyebutkan salah satu bentuk penerapan/contoh kongkrit dari makna suatu ayat, sehingga mungkin saja ada orang yang menduga bahwa itulah makna/penafsiran ayat tersebut.” [I’ilamul Muwaqi’in oleh Ibnul Qayyim 1/161&168].

Oleh karena itu bagi orang yang hendak membaca kitab tafsir atau syarah hadits, hendaknya memahami macam-macam khilaf, agar tidak salah faham ketika membaca perbedaan ungkapan mereka tentang suatu makna.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menyebutkan bahwa kebanyakan perbedaan penafsiran para sahabat merupakan khilaf tanawwu’, beliau berkata: “Khilaf tanawwu’ jenis kedua ialah: bila mereka menjelaskan suatu istilah/kata yang bersifat umum dengan menyebutkan salah satu bagiannya, sebagai percontohan, dan sekedar mengingatkan orang lain yang mendengarnya akan contoh tersebut, dan bukan untuk mendefinisikan istilah/kata tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus. Permisalannya bila ada orang non arab yang bertanya tentang arti kata “al khubzu” (roti), kemudian ia ditunjukkan kepada sepotong roti, maka penunjukkan ini bermaknakan bahwa makanan jenis inilah yang disebut roti, dan bukan berati bahwa roti hanya sepotong roti yang ditunjuk tersebut saja.” [Muqaddimah Tafsir oleh Ibnu Taimiyyah bersama syarahnya oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin 41].

Bila penjelasan tidak juga dapat diterima oleh saudara Utsman, maka saya juga siap untuk berpindah diskusi yaitu dengan cara men-tarjih/memilih salah satu dari kedua pendapat tersebut.

Bila kita pelajari sebab turunnya ayat ini, maka kita dapatkan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan ketaatan kepada seorang pemimpin, dan bukan kepada seorang ulama’ sebagaimana yang didakwakan oleh saudara Usman. Sebagai buktinya, adalah penjelasan sahabat Ibnu ‘Abbas rodiallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

عن ابن عباس رضي الله عنهما: (أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم) قال: نزلت في عبد الله بن حذافة بن قيس بن عدي إذ بعثه النبي صلى الله عليه و سلم في سرية.

“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma: Ayat (Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan juga ulil amri dari kalian) diturunkan tentang kisah Abdullah bin Huzafah bin Qais bin ‘Adi tatkala ia diutus oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam memimpin suatu pasukan.”

Kisah sahabat Abdullah bin Huzafah yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas diriwayatkan dengan lebih lengkap oleh Imam Bukhari dan Muslim pada bab lain:

عن علي رضي الله عنه قال: بعث النبي صلى الله عليه و سلم سرية فاستعمل عليها رجلا من الأنصار، وأمرهم أن يطيعوه، فغضب فقال: أليس أمركم النبي صلى الله عليه و سلم أن تطيعوني؟ قالوا: بلى، قال: فاجمعوا لي حطبا، فجمعوا، فقال: أوقدوا نارا، فأوقدوها، فقال: ادخلوها. فهموا، وجعل بعضهم يمسك بعضا، ويقولون: فررنا إلى النبي صلى الله عليه و سلم من النار، فما زالوا، حتى خمدت النار، فسكن غضبه، فبلغ النبي صلى الله عليه و سلم فقال: لو دخلوها ما خرجوا منها إلى يوم القيامة، إنما الطاعة في المعروف.

“Dari sahabat Ali rodiallahu’anhu ia mengisahkan: Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengutus suatu pasukan, dan beliau menunjuk sebagai pemimpinnya salah seorang dari Anshar, dan beliau berpesan kepada mereka agar mentaatinya, kemudian pemimpin pasukan tersebut pada suatu saat marah, dan berkata kepada mereka: ‘Bukankah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah memerintahkan kalian agar menta’atiku?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Ia kembali berkata: ‘(bila demikian) Kumpulkanlah untukku kayu bakar, maka mereka pun mengumpulkannya,’ kemudian ia berkata lagi: ‘Nyalakanlah api.’ Maka mereka pun menyalakannya. Kemudian ia berkata: ‘Masuklah kalian ke dalamnya (api).’ Maka merekapun hendak masuk ke dalamnya, sebagian dari mereka saling berpegangan dengan sebagian yang lain, sambil berkata: ‘Bukankah kita mengikuti Nabi shollallahu’alaihiwasallam karena melarikan diri dari api neraka?’ Mereka terus dirundung keraguan hingga akhirnya apinya padam dan kemarahan pemimpin tersebut mereda. Kemudian kisah itu sampai kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam, maka beliau bersabda: ‘Seandainya mereka jadi masuk ke dalamnya, niscaya mereka tidak akan pernah keluar darinya hingga hari qiyamat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebenaran)’.”

Imam Bukhary rahimahullah menyebutkan hadits ini beberapa bab dari kitabnya, dan salah satunya beliau beri judul:

باب: سرية عبد الله بن حذافة السهمي وعلقمة بن مجزز المدلجي، ويقال: إنها سرية الأنصاري.

“Bab: Pasukan Abdullah bin Huzafah As Sahmy dan ‘Alqamah bin Mujazziz Al Mudlijy, dan dikatakan: Pasukan inilah yang disebut dengan pasukan di bawah kepemimpinan salah seorang dari Anshar.”

Inilah sebab turunnya ayat tersebut, nah setelah mengetahui sebab turunnya ayat ini, masihkah ada keraguan bahwa ketaatan kepada “penguasa/pemimpin” tercakup oleh ayat 59 dari surat An Nisa’ di atas?

Bahkan dengan berdasarkan sebab turunnya ayat ini dan juga hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya, Imam Ibnu Jarir At Thabary merajihkan/mengatakan pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “Ulil Amri” ialah:

وأولي الأقوال في ذلك بالصواب قول من قال: هم الأمراء والولاة، لصحة الأخبار عن رسول الله بالأمر بطاعة الأئمة والولاة، فيما كان طاعة وللمسلمين مصلحة.

“Pendapat yang paling mendekati kebenaran ialah pendapat ulama’ yang mengatakan: Ulul Amri ialah para pemimpin dan penguasa, dikarenakan ada dalil-dalil yang shahih dari Rasuliullah shollallahu’alaihiwasallam yang memerintahkan kita untuk taat kepada para imam dan penguasa, dalam urusan ketaatan dan yang mendatangkan kemaslahatan umat islam.” [Tafsir Ibnu Jarir At Thobary 5/150].

Adapun ucapan saudara Usman:

“yang dimaksud Uliamri dalam ayat tersebut adalah pemimpin agama (Imam) yg hanya mengatur mengajak umat untuk beribadah kejalan Allah sesuai Quran dan Hadis dan dgn cara berjamaah(musyawarah,mupakat semata utk akhirat). Karena Islam bukan bentuk negara tapi Islam tumbuh berawal dalam bentuk jamaah yg politiknya mengajak ibadah berbuat kebaikan sesuai Quran dan Hadis dan mencegah pada kemaksiatan,……”

Ucapan saudara Usman ini benar-benar paham sekuler murni yang berusaha memisahkan islam dari dunia kehidupan nyata umat Islam. Saudara Usman, saya ingin bertanya:

1. Bukankah anda pernah membaca ayat atau hadits yang menjelaskan akan berbagai hukum-hukum duniawi atau hukum pidana, perdata, hukum warisan, hukum yang berkaitan dengan hubungan suami istri, jihad, pembagian harta rampasan dll?

2. Bukankah anda tahu atau minimal pernah mendengar bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menegakkan hukum pidana, misalnya hukuman cambuk bagi perjaka yang berzina, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi orang yang pernah menikah dan berzina dst? Bukankah ini adalah termasuk wewenang dan kekuasaan penguasa/khalifah/amir/pemerintah? Oleh karenanya Imam Madegol anda tidak berani dan tidak mampu menegakkan hukum islam ini kepada pengikutnya apalagi kepada selain mereka. Mungkinkah Imam Madegol benar-benar hidup di negeri bawah tanah, negeri antah berantah yang di sana tidak ada prostitusi, perjudian, khomer, panti pijat dll? Bukankah Imam Madegol anda hidup di negeri Indonesia yang di dalamnya terdapat semua hal tersebut?! Mengapa Imam Madegol tidak menerapkan hukum-hukum itu? Ini membuktikan bahwa Imam Madegol tidaklah memiliki kemampuan atau kekuasan untuk menerapkannya, dan bila tidak punya itu semua, apa gunanya anda membai’atnya?

3. Mungkinkah anda tidak tahu atau dibai’at untuk tidak tahu bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pernah mengutus sahabat ‘Attab bin Usaid rodiallahu’anhu sebagai gubernurnya/walinya atas kota Makkah?

4. Bukankah anda juga tahu bahwa Khulafa’ Rasyidin semuanya menegakkan hukum-hukum pidana dan juga menjalankan berbagai tugas seorang penguasa, misalnya mengatur urusan jihad, menarik upeti dari ahlu zimmah, menunjuk perwakilannya (amir-amir) atau gubernur yang mewakilinya memimpin wilayah-wilayah negri Islam yang jauh letaknya dari pusat kenegaraan/khilafah dst?

Bila anda mengetahui ini semua, maka mengapa anda berkata bahwa:

“Islam bukan bentuk negara tapi Islam tumbuh berawal dalam bentuk jamaah yg politiknya mengajak ibadah berbuat kebaikan sesuai Quran dan Hadis dan mencegah pada kemaksiatan,”

Menurut anda adakah paham sekuler yang lebih ekstrim dibanding ucapan anda ini? Paham seperti inilah yang diinginkan dan digemari oleh kaum imperalis sepanjang masa. Mereka meninabobokkan umat islam agar tidak berusaha dan berjuang menegakkan pemerintahan atau negara yang menerapkan syari’at Islam, menegakkan tauhid dan membumihanguskan segala bid’ah, sikap fanatik golongan, kemaksiatan dan imam-imam palsu atau gadungan.

Kemudian saudara Usman berusaha menutupi identitasnya sebagai salah satu anggota dan da’i LDII dengan berkata:

“kaum penjajah (feodal)menginginkan agar pemerintahan mereka dianggap uliamri(amirulmukmini), apabila ada keimaman tanpa pemerintahan dianggap sesat,inilah kesalahan pemikir Islam yg sdh teracuni paham Imperialis barat yg tidak ingin kalau umat Islam besar dan kuat dan bersatu,mereka suka menghasut,mempitnah,membakar emosi org Islam yg lemah agar untuk saling menghancurkan.”

Weleh-weleh saudara Usman! Inikah bagaikan tangisan buaya, siapakah yang selama ini mengkafirkan setiap orang muslim yang tidak berbai’at kepada Imam Madegol? Bukankah anda dan kelompok anda yang melakukan kejahatan ini?! Waduh, Saudara Usman ini kok pura-pura tidak tahu perjalanan dan berbagai perkembangan yang dilakukan oleh LDII. Bukankah dahulu LDII bergabung dan mendukung partai GOLKAR alias ORBA? Dan kemudian… kemudian… Bila demikian, siapakah sebenarnya yang menjadi pengikut paham Imperialis, yang berusaha menjadi legitimasi bagi setiap penguasa??!!

Adapun keumuman umat Islam, dan terutama Ahlus Sunnah, maka prinsip mereka dalam ketaatankepada penguasa ialah hadits sahabat Ali rodiallahu’anhu di atas dan dan yang semakna dengannya, yaitu ketaatan hanya berlaku pada hal yang ma’ruf dan yang mendatangkan kemaslahatan bagi umat islam secara umum. Dan sebagaimana yang dijelaskan pada hadits berikut:

عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي : السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة. رواه البخاري ومسلم

“Dari sahabat Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menaati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menaati.” (HR Bukhori dan Muslim)

Agar anda sedikit mengetahui dan memahami prinsip syari’at Islam dalam hal keta’atan kepada sesama manusia, baik kepada pemimpin, atau orang tua, atau guru ngaji atau lainnya, silahkan baca artikel yang pernah di muat di situs ini dengan judul: “Sepercik Dari Metode Dakwah Salafiyyah” dan “Anda Salah Paham Tentang manhaj Salaf”.

Saudara Usman kembali meneteskan air mata anda, meratapi persatuan umat Islam yang tercabik-cabik oleh perpecahan dan bid’ah, padahal anda tahu dengan yakin bahwa anda dan kelompok anda tidak beriman adanya umat Islam selain kelompok anda. Bukankah fenomena ini adalah petaka besar yang sedang anda dan Imam Madegol anda timpakan kepada umat Islam di dunia?!

Siapakah yang sebenarnya sedang menghancurkan umat Islam: LDII yang mengklaim bahwa selain kelompoknya adalah kafir, ataukah orang-orang yang berjuang mengajak umat islam kembali memurnikan agamanya dengan cara mengamalkan Al Qur’an dan hadits dengan sempurna tanpa dinodai oleh fanatis golongan, ambisi mengeruk upeti/iuran wajib, dan tanpa membai’at imam bawah tanah?

Kemudian saudara Usman berkata:

“Sementara umat Islam yang kaya hidupnya bagai borjuis, haji berkali-kali ingin masuk sorga sendiri,sementara banyak mesjid tapi tak ada yang mengurusi.”

Anda mengklaim selain kelompok anda ingin masuk surga sendiri?!!! Subhanallah… Bukankah kelompok anda yang telah mengklaim bahwa surga hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang sepaham dengan anda yaitu dengan membai’at Imam Madegol atau pewaris tahtanya yang berada di bithonah (pedalamam)??!!

Adapun masjid-masjid umat Islam, walaupun banyak yang kurang terurus, akan tetapi yang terurus pun juga tidak diakui oleh LDII, karena LDII berkeyakinan masjid-masjid tersebut dalam keadaan najis, karena pernah diduduki atau dibuat shalat oleh orang-orang non LDII, sehingga harus dibasuh dahulu, makanya tidak heran bila anda berkata: “tidak ada yang mengurusi.”

Saudara Usman berkata:

mana umat Islam yang katanya Rahmatan lilalamin? mana pengamalan sunnah?”

Ya, bagaimana bisa menjadi “rahmatan lilalamin” bila yang muslim hanya anggota LDII??!!

Ucapan saudara Usman ini juga menunjukkan bahwa saudara Usman tidak atau kurang paham atau mungkin salah bai’at. Hal dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Tidaklah Aku mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan sebagai kerahmatan untuk alam semesta.” (QS. Al Haj: 107)

Jadi ayatnya dengan tegas yang dinyatakan sebagai “rahmatan lil’alamin” ialah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, bukan umat islam. Dengan demikian jelaslah bahwa yang akan dapat mewarisi sifat ini adalah orang-orang yang menjalankan syari’at Rasulullah shollallahu’ alaihi wasallam dengan sempurna dan benar. Adapun ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran yang beliau amalkan, maka jelas tidak akan terwujud padanya kriteria ini. Apalagi paham yang senantiasa mengkafirkan selain kelompoknya, yang tidak berbai’at kepada Imam Madegol.

Wahai saudara Usman, “kerahmatan” yang telah dienyam dan hingga sekarang masih dirasakan oleh umat manusia dari diutusnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka tidaklah ada yang dapat mengingkarinya, selain orang yang telah buta mata hatinya, oleh karena itu saya tidak perlu menyebutkan berbagai buktinya.

Saudara Usman kemudian berkata:

“Sudah berapa ribu sarjana agama Islam,doktor,professor tapi tidak mampu menjadi solusi untuk mengangkat umat dari kelemahan dan kebodohan malah mereka membuat umat bingung dan menjauhi Quran dan Hadis,karena kalau seandainya mereka sarjana2Islam itu betul-betul memahami Islam mereka pasti telah membawa bangsa ini maju dan sejahtera sesuai dengan sunnah.”

Rupa-rupanya saudara Usman ini orangnya pelupa, pada awal ucapannya ia mengingkari bila Islam mengatur urusan ketatanegaraan dan kemasyarakatan, sebagaimana Islam juga mengatur urusan akhirat, sehingga saudara Utsman berkata:

“Islam bukan bentuk negara tapi Islam tumbuh berawal dalam bentuk jamaah yg politiknya mengajak ibadah berbuat kebaikan sesuai Quran dan Hadis dan mencegah pada kemaksiatan.”

Akan tetapi di akhir komentarnya ia meruntuhkan sendiri ucapannya dengan berkata:

“Seandainya mereka sarjana2Islam itu betul-betul memahami Islam mereka pasti telah membawa bangsa ini maju dan sejahtera sesuai dengan sunnah.”

Aduuuh saudara Usman! ya gimana bangsa ini akan maju dan sejahtera bila islam tidak mengurusi negara dan kemasyarakatan, islam hanya mengajak beribadah, berbuat kebaikan?! Bagaimana kok anda begitu menyesal ketika melihat banyak generasi umat islam yang tidak memperjuangkan agama Islam di dunia politik, perniagaan, sosial, perekonoimian dll, padahal menurut anda Islam bukanlah bentuk negara Islam??!! Inilah nasib setiap orang yang berbicara tanpa dikendalikan oleh dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits, sehingga ucapan yang hanya satu lembar saja sudah saling bertentangan. Sungguh benar firman Allah Ta’ala:

َفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيراً

“Maka apakah meeka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa’: 82)

Selanjutnya saudara Usman mengajak kita belajar sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia dengan berkata:

“Kalau kita mau belajar dr sejarah tegaknya islam di Indonesia tidak lepas dari tekanan penguasa dr jaman penjajah hingga jaman merdeka,kaum imperialis sangat tau sekali kalau islam bersatu maka akan menjadi sesuatu kekuatan yang besar yang akan mengalahkan kekuatan imperialis(kaum penjajah)tapi penjajahpun tau kalau Islam tidak mungkin dihilangkan dari permukaan bumi,salah satu cara adalah dgn memperlemah Islam dgn memecah belah Islam (khusus Islam indonesia )dari jaman kesultanan2 Islam,kesultanan Aceh,kesultanan banten,kesultanan Palembang semua dibumi hanguskan dengan diadu domba sesama islam.”

Waah rupa-rupanya saudara Usman juga tidak tahu sejarah Indonesia. Islam masuk ke Indonesia jauh-jauh hari sebelum datangnya kaum salib penjajah. Islam memasuki bumi Nusantara dengan perdamaian dan diterima oleh masyarakat Indonesia dengan mudah dan tanpa paksaan, sehingga yang sebelumnya Indonesia di kuasai dan menganut agama Hindu dan Budha, dalam waktu yang amat pendek berubah total menjai masyarakat muslim sampai-sampai agama hindu dan budha menjadi agama minoritas bagi masyarakat Indonesia. Bukankah demikian?!

Adapun Imperialis dengan berbagai bangsanya, maka mereka datang dengan membawa agama Nasrani dengan berbagai kesesatannya, hal ini tidak heran sebab sebenarnya penjajahan yang terjadi adalah kelanjutan dari perang salib yang mereka kobarkan terhadap umat Islam.

Oleh karena itu setiap orang yang mempelajari sejarah umat Islam di Indonesia dengan hati terbuka dan obyektifitas tinggi akan sadar bahwa kaum Imperialis senantiasa mendapatkan perlawanan dari umat islam. Karena itulah mereka berusaha mematahkan perlawanan tersebut dengan cara merusak ajaran dan pemahaman umat islam terhadap agamanya, diantaranya dengan cara menyusupkan kaum orientalis, menyebarkan paham sufisme, ahmadiyah, sekuler, dan setiap paham yang memisahkan agama dari urusan negara, dan mengabaikan syari’at ingkarul mungkar termasuk jihad fi sabilillah. Untuk sedikit mendapatkan bukti tentang hal ini, silahkan baca buku: Bila Kyai Dipertuhankan, oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha hal: 265.

Kemudian Saudara Usman berkata:

“Dengan berbagai taktik untuk melemahkan islam dalam era orde baru, masih membekas dihati kita siapa yg kehidupkan beragamanya agak toat lalu dicurigai sebagai opposisi dan extremis lebih aniaya lagi dipitnah GPK (gerakan pengacau keamanan), lalu dikantor diasingkan, keluarganya dijauh,. sementara ormas-ormas Islam tak berdaya dan diperalat tokoh-tokohnya disuap dengan kedudukan sebagai anggota legislatif.”

Walaupun saudara Usman berusaha untuk berbahasa dengan gaya bahasa selain kelompoknya, akan tetapi –alhamdulillah- kita tidak terkecoh. Lha bau dan aroma LDII tercium kuat, sehingga tidak ada gunanya anda mengesankan bahwa anda dan kelompok anda bersih dari noda-noda ORBA.

Sudara Usman berkata:

“kalau kita ingin merenung apakah demokrasi yg kita miliki ini adalah sesuai dengan demokrasi Islam ?”

Manakah dalilnya bahwa Islam mengajarkan demokrasi??!! Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, islam mengajarkan sistem syura (permusyawaratan). Jadi Ucapan saudara Usman ini menjadikan saya berkesimpulan bahwa saudara Usman hanya membeo dan tidak paham ilmu agama dengan benar.

Untuk sedikit membuktikan perbedaan antara sistem demokrasi dan sistem syura yang diajarkan oleh Islam, berikut saya sebutkan sebagian dari perbedaan antara keduanya:

Prinsip pertama: Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

عن ميمون بن مهران قال: كان أبو بكر إذا ورد عليه الخصم نظر في كتاب الله، فإن وجد فيه ما يقضي به بينهم قضى به، وإن لم يكن في الكتاب وعلم من رسول الله صلى الله عليه و سلم في ذلك الأمر سنةً قضى به. فإن أعياه خرج فسأل المسلمين، وقال: أتاني كذا وكذا، فهل علمتم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قضى في ذلك بقضاء؟ فربما اجتمع إليه النفر كلهم يذكر من رسول الله صلى الله عليه و سلم فيه قضاءا، فيقول أبو بكر الحمد لله الذي جعل فينا من يحفظ عن نبينا صلى الله عليه و سلم. فإن أعياه أن يجد فيه سنة من رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع رؤوس الناس وخيارهم فاستشارهم، فإذا اجتمع رأيهم على أمر قضى به. وكذلك فعل عمر الخطاب من بعده. رواه الدارمي والبيهقي وصحح الحافظ إسناده في الفتح.

“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan?’ Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, sehingga Abu bakar berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita shollallahu ‘alaihi wasallam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satu pun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.

Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang, bahkan sampai pun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.

Prinsip kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya.

Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.

عن أبي هريرة قال: لما توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم واستخلف أبو بكر بعده، وكفر من كفر من العرب، قال عمر بن الخطاب لأبي بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمن قال: لا إله إلا الله، فقد عصم منى ماله ونفسه إلا بحقه، وحسابه على الله) فقال أبو بكر: والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة، فإن الزكاة حق المال، والله لو منعوني عقالا كانوا يؤدونه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم لقاتلتهم على منعه. فقال عمر بن الخطاب: فوالله ما هو إلا أن رأيت الله عز وجل قد شرح صدر أبي بكر للقتال، فعرفت أنه الحق ) متفق عليه

“Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia mengisahkan: Setelah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar: Bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar rodiallahu’anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid rodiallahu’anhu yang sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam. Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang keputusan beliau:

والله لا أحل عقدة عقدها رسول الله صلى الله عليه و سلم، ولو أن الطير تخطفنا والسباع من حول المدينة، ولو أن الكلاب جرت بأرجل أمهات المؤمنين، لأجهزن جيش أسامة، وآمر الحرس يكونون حول المدينة.

“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam), aku tetap akan meneruskan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342].

Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:

وما اختلفتم من شيء فحكمه إلى الله

“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kepada Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.

Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.

Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing. Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek kemaksiatannya.

Kemudian saudara Usman berkata:

“ada sekelompok yg mudah menganggap sesat sebuah ormas islam,dan main hasut lewat buku-buku dan majalah-majalah atau yang terhasut main serang dan hancurkan,ini lah islam budak imperialis yang mereka merasa bahwa ulil amri mrk adalah pemerintah (yang tidak klop dengan QS. An Nisa 59 tsb).”

Wah, tak henti-hentinya saudara Usman meneteskan air mata buaya, lha wong kelompoknya yang senantiasa mengklaim kafir selain anggotanya, kok malah orang lain yang dituduh. Lha, kelompoknya yang mengekor dan bahkan menjadi unsur resmi dari partai pengusung ORBA, kok malah sekarang saudara Usman berusaha menuduh orang lain. La haula wala quwwata illa billah.

Pada akhirnya saya hanya bisa berkata: semoga Allah senantiasa menunjukkan kepada kita dan membukakan pintu jiwa kita untuk menerima kebenaran.

اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan limpahkan kepada kami (nikmat) mengikutinya (kebenaran tersebut) dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan, dan limpahkanlah kepada kami (nikmat) menjauhinya.

Sumber: muslim.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !