Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

17 April 2008

FILE 42 : Penyimpangan Hizbut Tahrir

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

HIZBUT TAHRIR,

NEO-MU'TAZILAH

Oleh:

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

..

Dihadapan saya ada dua pertanyaan. keduanya bertemu pada satu titik. Yaitu tentang Hizbut Tahrir.

Pertanyaaan Pertama :

Saya telah membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya mengagumi banyak pemikiran mereka. Kami menginginkan agar anda menerangkan atau memberi faidah kepada kami tentang sekelumit kelompok ini? Pertanyaan Kedua:

Berbicara sekitar persoalan diatas, tetapi penanya meminta kepada saya penjelasan yang luas tentang Hizbut Tahrir. Tujuan-tujuan serta pemikiran-pemikirannya. Apakah dia menyimpang dalam hal aqidah ? Sebagai jawaban dari dua pertanyaan ini , saya katakan:

Sesungguhnya kelompok atau perkumpulan Islam mana saja yang tidak tegak diatas kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wassalam serta diatas manhaj salafus shalih tentu ia dalam kesesatan yang nyata! tidak diragukan lagi, bahwa kelompok mana saja yang tidak tegak diatas tiga sumber ini akhirnya hanyalah kerugian belaka. Sekalipun sangat ikhlas ia dalam dakwahnya.

Pembahasan saya (Albani) sekarang ini, adalah tentang jama'ah-jama'ah islam yang seharusnya menjadi jama'ah yang ikhlas karena Allah saja, dan menjadi penasehat bagi umat. Sebagaimana telah datang penjelasannya dalam sebuah hadits shahih. Agama itu adalah nasehat kami bertanya: Bagi siapa wahai Rasulullah? beliau menjawab: Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya mereka [Riwayat Muslim dari hadits Tamim ad-Daari]

Yang demikian itu karena perkara ini adalah sebagimana yang difirmankan oleh Rabb kita dalm Al-Qur'an al-Karim:

"Artinya : Dan orang-orang yangb berjihad untuk (mencari keridhaan)Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami " [Al-Ankabut :69]

Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah diatas kitabullah dan sunnah rasulullah serta diatas manhaj salafus shalih, niscaya orang yang demikian termasuk orang-orang yang dikatakan dalam firman Allah :

"Artinya : Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu" [Muhammad :7]

Jadi manhaj shalafus shalih ini merupakan pokok agung yang seharusnya setiap jama'ah Islam berada diatasnya dalam menegakkan dakwah. Berdasarkan pengetahuan saya terhadap semua jama'ah serta kelompok yang ada sekarang ini dinegeri-negeri Islam, maka akan saya katakan bahwa sesungguhnya mereka semuanya kecuali jama'ah yang satu (saya tidak mengatakan: "Kecuali (kelompok/hizb yang satu) karena jama'ah ini tidaklah bertahazub (berbuat hizbiyah) tidak pula berkumpul dan berfanatik kecuali kepada pokok-pokok yang telah disebutkan tadi yaitu Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan Manhaj Salaf. Saya mengetahui dengan baik bahwasanya semua jama'ah selain jama'ah ini tidak menyeru kepada pokok yang ketiga, padahal (pokok itu) adalah asas yang kuat. Mereka hanya menyerukan (agar orang kembali) kepada al-Kitab dan Sunnah saja tanpa menyerukan keduanya (agar orang berpijak) kembali pada manhaj Saalafus Shalih. Dan sebenarnya akan menjadi terang bagi kita arti penting dari qaid (syarat pengikat) yang ketiga ini manakala kita perhatikan nash-nash syar'i yang berasal dari nabi, baik berupa kitab (al-Qur'an) maupun sunnah.

Dalam kenyataan, jama'ah-jama'ah Islam modern bahkan firqah-firqah Islam, dari sejak dimulainya penyimpangan diantara jama'ah-jama'ah Islam pertama yaitu sejak hari keluarnya Khawarij menentang Amirul mu'minin Ali bin Abi Thalib dan sejak mulainya Al-Ja'ad bin Dirham berdakwah dengan dakwah mu'tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah lain yang sudah dikenal nama-namanya semenjak dahulu namun yang sekarang diperbaharui nama-namanya dengan nama-nama yang baru. (kenyataan dari) semua firqah ini, baik firqah yang dahulu maupun yang sekarang, tidak terdapat satu firqah pun(diantaranya) yang mengatakan dan menyuarakan dia berada diatas manhaj salafus shalih.

Firqah-firqah ini dengan segala perbedaan/perselisihan yang ada diantara mereka, baik dalam masalah hukum maupun furu'(cabang), mereka semua sama-sama mengatakan : Kami berada diatas (pijakan) Al-Kitab dan as-Sunnah" akan tetapi mereka berbeda dengan kita katakan yang mana perkara tersebut justru merupakan kesempurnaan dakwah kita. yaitu perkataan dan diatas manhaj shalafus shalih.

Berdasarkan kenyataan ini, siapakah yang akan menghukumi (manakah yang paling benar) diantara firqah-firqah ini. Yaitu firqah-firqah yang secara pengakuan dan secara dakwah paling tidak berintima' (menisbatkan diri) kepada al-Kitab dan as-Sunnah? hukum apakah yang bisa digunakan untuk menentukan kata putus diantara mereka sedangkan mereka semuanya mengatakan diatas kalimat yang satu? jawabnya tidak ada jalan untuk menghukumi bahwa satu jama'ah diantara mereka itu berada diatas kebenaran (al-Haq) kecuali jika dia menisbatkan diri (intima') kepada manhaj Shalafus shalih.

Disini, seperti yang dikatakan dizaman sekarang menjadi tanda tanya yang terlontar pada diri sendiri. Yaitu dari manakah kita mendatangkan kalimat tambahan :dan diatas manhaj salafus shalih ?

Jawabnya, sesungguhnya kita mendatangkannya dari kitabullah, sunnah Rasulullah dan dari apa yang ditempuh oleh para imam salaf, baik dari kalangan sahabat, tabi'in maupun pengikutnya yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah seperti halnya yang mereka katakan sekarang. Yang paling pertama adalah firman Allah :

"Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah menguasainya itu lalu Kami masukkan ia kedalam jahannam. dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa :115]

Firman Allah (pada ayat diatas) : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, dihubungkan dengan firman Allah : Dan barangsiapa yang menentang Rasul, maka seandainya ayat ini berbunyi ; (Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, Kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah menguasainya itu lalu Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali) tanpa firman Allah (dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin) tentu ayat ini menunjukkan benarnya firqah-firqah yang dahulu maupun yang sekarang. Sebab mereka semua mengatakan: "Kami berjalan pada rel al-Kitab dan Sunnah"! sekalipun secara pengalaman mereka (sebenarnya) tidak berpegang teguh kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Karena mereka tidak mengembalikan masalah-masalah yang mereka selisihkan kepada Al-Kitab dan Sunnah. Sebagaimana yang Allah ta'ala firmankan:

"Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih utama akibatnya" [An-Nisaa:59]

Jika anda mengajak salah seorang dari kebanyakan ulama dan dai-dai mereka (supaya kembali) kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya ia akan berkata : "aku hanyalah mengikuti madzhabku" Dimana orang ini mengatakan :"Madzhabku Hanafi", sedangkan yang satu itu mengatakan "Madzhabku Syafi'i..." dan begitulah seterusnya. Mereka mendudukkan taqlid (sikap mengekor) mereka kepada imam-imamnya sama dengan kedudukan ittiba' terhadap kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. dengan demikian apakah mereka berarti telah merealisasikan ayat ini ? tidak, sama sekali tidak.Berdasarkan kenyataan ini, lalu apakah gunanya pengakuan mereka bahwasanya mereka berada diatasa al-kitab dan as-sunnah selama secara amaliyah (pengamalan) mereka tidak merealisasikannya ?

Ini adalah contoh yang tidak saya maksudkan untuk orang-orang taqlid (awam). Tetapi yang saya maksudkan adalah para dai islam yang seharusnya tidak menjadi orang-orang taqlid yang lebih mendahulukan pendapat para imam yang tidak maksum daripada firman Allah dan sabda Rasul-Nya yang maksum. Dengan demikian tidaklah Allah menyebut kalimat itu ditengah-tengah ayat secara sia-sia, tetapi kalimat itu disebut untuk menanamkan suatu asas dan membuat suatu kaidah. Yaitu bahwa kita tidak boleh menyerahkan pemahaman Al-Kitab dan As- Sunnah kepada akal kita yang serba ketinggalan zaman dan (serba) terbelakang dalam pemahaman.

Kaum muslimin hanyalah benar-benar dikatakan mengerti mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah secara mendasar dan sesuai dengan kaidah, bila disamping berpegang pada Al-Kitab dan as-Sunnah juga berpegang pada apa yang ditempuh oleh salafus shalih. Sebab ayat ini mengandung nash bahwa kita wajib untuk tidak menyelisihi dan tidak menetang rasul. Sebagaimana juga mengandung ketentuan agar kita tidak menyelisishi jalannya kaum mukminin. Artinya kita wajib mengikuti (ittiba' kepada) Rasul dan tidak menentangnya. Begitupula kita wajib mengikuti jalannya kaum mukminin dan tidak menyelisihinya. dari sinilah pertama-tama kami katakan, bahwa setiap kelompok atau setiap jama'ah islamiyah wajib melakukan pembetulan asas geraknya. yaitu dengan cara berpegang teguh kepada Al-Kitab dan Sunnah serta pemahaman Shalafus Shalih.

Tetapi sayang sekali ikatan syarat (yang terakhir) ini yakni (pemahaman salafus shalih) tidak diambil oleh hizbut tahrir, tidak pula oleh ikhwanul muslimin dan tidak pula oleh kelompok-kelompok Islam semisal mereka. Adapun kelompok-kelompok yang terang-terangan mengumumkan perang terhadap Islam seperti Partai Ba'ats dan Partai Komunis maka bukan disini sekarang pembicaraannya.

Jika demikian halnya, maka sepatutnya setiap muslim laki-laki dan perempuan mengetahui bahwa suatu garis jika sudah bengkok sejak dari pangkalnya maka garis bengkok itu akan semakin menjauh dari garis yang lurus. Setiap kali telapak kaki melangkah pasti langkahnya semakin bertambah menyimpang. Garis lurus itu adalah (garis) yang dikatakan oleh Allah Rabbul' Alamin dalam Al-Qur'anul Karim : " Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan ) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya" [Al-An'am :153]

Ayat mulia ini jelas dan qath'i dalalah (pasti penunjukannya)sebagimana yang menjadi kesukaan serta ciri khas Hizbut Tahrir diantara kelompok-kelompok yang ada dalam dakwahnya, risalah-risalahnya dan ceramah-ceramahnya. Dikatakan qathi' dalalah, karena ayat itu menyatakan bahwa jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah itu hanya satu. Sedangkan jalan-jalan lain adalah jalan-jalan yang akan menjauhkan kaum muslimin dari jalan Allah.

Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya"[Al-An'am : 153]

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam telah menambahkan penjelasan dan keterangan terhadap ayat ini . Karena memang demikianlah kedudukan sunnah beliau selamanya. Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur'an ketika Dia berbicara kepada Nabi-Nya :

"Artinya : Dan Kami turunkan Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka" [An-Nahl:44]

Sunnah Nabi shalallau alaihi wassalam merupakan penjelas yang sempurna bagi Al-Qur'an. Sedangkan Al-Qur'an adalah pokoknya. Ia merupakan perundang-undangan bagi islam.Untuk lebih mendekatkan kejelasan permasalahannya bagi akal, saya terangkan (berikut ini).

Al-Qur'an, bila diibaratkan dengan sistem perundang-undangan buatan manusia, ibarat undang-undang dasarnya. Sedangkan As-Sunnah, bila diibaratkan dengan aturan-aturan buatan manusia, ibarat aturan yang menjelaskan undang-undang dasar tersebut. Oleh karena itu termasuk sesuatu yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, bahwasanya tidak mungkin memahami Al-Qur'an tanpa penjelasan Rasulullah. Ini merupakan perkara yang telah disepakati. Tetapi sesuatu yang diperselisihkan oleh kaum muslimin dan (yang kemudian) pengaruhnya bermacam-macam setelah itu, ialah bahwa setiap firqah sesat zaman dahulu tidak melihat (mengangkat kepalanya pada) syarat pengikat yang ketiga yaitu ittiba' (mengikut) kepada Salafus Shalih. Oleh sebab itulah mereka menyelisihi ayat yang telah saya sebutkan berulang-ulang tersebut yakni. "Artinya : Dan mengikuti jalan selain kaum mukminin " [An-Nisaa:115]

Akhirnya merekapun menyelisihi jalan Allah. Karena jalan Allah itu hanya satu, yaitu seperti yang disebutkan dalam ayat terdahulu ( yakni) :

"Artinya : Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan, janganlah, kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan (lain) itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya" [Al-Anaam :153]

. Saya (Syaikh Albani) katakan, bahwa sesungguhnya Nabi telah menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini ketika salah seorang sahabat beliau yang terkenal ilmu fiqihnya, yaitu Abdullah Ibnu Mas'ud radiyallahu 'anhu meriwayatkan :

. "Artinya : Suatu hari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam membuat sebuah garis dengan tangannya untuk kita ditanah dengan garis lurus. Kemudian beliau membuat garis disekitarnya dengan garis-garis pendek. Lalu beliau menunjuk garis yang lurus seraya membaca (firman Allah): Dan Bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Beliau sambil menggerakkan jarinya keatas garis yang lurus bersabda : Ini adalah jalan Allah , kemudian beliau menunjuk kegaris-garis yang pendek disekitarnya, lalu beliau bersabda: “Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap ujung pangkal jalan-jalan itu ada setan yang menyeru manusia menuju jalan-jalan tersebut”. [Hadits ini melalui jalan periwayatan yang maknanya senada diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Hakim dan Nasa'i dengan sanad yang baik]

Hadits ini ditafsirkan oleh hadits lainnya lagi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahlu sunan (penyusun kitab-kitab sunan) seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan para imam hadits yang semisalnya melalui jalan periwayatan yang banyak dari sejumlah sahabat seperti Abu Hurairah, Mu'awiyah, Anas bin Malik, dan lainnya dengan sanad yang baik (jayyid) , bahwa Nabi bersabda :

"Artinya : (Kaum) Yahudi telah terpecah belah menjadi 71 kelompok (firqah). (kaum) Nasharani(kristen) telah berpecah belah menjadi 72 firqah. Dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 firqah , semuanya di neraka kecuali satu. Lalu (para sahabat) bertanya : Siapakah dia wahai Rasulullah ? beliau menjawab: Dia adalah apa yang aku dan sahabatku berada diatasnya"

Hadits ini menjelaskan kepada kita tentang jalannya kaum mukminin yang tersebut dalam ayat itu [An-Nisaa:115].

Siapakah gerangan orang-orang mukmin yang disebutkan dalam ayat tersebut? mereka adalah orang-orang yang telah disebutkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dalam hadits alfiraq (perpecahan) ketika beliau ditanya tentang kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah) tentang manhajnya, sifatnya dan pangkal geraknya. Maka beliau menjawab : "Apa yang aku dan sahabatku ada diatasnya"

Karena itu hal ini wajib mendapat perhatian! sebab jawaban Rasulullah tersebut jika bukan wahyu dari Allah, maka dia adalah tafsir dari Rasulullah terhadap "jalannya kaum muminin" yang disebutkan dalam firman Allah Azza wajalla tadi. Itulah yang dimaksud dengan ayat :

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin..."

Allah telah menyebut Rasul dalam ayat tersebut dan telah menyebut pula jalannya orang mukmin.Sementara itu Rasulullah shalallahu alaihi wassalam telah pula menyatakan tanda-tanda golongan yang selamat yang tidak termasuk dalam 72 golongan yang binasa. Yaitu bahwa (golongan yang selamat itu) adalah golongan yang berdiri diatas apa yang Rasul dan para sahabatnya ada diatasnya (yakni sejalan dengan pemahaman Rasul dan para sahabatnya).

Kita mengetahui benar, bahwa ketika Allah Azza wa Jalla berfirman kepada manusia, maka Dia hanyalah berbicara kepada orang-orang yang berakal, kepada para ulama dan kepada orang-orang yang berfikir. Akan tetapi kita (juga) mengetahui bahwa akal manusia berbeda-beda. Karena akal ada dua, akal muslim dan akal kafir. Akar kafir ini bukanlah akal. Karena akal menurut bahasa Arab adalah sesuatu yang mengikat dan mengendalikan pemiliknya dari kemungkinan terpeleset kekanan atau kekiri. Sementara itu tidak mungkin orang berakal tidak terpeleset kekanan atau kekiri, kecuali jika mengikuti Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam serta mengikatkannya dengan pemahaman salaf.

Oleh karena itu, Allah menceritakan pengakuan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik pada hari kiamat, bahwasanya mereka bukanlah orang-orang yang berakal. Allah 'azza wajalla berfirman :

"Artinya : Dan mereka berkata: sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal terhadap peringatan itu niscaya tidaklah kami menjadi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala " [Al-Mulk:10]

Berdasarkan ayat diatas mereka mengakui bahwa ketika mereka berada dalam kehidupan dunia bukanlah orang-orang yang berakal. Padahal diantara mereka terdapat orang-orang cerdik pandai yang dapat mengetahui perkara yang tampak dari kehidupan dunia. Sebagaimana telah Allah sebutkan dalam kitab-Nya: "Artinya : Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai" [Ar-Ruum : 7]

Jika demikian berarti disana ada dua akal ; yaitu akal hakiki (akal yang sebenarnya) dan akal majazi (tidak hakiki). Akal hakiki adalah akal muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sedangkan akal majazi (tidak hakiki) adalah akalnya orang-orang kafir yang menyatakan pengakuannya :

Artinya :”Sekiranya kami mendengar atau memikirkan/berakal (terhadap peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala " [Al Mulk:10]

Secara umum Allah juga telah berfirman tentang orang-orang kafir. "Artinya : Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah" [Al-A'raaf :179]

Orang-orang kafir memiliki hati, tetapi mereka tidak berakal (berfikir) dengannya. Yakni mereka tidak mempergunakan hatinya untuk memahami kebenaran!

Maka setelah kita mengetahui hakikatnya, saya tidak menyangka ada perselisihan padanya. karena hal itu jelas dalam Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam.akan tetapi dari hakikat ini saya ingin sampai pada hakikat lain yang merupakan pembahasan dalam bukti-bukti dan dalil-dalil ini.

Jika akal orang kafir bukanlah akal, maka akal muslim juga terbagi menjadi dua. Akal seorang muslim yang 'alim(berilmu) dan akal seorang muslim yang bodoh. Akal seorang muslim yang bodoh tidak mungkin sama pemahamannya dengan akal seorang muslilm yang berilmu ('alim) selamanya.Oleh karena itu Allah berfirman :

"Artinya : Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu" [Al-Ankaabut :43]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui" [An-Nahl:43]

Dengan demikian seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menetapkan akalnya sebagai sumber hukum. Tetapi dia (justru) harus menjadikan akalnya tunduk kepada firman Allah dan sabda Nabi-Nya Shalallahu 'alaihi wassalam.

Dari sini kita menemukan satu titik dalam dakwah Hizbut Tahrir. Bahwasanya mereka terpengaruh oleh Mu'tazilah dalam dasar pijaknya mengenai jalan (cara) keimanan (thariqul iman). Jalan keimanan (thariqul iman) ini adalah sebuah judul pembahasan mereka yang terdapat dalam kitab Nizham Al-Islam (aturan-aturan Islam) yang dikarang oleh pemimpin mereka yaitu : Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah.

Saya (Syaikh Nashiruddin Al-Bani) pernah berjumpa dengannya (Taqiyuddin An-Nabhani) beberapa kali. Saya mengenalnya dengan baik dan mengenal apa yang ditempuh oleh Hizbut Tahrir dengan sangat baik. Karena itu Insya Allah saya berbicara berdasarkan ilmu tentang segala hal yang dakwah mereka tegak diatasnya.

Inilah dia Point Pertama yang (harus) mereka tanggung, yaitu bahwa mereka menjadikan akal memiliki keistimewaan lebih dari yang semestinya. Disini akan saya ulas lagi, bahwa tidak berarti saya menafikan (meniadakan) kedudukan akal dalam islam. Tetapi saya hanya ingin menegaskan bahwa akal tidak memiliki hak untuk menjadi penentu bagi Al-Kitab dan As-Sunnah. Tetapi akal-lah yang wajib tunduk kepada (ketentuan) hukum Al-Kitab dan As-Sunnah serta berita-berita keduanya. Tidak lain kewajiban akal melainkan memahami segala hal yang dibawa al-Kitab dan as-Sunnah.

Dari sinilah kaum Mu'tazilah zaman dahulu menyimpang. Mereka mengingkari banyak sekali hakikat (kebenaran) yang besar karena mereka menjadikan akal berkuasa atas nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Lalu mereka mentahrif (merubah makna/lafal) nash-nash tersebut, mengganti dan menukar-nukar (makna)nya . Dengan bahasa ungkapan para Ulama Salaf, mereka menta'thil (menolak makna) nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah.

Ini adalah satu point yang saya ingin agar pembaca memperhatikannya. Yaitu bahwa semestinya akal seorang muslim itu tunduk kepada nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah serta kepada pemahaman keduanya. Maka yang menjadi pemutus perkara (hakim) adalah Allah dan Rasul-Nya. Bukan akal manusia yang menjadi hakim. Sebab berdasarkan apa yang telah kita sebutkan , bahwa akal manusia itu berbeda-beda. Ada akal muslim dan adapula akal kafir. Kemudian antara akal muslim yang berilmu dengan akal muslim yang bodoh juga berbeda. karenanyalah Allah Subhanahu wa Ta'aala berfirman,dan kiranya tidaklah mengapa kita mengulang-ulang dalil karena pembahasan ini sedikit sekali mengetuk telinga (pendengaran) banyak dari berjuta-juta kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan. Karena itulah saya terpaksa mengulang-ulang point-point dan dalil-dalil ini. Diantaranya adalah firman Allah 'Azza wa Jalla: "Artinya : Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu"[Al-Ankaabut : 43]

Disini kita berhenti sebentar (dan bertanya) siapakah orang-orang yang berilmu itu? adakah mereka para ulama kafir? sama sekali bukan ! kita tidak menghargai mereka, sebab mereka bukan orang-orang yang berakal. Karena pada hakikatnya mereka hanyalah orang-orang yang memiliki kecerdasan berhubung mereka telah menciptakan, membuat dan telah mencapai kemajuan materi yang sudah dikenal semua orang. Demikian juga akal (yang ada) pada kaum muslimin. Akal ini tidaklah sama, akal orang yang berilmu tidak sama dengan akal orang bodoh. Dan akan saya kemukakan lagi sesuatu yang lain, yaitu bahwa akal orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya tidak akan sama dengan orang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya. Oleh karena itu kaum Mu'tazilah telah menyimpang dalam banyak landasan/asas yang mereka tetapkan menyelisihi jalan syariat, baik Al-Kitab , As-Sunnah maupun manhaj Salafus Shalih. Inilah point pertama , yaitu penyandaran Hizbut Tahrir kepada akal lebih dari yang semestinya.

Point Kedua : Apa yang menurut saya merupakan cabang dari point pertama, yaitu bahwa mereka membagi nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah menjadi dua bagian. Dari segi periwayatannya dan dari segi dalalah (penunjukannya). Adapun dari segi periwayatannya, mereka berkata bahwa riwayat Qath'iyatu ats-tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi shalallahu'alaihi wassalam) dan ada kalanya Zhanniyatu ats-tsubut (masih belum jelas apakah benar sumbernya dari Nabi shalallahu alaihi wassalam) . Sedangkan dari segi dalalah (penunjukannya) juga demikian. Adakalnya Qath'iyau ad-Dalalah (pasti dan jelas penunjukannya) dan adakalanya Zhanniyatu ad-Dalalah (masih belum jelas penunjukannya).

Kita tidak akan memperdebatkan istilah-istilah ini karena hal ini sebagaimana dikatakan tidak perlu dipermasalahkan. Tetapi yang kami perdebatkan adalah bilamana mereka menggiring (maksud) istilah ini menuju hal-hal yang menyimpang yang menyelisihi pemahaman kaum muslimin generasi pertama.

Dari sinilah akan tampak nyata bagi semua orang tentang arti penting Sabilul Mu'minin (jalannya kaum mukminin), sebab sabilul mu'minin ini merupakan pengikat yang dapat mencegah terpelesetnya seorang 'alim yang muslim, apalagi yang bodoh, dari nash Al-Qur'an dan As-Sunnah bila dia merujuk kepada istilah yang semisal diatas yang tidak boleh jika membuahkan hasil-hasil berikut ini. Yaitu bahwa mereka telah menggiring peristilahan tersebut menuju hal berikut.

Kata mereka, bahwa apabila datang suatu nash dalam Al-Qur'an dan nash tersebut tidak diragukan lagi menurut istilah yang telah disebutkan terdahulu disebut Qath'iyatu ats-tsubut tetapi Zanniyatu ad-Dalalah, maka seorang muslim tidak wajib berpegang kepada makna yang terkandung didalamnya.Karena dia Zhanniyatu ad-Dalalah.

Dengan demikian (menurut mereka) tidak boleh bagi seorang muslim untuk membangun aqidahnya berdasarkan nash yang Qath'iyatu ats-Tsubut tetapi Zhanniyatu ad-Dalalah.

Begitu juga sebaliknya, jika datang suatu dalil yang Qath'iyatu ad-Dalalah tetapi tidak Qath'iyatu ats-Tsubut seperti keadaan pada umumnya hadits-hadits Nabi, maka mereka tidak mau mengambilnya sebagai sandaran aqidah.

Dari sinilah kemudian mereka datang dengan membawa aqidah baru yang tidak pernah dikenal oleh Slafus Shalih. Mereka membuat istilah-istilah khusus bagi mereka. Buku-buku mereka yang memuat permasalahan ini cukup dikenal. Yang saya maksudkan adalah buku-bukuk mereka terdahulu. Sebab (sekarang) mereka telah melakukan pelurusan-pelurusan didalamnya. Dalam hal ini saya termasuk orang yang paling tahu tentang adanya pelurusan-pelurusan ini. Akan tetapi dalam kenyataannya hanya pelurusan semu saja, kalaupun betul kita akui adanya pelurusan itu. Namun hal tersebut hanyalah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bingung, hingga dalam aqidahnya.

Sebab mereka (tetap saja) mengatakan bahwa aqidah tidak (bisa) tegak kecuali berdasarkan dalil yang qath'iyatu ats-tsubut dan qath'iyatu ad-dalalah. Yaitu bahwa hadits shahih secara riwayat dan qath'i (pasti) secara dalalah (penunjukannya), tidak bisa dijadikan sebagai sandaran aqidah. Karenanya, kita katakan kepada mereka sebagai debat dan bantahan kita terhadap mereka : "Aqidah (keyakinan) ini kamu ambil dari mana ? Mana dalil yang menunjuk-kan tidak bolehnya seorang muslim mendasarkan aqidahnya pada hadits shahih atau nash yang tidak mencapai derajat mutawatir dan tidak pula qath'iyatu ad-dalalah? Darimanakah anda mendatangkan kaidah tersebut ?"

Ternyata mereka rancu dalam menjawabnya. Pembahasan mengenai ini panjang sekali. mereka berdalil dengan semisal firman Allah subhanahu wata'aala :

"Artinya : Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka" [An-Najm :23]

Dan firman-Nya.

"Artinya : Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran"[An-Najm :28]

Namun pembahasan seperti ini akan ,mengeluarkan kita dari pembahsan yang semestinya mengenai apa yang kita ketahui tentang Hizbut Tahrir. Karena diskusi mengenai kaidah ini dan penjelasan tentang hal-hal yang ada padanya akan selalu mendapatkan bantahan-bantahan. Disamping diskusi itu hanya akan ditegakkan berdasarkan argumen yang hakikatnya seperti fatamorgana yang disangka air oleh orang yang kehausan.[1]

Oleh karena itu, kita cukupkan (pembahasannya) pada keterangan yang telah kita kemukakan (diatas) perihal kaidah mereka yang sesat. Yaitu yang berbunyi bahwa :

"Tidak boleh seorang muslim membangun aqidahnya berdasarkan hadits shahih yang tidak Qath'iyatu ats-Tsubut walaupun Qath'iyatu ad-Dalalah"

Darimanakah mereka dapatkan ini ? sama sekali tidak ada dalilnya bagi mereka, baik dari Al-Qur'an, as-Sunnah maupun dari pemahaman Salafus Shalih. Bahkan pemahaman Salaf menentang hal ini !.

Pemikiran ini sesungguhnya dibangun oleh sebagian kelompok khalaf (kelompok yang tidak berfaham salaf) dari kalangan Mu'tazilah terdahulu beserta pengikutnya dizaman sekarang. Paling tidak dalam hal aqidah. Mereka itu adalah hizbut Tahrir.

Saya katakan, bahwa setiap kita mengetahui sesungguhnya ketika Allah mengutus beliau shalallahu 'alaihi wassalam sebagai pemberi kabar gembira serta pembawa peringatan , berfirman padanya:

"Artinya : Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah memelihara kamu dari gangguan manusia " [Al-Maidah: 67]

Maka penyampaian beliau terhadap risalah-Nya kepada manusia, kadang-kadang beliau sampaikan sendiri dengan menghadiri pertemuan-pertemuan dan perkumpulan-perkumpulan mereka.Beliau berbicara secara langsung kepada mereka. Tetapi kadang-kadang beliau mengutus seorang utusan untuk mengajak orang-orang musyrik agar mengikuti dakwah Nabi. Dan kadang-kadang pula beliau hanya berkirim surat, sebagaimana telah diketahui berdasarkan sejarah, (misalnya-red). Kepada Hiraqlius raja Romawi, kepada Kisra raja Persia, kepada Muqauqis dan kepada pemimpin-pemimpin Arab, sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sejarah.

Dan termasuk yang pernah beliau lakukan, ialah mengutus Mu'adz bin Jabal, Abu Musa Al-Asy'ary dan Ali bin Abi Thalib ke Yaman. Beliau juga mengutus Dihyah al-Kalby ke Romawi. Mereka semuanya adalah individu-individu yang khabar (pemberitaan / periwayatan)-nya menurut kaidah hizbut Tahrir diatas, tidak berfungsi sebagai khabar (pemberitaan/periwayatan) yang qathi' (pasti) sebab mereka adalah individu-individu (sendiri-sendiri). Mu'adz bin Jabal (di Yaman-red) berada disatu tempat, Abu Musa disatu tempat yang lain, dan Ali ditempat yang lain lagi. Bisa jadi pula waktunya berbeda.

Disana ada sebuah hadits dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Beliau berdua mengeluarkan hadits shahih tersebut dengan sanad yang shahih :

"Artinya : Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam ketika mengutus Mu'adz ke Yaman beliau bersabda kepadanya : Jadikanlah yang pertama engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illallah (tidak ada yang berhak diibadati dengan benar kecuali Allah...." [Al-Hadits]

Siapakah orang Islam yang ragu bahwa syahadat ini merupakan asa/pokok pertama? artinya sebagai (asas) aqidah pertama yang diatasnya dibangun keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya? sesungguhnya Mu'adz telah pergi sendirian saja sebagai penyampai dan juru dakwah yang menyeru kaum musyrikin agar mereka beriman kepada agama Islam.

Anda lihat apakah hujjah sudah (cukup) tegak dengan Mu'adz manakala beliau mengajak kaum musyrikin untuk masuk islam dan memerintahkan mereka agar menegakkan shalat lima waktu dalam sehari semalam. yaitu shalat yang terdiri dari dua, empat, dan tiga raka'at sampai kepada rincian-rinciannya yang sudah kita ketahui bersama-alhamdulillah-? Beliau juga memerintahkan mereka untuk mengeluarkan dari harta zakat yang berhubungan dengan emas, perak, buah-buahan, sapi, onta dan lain-lainnya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah sudah (cukup) tegak hujjah islam bagi kaum musyrikin dengan hanya diutusnya Mu'adz bin Jabal sendirian ? (tentu) menurut madzhab Hizbut Tahrir- dengan amat menyesal- hujjah belum tegak. sebab Mu'adz hanya seorang diri hingga bisa dimungkinkan untuk berdusta seperti menurut perkataan mereka?! Apabila kita katakan bahwa kedustaan itu terlalu jauh dari Mu'adz, tetapi (menurut Hizbuta Tahrir-red) tidak akan kurang dari kemungkian untuk dikatakan bahwa boleh jadi beliau berbuat salah atau lupa.

Sesungguhnya mereka telah datang membawa sebuah filsafat, bahwa kita tidak boleh mengambil aqidah islamiyah dari hadits shahih. Kalau begitu orang-orang Yaman ketika diseu oleh Muadz untuk beraqidah , berarti hujjah belum tegak bagi mereka, karena beliau sendirian saja (dalam menyampaikan islam). Padahal diantara orang-orang Yaman itu ada yang penyembah berhala, ada yang Nasrani dan ada pula yang majusi. Menurut kaidah Hizbut Tahrir ini, hujjah dalam masalah aqidah belum tegak bagi mereka ?!

Adapun dalam masalah hukum fiqih Hizbut Tahrir berpandangan seperti pendapat umumnya kaum muslimin. (Yaitu bahwa) dengan hadits ahad (hadits yang tidak mutawatir-red). Bisa ditetapkan hukum-hukum syariat. Sedangkan masalah aqidah (menurut Hizbut Tahrir) tidak dapat ditetapkan dengan hadits ahad ?!

Inilah Mu'adz. Beliau menjalankan gambaran aqidah ahad dalam Islam secara menyeluruh, baik dalam hal ushul(pokok) maupun furu' (cabang) dalam masalah i'tiqad(aqidah) maupun hukum ( fiqh). Dengan demikian, dari mana mereka datang dengan membawa pemilahan-pemilahan tersebut?

Firman Allah Subahanhu wa Ta'ala.

"Artinya : Ini tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun mengenainya" [A-Najm:23]

Disini saya ingin mengakhiri pembahasan yang berhubungan dengan hadits ahad ini, dimana Hizbut Tahrir menolak puluhan hadits shahih berdasarkan kaidahnya yang lemah dan tidak memiliki kekuatan sama sekali. yaitu kaidah bahwa hadits -hadit ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah. Maka saya ingin akhiri pembahasan ini dengan poin-poin berikut ini.

_________

Foot Note.

[1]. Penulis (Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah) telah membantah kaidah ini dalam risalah beliau Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqidah wa al-Ahkam dan Wujub al-Akhdzu bi hadits al-ahad fi al-Aqidah.

.

DA'I HIZBUT TAHRIR DIPERMALUKAN MUSLIMIN JEPANG
.
. .

Ada salah seorang diantara mereka menyebutkan bahwa seorang da'i Hizbut tahrir pergi ke Jepang. ia menyampaikan serentetan ceramah kepada mereka. Diantara ceramah yang disampaikannya adalah tentang jalan iman. Diantara isi ceramahnya, bahwa masalah aqidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan hadits ahad. Ternyata disana , ditengah hadirin ada seorang pemuda yang berakal, cerdik dan pandai. Ia berkata kepada penceramah itu :

"Wahai ustadz.., anda datang sebagai da'i ke Jepang. Sebuah negeri syirik dan kufur. Sebagaimana anda katakan, bahwa anda datang dalam rangka berdakwah agar mereka (masyarakat Jepang) masuk islam. Anda mengatakan kepada mereka bahwa Islam menyatakan sesungguhnya aqidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan khabar ahad (pemberitaan satu orang). Anda juga berkata kepada kami bahwa termasuk perkara aqidah ialah agar jangan mengambil aqidah dari berita satu orang individu. Anda sekarang menyeru kami agar menerima Islam, padahal anda seorang diri. Maka berdasarkan filsafat anda ini, sebaiknya anda pulang saja kenegeri anda, lalu bawalah (kemari) puluhan orang Islam seperti anda yang semuanya mengutarakan pernyataan seperti pernyataan anda. dengan demikian khabar(berita) anda menjadi mutawatir!!

Demikianlah pemuda itu menjatuhkan penceramah tersebut. ini hanyalah satu diantara banyak contoh yang membuktikan akibat buruk bagi siapa saja yang menyelisihi manhaj Salafus Shalih.

Ada sebuah hadist dalam shahih Bukhari dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wassalam bersabda:

"Artinya : Jika seseorang diantara kamu duduk dalam tasyahud akhir, hendaklah ia berlindung dari empat perkara. (hendaknya) ia mengucapkan doa (artinya): ya, Allah sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam , dari siksa kubur, dari fitnah ketika hidup dan mati, dan dari fitnah al-masih ad-Dajjal. [Hadits senada juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i dengan sanad yang shahih]"

Hadits diatas termasuk jenis hadist ahad, tetapi ia adalah hadits yang termasuk aneh dan asing menurut filsafatnya Hizbut Tahrir. Sebab dari satu sisi mengandung hukum syar'i. Hukum syar'i menurut mereka (dapat) tertetapkan berdasarkan hadits ahad. Namun, disisi lain mengandung aqidah karena disana ada azab kubur dan ada fitnah Dajjal. Padahal mereka tidak mengimani siksa kubur dan tidak pula mengimani fitnah Dajjal akbar yang kisahnya telah diceritakan oleh Rasulullah dalam banyak hadits.

Diantaranya adalah sabda beliau:

"Artinya : Tidak ada satu fitnahpun sejak diciptaknnya Adam hingga hari kiamat yang lebih berbahaya dari fitnah Dajjal" [Riwayat Ahmad, Muslim, dan Al-Hakim]

Mereka Hizbut Tahrir tidak mengimani (bakal munculnya) Dajjal ini, karena menurut anggapan mereka hadits tersebut bukanlah hadits mutawatir. Maka sekarang kita katakan kepada mereka:

"Apa yang bisa kalian lakukan terhadap hadits Abu Hurairah (sebelumnya) yang disatu sisi mengandung hukum syar'i (yaitu disyariatkannya membaca doa tersebut diakhir shalat-red) Dengan demikian kalian harus mengucapkan doa pada akhir shalat :

"Aku berlindung diri kepada-Mu dari azab kubur"

Tetapi mungkinkah kalian meminta perlindungan diri dari azab kubur sedangkan kalian tidak mengimani adanya azab kubur ?

Dua hal yang saling berlawanan tidak mungkin dapat berkumpul. Namun, kemudian mereka datang kepada kita dengan kilah-kilah yang sesungguhnya dilarang Allah. Mereka mengatakan :"Bahwa kami membenarkan azab kubur tetapi kami tidak mengimaninya?!"

(Ini jelas) filsafat yang aneh sekali. Mengapa mereka jadi begini ? sesungguhnya mereka telah datang membawa filsafat pertama, kemudian mereka terperangkap secara sambung-menyambung kedalam banyak filasafat. akhirnya dengan filsafat-filsafat itu mereka keluar dari jalan lurus yang pernah ditempuh para sahabat Nabi shalallahu'alaihi wassalam. Sementara itu hadits tersebut sebagaimana telah dijelaskan adalah panjang penjelasannya.

Sesungguhnya diantara dakwah Hizbut Tahrir yang selalu mereka kumandangkan adalah bahwa mereka ingin menegakkan hukum Allah dimuka bumi. Saya hendak mengingatkan bahwa Hizbut Tahrir tidak sendirian dalam tujuan ini. Semua jama'ah dan kelompok-kelompok Islam pada akhirnya adalah bertujuan sama yaitu ingin menegakkan hukum Allah dimuka bumi.

Tetapi pertanyaannya adalah apakah kelompok-kelompok Islam ini-yang diantaranya adalah Hizbut Tahrir- berada pada jalan Allah yang lurus seperti yang pernah ditempuh Nabi dan para sahabatnya ? jawabnya ialah sebagaimana yang selalu kami isyaratkan dalam syair:

"Semua mengaku punya hubungan dengan Laila, Tetapi Laila tidak mengakuinya"

Tidak seorangpun dalam jama'ah ini yang mengikatkan pemahamannya terhadap Islam dengan pengikat yang kami sebutkan ini, yaitu Pemahaman salafus shalih. Karena itulah mereka jauh dari pertolongan Allah. Sebab Allah hanya akan menolong orang yang menolong agamaNya. Jalan pertolongan Allah adalah ittiba'(mengikuti) Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya dan jalannya orang-orang mukmin. Syarat inilah yang dilupakan oleh firqah-firqah terdahulu maupun oleh golongan-golongan (hizb-hizb) modern sekarang ini, termasuk didalamnya Hizbut Tahrir yang pemikiran-pemikirannya menyimpang dalam aqidah.

Karenanya kami ulangi lagi apa yang kami kemukakan pada permulaan tulisan ini. yaitu bahwa:Jama'ah manapun yang aqidah serta manhajnya tidak berpijak pada pemahaman salafus Shalih, maka jama'ah itu tidak akan dapat menegakkan islam. Baik itu Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, atau jama'ah lain manapun. Sebab mereka tidak menegakkan dakwahnya pada pokok-pokok (landasan-landasan) yang tiga yaitu: Kitab Allah, sunnah rasulullah yang shahih dan Manhaj Salafus Shalih....!!!

Kiranya cukuplah (pembahasan-red) sampai disini saja. dan ini adalah peringatan. mudah-mudahan bermanfaat bagi kaum mukminin.

wallahu'alam bishawwab walhamdulillahirabbil'aalamin

.

*****

.

.

TANYA JAWAB SEPUTAR HIZBUT TAHRIR

.

Oleh : Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly[1]

Alih Bahasa & Catatan Kaki : Abu Salma bin Burhan at-Tirnatiy

.

MUQODDIMAH

إنّ الحمد لّله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باللّه من شرور أنفسنا ومن سيّئات أعمالنا، من يهده اللّه فلا مضلّ له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أنّ لا إله إلاّ اللّه وحده لا شريك له وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله. يا أيّها الّذين آمنوا اتّقوا اللّه حقّ تقاته ولا تموتنّ إلاّ وأنتم مسلمون يا أيّها النّاس اتّقوا ربّكم الّذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيرا ونساء، واتّقوا اللّه الّذي تساءلون به والأرحام إنّ اللّه كان عليكم رقيبا يا أيها الّذين آمنوا اتقّوا اللّه وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع اللّه ورسوله فقد فاز فوزا عظيما أمّا بعد.. فإنّ أصدق الحديث كتاب اللّه، وأحسن الهدي هدي محمّد صلّى اللّه عليه وسلّم، وشرّ الأمور محدثاتها وكلّ محدثة بدعة، وكلّ بدعة ضلالة، وكلّ ضلالة في النّار...

.

.

Pasca keruntuhan kesultanan Utsmaniyyah di Turki tahun 1924, kaum muslimin semakin terpuruk dalam kehinaan dan keterbelakangan. Sesungguhnya Islam tengah melewati masa-masa yang penuh dengan bahaya yang mengancam dari segala penjuru. Jumlah kaum muslimin tidaklah berfaidah sedikitpun, karena mereka bagaikan buih yang diombang-ambingkan kesana kemari. Makar-makar jahat kaum kuffar mencengkeram erat kaum muslimin yang menancapkan kukunya dalam-dalam. Sungguh kaum muslimin dalam keadaan terhina kembali. Hak-hak, kehormatan dan tanah kaum muslimin teramputasi, pembantaian terjadi di mana-mana, dan yang senantiasa menjadi korban adalah kaum muslimin.

Dibalik keterpurukan dan kemerosotan ini, sebagian kaum muslimin bangkit bangun dari tidurnya yang melenakan, mereka menyingsingkan lengan bajunya dan menggemakan islam ke seantero penjuru dunia. Harokah-harokah dan jama’ah da’wah bermunculan, mereka berusaha membendung arus kerusakan dan menyelamatkan negeri dan ummat ini dari ambang kehancuran. Mereka dengan serta merta bergerak menyelamatkan bahtera yang hancur luluh lantak dihantam badai kejahilan dien. Tujuan yang mulia ini merupakan titik temu hampir seluruh harokah-harokah islamiyyah yang ada saat ini.

Namun sayang, sungguh sayang, manhaj mereka berbeda-beda dan cara mereka juga beraneka ragam. Sementara manhaj itulah yang menentukan cara dan mengarahkan gerakan, bukankah akar selalu diikuti oleh cabangnya? Jika ketetapan manhaj itu diiringi dengan pemikiran yang jelas dan pemahaman islam yang murni, maka gerakan tersebut menempuh jalan yang benar, jalan yang telah digariskan Allah, sabillullah wa shirothol mustaqiim, jalan yang diridhai-Nya, jalan yang akan dimenangkan oleh Allah, meskipun harus memakan waktu yang lama dan meskipun harus menempuh aral rintangan yang berliku-liku. Karena bayangan takkan mungkin akan lurus sementara bendanya sendiri bengkok. Demikian pula harokah da’wah saat ini, takkan mungkin dapat mencapai kejayaan jika manhajnya menyelisihi Kitabullah dan sunnah Rasulullah.

Para harokiyyun dan hizbiyyun saat ini terlena oleh jalan-jalan pintas dan jalan alternatif yang beraneka ragam, mereka tak sanggup menempuh jalan yang lurus ini, dikarenakan mereka tak sanggup merasakan payahnya perjalanan, mereka tak sanggup merasakan dinginnya malam dan teriknya siang hari, dimana debu-debu beterbangan menerpa wajah mereka hingga mereka terkubur di bawah puing-puing khayalan, akhirnya mereka hanya berjalan di tempat, atau mereka berbalik, adapula yang berbelok karena melihat fatamorgana… mereka akhirnya terjebak dalam putaran-putaran percobaan dan eksperimen jalan yang tak berujung pangkal, mereka terjerembab jatuh dalam kepayahan, namun setiap mereka jatuh mereka terus bangkit sembari berteriak, khilafah!!! Syariat islam!!! Jihad!!! Namun dikarenakan mereka tak mampu menapakkan kaki mereka di atas pasir membara di bawah panas yang menyengat, mereka berteduh dan berputar kembali mencari jalan yang singkat dan teduh… namun mereka tak mendapatkannya kecuali hanya berputar-putar dalam kesedihan, keprihatian dan kepiluan…

Keikhlasan mereka, semangat mereka, sungguh merupakan anugerah bagi islam. Namun tatkala pergerakan mereka hanya berangkat dari semangat dan angan-angan belaka, dan ketika mereka tak mau menempuh jalannya para salaf yang telah teruji, kegagalan dan kegagalan niscaya akan melanda, sehingga keputusasaan akan membelenggu sanubari mereka, dikarenakan khayalan mereka tak kunjung tiba, menggapai-gapai bintang di angkasa sana.

Di antara harokah-harokah yang senantiasa berputar-putar dalam manhajnya yang tersendiri, adalah Hizbut Tahrir. Mereka terkungkung dalam angan-angan penegakan syariat islam, angan-angan penegakan daulah khilafah… segala daya dan upaya dikonsentrasikan ke sana, dan mereka berbelok menempuh jalannya para mu’tazilah dan khowarij. Mereka melalaikan kewajiban terbesar dalam islam, dan mereka pula tak mengindahkan sunnah-sunnah nabi. Mereka merasa bangga dengan apa-apa yang mereka miliki, mereka merasa memiliki ciri khas yang tak dimiliki harokah lainnya, sedangkan mereka tak sadar bahwa pendahulu jalan mereka adalah kaum mu’tazilah dan firqoh menyimpang lainnya. Mereka terjebak dalam penggunaan akal yang melebihi semestinya, mereka menghancurkan pondasi yang dibangun kaum salaf yang shalih, mereka menolak khobar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ahad dalam perkara aqidah, dan meraka tak sadar bahwa mereka terjebak dalam makar mu’tazilah dalam mengingkari sunnah.

Hizbut Tahrir, merekapun meniti jalannya kaum khowarij dengan mengkafirkan seluruh bilad yang ada saat ini, menentang penguasa kaum muslimin bahkan mengkafirkan mereka. Mereka menempuh jalannya jahmiyah, asy’ariyah dan maturidiyah dalam masalah Tauhid asma’ wa shifat. Sungguh malang nasib para pemuda yang terjebak dalam semangat semu yang tidak diimbangi ilmu, mereka dieksploitasi dalam kerangka khayalan semata… bagaimana tidak? sedangkan syababnya sendiri tak faham hakikat syariat islam itu sendiri, bahkan mereka melalaikan syariat islam yang terbesar, yakni Tauhid. Mereka bagaikan apa yang telah disabdakan nabi :

Sesungguhnya menjelang kiamat nanti kejahilan akan menyebar dan ilmu akan terangkat” (HR Bukhori)

Sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat adalah dituntutnya ilmu dari kaum ashaghir.” (diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (61) dan al-Laalika’i dalam Syarh I’tiqod ahlus sunnah (102))

“Sesungguhnya manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menuntut ilmu dari sahabat Rasulullah dan dari para ulama’ mereka. Jika mereka menuntut ilmu dari para ashaghiraz-Zuhd (851) dan al-Laalika’I dalam Syarh I’tiqod ahlus sunnah (101)) maka saat itulah mereka binasa.” (diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak Mubarak ).

Ibnul Mubarak berkata : “ashghir adalah ahlul bid’ah”

Berkenaan dengan Hizbut Tahrir yang merupakan partai yang didirikan oleh Taqiyyudin an-Nabhany[2], kami memiliki sejumlah pandangan terhadap partai ini, sebagai berikut:

1. Bahwa mereka tidak menerima ‘khobarul ahad[3] dalam permasalahan aqidah[4], hal inilah yang menyebabkan mereka keluar dari Ahlus Sunnah pada perkara aqidah[5]. Karena menerima hadits adalah suatu prinsip penting, sedangkan mereka tidak menerima perkataan Rasulullah dalam perkara aqidah. Mereka tidak mengimani, sebagai contohnya, adanya siksa kubur, mereka tidak mengimani munculnya Dajjal, turunnya Isa al-Masih, dan banyak lagi yang tak mereka imani yang tersebut dalam hadits.[6] Hal ini tentunya adalah suatu hal yang bathil, karena hadits ahad yang shohih, yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, jujur, bersambung sanadnya mulai dari awal sampai akhir, tidak menyelisihi sesuatu yang lebih terpercaya (tsiqoh) dan tidak mengandung ‘illat (kelemahan yang tersembunyi), maka hadits yang memenuhi kelima syarat ini adalah (khobar) yang membuahkan ilmu (yakin), sedangkan mereka menyatakan hadits ini hanya membuahkan dhon (dugaan/asumsi) belaka. Bantahan terhadap mereka dalam masalah ini secara terperinci, bisa ditemukan pada bukuku yang berjudul, al-Adillah wa asy-Syawaahid fi wujuubi al-akhdzi bi khobar al-wahid fi al-ahkam wa al-aqo^id. Dalam buku ini aku menyebutkan bukti-bukti pendapat mereka dari kitab mereka yang berjudul ad-Dusiyah dan kubantah secara mendetail. Barang siapa yang menghendaki pembahasan mendalam tentang hal ini, silakan merujuk ke kitabku tersebut. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kaum muslimin.

2. Partai ini, menuduh Ahlus Sunnah sebagai Jabbariyah yang mereka paparkan secara terang-terangan dalam kitab mereka, ad-Dusiyah, pada pembahasan al-Qodho’ wal Qodar[7], sebagai berikut: “..Jika kita tilik Ahlus Sunnah, yang beranggapan bahwa merekalah yang memiliki pandangan yang keluar dari antara kotoran dan darah, maka merekalah jabariyyah.[8]

Inilah kejahilan mereka terhadap bagian penting dari aqidah, dimana Ahlus Sunnah senantiasa menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan dan mengingkari apa-apa yang telah Allah ingkari. (Sedangkan) mereka menetapkan bahwa seorang hamba memiliki kehendak yang bebas, kecuali hal-hal yang tidak mungkin melainkan karena kehendak Allah, Yang Maha Sempurna dan terbebas dari segala kekurangan, Yang Maha Tinggi. Ada suatu bukti yang kuat tentang tuduhan ini, kami telah menyebutkannya sebagian dalam bantahan kami terhadap mereka dalam buku ál-Jama’ah al-Islamiyyah.[9]

3. Partai ini juga memiliki beberapa pendapat yang ganjil. Sebagai contoh, mereka memperbolehkan fotografi telanjang dan mereka mengizinkan melihat foto tersebut[10], padahal hal ini mengandung bahaya yang besar terhadap perkara syari’ah. Mengenai hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita menggambarkan wanita lain kepada suaminya seolah-olah ia dapat melihatnya.” Sabda Nabi “seolah-olah ia dapat melihatnya.” adalah tidak langsung melihatnya, namun wanita tersebut tergambar dalam imajinasinya, jadi letak pengharamannya adalah pada munculnya imajinasi tersebut. Lantas, bagaimanakah dengan dengan gambar yang berada langsung secara fisik di depan orang yang memandangnya?! Yang mana gambar itu memperlihatkan hal yang menarik perhatian, mempertontonkan tubuh wanita, bahkan membuka auratnya… tidakkah ini lebih haram?

Kedua, walaupun foto atau gambar tersebut tidak bergerak dan tidak dapat merasakan, namun tetap merupakan gambar yang nyata, dan kebugilan adalah sesuatu yang diharamkan. Lantas, bagaimana bisa kita memperbolehkan memandang sesuatu yang haram?!

Selanjutnya, memandang gambar-gambar demikian ini akan membangkitkan naluri kebinatangan dan kecenderungan syaithaniyyah pada seseorang. Sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram. Bahkan perkara ini telah melampaui batas di antara mereka hingga kepada tingkatan bolehnya mencium wanita ajnabiyah[11], ini sesuatu yang sangat berbahaya!!!

4. Yang lebih berbahaya lagi, mereka telah mengarahkan seluruh perhatiannya untuk melawan hukkam (pemerintah)[12]. (Mereka sering berkoar-koar), “Pemerintahan ini adalah kaki tangan Amerika, pemerintahan ini adalah boneka Inggris”[13] seolah-olah tak ada satupun (pemerintahan) di dunia ini melainkan (kaki tangan) Amerika dan Inggris. Dan seolah-olah hanya Amerika dan Inggris yang mengatur (menguasai) permasalahan dunia. Hal ini menyebabkan ummat menyimpang dari pemahaman yang benar tentang dien mereka dan jauh dari manhaj Allah dalam merubah perkara ini. Mereka beranggapan, jika mereka merubah pemerintah, mereka akan memperoleh apa yang mereka inginkan[14]. Hal ini berlawanan dengan sunnah kauniyah yang ditetapkan Allah tentang (metode) perubahan yang terjadi diantara makhluk hidup.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu yang merubah keadaan mereka sendiri.” (ar-Ra'du 13:11)

Jika kita berangan-angan bahwa pemerintahan akan berubah, sementara masyarakatnya sendiri tidak beriman terhadap Dien mereka, yang akan terjadi adalah masyarakatnya sendiri yang akan melakukan revolusi (pemberontakan), sebagaimana yang telah terjadi. Sebagai contoh, akhir-akhir ini di Rusia, Negara ini didirikan dengan cara kekuatan tirani dan penindasan terhadap rakyatnya melalui pembunuhan, dan lain sebagainya. Kita akan mendapatkan bahwa masyarakatnya tidak akan mendukung pemerintahannya, bahkan melawannya. Memang, hukum Allah harus ditegakkan di atas permukaan bumi, amanah ini harus diemban dan dijaga oleh orang-orang mu’min. “Dialah Allah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’minin”. (al-Anfal 8:62). Kita tidak menunggu Timur maupun Barat menolong Dien ini, namun ummat ini sendiri yang harus menjadi pengembannya dan mempertahankan Dien ini.

Inilah gambaran singkat tentang Hizbut Tahrir, dan tentunya mereka berdebat tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, tanpa Kitab, dan tanpa cahaya. Kita telah sering duduk dengan mereka, diantara yang pernah kami utarakan kepada salah seorang dari mereka ketika mendikusikan khobarul ahad adalah, kita mengatakan “Telah jelas atasmu bahwa yang haq adalah wajib menerima khobarul ahad, jadi apakah kau akan menerimanya?”, dia menjawab, “Tidak, karena aku harus tetap berpegang dengan pandangan partai.” Mereka membuat peraturan, bahwa jika pandangan partai berlawanan dengan pandanganmu, kamu harus berpegang dengan pandangan partai, tidak dengan pandanganmu sendiri[15]. Maka kami katakan, lantas, apa hasil dari diskusi denganmu ini? Jika engkau tidak mau menyerahkan pandangan partai secara pasrah kepada hujjah yang nyata. Mereka menetapkan suatu peraturan, yakni seseorang harus mempertahankan pendapat Imam atau negerinya. Adapun jika menyangkut masalah dosa, dimana pemerintah, kholifah ataupun kelompok bisa berlaku benar bisa juga salah, maka jika suatu kesalahan yang dilakukan, bagaimana bisa ia tetap bertahan dengannya padahal ia mengetahui bahwa hal itu haram?!.

Bayangkan, sebagai contoh, bahwa ada suatu pemerintah yang bermadzhab Hanafiyyah yang berpendapat bahwa meminum sedikit alkohol atau dalam jumlah yang tidak sampai memabukkan adalah boleh, namun yang dilarang adalah jika berlebihan sehingga memabukkan. Apakah seseorang dalam hal ini harus berpegang dengan pendapat imamnya? Atau, contoh lain, Imamnya berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana menimpa Imam Ahmad, apakah lantas ia kemudian harus menerima pendapat imamnya?? Dan praktek beliau (Imam Ahmad) adalah berlawanan dengan hal ini.

Demikianlah ulasan singkat tentang Hizbut Tahrir, mereka tidaklah mengikuti islam (secara kaafah) namun hanya mengemban ide-ide islam saja, mereka memiliki pendapat-pendapat yang aneh (dan bathil)[16], sebagai contoh, mereka tidak memerintahkan isteri-isteri mereka untuk berpakaian secara islami[17], dikarenakan mereka berpandangan bahwa kaum pria tidak memiliki otoritas terhadap wanita sampai tegaknya khilafah. Tentu saja hal ini menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana seorang lelaki harus berupaya keras menyelamatkan keluarganya dari api neraka, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim 66:6)

PERTANYAAN 1:

Mereka mengatakan, “Aku menerima hadits (ahad) dalam Bukhary adalah shahih, namun aku tidak mengimaninya.” Apakah sebaiknya jawaban dan sikap kita terhadap orang seperti ini?

JAWABAN:

Teks perkataan mereka tersebut terdapat dalam kitab mereka ad-Dusiyah[18] mengenai hadits (ahad) tersebut. Sebagai contohnya adalah hadits berikut, ”Ketika kamu selesai dari tasyahud akhir, ucapkanlah : ‘Ya Allah aku berlindung kepadamu dari siksa kubur dan siksa api neraka dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati dan fitnah al-Masih ad-Dajjal.’” Mereka mengatakan, ‘Aku mengamalkan hadits ini sebagai ilmu, oleh karena itu kami mengucapkan do’a tersebut, namun kami tidak mengimani (berita/kandungannya)!? hal ini sungguh pertentangan yang gila! Bagaimana mungkin engkau membenarkan/menetapkan suatu pernyataan, namun engkau tidak meyakininya/mengimaninya? Hal ini sungguh tidak rasional/tidak masuk akal! Seolah-olah engkau mengatakan, ‘Aku mengucapkannya dengan lisanku namun tidak aku imani dengan hati’. Mereka tidak mengimani adanya siksa kubur, mereka tidak mengimaninya namun membenarkannya!!!

.

PERTANYAAN 2:

Ada hadits shahih tentang siksa kubur yang bukan ahad (Mutawatir).

JAWABAN:

Tentu saja mereka tidak mempercayai hadits yang mutawatir ma’nawiy. Mutawatir dalam ilmu hadits ada dua kategori, yaitu:

i) Mutawatir Lafdhiy (yang lafadhnya mutawatir), seperti hadits, “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di atas api neraka.” dan

ii) Mutawatir Ma’nawiy (yang lafadhnya berlainan namun maknanya sama) seperti hadits turunnya Isa al-masih ‘alaihi salam, banyak hadits yang memberitakannya dengan tidak satu lafadh, namun mereka bersepakat akan satu fakta tunggal, yaitu turunnya Isa al-masih. Juga hadits munculnya Dajjal, munculnya Imam Mahdi ‘alaihi salam, dan semua hadits tentang hal ini adalah ahad menurut mereka, bahkan walaupun jika mereka bersepakat tentang indera dan maknanya asalkan selama hadits ini tidak diriwayatkan dengan lafadh tunggal (ahad).

Jadi, mereka tidak mengenal mutawatir ma’nawiy[19]. Oleh karena itu semua sunnah menurut mereka adalah ahad kecuali sebahagian kecilnya saja. Namun, jika kita tanyakan kepada mereka, ‘Apakah yang mutawatir darinya?’, mereka tidak bisa menjawabnya. Maka, pernyataan ‘kita membenarkan namun kita tidak mengimani’ adalah benar-benar suatu pernyataan yang kontradiktif dan mustahil. Sebagaimana ucapan seorang penyair : “Yang terburuk dari kemustahilan adalah membawa dua perkara yang berlawanan sekaligus dalam satu waktu”. Juga sebagaimana perkataan, ‘sekarang malam dan siang’ yang diucapkan pada satu waktu, hal ini jelas-jelas tidak mungkin!! ‘Benda ini hidup dan mati’, ‘Kau benarkan dan tidak kau imani’, sedangkan I’tiqod adalah pembenaran secara pasti, sebagaimana ucapan mereka sendiri, “I’tiqod adalah pembenaran secara pasti sesuai dengan kenyataan di atas bukti dan dalil yang jelas”. Lantas, bagaimana mungkin engkau mengatakan bahwa engkau membenarkan kemudian kau katakan juga bahwa kau tak mengimaninya secara pasti. Jadi pernyataanmu ini bukan pembenaran, melainkan hanyalah keraguan dan kebimbangan.”

Mereka berupaya menggunakan sebagai hujjah mengenai hal ini, bahwa khobarul ahad hanya membuahkan dhon belaka, dengan menukil,

Mereka tidaklah mengikuti melainkan hanya persangkaan (dhonn) dan hawa nafsu dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” (an-Najm 53:23)

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan (dhonn), sedangkan sesungguhnya dhonn itu tidaklah berfaidah sedikitpun terhadap mereka” (an-Najm 53:28).

Padahal, dhon yang disebutkan pada ayat ini adalah dhon yang tidak benar atau tidak terbukti, bukanlah (dhon) sebagai suatu hal yang pasti. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan mereka bahwa khobarul ahad, adalah hujjah bagi hukum syari’at dan jika hal itu adalah dhan yang bersifat spekulatif tidak benar, maka mereka tidak akan beribadah kepada Allah dengannya, dikarenakan dhan tersebut hanyalah berupa khayalan dan keragu-raguan. Sedangkan dhan yang benar merupakan dhan pada tingkat yakin. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa keyakinan itu bertingkat-tingkat, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin (‘ilmul yaqin).” (at-Takatsur 102:3-5)

Tingkat pengetahuan yang dapat dicapai dari ayat ini adalah menjadi yakin.

Niscaya kamu benar-benar akan melihat Neraka Jahim, dan sesungguhnya kamu akan melihatnya dengan ‘ainul Yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia)” (at-Takatsur 102:6-8)

Jadi, antara ‘Ilmul Yaqin dengan ‘Ainul Yaqin merupakan sebuah tingkatan, dimana Allah menyebutkan pula di akhir Surat al-Haaqah[20], Haqqul Yaqin.

Dari ayat-ayat di atas, kita memiliki:

i) ‘Ilmul Yaqin

ii) Haqqul Yaqin dan

iii) ‘Ainul Yaqin.

Keseluruhan darinya adalah al-Yaqin. Jadi, apakah al-Yaqin ini sesuatu yang bersendirian? Tidak! Bahkan yakin ini adalah sesuatu yang bertingkat-tingkat, yakin memiliki tingkatan-tingkatan (yang berbeda)! Namun akarnya adalah satu, yaitu ilmu pengetahuan. Jadi, hadits nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang telah memenuhi 5 syarat shahihnya hadits, yaitu:

i) Silsilah/rantai periwayatan bersambung oleh perawi yang

ii) tsiqoh (terpercaya keadilannya)

iii) dhabit (cerdas atau hafalannya kuat)

iv) tidak syadz (bertentangan dengan yang lebih tsiqah) dan

v) tidak memiliki illat (penyakit/kelemahan yang tersembunyi)

syarat-syarat inilah yang melindungi hadits dari kesalahan dan kealpaan. Kita katakan, memang bisa jadi seorang perawi itu lupa atau salah, namun kita bisa menjadi yakin dalam perkara ini (yaitu setelah terpenuhinya kelima syarat tadi), bahwa perawi ini tidak lupa dikarenakan ia adalah seorang yang dlabit dan tsiqoh pada diennya lagi terpercaya[21], serta diriwayatkan darinya oleh orang-orang sepertinya yang terpercaya dan memiliki hafalan yang kuat lagi tidak melupakan sesuatu apapun, juga tidak bertentangan dengan hadits yang lainnya dan tak memiliki ‘illat. Maka kita bisa menjamin bahwa perawi tersebut tidak lupa, bukan dikarenakan kita menganggapnya sempurna (ma’shum), namun dikarenakan kita telah memeriksa dan mengeceknya[22]. Sehingga persyaratan ini menghasilkan ilmu (yakin) kepada kita. Walaupun seandainya kita berkata, hadits ini hanya membuahkan dhan, namun dhan yang manakah yang dimaksud? Dhon yang yakin lagi benar ataukah dhon yang salah. Tentulah mereka akan mengatakan dhon yang benar! Kemudian kita katakan, Khobar ini adalah sumber bagi aqidah sebagaimana dalam Firman Allah :

yaitu orang-orang yang meyakini (dhon) bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali pada-Nya.” (al-Baqoroh 2:46). Kata dhon di sini digunakan sebagai makna keyakinan/keimanan dari salah satu rukun iman, yaitu iman kepada hari akhir. Allah Ta’ala berfirman :

"Sesungguhnya aku yakin (dhon), bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.” (al-Haaqah 69:20).

(Penggunaan istilah dhon) pada ayat ini dinyatakan sebagai pujian terhadap mereka, orang-orang mu’min.

Demikian pula pada ayat, “Serta mereka telah mengetahui (dhonn), bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (at-Taubah 9:11) pada kisah orang-orang yang ditangguhkan (taubatnya). Di sini dhon juga bermakna keyakinan/I’tiqod, jadi ia bermakna iman.

Sebagai ringkasan, mereka mencampur aduk dan inkonsisten, anda dapat melihat salah seorang dari mereka, misalnya, mencukur habis jenggot mereka, berpakaian dengan pakaian kafir, tidak bertingkah laku dengan hukum-hukum islam pada keseharian hidupnya. Dia mendukung ide-ide islam. Islam menurutnya adalah sebuah cita-cita yang harus digembar-gemborkannya. Padahal yang diperlukan Islam adalah mengikuti Islam (secara kaafah), tidak hanya menggembar-gemborkan ide-ide islam semata. “Sungguh besar kebencian di sisi Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf 61:3)

PERTANYAAN 3:

Komentar mereka tentang Muhammad bin Abdul Wahhab[23] Rahimahullah, bahwa beliau tidak benar karena menggabungkan kerajaan sedangkan (sistem) kerajaan tidak diperbolehkan di dalam islam. Apa yang seharusnya dijawab?

JAWABAN :

Ini memang pendapat Hizbut Tahrir.

Pertama, Hizbut Tahrir mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dimana mereka menyebarkan suatu catatan yang disebut catatan Hanz, dikatakan (dalam catatan tersebut) bahwa ia (Hanz) adalah agen Inggris dan ia memiliki hubungan dengan Syaikh al-Imam (Muhammad bin Abdul Wahhab) Rahimahullah serta beliau (Syaikh) dikatakan sebagai produk Inggris dan (tuduhan) macam macam, dan mereka mengklaim bahwa beliau adalah produk Inggris dan inggris pulalah yang membantunya… dan lain-lain… Maka kita katakan pada mereka, tentang tuduhan bahwa beliau adalah agen Inggris, apakah ini adalah sesuatu yang tidak kasat mata (tampak), sesuatu yang terbuka dan memiliki saksi?… mereka menjawab, sesuatu yang tidak kasat mata. Kemudian kita katakan lagi, apakah ini suatu perkara ‘amaliyah?, mereka menjawab, perkara keimanan. kita katakan lagi, Lantas bagaimana bisa engkau menerima kesaksian seorang yang kafir terhadap seorang muslim? Sedangkan kau tidak menerima berita dari seorang muslim berkenaan tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka berprinsip bahwa khobarul ahad bukanlah dalil dalam perkara keimanan. lantas, bagaimana mungkin mereka bisa bergantung pada berita non muslim yang menuduh muslim?! Ini adalah suatu hal yang aneh!!!

Kedua, inilah yang sering mereka katakan, menuduh orang dengan pernyataan, ‘orang ini adalah agen Inggris’, ‘orang ini agen ini dan agen itu’… dalam hal ini, dimana ketika diberitakan tentang kaum muslimin oleh musuh-musuh mereka, tidak boleh mempercayainya, “Jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita, maka tabayyunlah (periksalah dengan teliti).” (al-Hujurat 49:6), lantas, dimanakah letak bukti dan tabayyun terhadap hal ini? Ternyata tidak ada bukti dan tabayyun!!!

Berikutnya, perjanjian antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dengan Alu Su’ud adalah perjanjian untuk melanggengkan perkara-perkara Islam. Telah diketahui bersama, bahwa Dien mengharuskan ada seseorang yang mengembannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta Anshor untuk mengemban dan menjaganya sebagaimana mereka melakukannya terhadap keluarga dan hartanya. Namun di sini (yaitu kasus Alu Su’ud), terjadi kesalahan pada saat mereka (yaitu Alu Su’ud) membuat persyaratan bahwa kepemimpinan adalah hak mereka, padahal hal ini tidak diperkenankan. Namun, biar bagaimanapun, perjanjian ini pada prinsipnya adalah benar walaupun tidak diperkenankan menjadikan diantara persetujuan tersebut bahwa kau akan mendapatkan kepemimpinan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menolak tawaran Bani Amir yang hendak menolong beliau melawan kaum kafir dengan persyaratan, kepemiminan akan menjadi milik mereka setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Kami katakan, perkara kepemimpinan ini bukanlah untuk mendapatkan harta rampasan (perang) dan bukan pula untuk meraih ambisi dunia, namun adalah dalam rangka untuk menolong Dienullah dan inilah yang terjadi pada permulaannya, mereka menegakkan Dienullah pada daerahnya dan memurnikannya dari kesyirikan-kesyirikan yang ada, kebaikan ini tidak berhenti hingga sampai sekarang, bahkan hingga hari ini. Bahkan hingga generasi terakhir yang meniti jalannya para salaf.

.

PERTANYAAN 4:

Apa pendapatmu berkenaan tentang pernyataan mereka bahwa (sistem) kerajaan adalah terlarang?

JAWABAN:

Aku katakan, hal ini (sistem kerajaan), tentu saja sesuatu yang salah. Dimana hukum dimiliki oleh seorang manusia sedangkan kerajaan berada di tangan Allah, Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Walaupun demikian, perserikatan (aliansi) secara prinsipil adalah dibolehkan, selama dalam rangka untuk menolong Dienullah dan tathbiqus Syari’at (peneparan syariat). Dan tentu saja mereka (HT) memperbolehkan hal ini, bahkan mereka memulai jika negara yang bersama mereka terbentuk dengan cara tholabun nushroh (mencari bantuan) dari sumber-sumber kekuatan baik kepada kepala suku, kepala negara, atau lainnya dalam rangka membawa kemashlahatan dan menyingkirkan kemudharatan[24].

.

PERTANYAAN 5:

Bagaimana dengan pendapat bahwa kantor kerajaan itu sendiri adalah suatu hal yang tak diperbolehkan. Apakah tidak mungkin membantah hal ini dengan fakta, sebagai contoh, Dawud…”

JAWABAN :

Tidak, hal itu adalah fakta, tidak diizinkan untuk mewarisi tahta kerajaan dalam Islam, namun seorang khalifah dipilih dari orang-orang yang cocok dengan posisi tersebut dan dia dibaiat sumpah setia. Sistem pewarisan tahta kerajaan adalah tidak boleh dan sistem kerajaan adalah tidak islami.

.

PERTANYAAN 6:

Jadi, kita katakan bahwa pewarisan tahta kerajaan adalah haram?

JAWABAN :

Iya![25]

.

PERTANYAAN 7 :

Telah diterangkan, aku kira pada Muqoddimah al-Aqidah al-Wasithiyah atau at-Thohawiyah, aku tak begitu yakin, bahwa Allah Ta’ala menawarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam apakah beliau akan menjadi Nabi, raja atau hamba dan utusan. Jadi, jika tidak benar untuk menjadi raja, maka…?

JAWABAN :

Perkara tersebut tidak mengandung sesuatu tentang hal ini (tawaran) sebagai pewarisan tahta kerajaan, sedangkan salah satu yang terjadi dalam pelaksanaan sistem kerajaan adalah adanya pewarisan dan kemudian berlangsung secara terus menerus (sistem pewarisan ini). Hal ini merupakan perkara esensial saat ini pada hampir seluruh kerajaan di dunia, bahwa seorang putra mewarisi tahta dari ayahnya.

.

PERTANYAAN 8 :

Kemudian bagaimana atau mengapa Allah Subhanahu wa Ta'ala menawarkan hal ini (tawaran sebagai raja) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam?

JAWABAN :

Allah Ta’ala menawarkan kepadanya bahwa ia akan menjadi raja, yaitu hanya kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam saja. Namun bukannya kerajaan yang nantinya akan diwariskan kepada keturunannya! Apakah kau faham? Pewarisan itu bukanlah bagian dari tawaran Allah, bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam sendiri berkata, “Aku memilih untuk menjadi hamba dan utusannya”, kemudian para khalifah yang menggantikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam setelah dipilih oleh pengganti yang bertanggung jawab dan adil (Ahlul Halli wal Aqdi) yaitu majelis syuro’, inilah yang dimaksud dengan khalifah kenabian.

.

PERTANYAAN 9 :

Beberapa anggota Hizbut Tahrir menuduh Syaikh Nashiruddin al-Albany tidak faham Bahasa Arab dengan baik dengan benar?[26]

JAWABAN :

Tidak syak lagi ini adalah fitnah yang bathil! Semenjak Syaikh Nashir –hafidhahullah- bergelut dengan ilmu hadits dan menghabiskan seluruh hidupnya dengan hadits, yang merupakan inti sari Bahasa Arab, dan semenjak kami hidup dengan beliau selama beberapa tahun, beliau memiliki lidah Arab walaupun beliau bukan orang Arab, bahkan beliau adalah orang Albania. Arab itu berhubungan dengan bahasa, bukan ras dan suku bangsa. Walhamdulillah, beliau adalah orang yang ahli tentang bahasa Arab, bahkan beliau lebih berkompeten dalam berbahasa arab ketimbang Hizbut Tahrir.

.

PERTANYAAN 10 :

Mereka mengatakan bahwa Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu bukanlah sahabat. Dan sebagai dalil dari anggapan mereka ini, bahwa untuk memperoleh gelar sahabat harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk bisa dikatakan sebagai sahabat. Dari manakah mereka memperoleh dalil ini? Kemudian mereka mencontohkan dari Said bin Musayyib, beliau berkata: “Kata sahabat adalah seseorang yang bersama Rasulullah sedikitnya satu atau dua tahun, dan turut berjihad bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam sekurang-kurangnya satu atau dua pertempuran”. Jadi, seseorang yang melaksanakan hal ini, maka dialah yang dikatakan sebagai sahabat.

JAWABAN :

Pertama, Mu’awiyah adalah seorang sahabat, walaupun kamu menggunakan persyaratan mereka ataupun tidak, beliau tetap adalah seorang sahabat! yang secara tekstual dikemukakan oleh para ulama’ yang telah menulis biografi beliau radhiallahu ‘anhu.

Pertama, beliau hidup dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam selama satu atau dua tahun, bahkan lebih dari dua tahun, semenjak beliau masuk islam saat Fathul Makkah yang ma’ruf diketahui terjadi pada tahun ke-8 Hijriah. Beliau juga salah seorang yang menulis wahyu Rasulullah. Jadi berdasarkan syarat-syarat mereka, beliau adalah seorang sahabat secara pasti.

Kedua, definisi sahabat yang tepat adalah, “seseorang yang melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam walaupun hanya sekali dan ia meninggal dalam keadaan muslim.” Definisi ini disepakati oleh para muhadditsin. Mu’awiyah –rahimahullah wa ghofarahullah-, walaupun beliau melakukan kesalahan dengan memerangi Ali dan menjadikan putranya sebagai para pewaris tahta. Na’am, beliau memang telah melakukan kesalahan, namun hal ini tidak mengeluarkan beliau dari sahabat nabi. Jika kau buka kitab, misalnya, ‘Asadul Ghabah’ karya Ibnul Atsir, atau ‘Al-Isti’ab’ karya Ibnu Abdil Barr atau al-Ishabah fi tamyizis shahaabah –buku-buku ini menceritakan tentang perihal sahabat-, apakah kita temukan Mu’awiyah di dalamnya atau tidak? Jawabannya adalah kita temukan beliau di dalamnya.

Beberapa orang dari mereka (penulis sirah) menjelaskan bahwa Mu’awiyah adalah salah seorang penulis wahyu yang ‘adil terpercaya dan beliau adalah pamannya kaum mukminin dari fihak ibu, karena saudarinya Ummu Habibah adalah Ummul Mu’minin, dan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Syaikhul Islam pernah ditanya, “Siapakah yang lebih baik, Umar bin Abdul Aziz dengan keadilannya ataukah Mu’awiyah?” Kemudian, beliau menjawab, “Bahkan sehari dari hari-harinya Mu’awiyah lebih baik daripada hari-harinya umar dan keluarganya, persahabatannya dengan Rasulullah telah mencukupinya, beliau adalah orang yang adil tanpa perlu penyelidikan, Allah ta’ala telah mepersaksikan kemurahan hati mereka, mereka adalah orang-orang yang adil. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan kebaikan pada mereka, sehingga mereka tak perlu saksi lagi terhadap keadilan mereka. Ini adalah cabang yang berangkat dengan sunnah.[27]

.

PERTANYAAN 11 :

Berkenaan tentang jenggot, mereka beranggapan, seorang muslim akan mendapatkan pahala dengan memelihara jenggotnya namun tidak berdosa jika ia tidak memeliharanya. Beberapa orang mengatakan, bahwa empat Imam Madzhab, seperti Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa memelihara jenggot adalah wajib hukumnya, sesungguhnya pendapat ini tidak benar, karena mereka tidak pernah berpendapat demikian. Di sisi lain, An-Nawawi, Ibnu Qudamah, Ibnul Hummam, Asy-Syaukanie, Qodhi Iyadl dan lain-lain tidak pernah menyatakan bahwa jenggot adalah wajib. Jadi, barang siapa yang beranggapan bahwa Imam Syafi’i, Ibnu Hanbal ataupun Malik mengatakan jenggot itu wajib, maka mereka salah!!! Dan mereka (Hizbut Tahrir) menantang untuk membuktikan dalilnya.

JAWABAN :

Yang benar dari pendapat empat Imam Madzhab pada kitab-kitab mereka, pada kitab klasik Hanafiyyah, kitab-kitab Syafi’iyyah, perkataan Imam Ahmad dan Malik, bahwa jenggot itu wajib hukumnya[28], barangsiapa yang mencukurnya adalah seorang fasiq yang nyata yang layak didera. Bahkan lebih luas lagi, perkataan Imam Malik terhadap orang yang mencukur kumisnya, (beliau berkata) “Hal ini adalah tindakan pelecehan (agama), aku berpendapat ia harus dihukum dengan dicambuk” Lantas bagaimana menurutmu dengan jenggot? Tentulah hal ini lebih buruk.

Kedua, nash syariat menunjukkan kewajiban jenggot. Hadits pertama, sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “Peliharalah jenggot, pendekkan kumis dan selisihilah kaum musyrikin.” Perintah (al-amru) di sini adalah wajib. Namun menurut mereka, perintah tidaklah menjadikan sesuatu itu wajib dan prinsip yang mereka adopsi ini adalah bathil!!! Menurut mereka, sebuah perintah itu hanyalah anjuran dan tidak berfaidah kepada kewajiban. Kita katakan kepada mereka, “Dimanakah perintah terjadi dalam bahasa Arab? Dari siapa dan untuk siapa? Bukankah biasanya perintah diberikan oleh seorang tuan kepada hambanya, dari seorang suami kepada istrinya, dari ayah kepada anaknya? Lantas, apakah permintaan dari seorang ayah, suami dan majikan ini hanyalah bermakna permintaan dan harapan belaka agar dipenuhi permintaannya, ataukah sesuatu yang harus dilaksanakan?” (Padahal yang benar) Perintah adalah sesuatu yang harus dilaksanakan !!!

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam: “Jika sekiranya tak memberatkan ummatku, niscaya kuperintahkan mereka untuk bersiwak.” Hal ini merupakan dalil bahwa perintah membuahkan kewajiban. Kalimat “niscaya kuperintahkan mereka untuk bersiwak”, jika beliau benar-benar memerintahkan mereka untuk bersiwak niscaya akan menjadi wajib! Namun beliau tidak memerintahkan mereka, hanya menganjurkannya. Jadi perintah akan bermakna wajib menurut sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, menurut bahasa Arab dan Kitabullah.

Contohnya, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, dirikan sholat”, ini sebuah perintah ataukah hanya anjuran yang terserah kamu mau sholat atau tidak? Perintah itu bermakna wajib dalam ilmu ushul. Jika kita gunakan pada hadits, kita dapatkan bahwa jenggot adalah suatu kewajiban. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada dua orang yang datang dari Kisra, kedua orang itu mencukur habis jenggotnya dan membiarkan kumisnya tumbuh lebat, “Siapakah yang memerintahkanmu hal ini?” sembari beliau memalingkan wajahnya dari mereka. Mereka menjawab, “Raja kami –yaitu Kisra- yang memerintahkannya”, lantas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Namun Tuhanku memerintahkanku memelihara jenggotku dan memendekkan kumisku.”

.

PERTANYAAN 12 :

Mereka menjelaskan bahwa hadits yang menyatakan demikian bukanlah sebuah perintah, namun hanyalah anjuran.

JAWABAN :

Hal ini merupakan penyelisihan terhadap hadits tersebut,dimana beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda “Tuhanku memerintahkanku memelihara jenggotku dan memendekkan kumisku”. Tentulah mereka akan mentakwil lafadh dari makna dhohirnya yang benar.

PERTANYAAN 13 :

Mereka berpendapat berkenaan masalah keimanan dan penggunaan akal di dalamnya, bahwa jika aqidah seseorang bersesuaian dengan pemahaman akalnya, maka dikatakan orang yang demikian ini memiliki aqidah, yakni maksudnya jika keseluruhan aqidahnya bersesuaian dengan akalnya. Sedangkan seorang muslim berdosa jika ia tidak mampu membenahi aqidahnya dengan akalnya.

JAWABAN :

Hal ini adalah sebagaimana yang mereka terangkan di dalam buku-buku mereka[29], dan kita juga telah mendengarkannya dari mereka. Mereka menjadikannya sebagai dasar untuk meraih aqidah melalui penggunaan akal. Adapun orang-orang yang mengambil keimanannya secara buta, maka keimannya tidak dianggap. Yang benar menurut mereka adalah meraih aqidah melalui akal itulah yang benar, sedangkan orang yang mengambil keimanannya secara buta, maka keimanannya belum diterima.

.

PERTANYAAN 14 :

Apa maksud Anda dengan mengambil keimanannya secara buta?

JAWABAN :

Yakni mengambil keimanannya dari orang tuanya, atau mengikuti umara’nya, atau seorang istri mengambil aqidah dari suaminya, atau ummat yang mengambilnya dari imamnya, inilah yang dimaksud mengambil secara buta. Mereka mengambilnya tanpa melalui (proses) berfikir dan merenung, namun beriman melalui orang lain, maka keimanan seseorang yang demikian ini diterima Allah Ta’ala yang dibuktikan dengan fakta bahwa Sa’ad bin Mu’adz radhiallahu ‘anhu, (beliau) adalah majikannya Ibnu Abdil Ashhal, dan beliau adalah orang Anshar dari suku ‘Aus, tatkala beliau telah beriman beliau kembali kepada kaumnya dan beliau berkata bahwa beliau tidak akan berbicara kepada mereka sampai mereka beriman kepada Allah. Mereka pun menjawab, “Kami beriman kepada Allah”, lantas apakah mereka ini berhenti, berfikir dan merenung ataukah mengambil keyakinannya secara buta? Apakah keyakinan mereka benar atau tidak? (jawabnya adalah) Keyakinan mereka adalah benar menurut Islam!!!

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits yang disebutkan ikhwan kemarin, “Allah takjub dengan suatu kaum yang diseret ke dalam surga dengan rantai-rantai[30], lantas, apakah orang yang dimasukkan surga dengan rantai-rantai tersebut orang yang beriman atau tidak? Sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak seorangpun akan masuk surga kecuali jika ia seorang mukmin”, jadi Nabi menilai mereka adalah orang-orang yang beriman dan mereka berada di surga. Mereka tidaklah beriman dengan artian melalui pemikiran dan perenungan, bahkan mereka beriman secara buta, mereka hidup di tengah-tengah kaum muslimin, menemukan Islam dan beriman dengannya. Maka pemikiran dengan akal bukanlah syarat benarnya keimanan, namun hal ini adalah baik untuk memperkuat keimanan seseorang.

.

PERTANYAAN 15 :

Jadi, apakah bedanya antara keimanan seseorang dengan perkataan seorang munafik di kubur, “Aku mendengarkan orang mengatakan demikian dan demikian, maka aku mengatakan yang sama.”

JAWABAN :

Orang munafik yang mendengarkan sesuatu dan mengatakannya, ia mengatakannya namun tidak mengimaninya, perkataannya itu tidak bersemayam di hatinya, bahkan ia dalam keragu-raguan dan kebimbangan. Sedangkan orang yang mendengarkan dan beriman dengannya, tidak memiliki keraguan dalam hatinya, dimana pendengaran juga merupakan jalan menuju keyakinan yang pasti.

.

PERTANYAAN 16 :

Apakah perbedaan antara keyakinan buta dengan memperoleh keyakinan melalui akal?

JAWABAN :

Sebagai contoh, ada beberapa orang menjadi beriman setelah memikirkan ciptaan Allah, keselarasan dan keteraturan yang sempurna padanya. Dari sinilah ia mengetahui akan adanya Sang Maha Pengatur, sehingga dengannya ia beriman kepada Allah, namun seharusnya mereka pun menyembah-Nya semata. Karena banyak orang barat yang beriman terhadap adanya Sang Pencipta sayangnya tidak menyembah-Nya. Mereka juga memerlukan seseorang yang bisa memandunya dalam peribadatan terhadap Tuhan, yakni seorang Nabi atau para da’i yang menyeru mereka ke dalam Islam. Jadi, dasar keyakinan mereka adalah pemikiran, dan pendorong keyakinan mereka ini adalah melalui pencapaian ilmu pengetahuan dan taklid buta serta sebaliknya, melalui syariat, bukan dengan pemikiran. Adapun orang yang lahir sebagai muslim, yang mendapatkan kedua orang tuanya Muslim, sedangkan ia tidak memperoleh keislamannya baik dengan merenung atau memikirkankan ciptaan Allah, dan ia mengucapkan, Asyhadu an Laa ilaaha illa Allah wa Asyhadu anna Muhammad Rasul Allah, maka orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Kristen ataupun Majusi. Orang ini tidak merenung dan berfikir. Lantas, apakah imannya orang ini benar atau tidak? Inilah perbedaannya.

.

PERTANYAAN 17 :

Sekarang ini mereka menyeru jihad bersama Syaikh Fadlullah pimpinan Hizbullah, Syiah Libanon, dan bendera Jihad harus dikibarkan melawan Amerika di Teluk. Apakah pendapatmu dengan kelompok Islam yang menyeru pengikutnya untuk menerima pendapat Syi’ah dalam beberapa perkara?

JAWABAN :

Partai ini tentu saja sangat aneh. Partai ini mau menerima Syi’ah di tengah-tengah barisannya[31]. Bahkan pimpinan mereka (HT) yang menyeru kepada jihad di Libanon adalah seorang Syi’i, seperti Sami’ Atifuzzain[32], mungkin kalian pernah mendengar karangannya. Dia adalah seorang yang pernah menulis, contohnya, “Islam dan warisan manusia” serta buku-buku lainnya. Dia adalah seorang syi’i, jadi tak heran kalau mereka menerima Syi’ah di tengah-tengah barisan mereka dikarenakan mereka adalah Mu’tazilah. Mereka lebih mendahulukan akal mereka –aku tidak mengatakan mereka tidak berakal- namun mereka adalah lebih mendahulukan akal ketimbang naql (Nash). Syi’ah serupa dengan mereka, dan inilah karakteristik dari ahlul ahwa’ (dan ahlul bid’ah).

Kedua, mereka tidak menganggap Syi’ah sangat bertentangan dengan Islam, dan inilah kejahilan mereka terhadap Islam. Syi’ah Rafidhah[33] melaknat sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan percaya bahwa mereka (para sahabat) merubah Al-Qur’an serta mereka mengada-adakan kedustaan terhadap Ummul Mu’minin. Mereka memiliki perilaku dan ucapan yang tidak pernah Allah tuntunkan. Khomeini[34] berkata dalam bukunya, Hukumaatul Islamiyyah hal. 52: “…Diantara pokok-pokok madzhab kami adalah imam tertinggi kita memiliki kemampuan melebihi semua makhluk dan semua atom penyusun makhluk tunduk kepada mereka. Mereka juga memiliki kedudukan yang tak dapat dicapai oleh malaikat terdekat dan para nabi sekalipun…”. Jadi, dasar keimanan madzhab mereka adalah para makhluk tunduk terhadap Imam mereka, tidak kepada Tuhan Sang Pencipta. Ini jelas merupakan kekufuran yang nyata!!! Mereka (HT) tidak mengetahui Islam yang benar dan apa yang menyelisihinya. Aku tak dapat menemukan contoh permisalan tentang mereka kecuali contoh yang diberikan Syaikh Nashir –Semoga Allah senantiasa menambah kebaikan baginya- tentang orang Kurdi yang bersama kita di Suria dan dia sangat bersemangat untuk menyebarkan Islam, (suatu hari) ia bertemu dengan seorang Yahudi dan berkata, “Masuklah Islam atau kubunuh kau!” lantas sang Yahudi menjadi takut dan berkata, “Aku akan masuk Islam, namun beritahukanlah kepadaku bagaimana caranya aku masuk Islam?”, lantas orang Kurdi itu menjawab, “Wallahi, aku tidak tahu!”.

Orang-orang ini (HT) berkata, kami ingin menegakkan khilafah, kami ingin menerapkan hukum-hukum Allah, kami ingin… dan kami ingin… tatkala kita tanyakan kepada mereka, “Apakah Islam itu?”, mereka menjawab, Islam model sufi, Islam model Syi’ah, Islam model Mu’tazilah,… campuran!!! Ini bukan Islam!!! Namun ini adalah salah satu bentuk rusak dari Islam.

.

PERTANYAAN 18 :

“Seandainya seseorang tidak sholat, manakah yang seharusnya engkau diskusikan dengannya, masalah khilafah ataukah keimanan?” mereka (HT) menjawab, “Iya, kau berbicara dengannya tentang khilafah, karena membicarakan tentang sistem khilafah juga berbicara masalah keimanan” (kepada) seorang ‘Muslim’ yang walaupun tidak pernah sholat, karena khilafah adalah masalah keimanan.

JAWABAN :

Aku berlindung kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk! Ya akhi, mereka adalah tholibul hukmu was siyasah bukan tholibud dien wal aqidah. (Lihatlah) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, apakah beliau mengajarkan (pertama kali) kepada sahabat-sahabatnya bahwa ‘kita akan menerapkan hukum Allah di muka bumi’ ataukah ‘kau harus beriman kepada Allah’. (tidakkah) beliau mengajarkan mereka untuk beriman kepada Allah dan mentaati perintah Allah, untuk senantiasa mendirikan sholat dan menunaikan zakat? Hal ini datang sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah. Maka, bagaimana mungkin kita bisa menyelisihi jalan Allah dan jalan Rasul-Nya tentang perubahan dan pembinaan terhadap ummat? Adapun orang yang tidak sholat dan juga tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, apakah hukumnya di dalam Islam? Dia kafir! Lantas bagaimana mungkin kita meminta orang kafir untuk menegakkan perintah Allah? “Jika kau menolong (agama) Allah, niscaya Ia akan menolongmu” (Muhammad 47 : 7)

Apakah Allah butuh tentara seperti ini? Tentu tidak! Yang Ia inginkan adalah kau harus menegakkan syariat-Nya mulai pada dirimu sendiri, inilah maksud menolong Dien Allah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam kepada Ibnu ‘Abbas, “jagalah Allah niscaya Dia menjagamu”. Allah pada hakikatnya tidak memerlukan seorangpun untuk melindungi-Nya. Menjaga Allah artinya adalah mematuhi dan menjaga perintah-perintah Allah. “Jagalah sholat-sholatmu dan sholat Wustho” (Al-Baqoroh 2:238). Yang dimaksud adalah menjaga perintah-perintah Allah. Jadi, sebelum Allah menolongmu dan menegakkan hukum-hukum Islam dan khilafah serta memberimu kekuasaan di muka bumi, maka kau harus beramal dengan amal sholih. “Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholih, Ia akan benar-benar memberikan kepadamu kekhilafahan di atas bumi” (an-Nur 24:55).

Yang pertama adalah mereka beriman dan beramal sholih maka Allah akan menempatkan mereka berkuasa di muka bumi. Lantas, bagaimana bisa kita meminta kepada orang yang tidak mendirikan sholat, tidak menunaikan zakat dan tidak berpuasa serta tidak berhaji, supaya mereka menerapkan hukum Islam? Bahkan mereka akan menjadi orang-orang yang pertama yang menentang hukum Islam.

.

PERTANYAAN 19 :

Mereka mengatakan, “Siapa saja yang tidak berusaha menegakkan kekhilafahan adalah berdosa, dan siapa saja yang tidak berjuang untuk menegakkannya semenjak kekhilafahan runtuh pada tahun 1924 adalah berdosa. Mereka semua wajib menegakkan khilafah!”

JAWABAN :

Orang-orang yang mengingkari kebutuhan untuk menegakkan khilafah adalah berdosa dan setiap orang yang tidak berupaya untuk menegakkan khilafah adalah berdosa. Namun seseorang yang berjuang mengembalikan khilafah melalui Tarbiyah dan penyebaran Ilmu Pengetahuan, maka ia telah berupaya menerapkan syariat Allah menurut manhaj-Nya bukan manhaj mereka (HT). Adalah tidak benar jika dikatakan setiap orang yang tidak berjuang dengan manhaj mereka (HT) adalah tidak menegakkan khilafah dan berdosa, ini adalah murni kejahilan, karena masih banyak kaum muslimin yang sedang belajar, mempersiapkan dan mengajarkan ummat dalam menerapkan syariat Allah pada praktek kehidupan sehari-hari, dan mereka menurut pandangannya adalah menerapkan syariat Allah. Jadi, adakah yang salah dengan yang mereka upayakan itu?

.

PERTANYAAN 20 :

Dimanakah posisi salafiyyun berkenaan tentang khilafah, karena banyak diantara mereka (salafiyyun) yang menjadi peng-counter dakwah dari dakwah-dakwah ikhwan (ikhhwanul Muslimin) dan Hizbut Tahrir dengan mengatakan, “Kami memberikan perhatian kami pada permasalahan peribadatan, Tarbiyah dan Tashfiyah”. Jadi, dimanakah posisi salafiyyun?

JAWABAN :

Posisi salafiyyun adalah jelas! Bahwa mereka senantiasa berupaya menegakkan kembali kehidupan Islam dan menerapkan hukum Allah di muka bumi dengan cara Tashfiyah wa Tarbiyah[35]. Kami senantiasa berupaya dan berharap kebaikan selalu, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “Fase Nubuwwah akan berlangsung di antara kalian selama waktu yang dikehendaki Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya jika Ia berkehendak, kemudian akan ada kekhilafahan berdasarkan manhaj nubuwwah, kemudian Allah akan mengangkatnya jika Ia berkehendak, kemudian akan ada kerajaan yang menggigit, kemudian akan muncul kerajaan yang menindas (tirani) dan kemudian akan muncul fase kekhilafahan yang berdasarkan manhaj Nubuwwah”. Kami menunggu kekhilafahan yang berdasarkan manhaj nubuwwah ini, dan kita akan senantiasa berupaya mengembalikannya. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “kekhilafahan yang berdasarkan manhaj Nubuwwah” (maksudnya) :

  1. bahwa orang-orang yang akan mengembalikan kekhilafahan yang terbimbing dan lurus ini adalah salafiyyun, karena merekalah yang mengemban manhaj Nabawi dan
  2. bahwa khilafah yang akan tegak tidaklah sebagaimana kekhilafahan yang memiliki cara seperti Abbasiyah, tidak pula Umayyah maupun Utsmaniyyah. Namun kekhilafahan ini berdasarkan manhaj kekhalifahan yang terbimbing lagi lurus.

Jadi, orang-orang yang akan mengembalikan kekhilafahan ini, pastilah mereka senantiasa berada di atas manhaj para khalifah yang lurus dan terbimbing (khalifatur rasyidin al-mahdiyin) dan berada pada manhajnya para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka sangat menghormati dan menghargai kemuliaan para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Namun jika kita lihat pernyataan-pernyataan Hizbut Tahrir, kita akan mendapatkan mereka membenci sahabat-sahabat Rasulullah dan yang paling dibenci adalah Mu’awiyah. Sebagaimana telah kita sebutkan tadi, “Kekhilafahan berdasarkan manhaj Nubuwwah”, siapakah yang berada di atas manhaj Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam? Para sahabat!!! Sedangkan engkau (HT) berbicara tentang kejelekan para sahabat.

.

PERTANYAAN 21 :

Apakah hadits tersebut tadi (yakni hadits fase-fase kekuasaan dalam Islam) hadits yang mutawatir ataukah….

JAWABAN :

Tidak, (namun) hadits tersebut ‘shahih’, mereka (HT) biasanya sering mempergunakan hadits ini (sebagai dalil) walaupun hadits ini adalah khobarul wahid, bukan mutawatir. Lantas bagaimana mereka bisa mempergunakannya? Karena hadits ini bersesuaian dengan apa yang ada pada pemikiran mereka. Hadits tentang kekhilafahan yang lurus ini adalah ahad dan mereka sering menggunakan hadits ini, aku telah berbicara dengan juru bicara mereka di Yordania, kami katakan kepada mereka, “Hadits ini adalah khobarul ahad”, ia menjawab,”Ya, namun hadits ini selaras dengan urusan kami.”

.

PERTANYAAN 22 :

Apakah jawaban kita mengenai tuduhan mereka terhadap Ulama’ kita, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Bazz (Rahimahullah) dan lainnya, dengan tuduhan mereka adalah corong pemerintah, dan mengapa mereka tidak memberikan fatwa tentang apa yang terjadi dengan pasukan sekutu, namun hanya berbicara seputar syirik dan bid’ah setiap waktu, jadi mereka (HT) melempar tuduhan keji terhadap para ulama tersebut[36].

JAWABAN :

Berkenaan tentang kejadian yang terjadi di Teluk, pandangan Syaikh Albani dan pandangan kami adalah, kami tidak memperbolehkan mencari bantuan kepada kaum musyrikin, dan posisi Syaikh Nashir –Semoga Allah menambah kebaikan pada beliau- adalah jelas dan tidak mengandung sikap ambigu!!! tidak keluar dari kecintaan pada satu sisi atau karena takut orang lain (pada sisi lain), namun benar-benar karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kedua, (kepada) para ulama’ tersebut, kita harus berprasangka baik terhadap mereka, dan Allahlah yang akan membuat perhitungan dengan mereka, mereka sangat lemah lembut di dalam menasehati pemerintah, yang dengan demikian ini diharapkan Allah akan memperbaiki pemerintahan tersebut[37]. Inilah pikiran kami terhadap mereka. Kita tidak setuju dengan fatwa mereka tentang perang teluk, mereka tidak benar dalam pandangan kami, namun mereka tetap memperoleh pahala dengan ijtihadnya, mereka berijithad dan keliru, dan kami tidak memiliki sesuatupun untuk menambah-nambahinya, inilah pendapat kami tentang masyayikh tersebut. Jika mereka keliru, mereka mendapatkan satu pahala dan jika mereka benar, mereka memperoleh dua pahala. Kami memiliki pandangan yang berbeda terhadap permasalahan di teluk, yaitu mengenai kehadiran Amerika dan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala pada tanah kaum muslimin. Kita tidak memperbolehkannya!!!


[1] Beliau adalah asy-Syaikh al-Muhaddits Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilaly as-Salafy al-Atsary, salah seorang murid terpercaya al-Imam al-Muhaddits al-Allamah Muhammad Nashiruddin bin Nuh an-Najaty al-Albany Rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 1377H/1957M di al-Khalil, Palestina. Beliau sekarang berdomisili di Amman, Yordania bersama murid-murid Imam Albany lainnya membentuk Markaz Imam Albany. Beliau termasuk ulama’ yang sangat produktif sekali menulis buku dan artikel ilmiah lainnya, diantara karyanya adalah :

- Mausu’at al-Manahy asy-Syar’iyyah fii shohih as-Sunnah an-Nabawiyah yang berjumlah 4 jilid, telah diterjemahkan dengan judul Ensiklopedi larangan oleh Pustaka Imam Syafi’i baru satu jilid.

- Bahjatun Nadhirin bi Syarh ar-Riyadhis Shalihin yang berjumlah 3 jilid dan telah diterjemahkan dengan judul Syarah Riyadhus Shalihin oleh Pustaka Imam Syafi’i.

- Limaadza ikhtartu al-Manhaj as-Salafy yang telah diterjemahkan dengan judul Memilih Manhaj Salaf oleh Pustaka Imam Bukhori.

- Al-Jama’at al-Islamiyyah fi dhou’il Kitaabi was Sunnah yang telah diterjemahkan sebagian (buku asli satu jilid diterjemahkan dalam 2 jilid, dan jilid ke-2 belum keluar) dengan judul Jama’ah-Jama’ah Islamiyyah oleh Pustaka Imam Bukhori.

- Ar-Riya’u yang telah diterjemahkan dengan judul Riya’ oleh Darul Falah.

- Mukaffirotu adz-Dzunub fii dhow’il Qur’an al-Karim wa Sunnatis Shahihah al-Muthoharoh yang telah diterjemahkan dengan judul 45 amal penghapus dosa oleh Pustaka Progressif.

- Shifatu shoumin Nabi (ditulis bersama Syaikh Ali Hasan, telah diterjemahkan oleh Pustaka Imam Syafi’i)

- Al-Ghurbah wal ghuroba’

- Al-Qobidhuuna’alal jamar

- Silsilah ahadits laa ahla alhu

- Al-Jannah fi Takhrijis Sunnah

- Nashhul Ummah fi fahmi ahaaditsi iftiroqil ummah

- Iqodhul Hummam (muntaqo Jami’il ‘Ulum wal Hikam)

- Al-La’aali al-Mantsuroh bi awshoofi ath-Thoifah al-Manshuroh

- Al-Adillah wasy Syawahid

- Qurrotul ‘Uyun fi tashhih tafsir Abdullah bin ‘Abbas

- Basho’ir dzawis syaraf bisyarhi marwiyati manhajis salaf

- Kifayatul HifdhohSyarh al-Muqoddimah al-Muqidhoh fi ‘Ilmi Mustholahil Hadits

- Al-Maqoolaat as-Salafiyyah fil Aqidah wad Da’wah wal Manhaj wal Waqi’

- Munadhorot as-Salaf

- Halawaatul Iman

- Mu’allifaat Said Hawwa dirosatan wa taqwiiman

- Al-Kawakib ad-Daril Mutalali

Dan masih banyak lagi tulisan beliau baik berupa buku maupun artikel-artikel ilmiah lainnya yang belum diterjemahkan hingga berjumlah ratusan. Beliau juga termasuk salah seorang pendiri Majalah al-Asholah dan menjabat sebagai kepala editornya. Beliau telah tiga kali datang ke Indonesia, tepatnya pada acara ad-Dauroh asy-Syar’iyyah fil masaail al-Aqdiyyah wal manhajiuyyah yang diadakan oleh Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya bekerjasama dengan Markaz Imam Albany Yordania. Terakhir kali beliau memberikan ceramahnya di Masjid Nuruz Zaman Kampus B UNAIR, 28 Juni 2003 silam.

[2] Beliau adalah Syaikh Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Ismail an-Nabhany Rahimahullah, seorang pemikir Islam yang aqidahnya terpengaruh oleh Asy’ariyyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah. Beliau adalah cucu dari seorang shufi ghulat (sufi ekstrim) yang terkenal, Yusuf bin Ismail an-Nabhany, penulis kitab Jami’ Karomaat al-Awliyaa’ dan Syawahidul Haqq fil istighotsah bi sayyidil kholqi yang penuh dengan keganjilan-keganjilan shufiyyah yang banyak diadopsi kesultanan Utsmaniyyah. Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi telah membantahnya dalam Ghoyatul amaaniy fi roddi ‘alan Nabhany. Beliau dilahirkan tahun 1905 di desa Ijzim, dekat kota Hifa. Beliau menghafal al-Qur’an dan belajar fiqh pada ayahnya, Syaikh Ibrahim an-Nabhany Rahimahullah. Beliau alumnus al-Azhar Mesir dan pernah menjabat sebagai Qodhi di Mahkamah Syari’ah, dan pada tahun 1950 beliau menjadi anggota Mahkamah Isti’naf asy-Syari’ah. Tanggal 10 Desember 1977 beliau wafat di Libanon dengan meninggalkan karangan yang cukup banyak dan karyanya menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, diantaranya :

- Nidhomul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)

- Nidhomul hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)

- Nidhomul Iqtishodi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)

- Nidhomul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam)

- At-Takattul Hizby (Pembentukan Partai)

- Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah 3 jilid (Kepribadian Islam)

- Nida’ul haar ila aalamil Islamy (Seruan kepada dunia Islam)

Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab di atas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat mu’tazilah. Sebagian besar kitab-kitab di atas telah diterjemahkan oleh penerbit Pustaka Thoriqul Izzah dan al-Izzah, penerbit yang menyebarkan faham Hizbut Tahrir.

[baca : al-Jama’at al-Islamiyyah hal. 287, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah hal. 10 dan Hizbut Tahrir hal 27-29), dan Mawsu’ah al-Muyassarah hal. 344]

[3] Dalam Taisir Mustholahul Hadits karya DR. Mahmud Thohhan, dikatakan : Hadits dari sisi sampainya kepada kita ada dua, yakni Mutawattir dan Ahad. Khobar Mutawattir adalah yang diriwayatkan sekelompok perawi yang banyak (tiap thobaqot tidak kurang dari 10 orang menurut pendapat yang terpilih) yang menurut adat tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Sedangkan khobar ahad adalah khobar yang tidak sampai derajat mutawattir.

[4] Hizbut Tahrir menyatakan di dalam kitab ad-Dusiyah hal. 3 : “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy dan boleh dengan dalil qoth’iy kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qoth’iy, tidak boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qoth’iy maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya dhonniy maka haram bagi tiap muslim mengimaninya…, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qoyh’iy…”

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa aqidah adalah “Pembenaran secara pasti sesuai dengan kenyataan menurut dalil”, maka menetapkan aqidah haruslah dengan dalil qoth’iy dan tidak boleh dengan dalil dhonniy. Mereka mensyaratkan dua sisi dalam menerima suatu berita keimanan atau aqoid, yakni :

- Ats-Tsubut (ketetapan asalnya) harus qoth’iy tidak boleh dhonniy. Menurut mereka khobar mutawattir adalah qoth’iy ats-tsubut sedangkan khobar ahad adalah dhonniy ats-tsubut, sehingga khobar ahad tak boleh dijadikan dasar dalam aqidah.

- Ad-Dilalah (penunjukan lafadh nash) harus qoth’iy tidak boleh dhonniy. Menurut mereka, nash-nash dalil walaupun dari al-Qur’an atau hadits mutawattir yang qoth’iy ats-tsubut belum tentu qoth’iy ad-dilalah, jika menimbulkan interpretasi yang berbeda dari lafadh yang sama, maka dikatakan lafadh tersebut dhonniy ad-dilalah dan tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara aqidah. Sehingga masalah sifat-sifat Allah menurut mereka adalah dhonniy ad-dilalah dan tidak bisa dijadikan perkara aqoid.

Mereka berargumentasi bahwa dhon itu adalah persangkaan belaka dan kebathilan, berangkat dari QS an-Najm : 23, 27 dan 28, Yunus : 36 dan 68, an-Nisa’ 157, al-An’am : 116 dan 148, Shod : 27, al-Jatsiyah : 32, Fushshilat : 22-23, Jin : 5 dan al-Baqoroh : 78. Namun pendapat mereka ini sangat lemah, dan al-Imam al-Albany telah membantahnya dalam artikel yang berjudul Hizbut Tahrir al-Mu’tazilah al-Judud yang dimuat dalam majalah as-Salafiyyah no 2 tahun 1417 hal. 17-23 dan telah diterjemahkan dalam majalah as-Sunnah edisi 3, tahun III 1428/1998 M. dengan judul Hizbut Tahrir Neo Mu’tazilah hal. 43-55. demikian pula dalam al-Hadits hujjah binafsiha, dan lain-lain. [baca : al-Jamaa’at al-Islamiyyah hal. 295, al-Istidlal bidh dhonni fil aqidah]

[5] Ada tiga pendapat tentang apakah khobar ahad bisa dijadikan rujukan ‘ilmu ataukah tidak, yaitu :

Pendapat pertama, menyatakan khobarul wahid bisa membuahkan faidah ilmu sepenuhnya tanpa ada pembatasan dan berlaku pada setiap riwayat yang dibawakan. Pendapat ini dinisbatkan kepada sebagian ulama’ bermadzhab Dhahiri. Pendapat ini lemah dan tertolak.

Pendapat kedua, menyatakan khobarul ahad tidak bisa membuahkan faidah ilmu sama sekali, walaupun disertai dengan qorinah ataupun tidak. Ini pendapat dari kalangan ahlul kalam (mu’tazilah) dan ushuliyyun. Pendapat inipun juga tertolak dan lemah.

Pendapat ketiga, menyatakan khobarul ahad bisa membuahkan ilmu jika disertai dengan qorinah-qorinah. Inilah pendapat sebagiam madzhab Dhohiri (lihat al-Ihkam fi ushulil ahkam I/14 karya Imam Ibnu Hazm adh-Dhahiri), para Muhadditsin dan Imam Madzhab, serta jumhur ahlus sunnah wal jama’ah.

Baca : Manhajul Istidlal ‘ala masaaill I’tiqod ‘inda ahlis sunnah wal Jama’ah, dan Asyratus sa’ah (Tanda-tanda hari kiamat, Yusuf bin Abdullah al-Wabil, Pustaka Mantiq, hal 38-45)

[6] Baca majalah al-Furqon edisi 8 tahun II hal 4-8 dan edisi 9 tahun II hal. 4-9 yang berjudul Mu’tazilah mengguncang aqidah. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa, hadits tentang siksa kubur, pertanyaan Munkar-Nakir, keluarnya Dajjal, turunnya Isa bin Maryam dan munculnya Imam Mahdi adalah hadits mutawattir ma’nawy.

[7] Mengenai perkara al-Qodho’ wal Qodar, Hizbut Tahrir memiliki pandangan tersendiri yang mereka klaim berbeda dengan pemahaman Ahlus Sunnah, Qodariyah maupun Jabariyyah. Taqiyuddin an-Nabhany berkata dalam Nidhomil Islam hal. 15, “Masalah Qodho’ dan Qodar sungguh telah memainkan peranan penting dalam madzhab-madzhab Islam. Ahlus Sunnah berpendapat yang ringkasnya mengatakan bahwa manusia itu memiliki kasb ikhtiary di dalam perbuatannya, yang mana mereka dihisab karena kasb ikhtiary tersebut. Sedangkan mu’tazilah berpandangan yang ringkasnya adalah manusia sendiri yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya karena ia sendiri yang menciptakannya. Adapun jabariyyah memiliki pendapat sendiri yang ringkasnya adalah Allahlah yang menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia dipaksa melakukan perbuatannya dan tidak mampu berikhtiar bagaikan bulu yang diterbangkan angin ke mana saja.” Beliau melanjutkan dalam paragraf berikutnya, “…Ternyata asas ini tidak berkaitan dengan perbuatan manusia dilihat dari apakah diciptakan oleh Allah atau oleh manusia itu sendiri, juga tidak berkaitan dengan Ilmu Allah dipandang dari sisi kenyataan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya, dimana ilmunya meliputi segala perbuatan hamba, dan tidak pula terkait dengan irodah Allah yang iradah-Nya berkaitan dengan perbuatan hamba sehingga perbuatan tersebut terjadi dengan adanya irodah Allah, juga tidak berhubungan dengan perbuatan hamba dalam lauhul mahfudz, sehingga mau tidak mau ia harus melakukan sesuai dengan apa yang tertulis… Memang benar!!! Semua perkara di atas bukanlah dasar dalam pembahasan al-Qodho’ wal Qodar.”

Bandingkanlah pembahasan Qodho’ wal Qodar metodenya HT dengan metode para ulama ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka, yang membahas masalah Qodho’ wal Qodar ini secara tafshil (terperinci) dan ilmiyah serta lebih rasional dibandingkan metodenya HT maupun kelompok lainnya. Ahlus sunnah berpendapat bahwa Allah memiliki dua macam irodah, yakni irodah kauniyah dan irodah syar’iyyah. Adapun kelompok Mu’tazilah dan Qodariyah, mereka menolak adanya irodah kauniyah, karena jika demikian,menurut pendapat mereka Allah itu dhalim. Mereka bertujuan tanzih (mensucikan) Allah namun mereka terjebak dalam filsafat rasionalis.

[8] Teksnya dalam ad-Dusiyah hal 21-22 sebagai berikut, “Mereka (Ahlus Sunnah) menganggap bahwa pandangan mereka adalah pandangan yang baru, bukan pandangan mu’tazilah dan bukan pula jabariyah. Mereka (Ahlus Sunnah) berkata tentang pandangan mereka (yakni al-Kasb) bahwa pandangan mereka tersebut bagaikan susu yang bersih yang keluar diantara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.”

Kalimat yang diitalickan di atas mengacu pada QS an-Nahl (16) : 66, yang merupakan kinayah. Maksudkan adalah mereka (HT) beranggapan bahwa ahlus sunnah mengklaim pendapatnya bagaikan susu murni, yakni pendapat yang benar, yang keluar diantara kotoran (kinayah bagi pendapatnya mu’tazilah) dan darah (kinayah bagi pendapatnya jabbariyah). Tuduhan mereka ini dimentahkan dan dibantah secara mendetail oleh Syaikh Salim dalam al-Jamaa’at al-Islamiyyah hal. 329-342.

[9] Al-Jamaa’at al-Islamiyyah fii dhou’il Kitaabi wa Sunnah, tentang Hizbut Tahrir, hal. 325-389.

[10] Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang gambar wanita bukan mahram, walaupun dengan syahwat sebagaimana dalam nusyrah (selebaran resmi Hizbut Tahrir) no 16/Syawwal/1388H atau 4/1/1969M. yang berisi. “Memikirkan dengan syahwat, berkhayal dengan syahwat ataupun memandangi foto wanita dengan syahwat tidak haram, demikian pula pergi menonton bioskop adalah tidak haram, dikarenakan yang ditonton hanyalah gambar (benda mati) yang bergerak.”. Demikian pula dalam nusyrah no 21/Jumadil awwal/1390 atau 24/7/1970M, dikatakan, “Sesungguhnya memandang gambar wanita baik dari cermin, di kartu, di surat kabar ataupun yang semisalnya tidaklah haram”.

Jika ada yang membantah hal ini dengan alasan bahwa nusyroh tersebut sudah lama, dan telah dianulir, maka kita jawab, dimanakah bantahan (anulir) dan revisi tersebut??? Jika memang benar pendapat HT ini direvisi kenapa tidak diterangkan ke ummat secara nyata bahwa HT (secara internasional) mengharamkan foto wanita???. Maka kita tidak heran melihat publikasi, majalah atau selebaran mereka penuh dengan gambar-gambar wanita, sebab menurut madzhab mereka hal ini tidak haram.

[11] Hizbut Tahrir berpendapat bahwa mencium wanita ajnabiyah (bukan mahram) adalah mubah tidak haram, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970M. Beberapa syabab yang pernah saya konfirmasi, termasuk mantan murabbi saya juga pernah menjelaskan bahwa isu tentang bolehnya mencium wanita ajnabiyah ini adalah suatu kesalahfahaman. Karena isu ini muncul ketika seorang musyrif Hizbut Tahrir di bandara terlihat mencium mutarobbiah (santri binaan wanita)-nya, yang menurut mereka mutarobbiah yang dicium tersebut adalah saudara perempuan kandung sang musyrif. Wallahu a’lam tentang benar atau tidaknya klarifikasi ini, namun yang pasti Hizbut Tahrir memperbolehkannya dalam nusyrahnya.

[12] Hal ini diantara yang membedakan antara ahlus sunnah dengan mereka dalam mensikapi ‘umara’ dan hukkam. Di dalam Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal. 36 dikatakan, “Hizb tidak berkompromi dengan para penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi dan perundang-undangan mereka walau dengan alasan kelancaran da’wah. Sebab syara’ mengharamkan mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur sehingga harus dimusnahkan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan dhalim…”

Dalam hal 37, “…Hizb juga menolak membantu mereka melakukan ishlah baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang moral…”

Dalam hal 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”

[13] Bukan hanya dengungan-dengungan ini saja yang mereka gembar-gemborkan terhadap hukkam atau penguasa kaum muslimin, mereka juga mengatakan bahwa seluruh negri Islam saat ini adalah Darul kufur wal Harb, sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal 5, “Adapun kondisi negeri-negeri yang hidup di dalamnya kaum muslimin saat ini di seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul islam.”

Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy berkata dalam kitabnya, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah li ahammi mabadi^il hizbi wa roddu ‘ilmiy mufashshsal hawla khobari wahid hal 47, “Aku bertanya dengan salah seorang diantara mereka (Hizbut Tahrir) : “Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan Madinah? Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wa Harb??”, Dia menjawab, “Termasuk darul Kufur dan Harb!”, aku berkata lagi, “Lantas apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur??? Lantas dimanakah Darul Iman jika Makkah dan Madinah termasuk darul Kufur!!” Diapun kebingungan… Ada Seorang juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir), “Apakah ada Darul Islam di dunia saat ini?” mereka menjawab, “Tidak ada!!!”, ia bertanya lagi, “Saya ingin berhijrah, kemanakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada darul Islam)???” Mereka kebingungan menjawabnya. [Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Hijrah akan senantiasa ada hingga hari kiamat”]

[14] Inilah manhaj Hizbut Tahrir yang sangat kentara sekali. Mereka lebih memprioritaskan penegakkan Daulah Islamiyyah dan kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid. Mereka telah menjadikan penegakkan daulah saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen serta mendesak. Mereka berpandangan bahwa segala kemerosotan, kehancuran dan kekacauan yang melanda ummat saat ini dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi ummat dari kaum kuffar, yakni daulah khilafah. Maka semenjak kesultanan Utsmani runtuh, pada tahun 1924 di Turki, maka ummat islam semuanya dalam keadaan berdosa dan ummat wajib ‘ain mengembalikannya. Mereka mengkonsentrasikan segala daya dan upaya untuk meraih kembali kekuasaan, namun mereka lupa…atau mereka sengaja melupakan… bahwa segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa ummat islam ini dikarenakan kelalaian dan kejahilan ummat ini sendiri terhadap diennya. Bagaimana mungkin Allah akan menghancurkan ummat ini dan mencabut kekuasaan mereka jika tidak karena ummat manusia ini sendiri yang melupakan dan melalaikan Allah. Dengan jelas Allah telah menjanjikan kepada ummat ini kekhilafahan dan memperteguh kekuasaan mereka, sebagaimana dalam QS an-Nur ayat 55, “Allah telah berjanji terhadap orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholih, Dia sungguh benar-benar akan meneguhkanmu dengan kekhalifahan di muka bumi sebagaimana Allah memberikan kekhalifahan kepada orang-orang sebelummu, Allah juga akan memperteguh agamamu yang Ia ridha sebagai agama kalian, dan Ia sungguh akan mengganti bagi kalian, rasa takut kalian dengan keamanan sentausa.” namun dengan syarat, “Ya’buduwnaniy laa yusyrikuuna biy syai^aa” yang artinya, “Mereka menyembah-Ku semata dan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.” (baca QS an-Nur (24) : 55). Inilah kuncinya, menegakkan Tauhid dan memerangi kesyirikan, atau dengan kata lain ’Tarbiyah’ (pembinaan) wa Tashifiyah (pemurnian). Inilah perbedaan manhaj Hizbut Tahrir yang juz’iy (parsial) dengan manhaj salaf yang kulliyat (integral). Bandingkan manhaj mereka dengan manhaj salaf dengan membaca at-Tashfiyah wa Tarbiyah karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby (telah diterjemahkan oleh Pustaka Imam Bukhori Solo), dan Manhajul Anbiya’ fid Da’wati ila Allah karya Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi (beliau adalah Imam Jarh wa Ta’dil, telah diterjemahkan oleh Maktabah Salafy Press) dan kitab-kitab lainnya.

[15] Dalam buku Mengenal Hizbut Tahrir, terbitan Pustakah Thoriqul Izzah, hal 21 dikatakan tentang keanggotaan Hizbut Tahrir, “Cara mengikat individu-individu di dalam hizb adalah dengan memeluk aqidah islam, matang dalam tsaqofah hizb dan mengambil serta menetapkan ide-ide dan pendapat hizb

[16] Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang ganjil amatlah banyak sekali dan bertebaran di dalam kitab-kitab mereka. Di sini saya sebutkan beberapa diantaranya :

- Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nidhomul Ijtima’iy fil islam (Sistem pergaulan dalam Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, hal. 67), “Seorang pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada penghalang di antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat dengan nusyrah su’al jawab mereka no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970, no 8/Muharam/1390 atau 16/3/1970 dan nusyroh al-ajwibah wal as^ilah tanggal 26/4/1970.

- Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena menurut mereka wajah tidak termasuk aurot. Taqiyuddin berkata dalam Sistem pergaulan dalam Islam hal 61, “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.’ (an-Nur (24) : 30), maksudnya tentu adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah.”

- Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik) sebagaimana dalam Nusyrah jawab wa su’al no 9 (20/Safar/1390 atau 26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurot dan nyanyian mubah hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun hadits-hadits yang warid mengenai larangan musik adalah tidak shohih haditsnya. Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang memperbolehkan musik adalah shohih”.

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut Tahrir lainnya. Sungguh suatu musibah besar bagi syabab islam yang tersamarkan dengan keganjilan-keganjilan fiqhiyyah seperti ini…

[17] Contohnya adalah Hizbut Tahrir memperbolehkan wanita berpakaian dengan celana, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al (2/Muharam/1392 atau 27/2/1972M). Akhowat Hizbut Tahrir juga terkenal dengan pakaiannya yang bercorak dan bermotif serta berwarna-warni menarik perhatian, hal ini jelas menyelisihi hikmah disyariatkannya jilbab muslimah.

[18] Ad-Dusiyah hal 6, teks lengkapnya adalah sebagai berikut ; “Dari Abi Hurairah Radhiallahu 'anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam: “Jika kamu selesai dari tasyahud akhir, memohonlah engkau perlindungan kepada Allah dari 4 hal, dari adzab jahannam… dst” dan hadits dari Aisyah Radhiallahu 'anha, berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berdo’a dalam sholatnya, “Ya Allah aku memohonh kepada-Mu perkindungan dari adzab kubur…dst”. Dua hadits ini adalah khobar ahad, keduanya berisi anjuran mengamalkan do’a ini setelah selesai tasyahud, sehingga termasuk sunnah berdo’a dengan do’a ini setelah selesai tasyahud. Adapun berita yang terkandung di dalamnya boleh dibenarkan namun haram diyakini secara pasti kebenarannya!!! Yaitu beri’tiqod dengan berita dalam hadits ahad atau dengan dalil dhonniy. Namun jika khobar tersebut mutawattir, wajib beri’tiqod dengannya.”

Syaikh Salim al-Hilaly mengomentari pernyataan ini dalam al-Jamaa’at hal. 317, sebagai berikut : “Ucapan tersebut adalah pertentangan yang membingungkan! Karena mereka memisahkan antara iman dengan I’tiqod, dan mereka menduga bahwa I’tiqod merupakan tingkatan keimanan setelah iman, dan mereka tidaklah mengetahui bahwa I’tiqod adalah asas iman. Jika kalian bukan termasuk orang-orang yang beri’tiqod (Mu’taqidin) maka pastilah kalian bukanlah termasuk orang-orang yang beriman (mu’minin), karena iman tidaklah akan berfaidah tanpa I’tiqod.”

[19] Sebagaimana ucapan Fathi Muhammad Salim dalam al-Istidlal bidh dhonni fil aqiidah (Terj: Hadits Ahad Dalam Aqidah, Pustaka Thoriqul Izzah, hal. 242), “Semua hadits ini (hadits yang dinukilnya dalam pembahasan tentang ijma’) adalah ahad, tidak sampai tingkat mutawatir, sehingga tidak berfaidah yakin dan qoth’iy. Jadi, tidak sah untuk hujjah bahwa ijma’ ummat menjadi dalil syar’iy, padahal menyangkut masalah ushul. Jika ada orang yang mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut mutawatir ma’nawy, maka kami katakan kepadanya bahwa mutawatir ma’nawy itu tidak ada.”

[20] Yakni QS al-Haaqah (69) ayat 51 yang berbunyi : “Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar sesuatu yang diyakini (lahaqqul yaqin)

[21] Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil, MA dalam Asyrotus sa’ah (Tanda-tanda hari kiamat, Pustaka Mantiq, hal 41) mengatakan. : “Adapun kelalaian seorang rawi maka hadits ahad yang diriwayatkan harus ditolak, sebab rawi harus terpercaya dan dhabit, maka hadits yang sholih tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa seorang rawi terpercaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.”

[22] Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa berita, maka tabayunlah (cek dan recek)” (al-Hujurat : 6). Imam al-Albany Rahimahullah berkata : “Dalam riwayat lain dibaca ‘tatsabbutlah’, hal ini menunjukkan bahwa jika yang membawa berita itu adalah orang yang adil, maka hujjah telah tegak. Tidak lagi wajib untuk diperiksa namun langsung diterima. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim bertkata dalam I’lamul Muwaqqi’in 2/394, “Hal ini ditunjukkan secara pasti diterimanya khobar ahad, karena tidak lagi membutuhkan klarifikasi. Jika khobar tadi tidak memberi faidah ilmu tentunya harus diklarifikasi supaya memberi faidah ilmu.” (al-Hadits hujjatun binafsiha, hal. 57). Dari penjelasan ini, teranglah bahwa hadits yang telah diperiksa dan memenuhi syarat keshahihan haidts membuahkan faidah ‘ilmu yakin.

[23] Beliau adalah al-Imam asy-Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali, keturunan Bani Tamim yang paling dermawan. Beliau dilahirkan di ‘Uyainah tahun 1115 H. Beliau hafal al-Qur’an sebelum berusia 10 tahun dan beliau terkenal semasa kecilnya sebagai orang yang taat, sholih lagi cerdas. Beliau belajar hadits kepada seorang Muhaddits tersohor saat itu, Syaikh Muhammad Hayat as-Sindy Rahimahullah. Sepeninggal ayahnya, beliau secara terang-terangan berda’wah kepada salafiyyah, mentauhidkan Allah, mengingkari kemungkaran dan memerangi ahlul bid’ah dan quburiyyun. Da’wah beliau terdengar oleh keluarga Alu Su’ud dan akhirnya didukung penguasa dari keluarga Alu Su’ud, sehingga menjadi kuat dan menyebar ke seluruh pelosok dunia. Beliau Rahimahullah wafat pada tahun 1206 H. dengan meninggalkan kitab-kitab yang berfaidah dan banyak disyarh oleh para ulama setelahnya, diantara karya beliau adalah : Kitabut Tauhid, Kasyfu Syubuhat, Al-Ushuluts Tsalaatsah, al-Kabaair, asy-Syarhul Kabir, Mukhtashor Zaadul Ma’ad, Mukhtashorul Inshaf, dan lain-lain. [Lihat al-Ushuluts Tsalatsah, terj : Penjelasan 3 landasan Utama, Darul Haq, hal 8-10]

[24] Di dalam Manhaj Hizbit Tahrir fii taghyiir hal. 46, dikatakan : “Bahwasanya tholabun Nushroh merupakan bagian dari thoriqoh yang harus diteladani. Apabila masyarakat di sekitar para pengemban da’wah mengalami kondisi jumud, dan ketika penganiayaan terhadap mereka semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu Hizbut Tahrir telah menggabungkan tholabun nushroh dengan aktivitas dakwah lainnya. Hizb meminta pertolongan tersebut kepada mereka yang memiliki kemampuan. Tujuannya ada dua macam, yaitu : pertama, memperoleh himayah sehingga dapat mengemban aktivitas dakwah dalam keadaan aman dan terlindung, dan kedua, untuk mencapai kekuasaan dalam rangka menegakkan daulah khilafah dan menerapkan kembali hukum-hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.”

Dari manhaj Hizbut Tahrir di atas tampaklah bahwa tholabun nushroh dalam rangka untuk menegakkan hukum Allah adalah suatu thoriqoh yang tak dapat dipisahkan dari aktivitas da’wah, namun anehnya mereka mengkritik apa yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ketika da’wah beliau didukung oleh keluarga Alu Su’ud. Sebab menurut mereka, Alu Su’ud turut memerangi kesultanan Utsmaniyah. Padahal kesultanan Utsmaniyah yang shufiiyun dan quburiyyun-lah yang memerangi da’wah tauhid ini, dimana pada zaman tersebut bid’ah, syirik dan khurofat menjadi bagian hidup masyarakat, dan mereka dengan didorong taqlid buta terhadap ulama’ mereka dan ta’ashshub madzhabiyyah, menghalang-halangi da’wah barokah ini, sehingga kaum kuffar turut ikut ambil bagian dalam perkara ini, menyebarkan fitnah wahaby yang langsung diterima mentah-mentah oleh ulama’ suu’ yang sesat dan menyesatkan, yakni para ulama penganjur kesyirikan dan kebid’ahan, sehingga sampai saat ini nama Wahaby masih menjadi fobia bagi masyarakat muslim yang nota bene banyak yang berlumuran kesyirikan dan kebid’ahan. Nas’alullaha salaamah wal ‘aafiyah.

[25] Dalam hal ini ada beberapa tafshil (perincian) yang harus diberikan. Dan pernyataan beliau ini juga tidak menunjukkan bolehnya memberontak kepada penguasa kaum muslimin. Bahkan, suatu fakta yang tak dapat dipungkiri pula, bahwa kesultanan Utsmani yang selalu dielu-elukan oleh HT termasuk bagian dari sistem pewarisan kekuasaan terhadap keturunan (Bani). Demikian pula dengan bani Abbasiyah, Umawiyah dan selainnya. Namun tidak ada para ulama terdahulu dan sekarang yang menyatakan bahwa daulah mereka bukan daulah islamiyyah. Kerajaan Arab Saudi tetaplah dikatakan sebagai daulah islamiyyah walaupun belum bisa dikatakan sebagai daulah khilafah islamiyyah dan meskipun sistem kerajaan adalah tidak masyru’ di dalam islam.

[26] Inilah kebanyakan yang dapat mereka lakukan, menuduh dan menfitnah tanpa bayan. Saya pernah dahulu bermajelis dengan mereka, dan diantara pendapat mereka tatkala disebutkan nama salafy, mereka mengatakan, Salafy adalah jama’ah boneka Raja fahd, Salafy adalah jama’ah pemecah belah, salafy adalah antek-antek Yahudi, dan lain-lain. Jadi, tatkala mereka dikritik dan mereka tak mampu menjawab secara ilmiyah, maka senjata tuduhan dan fitnah seperti inilah yang mereka gunakan dan mereka sebarkan ke kalangan awwam mereka. Sehingga banyak awwam Hizbut Tahrir termasuk saya dahulu berpandangan demikian terhadap salafiyyun dan wahabiyun. Falhamdulillah Allah memberi hidayah-Nya kepada saya dan akhirnya dengan bimbingan Allah tersingkaplah hakikat pemikiran-pemikiran HT ini setelah beberapa lama saya bergelut di dalamnya.

[27] Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Ke’adalahan sahabat itu sudah merupakan ketetapan yang dimaklumi, karena Allah menetapkan ke’adalahannya, dan menggabarkan kesucian mereka dan telah menjadikan mereka sebagai manusia terpilih di dalam nash al-Qur’an” (al-Kifayah fi ‘Ilmi Riwayah hal 93)

Ibnu Sholah berkata : “Sesungguhnya ummat Islam bersepakat menta’dil semua sahabat termasuk orang-orang yang terkena dalam fitnah” (Ma’rifat Ulumil hadits hal 428)

Ibnu Hajar al-Aqolany berkata : “Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa semua sahabat adalah ‘adil dan tak ada yang menolaknya melainkan segelintir ahli bid’ah yang menyimpang.” (Al-Ishabah I hal. 9)

[28] Jenggot adalah wajib menurut al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat jumhur ulama’ salaf dan madzahib. Di sini akan saya nukilkan sebagian dalil-dalilnya :

· Al-Qur’an al-Karim :

Allah Ta’ala berfirman : “(Syaithan berkata): Dan akan kusuruh mereka (merubah ciptaan Allah) lalu mereka benar-benar merubahnya.” (an-Nisa’ : 119).

Berkata asy-Syaikh at-Tahanuwi dalam tafsirnya : “Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk merubah ciptaan Allah”.

Allah Ta’ala berfirman : “Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka Ambillah dan apa-apa yang dilarangnya kepadamu maka tinggalkanlah” (al-Hasyr : 7)

Rasulullah memerintahkan untuk memelihara jenggot dan memangkas kumis.

· Al-Hadits asy-Syarif :

Dari Ibnu Umar Ra, Rasulullah saw bersabda : “Berbedalah kalian dengan kaum musyrikin, pangkaslah kumismu dan biarkanlah jenggotmu”. (Muttafaq ‘alaihi, lihat Irwa’ul Ghalil hal. 77)

Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah saw bersabda : “potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot kalian, selisihilah orang-orang majusi.” (HR. Muslim, Baihaqi, Ahmad, dan selainnya. Lihat Hijab Mar’atil Muslimah hal 95)

Dari Abu Umamah, bersabda Rasulullah saw : “Pendekkan kumis kalian dan biarkan jenggot kalian, selisihilah ahlul kitab.”

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya. Perhatikan seluruh shighot atau bentuk kalimat pada hadits di atas berupa fi’il amr (kalimat perintah), di dalam ushul fiqh dikatakan : al-Ashlul fil amri yufiidul wujuub illa idza jaat qorinatu tashriful lafdho ‘an dhoohirihi (Hukum asal dari perintah adalah wajib kecuali jika datang sebuah indikasi yang memalingkan teks dari dhohirnya). Lihat Irsyadul Fuhul hal 101-105, Tafsirun Nushuhsh fil Fiqhil Islamiy II/264-265 karya DR. Muhammad Adib Sholih dan Mudzakiratu Ushulul Fiqh karya Imam Syinqithy hal. 191-192)

· Aqwal (ucapan) para ulama’ :

Jumhur ulama’ berpendapat akan haramnya mencukur jenggot, Diantaranya :

- Al-Imam Ibnu Hazm adh-Dhahiri berkata : “telah bersepakat para imam bahwa mencukur jenggot adalah tidak boleh (haram).” (al-Muhalla II/189)

- Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata : “Haram hukumnya mencukur jenggot” (al-Ikhthiyarat al-‘Ilmiyyah hal. 6)

- Ibnu ‘Abidin al-Hanafi berkata : “Diharamkan atas seorang laki-laki memotong jenggotnya yakni mencukurnya” (Raddul Mukhtar II/418)

- Imam Al-Adawi al-Malilki berkata : “telah dinukil dari Malik tentang dibencinya mencukur apa-apa yang ada di bawah bibir, sesungguhnya ini adalah perbuatannya orang majusi.” (Hasyiah al-Adawi ‘ala risalah Ibni Abi Zaid II/411)

- Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki juga berkata di dalam at-Tamhid : “Haram mencukur jenggot, tidaklah pelakunya melainkan ia adalah seorang laki-laki yang banci.” (Adillah Tahrim Halqul Liha hal 96)

- Syaikh Ahmad bin Qoshim asy-Syafi’i berkata, “berkata Ibnu Rif’ah dalam Hasyiatu al-Kaafiyah, sesungguhnya Imam Syafi’I berkata di dalam al-Umm tentang haramnya mencukur jenggot, demikian pula pendapat az-Zarkasyi dan al-Hulaimi di dalam Syuabul Iman.” (Adillah Tahrim Halqul Liha hal 96)

- Imam Safarini al-Hambali berkata, “disandarkan pada madzhab (Hanabilah) tentang haramnya mencukur jenggot” (Ghita’ul Albaab I/376)

Dan masih banyak lagi para ulama’ yang berpendapat tentang haramnya mencukur jenggot, baik ulama salaf terdahulu maupun ulama kholaf kontemporer, seperti Syaikh Abdul Jalil Isa, Syaikh Ali Mahfudh, Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh al-Albani, Syaikh Muhammad Sulthon al-Ma’shumi, Syaikh Ahmad bin Abdurrahman al-Banna, Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, Syaikh al-Kandahlawi, Syaikh Abdurrahman al-Qoshim, Syaikh Ismail al-Anshori, dan lain lain.

Bagi yang ingin memperluas tentang pembahasan ini bisa merujuk ke dalam kitab : Hukmud Dien fil lihyah wat tadkhiin karya Syaikh Ali Hasan al-Halabi dan Tahriimu halqul lihaa karya Syaikh Muhammad Qosim al-Hanbali, ta’liq Syaikh Ismail al-Anshori.

[29] Taqiyuddin an-Nabhany berkata dalam Nidhamul Islam hal. 11, “Oleh karena itu iman kepada Allah diperoleh dari jalan akal, dan harus menjadikan perkara keimanan ini melalui jalan akal, yang dengannya menjadi kokoh bagi kita untuk beriman kepada perkara-perkara ghoibiyah dan segala hal yang diberitakan Allah.”. Hal yang tidak jauh berbeda diutarakan pula oleh Fathi Muhammad Salim dalam al-Istidlal bidh dhonni fil aqiidah (terj : Hadits ahad dalam Aqidah, Penerbit Al-Izzah, hal 131): “Aqidah adalah sesuatu yang telah menjadi ikatan hati, artinya aqidah itu benar-benar tercakup di dalamnya secara sempurna dan meyakinkan dengan tidak ada rasa ragu sama sekali. Ini artinya hati tersebut mengambil ide atau akidah tersebut, menguatkannya dan menyesuaikannya dengan akal, meskipun terikat penyerahan, sehingga dasar I’tiqod itu adalah bulatnya ikatan hati untuk menyepakati akal, jadi asalnya adalah kemantapan hati tetapi harus sesuai dengan akal. Jika dua hal ini terpenuhi, maka ia disebut aqidah.”

[30] HR. Ahmad, Bukhori, Abu dawud dan selainnya. Di dalam hadits ini ada penjelasan tentang sifat takjub/heran Allah. Para mu’tazilah dan asy-ariyyah menolak makna takjub dalam hadits ini, dikarenakan khobar ini adalah termasuk khobarul Wahid. Hizbut Tahrir serupa dengan mereka dalam menolak makna hadist ini sebagai itsbat sifat Allah.

[31] Mereka tidak membedakan antara syi’i atau sunni, mereka menganggap selama syi’i ataupun sunni berjuang dalam kerangka penegakkan daulah islamiyyah dan penerapan hukum islam, maka mereka adalah muslim sejati. Hal ini sangat tampak dalam surat kabar mereka, Al-Khilafah no 18, Jum’at, 2 Januari 1410/1989M dalam artikel yang berjudul Hizbut Tahrir wal Imam Khomeini, mereka memuji Khomeini yang sesat sebagai Imam, memuji karangan kejinya al-hukumatul Islamiyyah sebagai kitab siyasi terbesar, bahkan mereka menawarkan Khomeini yang telah dikafirkan para Imam Ahlus Sunnah untuk menjadi khalifah. Na’udzubillah!!!.

[32] Diantara tokoh-tokoh Hizbut Tahrir terkenal lainnya adalah : Abdul Qodim Zallum (lahir di Palestina, pengganti an-Nabhany, pimpinan umum hizb, penulis kaifa hudimatil khilafah), Syaikh Ahmad Muhammad ad-Da’uur (Pimpinan hizb di Yordania), Syaikh Abdul Aziz al-Badri (Baghdad, dibunuh oleh partai Ba’ats), Ustadz Abdurrahman al-Maliki (Damaskus, penulis Nidhomul Uqubat), Ustadz Ghonim Abduh al-Muqim (Amman, penulis kitab Naqdlul isytirookiyyah al-Markisiyyah), Umar Bakri (Suria, memisahkan diri dari HT dan membentuk sempalan HT yang bernama al-Muhajirun), Ali Fakhruddin, Tholal Bisath, Mustofa Sholih, Mustofa an-Nahas, Manshur Sholih (kesemua yang disebut ini pendiri hizb cabang Libanon), Muhammad al-Masy'ari (mukim di Inggris mendirikan cabang Hizbut Tahrir di sana, orang ini paling gencar menghina Syaikh Bin Bazz dan masyayikh lainnya dengan tuduhan keji), Ir. Abdul Ghoni Jabir Sulaiman, Sholahuddin Muhammad Hasan (Doktor Kimia, mereka berdua tinggal di Nimsa), Kamal Abu Lihyah (Doktor Elektronika, tinggal di Almaniya) dan Abdul Wahhab Hajjaj (Universitas Kairo) serta Abdurrahman al-Baghdadi (Iraq, yang pindah ke Indonesia, pembawa faham HT pertama ke Indonesia, namun terakhir beliau dikeluarkan dari HT). Kebanyakan tokoh-tokoh mereka ini memiliki fikroh yang bercampur aduk antara mu’tazilah, syi’i, asy’ariyah, dan lain-lain.

[33] Berikut ini adalah penerbit buku-buku syi’ah dan lembaga-lembaganya di Indonesia, untuk mawas diri dari kesesatan mereka.

Penerbit buku-buku Syi’ah : Mizan dan anak cabangnya, Pustaka Hidayah, Lentera, Pustaka Pelita, Abu Dzarr Press, al-Muthohari Press.

Lembaga-lembaga syi’ah di Indonesia :

- Yayasan Muthohari Bandung, pimp : Jalaluddin Rahmat (Gembong syi’i Indonesia)

- Yayasan al-Jawad Bandung, pimp : Husain al-Kaff

- Yayasan al-Muntadhar Jakarta, pimp : Abdillah

- Yayasan Mulla Shadra Bogor, sekarang bernama IPABI (Ikatan Pemuda Ahlul Bait Indonesia)

- Yayasan al-Muhibbin Probolinggo, pimp : Kyai Khozin

- Yayasan Madinatul ‘Ilmi Depok, pimp : Habib Hasan al-Idrus

- Yayasan Darul Habib, pimp : Hasan Arifin al-Haddad

- YAPI Lampung, pimp : O. Hashem

- Ponpes YAPI Bangil, pimp : Alwi bin Abu Bakar dan Zhahir Yahya

- Ponpes al-Hadi Pekalongan, pimp : Ahmad Baragbah.

[34] Khomeini juga berkata dalam pidatonya yang disyiarkan dari suara revolusi Islam dari Abadan jam 12 iang, 17 Maret 1979, “Aku katakan dengan terus terang wahai saudara-saudarku kaum muslimin di seluruh dunia, bahwa Mekkah al-Mukarramah sebagai tanah haram Allah yang aman (saat ini) sedang dijajah oleh sekelompok manusia yang lebih keji dari Yahudi.” Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Dan masih banyak sekali perkataan-perkataan sang Dajjal ini yang menghina Islam, menjelekkan sahabat, fanatik buta terhadap imam-imamnya dan kesesatan-kesesatan lainnya.

[35] Tashfiyah adalah pemurnian atau pensucian dari kontaminan-kontaminan asing yang bukan dari Islam, sedangkan Tarbiyah adalah pembinaan dan pendidikan dien. Inilah manhaj salaf yang murni, yang selaras dengan hujjah-hujjah al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibarat orang yang hendak menanam, maka pertama hendaklah ia membersihkan dulu tanah yang akan ditanami dari gulma dan parasit-parasit pengganggu lainnya, mencabutnya hingga ke akar-akarnya, baru kemudian di tanami dengan tanaman yang unggul yang teruji tahan hama dan kuat. Demikianlah dalam berdakwah, kita bersihkan dahulu segala bentuk syirik, khurofat, kebid’ahan dan kemaksiatan dan di sisi lain kita bina masyarakat dengan aqidah, Tauhid, sunnah dan ketaatan kepada Allah SWT. Inilah manhaj da’wah para nabi yang selaras dengan firman Allah : “barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang dengan buhul tali yang paling kuat yang takkan putus” (QS. Al-Baqoroh : 256). Jika kita lihat firman di atas, penggalan kalimat pertama adalah “barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut” merupakan perintah untuk mengingkari segala bentuk thoghut dan ini merupakan tashfiyah, adapun kalimat “beriman kepada Allah” termasuk tarbiyah. Implikasi keamanan kepada Allah mengharuskan penafian terhadap thoghut-thoghut selain Allah, demikian pula pemahaman makna kalimat Tauhid Laa ilaa illa Allah, yang mengandung an-Nafyu (peniadaan ) wal Itsbat (penetapan). An-nafyu belaka tanpa itsbat akan membuahkan ilhad/atheis, namun al-itsbat belaka tanpa disertai nafyu akan membuahkan syirik. Inilah hakikat manhaj yang kamil, yang mengandung an-nafyu (peniadaan) dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan yang merupakan manifestasi tashfiyah dan al-itsbat (penetapan) terhadap Tauhid, sunnah dan amal sholih yang merupakan manifestasi tarbiyah. Keluasan tentang pembahasan ini bisa merujuk ke dalam at-Tashfiyah wat tarbiyah karya Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari.

[36] Sekali lagi, inilah yang dapat mereka gembar-gemborkan, menfitnah dan menuduh kesana kemari dengan tuduhan keji tanpa ada bayan dan burhan sedikitpun. Hal ini mereka lakukan tidak lain karena mereka tak memiliki senjata lainnya dalam membela keadaan mereka yang penuh dengan kebathilan dan penyimpangan. Tuduhan-tuduhan dan fitnah semacam ini mereka jadikan perisai. Apa yang mereka lakukan tak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka, yakni Ikhwanul Muslimin, yang mengatakan para ulama’ semacam Bin Bazz, Ibnu Utsaimin, dan semacamnya hanyalah Ulama’ Haidh dan Nifas, tidak faham waqi’ (realita). Hal yang serupa diangkat pula oleh sempalan Ikhwany, yakni Sururiyyun* dan Quthbiyyun** yang membedakan ulama’ menjadi ulama’ takhosush (Ulama’ yang hanya faham satu bidang tertentu saja, dan tidak faham realita secara komprehensif, dan yang mereka maksudkan di sini adalah para masyayikh seperi Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dll) dan ulama’ syumul (ulama’ yang faham semuanya secara menyeluruh, terutama fiqhul waqi’, seperti Salman al-‘Audah, Safar Hawaly, dan lain-lain). Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.

* Sururiyyun = Pengikutnya Muhammad Surur Zainal Abidin, mantan Ikhwanul Muslimin yang kembali kepada aqidah salaf namun masih bermanhaj ikhwani, mereka memperbolehkan berdemonstrasi, masuk parlemen, dan lain-lain. Diantara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman Abdul Khaliq, DR. Safar Hawaly, DR. A’idh Al-Qorny, Salman bin Fahd Al-‘Audah, dan lain-lain).

** Quthbiyyun = Pengikut Sayyid Quthb, tokoh Ikhwanul Muslimin yang sangat terpengaruh dengan pemahaman Khowarij dan Takfiri, mereka mengkafirkan secara sporadis tanpa tafshil (perincian) dan menolak udzur bil jahl dalam masalah takfir. Fikrah mereka yang sangat tampak adalah faham jihadinya dan irhab (aktivitas pengeboman tempat umum dan masal/terorisme), yang kini dikembangkan oleh Jama’ah Islamiyyah Mesir. Diantara tokoh-tokoh mereka adalah : DR. Umar Abdurrahman (pimpinan JI Mesir), Usamah bin Ladin (yang menghina Syaikh Bin Bazz dan mengkafirkan pemerintahan Saudi), Abdul Mun’im Mustofa Halimah (yang menuduh Syaikh Albany dengan Irja’, diantaranya dalam bukunya yang berjudul Thoghut), Abdullah ad-Duwaisy (yang memfitnah Syaikh Ali irja’ dan pernah menfatwakan bolehnya menghancurkan fasilitas di Riyadh) dan lain-lain.

(keterangan lebih lengkap baca : al-Hukmu bighoiri maa anzalallah karya DR. Kholid al-Anbary, al-Ajwibatu Mutalaa^imah karya Syaikh Ali bin Hasan, Qurrotul ‘Uyun fi tash-hih tafsir Ibni Mas’ud karya Syaikh Salim al-Hilaly dan The Wahaby Myths karya Ustadz Haneef James Oliver.)

[37] Inilah manhaj Ahlus Sunnah di dalam menasehati umara’ (pemerintah), yaitu dengan lemah lembut dan hikmah, tidak membongkar aib-aib mereka di depan khayalak. Ibnu Muflih dalam al-Adab asy-Syar’iyah (I/195-196) menceritakan : “Ketika pemerintahan dipimpin al-Watsiq, para ulama’ Baghdad berkumpul menemui Abu Abdullah (Imam Ahmad) dan berkata, ‘para penguasa telah melampaui batas (yakni memaksa umat meyakini al-Qur’an adalah Makhluk). Kami tidak ridha dengan kepemiminannya.’ Imam Ahmad menjawab, ‘ingkarilah dengan hatimu, jangan melepaskan wala’mu, jangan membuka kemaksiatan sesama muslim, jangan menumpahkan darah, cermatilah dampak perbuatanmu, dan bersabarlah hingga bumi ini menjadi tenteram dan terbebas dari pelaku kemaksiatan pembawa bencana.’ Beliau melanjutkan, ‘melepaskan wala’ kepada penguasa tidak benar, bahkan menyimpang dari tuntunan.’”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata, “Sekiranya saya memiliki do’a yang mustajab, maka saya alkan mendo’akan kebaikan kepada penguasa, bukan sebaliknya, walaupun mereka sangat keji dan dhalim. Hal ini karena dampaknya akan kembali kepada mereka sendiri dan umat, sebagaimana maslahatnya juga akan kembali kepada mereka dan umat.” (Thobaqot al-Hanabilah II/26)

Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman Alu Syaikh berkata, “para modernis nampaknya tidak menyadari bahwa perwakilan umat sejak masa Yazid bin Muawiyah, kecuali Umar bin Abdul Aziz dan orang-orang yang dikehendaki Allah dari bani Umaiyah, telah melakukan tindakan kriminal dan kedhaliman terhadap umat. Walaupun demikian, para pakar dan ulama’ saat itu tidak melepaskan diri dari ketaatan sebagaimana yang disyariatkan.” (ad-Durarus Sunniyah fil Ajwibah an-najdiyah, VII/177). Secara lengkapnya silakan merujuk al-Amru biluzuumi Jama’atil Muslimin wa Imamihim wa Tahdzirumin mufaroqotihim karya Syaikh Abdus Salam bin Barjas Ali Abdul Karim, yang telah diterjemahkan dengan judul Wajibnya Taat pada Pemerintah, Cahaya Tauhid Press dan kitab Muamalatul Hukkam karya Syaikh Abdus salam juga yang telah diterjemahkan dengan judul Etika Mengkritik Penguasa, Pustaka as-Sunnah.

Sumber: muslim.or.id, abusalma.wordpress.com . .

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !