Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

03 Februari 2008

FILE 23 : Penyimpangan JAMA'AH TABLIGH

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

…… . . .

JAMA’AH TABLIGH

(SUFI GAYA BARU)

Oleh:

Abu Ihsan Al-Atsary

.

Syaikh Al Albani pernah ditanya tentang buku berjudul Zhahiratul Irja’ Fil Fikr Islami, karangan Safar Al Hawali. Di dalamnya disebutkan tentang vonis kafir terhadap pelaku sebagian dosa besar. Beliau menjawab, “Dahulu saya pernah melontarkan sebuah pendapat, kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, ketika saya masih mengajar di Al Jami’ah (maksud Beliau Jami’ah Islamiyah Madinah An Nabawiyah). Dalam sebuah majelis yang besar, saya ditanya, bagaimana pandangan saya terhadap Jama’ah Tabligh. Ketika itu saya jawab: Shufi gaya baru. Sekarang terbetik dalam hatiku untuk mengomentari jama’ah yang muncul saat ini dan menyelisihi manhaj Salaf. Saya katakan -sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Adz Dzahabi, ’Mereka telah menyelisihi Salaf dalam sejumlah persoalan manhaj,’ maka saya sebut mereka ini: Khawarij gaya baru.”

Pada kesempatan kali ini kali ini, kami akan mengupas seputar Jama’ah Tabligh, yang oleh Syaikh Al Albani disebut Shufi gaya baru. Akan kami tunjukkan bukti-bukti kebenaran perkataan Syaikh Al Albani tersebut. Perlu diketahui, bahwa Syaikh Al Albani mengatakan hal itu tiga puluh tahun atau bahkan empat puluh tahun yang lampau, sebagaimana tersebut dalam pengakuan Beliau di atas.

MENGENAL MUHAMMAD ILYAS, PENDIRI JAMA’AH TABLIGH

Jama’ah Tabligh didirikan oleh Muhammad Ilyas bin Muhammad Ismail Al Kandahlawi Ad Deobandi Al Jisyti. Kandahlawi adalah nisbat kepada sebuah kampung bernama Kandhla di Saharanpur India. Dia lahir pada tahun 1303 H. Deobandi adalah nisbat kepada Deoband. Salah satu madrasah terbesar bagi pengikut mazhab Hanafi di India. Madrasah ini didirikan pada tahun 1283H. Menurut pengakuan pendirinya, madrasah tersebut didirikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Beliau menghadiri perayaan-perayaan masyayaikh madrasah tersebut. Al Jisyti adalah nisbat kepada salah satu tharikat shufi bernama Jisytiyyah. Silsilah tharikat tersebut dimulai dari India, dari seorang Shufi bernama Khawajah Mu’inuddin Al Jisyti. Muhammad Ilyas menghabiskan masa kecilnya di Kandhla, sebuah desa di kawasan Muzhaffar Naghar di wilayah Uttarpradesh, India. Ayahnya bernama Muhammad Ismail, tinggal di Nizhamuddin, New Delhi India yang kemudian menjadi markas besar Jama’ah ini. Muhammad Ilyas meninggal pada tahun 1364H. Setelah itu kepemimpinan Jama’ah Tabligh dipegang oleh anaknya bernama Muhammad Yusuf, meninggal dunia pada tahun 1385H. Setelah itu Jama’ah Tabligh dipimpin oleh In’aamul Hasan sampai ia meninggal pada tahun 1416H. Hingga saat ini tidak ada seorangpun yang menggantikannya. Apa alasannya? Masih tidak jelas. Akan tetapi sebagian anggota Jama’ah Tabligh mengatakan, bahwa mereka menunggu kedatangan Mahdi. (Silakan lihat Jama’ah Islamiyah, karangan Salim bin ‘Ied Al Hilali, hal. 362).

ASAL-USUL BERDIRINYA JAMA’AH TABLIGH

Muhammad Ilyas, pendiri Jama’ah Tabligh mengatakan, “Tersingkaplah bagiku usaha dakwah tabligh ini dan diresapkan ke dalam hatiku, dalam mimpi tafsir ayat:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Sesungguhnya engkau dikeluarkan untuk umat manusia seperti halnya para nabi. Firman Allah: ‘dikeluarkan’ merupakan isyarat, bahwa kerja dakwah ini tidak hanya di satu tempat saja, namun dibutuhkan perjalanan ke negeri-negeri lain. Dan tugasmu adalah amar ma’ruf nahi mungkar.” (Dinukil dari buku Malfudhat Ilyas, hal. 57, oleh Muhammad Aslam dalam kitabnya yang berjudul Jama’ah Tabligh, Aqidatuha wa Afkaruha wa Masyayikhiha, hal. 14). Konon katanya, peristiwa itu terjadi di Madinah An Nabawiyah, seperti yang dinukil oleh Abul Hasan An Nadwi dalam kitabnya berjudul Syaikh Muhammad Ilyas wa Da’watuhu Ad Diiniyyah. (Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, terbitan As Shaff, tahun 1999).

“Pada kesempatan haji yang kedua inilah, Allah subhanahu wa ta’ala telah membuka hati Maulana Ilyas untuk memulai usaha dakwah dan pergerakan agama yang menyeluruh. Dia mengakui dirinya lemah, sedangkan usaha dakwah merupakan sebuah usaha yang besar. Namun demikian, Beliau telah bertekad untuk melaksanakan usaha tersebut. Beliau sangat yakin, bahwa pertolongan Allah akan menyertainya, sehingga Beliau merasa lega. Selanjutnya Beliau meninggalkan kota Madinah -setelah tinggal di sana selama lima bulan- dan tiba di Kandla pada tanggal 13 Rabi’ul Akhir 1345 H, bertepatan dengan tanggal 25 September 1925. Setelah pulang dari haji, Maulana memulai usaha tabligh dan mengajak orang lain untuk bergabung dalam usaha yang sama. Serta mengajarkan kepada khalayak ramai tentang rukun-rukun Islam, seperti: syahadat, shalat dan lain sebagainya…”

Muhammad Ilyas juga berkata, “Sesungguhnya, jika mengingatnya aku merasa terhimpit beban berat. Ketika hal ini aku sampaikan kepada Syaikh Ganggohi -yakni Rasyid Ahmad Ganggohi mursyid Muhammad Ilyaas- ia gemetar, lalu berkata, ’Syaikh Muhammad Qasim telah mengadukan perkara serupa seperti itu kepada Haji Imdadullah’.” (Syaikh Muhammad Ilyas wa Da’watuhu Ad Diiniyyah, karangan Abul Hasan An Nadwi, hal. 15).

Adapun pengaduan Muhammad Qasim Nanuti kepada mursyidnya ialah, “Setiap kali aku meletakkan tasbih di tanganku, aku pasti ditimpa musibah dan terhimpit beban berat. Kalaulah seseorang meletakkan batu-batu besar di atasku, maka seolah-olah setiap batu beratnya seratus ton, akan terhentilah gerakan lisan dan hati. Syaikh Imdadullah berkata kepada muridnya, Muhammad Qasim Nanuti, ’Ini merupakan karunia nubuwah yang diresapkan ke dalam hatimu. Itulah beban berat yang dirasakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika turun wahyu. Allah akan menggunakan dirimu untuk sebuah tugas yang dahulu dilakukan oleh para nabi’.” (Sawanih Qasimi I/258-259).

Menanggapi perkataan Muhammad Ilyas, “Tersingkaplah bagiku kerja dakwah tabligh ini dan diresapkan ke dalam hatiku, dalam mimpi tafsir ayat… Sesungguhnya engkau dikeluarkan untuk umat manusia seperti halnya para nabi…”

Syaikh Salim bin Ied Al Hilali dalam kitab Jama’ah Islaamiyah, hal. 366 mengatakan, “Ini sejenis wahyu, jika mereka katakan: Ini adalah ilham! Maka aku katakan: Tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendapat ilham, karena syariat telah sempurna dan tidak membutuhkan ilham. Jika memang ada yang mendapat ilham, maka orang itu adalah Umar, bukan yang lainnya sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dan dari perkataannya: Sesungguhnya engkau dikeluarkan untuk umat manusia seperti halnya para nabi; ini merupakan pengakuan, bahwa dirinya sejajar dengan para nabi, mendapat ilham dan wahyu. Bahkan dalam tulisan-tulisannya, Muhammad Ilyas menganggap bahwa anggota jama’ahnya mampu melakukan amalan yang tidak dapat dilakukan oleh nabi sekalipun (Silakan lihat kitab Jama’ah Tabligh, Aqidatuha wa Afkaruha wa Masyayikhiha, hal. 45-46). Dan pengakuan-pengakuan seperti ini persis seperti pengakuan kaum Shufi, seperti pengakuan Ahmad Ar Rifa’i -pendiri tharikat Ar Rifa’iyyah- yang mengklaim mendapat titah langsung dari Rasulullah ketika ia berziarah ke makam Rasul. Atau seperti Ahmad At Tijani yang mengaku mendapat perintah langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ilham yang diklaim oleh Muhammad Ilyas ini, yang dibanggakan oleh murid-muridnya lalu dilaksanakan oleh jama’ahnya, sebenarnya ia ambil dari pemikiran Jama’ah An Nuur di Turki. Enam sifat yang selalu mereka dengung-dengungkan itu, sebenarnya dikarang oleh Badi’uz Zaman Sa’id An Nuuri, yakni ketika Muhammad Ilyas pergi ke Hijaz. Dia mendengar darinya, kemudian menerapkannya. Lalu mengklaim, bahwa ia mendapatkannya melalui mimpi.… (Silakan lihat kitab Jama’ah Tabligh, Aqidatuha wa Afkaruha wa Masyayikhiha, hal. 45-46 dan kitab Jama’ah Islamiyah, karangan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali).

GHULUW (BERLEBIHAN) TERHADAP MUHAMMAD ILYAS DAN USAHA TABLIGHNYA

Sikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap guru, merupakan salah satu ciri kaum Shufi. Demikian pula halnya sikap para pengikut Jama’ah Tabligh terhadap guru mereka, Muhammad Ilyas, ataupun tokoh-tokoh mereka lainnya. Contohnya ialah perkataan Muhammad Ilyas sendiri, bahwa jama’ahnya mampu melakukan amalan yang tidak dapat dilakukan oleh para nabi sekalipun. Muhammad Ilyas menulis dalam khutbahnya yang dikirimkan kepada anggota-anggota jama’ahnya: “Sungguh, jika Allah tidak menghendaki seseorang untuk beramal, maka tidak akan mungkin dapat ia lakukan. Hingga para nabi sekalipun, tidak akan mungkin mereka melakukan, meskipun mengerahkan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Namun, jika Allah menghendaki, orang-orang lemah seperti kalian mampu untuk melakukan amalan yang tidak dapat dilakukan oleh para nabi sekalipun.” (Makatib Ilyas, hal. 107, 108).

Contoh lainnya ialah perkataan Abul Hasan An Nadwi, “Sungguh, dalam diri Maulana Muhammad Ilyas sejak kecil telah nampak ruh dan semangat para sahabat radhiallahu ‘anhum. Dia memiliki kerisauan dan perhatian begitu tinggi terhadap agama dan dakwah. Sehingga Syaikh Mahmud Hasan, yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (Guru Besar ilmu hadits di madrasah Darul Ulum Deoband) mengatakan, ’Sesungguhnya, apabila aku melihat Maulana Ilyas, maka akupun teringat para sahabat radhiallahu ‘anhum.‘” (Silakan lihat buku Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, tulisan Abul Hasan An Nadwi, hal. 9).

Coba pula perhatikan perkataan Abul Hasan An Nadwi yang terlalu berlebihan tentang Maulana Muhammad Ilyas ini, “Gambaran sebenarnya mengenai usaha dakwah ini (dakwah Tabligh), tidak mungkin bisa terungkapkan melalui tulisan. Kata-kata terlalu lemah untuk menjelaskan hakikat, cara-cara dan perasaan yang dialami oleh seseorang. Kata-kata dan tulisan mustahil dapat melukiskan perasaan dan pandangan Beliau (Syaikh Muhammad Ilyas). Syaikh Muhammad Ilyas memiliki cita-cita dan tekad yang luar biasa. Jika Beliau telah berazam mengerjakan sesuatu, kesulitan apapun tidak mampu menghalanginya. Meski kesehatan Beliau terganggu dan badan Beliau lemah, namun semangat Beliau tetap tinggi. Pendeknya Beliau benar-benar tidak mengenal putus asa. Memang benar apa yang dikatakan Syaikh Manzhur Nu’mani, bahwa Syaikh Muhammad Ilyas telah mengorbankan segala-galanya, bahkan di luar kemampuannya dalam rangka mengembangkan usaha dakwah dan pembaharuan. Boleh dikatakan, seandainya surga dengan segala kenikmatannya atau neraka dengan segala siksanya diletakkan di depan seseorang, kemudian dikatakan kepadanya, ‘Jika kamu melakukan demikian, kamu akan mendapatkan surga. Jika kamu meninggalkannya, kamu akan dilemparkan ke dalam neraka,’ orang tersebut tetap tidak akan melakukan usaha yang lebih banyak, dibandingkan usaha yang telah dilakukan oleh Syaikh Muhammad Ilyas dalam berdakwah menyeru manusia kepada Allah, terutama pada saat menjelang akhir kehidupannya.” (Silakan lihat buku Maulana Muhammad Ilyas Di antara Pengikut & Penentangnya, karangan Dr. Abdul Khaliq Pirzada, hal. 6).

Coba perhatikan pula penuturan Manzhur Nu’mani -yang tidak kalah berlebihan dengan pernyataan Abul Hasan An Nadwi di atas-, “Saya yakin, bahwa usaha ini (dakwah Tabligh) merupakan satu-satunya usaha yang dapat menghidupkan kembali ruh keimanan dengan sempurna di kalangan umat Islam.” (Ibid hal. 5). Jelas sebuah pernyataan yang terlalu berlebihan dan tidak sepatutnya diucapkan. Perkataan seperti itu mirip perkataan kaum Shufi dalam mengagungkan kelompok tharikat dan mursyid mereka.

Bahkan menurut klaim pengikut dan simpatisannya, Muhammad Ilyas ini telah mencapai derajat ihsan. Seperti yang dikatakan oleh Abul Hasan An Nadwi, “Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa ihsan adalah ‘hendaklah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya’. Dalam riwayat lain disebutkan, hendaklah kamu takut kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Maulana Muhammad Ilyas telah mengamalkan makna hadits tersebut. Bahkan dalam keadaan ramai, seolah-olah Beliau merasa dalam keadaan sepi saja. Sehingga Beliau akan bermunajat kepada Tuhannya. Hal ini dibenarkan oleh Syaikh Manzhur Nu’mani, yang secara langsung melihat kehidupan Beliau. Dia mengatakan, “Sesungguhnya, ketika Beliau membaca kalimat, ’Maha suci Allah dengan puja-pujiNya. Aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Engkau, Engkaulah Yang Esa, tiada sekutu bagi Engkau. Aku memohon ampun kepada Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau. Wahai Dzat Yang Maha Hidup lagi Yang Maha Berdiri Sendiri. Dengan rahmatMu, aku memohon pertolongan. Perbaikilah keadaanku semuanya. Dan janganlah Engkau serahkan aku kepada nafsuku, walau sekejap mata’. Beliau membaca kalimat-kalimat tersebut, seolah-olah sedang berada di hadapan Arsy Allah subhanahu wa ta’ala.” (Silakan lihat buku Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, tulisan Abul Hasan An Nadwi, hal. 143).

Begitulah penegasan mereka, tanpa memberi peluang untuk mengatakan insya Allah. Mereka memastikan guru dan tokoh mereka itu telah memperoleh predikat muhsin. Sungguh ini merupakan salah satu sikap ghuluw yang diwarisi dari kaum Shufi terdahulu dalam menyanjung guru dan mursyid atau pemimpin tharikat mereka.

JAMA’AH TABLIGH DAN KITAB FADHAIL AMAL

Buku Fadhail Amal ini merupakan salah satu buku rujukan utama Jama’ah Tabligh. Dikarang oleh Muhammad Zakariya Al Kandahlawi, yang tidak lain merupakan kemenakan sekaligus menantu Muhammad Ilyas. Buku ini seolah-olah dikeramatkan oleh Jama’ah Tabligh. Ke mana saja Jama’ah ini bergerak, buku inilah yang mereka bawa ke mana-mana. Hampir di setiap masjid yang didiami Jama’ah Tabligh, pasti di situ ada buku ini. Bahkan, buku inilah yang sering mereka baca secara berkelompok setiap dalam bayan selesai shalat. Perlu pembaca ketahui, bahwa Muhammad Ilyas, menyetujui kitab ini. Bahkan karena demikian gembiranya atas buku ini, ia mengungkapkannya dalam bentuk tulisan juga. Sebagaimana tertulis dalam salah satu suratnya kepada beberapa alim ulama, “Syaikhul hadits (Muhammad Zakaria) telah berhasil menulis sebuah kitab. Memang hati saya menghendaki agar setiap bagian dari kerja tabligh ini ada satu risalah yang ditulis oleh Beliau.”

Dalam tulisan lain, Muhammad Ilyas mengatakan, “Semoga Allah menerima tulisanmu dan juga pengaruhnya. Seandainya engkau pegang kemuliaan tabligh ini, maka insya Allah bukumu dan pengaruhnya tidak hanya tersebar di negeri India saja, bahkan juga membanjiri tanah Arab dan Ajam.” (Silakan lihat buku Menjawab Kritikan Atas Kitab Fadhail Amal, hal. 25. Disusun oleh Maulana Sayyid Muhammad Syahid, diterbitkan Pustaka Da’i, Bandung. Pada sampul buku tersebut tertulis: Khusus Qudama (senior) Tabligh).

Mengenai hadits-hadits dhaif, maudhu’ dan tidak ada asalnya yang terdapat dalam buku ini, sudah sangat masyhur. Para ulama Ahlusunnah wal Jamaah telah menjelaskan hal tersebut. Di antaranya ialah Syaikh Sa’ad Al Hushayin yang telah menyertai jamaah ini selama delapan tahun, kemudian keluar.

Namun ada satu hal yang mesti pembaca ketahui, mengenai asal-usul penulisan buku ini. Konon, kata penulisnya, Muhammad Zakariya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memeriksa buku tulisannya ini dan menyetujuinya. Sayyid Muhammad Syahid menuturkan, “Beberapa tahun yang telah lampau, secara tiba-tiba dengan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala, Beliau telah dimudahkan untuk berziarah ke tanah Hijaz. Dan kemudian –alhamdulillah- Beliau mendapat kesempatan untuk tinggal di Madinah Al Munawwarah selama setahun penuh. Selama tinggal di sana, Beliau banyak mengalami mimpi-mimpi baik yang menggembirakan tentang kitab Beliau ini, serta ucapan-ucapan pujian atas kitab yang telah Beliau susun dari para shalihin secara kelompok ataupun pribadi. Akan tetapi, bagi Beliau mimpi-mimpi itu lebih utama daripada segala keutamaan yang lainnya. Sebagaimana yang telah Beliau saksikan sendiri. Kebiasaan dan aturan Beliau dalam menceritakan mimpinya tidaklah tetap. Tidak juga Beliau menyimpannya saja. Kadang-kadang, sepintas lalu Beliau teringat, kemudian menceritakannya. Kadang-kadang Beliau juga terpengaruh oleh suatu semangat khusus, sehingga Beliau tulis kejadian-kejadian dalam mimpi tersebut di dalam buku hariannya. Sehingga para khadim dan pelayan Beliau pun mengetahui tentang mimpi-mimpinya. Jika tidak, tentu Beliau menyimpannya sendiri dan menjadi seorang pendiam. Walau bagaimanapun, ada sebuah tulisan mengenai salah satu mimpi Beliau tentang kitab Fadhail Amal, yang Beliau tulis dalam buku hariannya, yaitu demikian, ’Sekarang -setelah shalat Jum’at- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang. Beliau memeriksa risalah yang pertama dari kitab Fadhail Amal. Dan pada esok hari, Beliau akan memeriksa tentang risalah Tabligh’. Mimpi ini, Beliau lihat pada tanggal 27 Jumadil Awwal 1393H, setelah shalat Jum’at ketika Beliau tidur siang.” (Ibid hal. 26).

Dalam buku Hadrat Syaikh Maulana Zakariya, tulisan Sufi Muhammad Iqbal disebutkan, “Maulana Muhammad Zakariya telah melihat di dalam mimpi, bahwa draft kitab-kitabku, seperti Aujaz telah disusun dan daku akan serahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sebelah kanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diduduki oleh Alama Zarkani dan Allama Baaji di sebelah kiri. Apabila daku menghampiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, daku lihat kitab Aujaz yang lengkap berada di tangannya, yang serupa dengan kitab-kitab yang kubawa bersama-samaku untuk ditunjukkan kepada baginda Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bergembira dan berdoa yang aku tidak dapat ingat. Daku sangat gembira dengan mimpi ini, dan berharap usahaku menyusun Aujaz dapat diterima.” (Lihat buku Hadrat Maulana Zakariya, tulisan Sufi Muhammad Iqbal, hal. 7).

Coba lihat, betapa miripnya dengan pengakuan Ibnu Arabi yang sesat dan telah sepakat dikafirkan oleh para ulama tentang bukunya Fushusul Hikam -kitab suci kaum Shufi- ia berkata, “Amma ba’du, sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi pada sepuluh terakhir bulan Muharram tahun 627H di Mahrusah Damaskus. Beliau memegang sebuah kitab, lalu berkata kepadaku, “Ini adalah kitab Fushusul Hikam, ambillah kitab ini dan sebarkan ke tengah-tengah manusia, agar mereka mendulang faidah darinya.” Kataku, “Patuh dan taat kepada Allah dan RasulNya serta Ulil Amri, seperti yang telah diperintahkan kepada kami.” Maka aku pun mewujudkan cita-cita tersebut, aku ikhlaskan niat dan aku bulatkan tekad untuk meluncurkan kitab ini, sebagaimana yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, tanpa ditambah dan dikurangi.” (Fushusul Hikam, hal. 47).

Keberanian dusta atas nama Rasulullah, bukanlah perkara baru bagi kaum Shufi. Bahkan tidak lengkap suatu urusan tanpa dusta tersebut. Apa yang kami nukil di atas tadi sudah cukup menjadi buktinya. Tahukah pembaca, bahwa dalam buku Fadhail Amal ini banyak sekali hikayat-hikayat yang tidak jelas kebenarannya. Bahkan sudah nyata kesesatan dan kebatilannya. Mungkinkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan dan menyetujui kitab ini? Sungguh itu merupakan dusta yang keji. Dalam buku yang dipuji oleh Muhammad Ilyas dan diklaim telah diperiksa serta disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, disebutkan tafsir batil dan sesat kaum Shufi tentang keutamaan surat Al Fatihah. Berikut penukilannya:

“Sebagian ahli Shufi mengatakan, segala apa yang ada dalam kitab-kitab Allah terdahulu adalah terkandung dalam Al Qur’an. Apa yang ada di dalam Al Qur’an, semuanya terkandung dalam surat Al Fatihah. Semua apa yang terkandung dalam surat Al Fatihah terdapat di dalam Bismillah, dan apa yang terkandung dalam Bismillah terdapat pada huruf pertamanya (yaitu huruf ba’). Diterangkan juga dalam syarah, bahwa huruf ba’ artinya menyatakan suatu tempat. Maksudnya ialah seorang hamba menyatakan pengesaannya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari segala sesuatu. Sebagian lagi menafsirkannya dengan lebih mendalam. Apa saja yang terdapat dalam huruf ba’ adalah terkandung di dalam titik yang menggambarkan keesaan Allah. Di dalam istilah disebut nuqthah (titik), artinya sesuatu yang tidak dapat dipecah-pecah lagi.” (Silakan lihat kitab Fadhail Amal, hal. 394; kitab Fadhilah Al Qur’an, diterbitkan Pustaka Ramadhan).

Patutkah buku yang memuat khurafat dan bid’ah seperti itu dikatakan telah diperiksa oleh Rasulullah?! Itulah buku yang dipuji-puji oleh Muhammad Ilyas.

مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِباً

“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al Kahfi:5)

SATU LAGI KEYAKINAN SUFI

Ternyata pemikiran Sufi ini juga dimiliki oleh anak Muhammad Ilyas, yang meneruskan kepemimpinan Tabligh sepeninggal ayahnya, yakni Maulana Muhammad Yusuf. Nampak dalam buku yang ditulis oleh Maulana Muhammad Manshur berjudul Mutiara Nasihat Maulana Ilyas dan Maulana Yusuf, berikut ialah perkataannya:

“No: 223 Allah subhanahu wa ta’ala Menciptakan Dunia Dikarenakan Adanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan dunia beserta segala isinya, karena adanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi pada hakikatnya adalah milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang yang menggunakan benda-benda yang ada di dunia ini, tanpa mempedulikan dibolehkan atau tidak oleh Allah dan RasulNya, maka berarti ia telah menjadi seorang pencuri. Karena mempergunakan sesuatu tanpa izin, sama dengan pencurian.” (Silakan lihat buku Mutiara Nasihat Maulana Ilyas dan Maulana Yusuf, karangan Maulana Muhammad Manshur hal. 123, diterbitkan Pustaka Ramadhan Bandung).

Bukankah pernyataan ini setali tiga uang dengan keyakinan Nur Muhammadi yang dianut oleh kaum Shufi?! Dalam kitab Jama’ah Islamiyah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali menjelaskan sesatnya keyakinan kaum Shufi ini. Beliau mengatakan:

“Menurut kaum Sufi, seluruh alam semesta ini diciptakan karena Muhammad. Ibnu Nabatah Al Mishri berkata:

Kalau bukan karenanya (Muhammad), niscaya

bumi, ufuk, zaman, makhluk dan gunung tidak akan ada.

Al Bushairi berkata dalam kitab Nahjul Burdah:

Mengapakah engkau mengajaknya (Muhammad) kepada dunia

Padahal sekiranya kalaulah bukan karenanya,

niscaya dunia tidak akan ada.

(Silakan lihat kitab Al Jama’ah Al Islamiyah, karangan Abu Usamah Salim bin Ied Al Hilali).

Itulah keyakinan kaum Shufi yang diadopsi oleh Jama’ah Tabligh.

TAKLID BUTA ALA SUFI

Salah satu ajaran Sufi yang sangat populer ialah ketundukan mutlak kepada pemimpin atau guru, benar ataupun salah perintah gurunya itu. Ali Wafa berkata, “Murid yang sejati dalam berperilaku di hadapan syaikhnya, laksana mayat yang terbaring di hadapan petugas yang memandikannya.” Al Ghazzali berkata, “Hendaklah ia ketahui, mengikuti kesalahan gurunya bila benar salah, lebih bermanfaat daripada mengikuti pendapatnya, meski pendapatnya itu benar.” (Ibid III/76).

Kelihatannya, prinsip taklid buta ini juga dipegang oleh Jama’ah Tabligh. Dalam buku Hikmah Usaha Hidayat, karangan Muhammad Yunus Suraji Panidi, hal. 102 disebutkan, “Jama’ah manapun yang datang dari luar negeri sekali pun, apabila mengusulkan atau mengajukan sesuatu yang baru dalam hal kerja Tabligh ini, hendaklah segera menghubungi Nizhamuddin (Markas Besar mereka di India), sebelum menerima dan mengamalkan apapun usulan itu, walaupun kelihatan baik.”

Sebenarnya masih banyak warna-warni Shufi pada Jama’ah Tabligh, yang menegaskan adanya benang merah antara Jama’ah Tabligh dengan ajaran Shufi. Semoga yang kami sebutkan di atas, sudah cukup untuk membuktikan kebenaran perkataan Syaikh Al Albani rahimahullah tentang Jama’ah Tabligh. Semoga peringatan ini bermanfaat bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran dan tidak terbelenggu dengan fanatik golongan yang tercela.

KHURUJ ALA JAMA’AH TABLIGH (SYUBHAT DAN BANTAHANNYA)

Khuruj, merupakan salah satu metode kerja dakwah yang dikenal dalam lingkungan Jama’ah Tabligh. Metode seperti ini, tentu tidak dikenal dalam dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengirim sembarang orang untuk tugas dakwah, apalagi mengirim orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Tidak pernah terdengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Arab badui yang tinggal di sekitar Madinah menjadi duta dakwah Beliau. Namun Beliau mengutus para sahabat yang terkemuka dalam ilmu dan agama, seperti: Mu’adz bin Jabal, Abu Musa Al Asy’ari, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ta’ala ‘anhum.

Jadi, membahas khuruj ala Jama’ah Tabligh ini, bukan hanya sekadar membahas boleh tidaknya keluar untuk tujuan dakwah. Karena masalahnya tidak sesederhana itu. Mereka melakukan kegiatan tersebut dengan mengatasnamakan dakwah. Padahal, dakwah haruslah sesuai dengan tuntunan Sunnah Nabi. Karena ia termasuk ibadah. Bahkan ibadah yang sangat mulia. Tidak pernah ditemui dalam riwayat -baik yang dhaif, apalagi yang shahih- yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas para sahabat untuk khuruj tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari atau satu tahun. Pembatasan hari seperti itu, juga tidak ada dalilnya dalam syari’at. Jadi, khuruj yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh ini, sebenarnya lebih mirip dengan siyahah (pengembaraan) yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi.

Syaikh Saifur Rahman bin Ahmad Ad Dahlawi berkata, “Berkenaan dengan kerja tabligh berjama’ah, mereka mengatakan, ’Ia merupakan jihad besar bahkan akbar’. Bahkan mereka membenci kerja dakwah yang tidak sesuai dengan kerja dakwah mereka. Mereka melarang manusia berdakwah kepada agama Allah, berdakwah kepada Al Quran dan As Sunnah dalam halaqah-halaqah khusus mereka. Kecuali dakwah yang sesuai dengan pokok-pokok dasar, ajaran dan manhaj jama’ah mereka. Dan masih dalam koridor hikayat-hikayat, cerita-cerita mimpi dan fadhail yang sejalan dengan aqidah dan khurafat mereka. Mereka sangat berlebih-lebihan dalam masalah khuruj berjama’ah ini, sehingga melewati batas kewajaran yang tidak dapat dijelaskan lewat kata-kata.” (Silakan lilhat buku I’tibariyah Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal. 43).

Hal ini telah dialami sendiri oleh Syaikh Muhammad Nasib Ar Rifa’i, ketika menyampaikan beberapa patah kalimat tentang aqidah di markas Jama’ah Tabligh. Mereka menyerang Beliau. Bahkan mengeluarkan Beliau dan berbuat yang tidak baik terhadapnya. Sebagaimana halnya beberapa perkara yang mereka cantumkan dalam adab-adab khuruj. Yakni tidak membicarakan masalah khilafiyah. Demikian mereka katakan, secara umum, baik masalah fikih maupun masalah aqidah. Hingga masalah-masalah penting yang sudah disepakati dalam aqidah, juga mereka anggap sebagai masalah khilafiyah dan melarang anggota mereka untuk membicarakannya. Wallahul musta’an.

Lalu Beliau melanjutkan lagi, “Salah satu ciri khas jama’ah ini ialah, mereka meyakini, bahwa siapa saja yang keluar bersama mereka dalam kerja dakwah berjama’ah, berarti telah melakukan jihad yang besar, bahkan akbar. Mereka beranggapan, keluar bersama mereka dalam kerja dakwah berjama’ah ini lebih afdhal daripada berperang dengan pedang dan pena, lebih afdhal daripada memerangi musuh Allah dan Rasul-Nya, lebih afdhal daripada memelihara kemurnian Islam dan keutuhan kaum muslimin (Bukti yang menguatkannya ialah pernyataan dari seorang ulama dan para penuntut ilmu pada masa peperangan jihad Afghanistan melawan kaum komunis, bahwa Jama’ah Tabligh mendatangi tempat-tempat mereka untuk mengajak mereka khuruj bersama jama’ah mereka!). Barang siapa melakukannya, berarti ia telah melaksanakan sunah para nabi dan rasul, telah melaksanakan sunah sayyidul anbiyaa’ wal mursalin, Muhammad shallallahu ‘alihi wa sallam. Berarti ia telah keluar seperti halnya sahabat radhiallahu ‘anhum ajma’ain dalam peperangan dan medan jihad.” (Silakan lihat buku I’tibariyah Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal. 51).

JAWABAN TERHADAP SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA

Pertama. Argumentasi mereka dengan ayat:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali Imran: 110)

Adalah argumentasi yang batil. Karena maksud kata ukhrijat, bukanlah khuruj seperti yang mereka artikan itu.

Kedua, argumentasi mereka dengan ayat-ayat dan hadits-hadits jihad merupakan tahrif (penyimpangan makna). Sebab, yang dimaksud berjihad adalah berperang di jalan Allah melawan musuh-musuh agama.

Ketiga, argumentasi mereka dengan tersebarnya kubur para sahabat di luar jazirah Arab, juga merupakan argumentasi yang menyesatkan. Karena para sahabat keluar dari negeri mereka bersama para pasukan, berperang fi sabilillah untuk memperluas wilayah Islam dan untuk meninggikan kalimat Allah.

Keempat, argumentasi mereka dengan firman Allah:

التَّآئِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, memuji (Allah), yang berjihad, yang ruku’, yang sujud.” (QS. At Taubah: 112)

Adalah kejahilan terhadap Kitabullah. Sebab yang dimaksud dengan as-saa-ihuun, adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Ibnu Katsir berkata, Ada bukti yang menguatkan, bahwa yang dimaksud dengan siyaahah di sini ialah jihad… bukan maksudnya siyaahah yang dipahami oleh sebagian orang yang beribadah hanya dengan melakukan siyaahah (pengembaraan) di muka bumi.” (Tafsir Al Qur’an Al Adhzim II/407).

Kelima, membatasi khuruj mereka dengan tiga hari, empat puluh hari, tiga bulan atau satu tahun adalah bid’ah yang tidak ada contohnya dalam agama. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al Quran yang tidak ada sangkut- pautnya dengan khuruj mereka. Untuk khuruj tiga hari mereka berdalil dengan ayat:

فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ

Maka berkata Shalih, “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud: 65)

Dan berdalil dengan batas waktu mengqashar shalat, yakni tiga hari. Untuk khuruj empat puluh hari, mereka berdalil ayat:

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam.” (QS. Al A’raf: 142)

Untuk khuruj empat bulan mereka berdalil dengan ayat:

فَسِيحُوا فِي اْلأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ

“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan.” (QS. At Taubah: 2)

Dan dengan ayat:

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

“Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).” (QS. Al Baqarah: 226)

Argumentasi seperti itu terlalu dipaksakan dan merupakan tahrif (penyelewengan) terhadap Kitabullah dari maksud yang sebenarnya. Jelas, angka-angka yang disebutkan dalam ayat di atas bukanlah batasan untuk khuruj dalam arti kata dakwah. Bahkan beberapa ayat di atas sebenarnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, seperti dalam surat Hud ayat 65 dan At Taubah ayat 2 di atas.

Dengan pendalilan yang dipaksakan ini mereka akan sangat kerepotan ketika menghadapi ayat,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحاً إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَاماً فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ankaabut: 14)

Apakah ada di antara mereka yang sanggup mengerjakan khuruj selama 950 tahun!! Padahal Allah tidak mungkin membebani manusia dengan syariat di luar batas kemampuan manusia. Ini adalah salah satu bukti kesalahan mereka dalam memberikan argumen mengenai dasar syariat khuruj ala Jamaah Tabligh –ed.

Keenam. Mereka katakan, khuruj yang mereka lakukan itu menghasilkan sejumlah faidah. Di antaranya banyak orang yang masuk Islam melalui dakwah mereka. Jawaban terhadap alasan mereka ini sebagai berikut:

(1) Kita tidak boleh mencapai satu tujuan dengan segala cara. Sebagaimana tujuannya harus mulia, caranya juga harus benar dan bersih dari bid’ah. Adapun khuruj ala Jama’ah Tabligh ini merupakan bid’ah yang paling buruk dalam dakwah.

(2) Kebanyakan para pelaku maksiat yang bergabung bersama Jama’ah Tabligh, akhirnya mengikuti pola mereka. Padahal keadaan mereka sebelumnya sebenarnya lebih baik. Sebab maksiat lebih ringan kerusakannya daripada bid’ah. Pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertaubat. Berbeda halnya dengan para pelaku bid’ah, sulit sekali diharapkan bertaubat. Oleh sebab itu Sufyan Ats Tsauri berkata, “Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat, karena maksiat masih bisa diharapkan bertaubat darinya, sementara bid’ah sukar diharapkan bertaubat darinya.”

Ketika menyebutkan sifat kaum Sufi, imam Al ‘Izz bin Abdus Salam berkata, “Mereka (kaum Sufi) lebih buruk daripada para perompak dan penyamun. Karena kaum Sufi menghalangi orang-orang dari jalan Allah. Mereka sengaja mengucapkan perkataan-perkataan yang buruk terhadap Allah dan berbuat tidak etis terhadap para Nabi, Rasul, para pengikut Nabi dan Rasul dari kalangan ulama dan orang-orang yang bertakwa. Melarang pengikut mereka dari mendengarkan perkataan para ahli fikih, karena mereka tahu, para ahli fikih tersebut melarang orang untuk mengikuti mereka dan mengikuti manhaj mereka.” (Qawaaidul Ahkam II/178-180).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah kaum ahli bid’ah para pengikut thariqat Rifa’iyah yang mengaku telah berhasil menyelamatkan manusia dari lembah maksiat. Beliau berkata, “Sebagian mereka ada yang berkata, ’Kami berhasil mengajak manusia bertaubat’. Aku katakan kepada mereka, ‘Dari apa mereka bertaubat?’ Ia berkata, ’Dari menyamun, mencuri dan sebagainya.’ Aku katakan, ’Keadaan mereka sebelum kalian ajak bertaubat lebih baik daripada setelah kalian ajak bergabung bersama kalian. Sebab, mereka dahulu orang fasik yang meyakini, bahwa perbuatan mereka itu haram dan mereka masih mengharapkan kasih sayang Allah dan bertaubat kepada-Nya, serta berniat untuk bertaubat. Lalu setelah kalian ajak bertaubat, mereka berubah menjadi orang sesat dan orang yang berbuat syirik, keluar dari syariat Islam, menyukai apa yang dibenci Allah dan membenci apa yang dicintai Allah. Kami tegaskan, bahwa bid’ah yang mereka dan kalian lakukan itu lebih buruk daripada maksiat’.” (Ar Rasaail wal Masaail I/153).

Ketika menyebutkan biografi Mihyar Ad Dailami, berkatalah Al Hafidz Ibnu Katsir, “Dahulu ia penganut agama Majusi, lalu masuk Islam. Sayangnya, ia jatuh dalam dekapan kaum Rafidhah. Ia menggubah syair-syair dalam mazhab Rafidhah yang berisi caci-maki terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum. Hingga Abul Qasim bin Burhan mengatakan, ’Hai Mihyar, engkau berpindah dari satu sudut neraka kepada sudut lainnya. Engkau dahulu penganut agama Majusi, kemudian engkau masuk Islam dan mencaci-maki sahabat Nabi!’” (Al-Bidayah wa Nihayah XII/41).

Syaikh Hamud At Tuwaijri mengatakan, “Para ahli sejarah sebelum dan sesudah Ibnu Katsir juga banyak yang membawakan kisah tersebut. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perkataan Ibnu Burhan terhadap Mihyar ini. Itu menunjukkan, bahwa mereka menyetujui perkataan tersebut. Kisah tersebut mirip dengan keadaan orang-orang yang masuk Islam lewat Jamaah Tabligh, kemudian mereka mengikuti bid’ah, kejahilan dan kerusakan aqidah jama’ah ini…” (Al Qaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaah Tabligh, halaman 225).

Demikianlah jawaban terhadap beberapa argumentasi yang mereka bawakan. Sebenarnya masih banyak lagi alasan-alasan mereka lainnya, namun semua itu tidak jauh berbeda dengan argumentasi di atas tadi. (Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membukakan hati kita semua –ed).

Sumber: muslim.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

2 komentar:

  1. Karena para sahabat keluar dari negeri mereka bersama para pasukan, berperang fi sabilillah untuk memperluas wilayah Islam dan untuk meninggikan kalimat Allah.
    Dari tulisan anda, yang saya tangkap tersebarnya islam di dasari peperangan untuk memperluas wilayah islam, bukan untuk orang-orang banyak masuk islam?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meskipun tulisan di atas bukan tulisan saya, di sini saya membantu menjelaskan.

      Benar, tersebarnya Islam didasari oleh peperangan untuk memperluas wilayah Islam SEHINGGA diharapkan banyak orang-orang yang masuk Islam.

      Tetapi peperangan di sini bukan semata-mata peperangan yang dipahami di era modern sekarang. Bentuk peperangan dalam Islam ada dua jenis: perang fisik dan perang ideologi (pemikiran).

      Untuk perang fisik, saya rasa sudah bisa dipahami.

      Untuk perang ideologi, tidak musti dengan fisik. Contohnya pengiriman para shahabat sebagai da'i (utusan) untuk berda'wah kepada suatu kaum, misalnya pengiriman shahabat Mush'ab bin Umair radliyallaahu 'anhu ke Madinah sebelum Rasulullaah shallaallaahu 'alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, pengiriman shahabat Mu'adz bin Jabal ke Yaman untuk menda'wahi ahlul kitab di sana, dll. Tentunya yang keluar untuk berperang (berjihad) dengan pemikiran bukan sembarang orang, melainkan memang orang yang sudah benar-benar berilmu dan memahami ilmu agama dengan baik.

      Hal ini antara lain diperkuat dengan:

      QS.Al Furqaan [25]: 52

      فَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَجَٰهِدْهُم بِهِۦ جِهَادًۭا كَبِيرًۭا

      "Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar."

      Dari Ibnu Umar rodhiyallohu’anhuma, sesungguhnya Rosululloh shollalloohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh), menegakkan sholat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Alloh subhanahu wata’ala.” (HR. Bukhori dan Muslim)

      Hapus

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !