Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
.
“KUFRUN DUUNA KUFRIN”
.
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly
.
Ketika mereka tidak sanggup untuk melawan atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tersebut, mereka pun berpindah cara dengan menyatakan atsar tersebut lemah, padahal makar merekalah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.
Marilah kita simak bersama-sama ucapan Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly hafidzahullah tentang masalah ini, semoga Allah menerangi hati dan langkah kita semuanya.Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]Beliau berkata : “Bukanlah kekafiran [sebagaimana -Sa'ad-] yang kalian pahami”.
Dan di dalam riwayat lain : “Sesungguhnya hal itu bukanlah kekafiran yang mereka pahami. Itu bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari agama ini. “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Adalah kufrun duuna kufrin (kufur kecil yang dibawah kufur besar).Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam “Sunan”nya (4/1482/749), Ahmad dalam “Al-Iman”[1] (4/160/1419) dan Ibnu Baththah dalam “Al-Ibanah” (2/736/1010), Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dalam “Ta’zhim Qadrish Sholah” (2/521/569), Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya (4/1143/6434, cet. Al-Baz), Ibnu Abdil Bar dalam “At-Tamhid” (4/237), Al-Hakim (2/313), Al-Baihaqi (8/20), dari Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas.
Al-Hakim berkata : “Hadits ini shahih isnadnya, akan tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. Dan ini disepakati oleh Adz-Dzahabi.Syaikh kami, Al-Allamah Al-Albani rahimahullah berkata dalam “Ash-Shahihah” (6/113) : “Selayaknya kedua orang tersebut mengatakan, bahwa hadits di atas sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, karena memang sanadnya demikian. Kemudian, saya melihat Al-Hafidz Ibnu Katsir menukil dalam tafsirnya (6/163) dari Al-Hakim, bahwasanya dia berkata :”Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim. Yang nampak, bahwa di dalam “Al-Mustadrak” terdapat sesuatu yang terhapus. Dan Ibnu Katsir menisbatkannya kepada Ibnu Abi Hatim juga dengan sedikit ringkasan”.
Saya katakan : Benar apa yang diatakan oleh beliau, akan tetapi Hisyam bin Hujair perawi dari Thawus, ada sedikit catatan yang tidak sampai menurunkan haditsnya dari derajat hasan.Ibnu Syubrumah berkata : tidak ada orang di Mekah yang semisalnya (Hisyam bin Hujair)’, Al-Ijlih berkata : Dia tsiqah/terpercaya dan pengikut Sunnah. Ibnu Ma’in berkata : Dia orang shalih. Abu Hatim Ar-Razi berkata : Haditsnya ditulis/diterima. Ibnu Sa’ad berkata ; Dia tsiqah, dia banyak meriwayatkan banyak hadits. Ibnu Syahin berkata : Dia tsiqah dan dipercaya oleh Ibnu Hibban. As-Saji berkata : Orang ini shaduq (haditsnya hasan). Adz-Dzahabi berkata : Dia tsiqah. Dan diringkas oleh Al-Hafidz dengan ucapan beliau : Dia shaduq dan memiliki beberapa kekeliruan. Yahya Al-Qaththan mendhaifkannya, demikian pula Imam Ahmad dari Ibnu Ma’in dalam sebuah riwayat. [2]
Saya katakan ; Orang tersebut demikianlah keadaannya, tidak sampai turun derajat haditsnya dari hasan, selama tidak ada yang menyelisihinya. Dan Bukhari serta Muslim meriwayatkan dan berhujjah dengannya, bahkan dia bukan bersendirian tapi juga dikuatkan oleh yang lain.Adapun ucapan Imam Ahmad rahimahullah : Orang ini (Hisyam bin Hujair) tidak kuat (hafalannya) Ucapan Imam Ahmad ini bukan untuk melemahkan perawi tersebut sama sekali, tapi maksudnya meniadakan kesempurnaan kekuatan hafalannya dan bukan menafikan semua (hafalan)-nya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam “Iqomatud Dalil” (3/243 – Al-Fatawa Al-Kubro) ketika menyebutkan (perawi yang bernama) Utbah bin Humaid Adh-Dhobbi Al-Bashri : Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwasanya beliau berkata : “Orang tersebut lemah, tidak kuat”, akan tetapi ungkapan beliau ini maksudnya, adalah orang tersebut haditsnya tidak shahih, namun masih dalam kategori hasan. Mereka (para ulama hadits) menamakan hadits seperti ini dha’if/lemah, meskipun mereka masih menjadikannya hujjah, karena masih dalam kategori hasan. Hal ini disebabkan, karena dahulu hadits dibagi hanya pada kategori shahih dan dha’if saja. Dan seperti ini juga, apa yang diucapkan oleh Imam Ahmad rahimahullah :”Hadits dha’if masih lebih baik daripada qiyas’. Maksud beliau, (hadits) yang tidak sekuat hadits shahih, namun derajatnya hasan.
Maka ambillah faedah yang besar ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Semoga Allah memberinya balasan yang baik bagi Islam dan kaum muslimin.
.
Imam Al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata dalam “Al-Muqaddimah Al-Muuqizah” (hal 319 –dengan syarahku-) :”Terkadang ada beberapa perawi yang dikatakan tidak kuat hafalannya, namun masih dijadikan hujjah. Contohnya, Imam Nasa’i pernah berkata : “Orang ini tidak kuat hafalannya, akan tetapi beliau memasukkannya dalam kitab beliau. Dan beliau berkata, ucapan kami si fulan tidak kuat, artinya tidak sampai kepada celaan yang merusak/menggugurkan haditsnya”. Beliau juga berkata pada (hal. 322) : “Dengan banyak membaca (diketahui), apabila Abu Hatim berkata : “Perawi ini tidak kuat, maksudnya orang tersebut tidak sampai kepada derajat orang yang kuat lagi kokoh”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Hadyu As-Sari” (hal. 385-386), tentang biografi Ahmad bin Basyir Al-Kuufi : “An-Nasa’i berkata : “Dia tidak sekuat orang itu” … Adapun maksud pelemahan An-Nasa’i terhadapnya, maka maksudnya dia tidak (kuat) hafalannya”.
Syaikh Al-Mu’allimi Al-Yamani, Dzahabinya umat ini rahimahullah berkata dalam “At-Tankil” (1/240) : “kata-kata –Dia tidak kuat-, maknanya meniadakan kekuatan secara mutlak, meskipun tidak menetapkan kelemahan secara mutlak. Maka makna ‘Dia tidak kuat’, adalah menafikan kesempurnaan kekuatan (hafalannya)”.Berkata Syaikh kami Al-Allamah Al-Albani rahimahullah dalam “An-Nasihah bit Tahdzir min Takhribi Ibni Abdil Mannan Likutubil Aimmah Ar-Rajihah wa Tadhi’ifihi Li Miaatil Ahaadits Ash-Shahihah” (hal 183) : “Ucapan Abu Hatim : ‘Orang itu tidak kuat’, tidaklah dimaksudkan bahwa dia itu lemah, karena ini tidak sama dengan ucapan ‘dia itu lemah’. Maka di sini terdapat perbedaan yang sangat jelas menurut para ulama”.
Beliau berkata pada (hal. 254) : “Ucapan Ahmad dan An-Nasa’i , ‘Orang itu tidak kuat’, tidak menafikan (hadits)nya, karena (mereka) tidak menafikan kekuatan hafalannya secara mutlak, seperti yang tidak tersembunyi bagi para ulama hadits”.Saya katakan : Adapun selain para ulama dan para spesialis hadits, maka mereka tidak bisa mengetahui hal ini, karena kebodohan dan kurangnya bekal dan dikarenakan kurangnya dia menyelami ilmu hadits yang mulia ini. Maka pantas untuk dikatakan kepadanya : Ini bukanlah rumahmu, maka pergilah, dan dari jalan (bidang) para ulama, maka keluarlah Berkata Abdullah bin Imam Ahmad setelah ucapan Imam Ahmad tentang (Hisyam bin Hujair) di atas, “Orang itu tidak kuat” : Saya bertanya (kepada ayahku), apakah dia lemah? Beliau menjawab : “Bukan itu maksudnya.”
Ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Imam Ahmad tidak melemahkannya secara mutlak. Imam Ahmad tidak mendudukan haditsnya ke derajat shahih, tapi hanya derajat hasan. Maka, hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di atas.Demikian juga, apa yang dinukilkan oleh Abdullah bin Ahmad dari ayahnya dalam “ Al-Ilal” (1/130) : “Hisyam bin Hujair dari Mekah dan lemah haditsnya”, kemudian beliau menukil ucapan Ibnu Syubrumah : “Tidak ada orang di Mekkah yang lebih pandai darinya”.
Ini semua sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas, maka sudah tidak ada masalah lagi. Alhamdulillah.Abdullah bin Ahmad rahimahullah mengatakan : Saya bertanya kepada Yahya bin Ma’in ; Hisyam bin Hujair lebih engkau cintai dari Amru bin Muslim? Beliau berkata : Ya.
Saya katakan : Amru bin Muslim, dia adalah Al-Janadi dan dia diperselisihkan. Dia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dalam riwayat Ad-Dauri, dan Abdullah bin Ahmad. Beliau (Abdullah bin Ahmad) berkata dalam riwayat Ibnul Junaid “Tidak mengapa”. Dan di dalam “At-Taqrib” : Dia shaduq dan punya beberapa kekeliruan.Orang ini (Hisyam bin Hujair) dengan persaksian Yahya bin Ma’in lebih kuat dari pada Amru bin Muslim yang dia katakan : “Tidak mengapa”. Maka, dia ini tidak terlalu lemah, yang (tidak) dibuang haditsnya. Seandainya maksud beliau itu lemah sekali (maka ini tidaklah benar), karena Ibnu Ma’in berkata tentang Hisyam bin Hujair dalam riwayat Ishaq bin Manshur : “Dia orang shalih/baik (haditsnya). Ini adalah rekomendasi untuknya. Dari sini, kita mempunyai dua riwayat dari imam besar ini, yang pertama dia dilemahkan dan yang kedua direkomendasi, maka kita pun melihat kepada ucapan para ulama lainnya, hingga bisa sesuaikan.
Inilah keadaan Hisyam bin Hujair yang telah ditsiqahkan oleh Ibnu Sa’ad, Al-Ijli, Ibnu Hibban, Ibnu Syahin dan Adz-Dzahabi dalam “Al-Kasyif” dan dilemahkan oleh Al-Qaththan. Oleh karenanya, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan : Orang itu shaduq (haditsnya hasan) meskipun memiliki kekeliruan” [3][Dialihbasakan oleh Abdurrahman Thoyib Lc, dari kitab Qurratul ‘Uyun karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dengan sedikit perubahan]
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyah Vol. 6 No. 6 Edisi 38 -1429H. Penerbit Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Abi Thalin Surabya. Alamat Jl. Sidotopo Kidul No. 51
Footnotes
[1]. Dicetak bersama kitab “As-Sunnah” oleh Abu Bakar Al-khallal[2]. Lihat “Al-Jarhu wat Ta’dil” (9/53-54), “Tarikh Ats-Tsiqaat” oleh Al-Ijli (457/1729), “Ats-Tsiqaat” oleh Ibnu Syahin (250-1536), “Thabaqat” Ibnu Sa’ad (5/484), “Ats-Tsiqaat” oleh Ibnu Hibban (7/567), “Tahdzibul Kamal” (30/179-181), “Al-Kasyif” (2/335/5958) dan “Thadzibut Tahdzib” (11/33) dan “At-Taqrib” (2/317)
[3]. Qurraul Uyun Fii Tashihi Tafsir Abdillah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma Liqaulihi Ta’ala : “Wama-lam yahkum Bimaa Anjalallahu Faulaika Humul Kaafiruun” Riwaayatan wa Diraayatan wa Ri’aayatan oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly hal. 43-51 dengan sedikit perubahan..
Sumber: almanhaj.or.id
.
.
.
.
Disusun oleh:
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifulloh
.
Muqoddimah
Pada pembahasan yang lalu, telah kita paparkan jawaban- jawaban terhadap syubhat-syubhat takfir yang berhubungan dengan ayat hukum dari surat al-Maidah, insya’ Alloh ‘azza wa jalla pada pembahasan kali ini akan kita paparkan jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat takfir yang lainnya secara umum dengan banyak menukil dari kitab Burhanul munir fi dahdhi syubuhati ahli takfir oleh Syaikh Abdul Aziz bin Ris ar-Ris.
SYUBHAT PERTAMA
AYAT KE-65 DARI
Diantara dalil yang dibawakan oleh para pengusung pemikiran takfir adalah ayat 65dari
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٦٥)
Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa[4]:65)
Mereka berkata: “Hukum asal dalam penafian keimanan di atas adalah menafikan pokok keimanan, maka setiap hakim yang tidak berhukum dengan hukum Alloh ‘azza wa jalla adalah kafir dengan kufur akbar yang mengeleluarkannya dari Islam karena telah ditiadakan keimanannya. Kecuali jika di
Kami katakan: Banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa maksud penafian iman di dalam ayat di atas adalah penafian kesempurnaan iman dan bukan pokok keimanan, diantara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Sebab turunnya ayat ini yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abdulloh bin Zubair bahwa ada seorang Anshor yang bertengkar dengan Zubair di sisi Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam tentang masalah pengairan … di dalam riwayat tersebut bahwa orang Anshor tersebut tidak ridho dengan putusan hukum Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan: “Karena dia adalah anak pamanmu …”, Abdulloh bin Zubair berkata: “Demi Alloh ‘azza wa jalla sesungguhnya aku menyangka bahwa ayat ini turun dalam masalah tersebut:
Segi Pendalilan: Orang Anshor tersebut merasa dalam hatinya suatu keberatan terhadap putusan Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dan tidak menerima dengan sepenuhnya, bersamaan dengan itu dia tidak kafir, di antara hal yang menguatkan bahwa orang ini tidak kafir bahwasannya orang ini adalah Badri (Pengikut perang Badr), sedangkan para pengikut perang Badar telah diampuni dosa-dosa mereka sebagaimana di dalam hadits Ali tentang kisah Hathib bin Abi Balta’ah tatkala Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Alloh ‘azza wa jalla telah menelaah para ahli Badr seraya berfirman: “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki aku telah mengampuni kalian” ( Diriwayatkan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shohihul Jami’ :1719), sedangkan kufur akbar tidaklah terampuni, hal ini menunjukkan bahwa para pengikut perang Badar terjaga dari kekufuran. (Lihat Majmu’ Fatawa 7/490). Demikian juga Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam tidak meminta orang Anshor ini untuk menyatakan lagi keislamannya.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasanya Ali tatkala di Yaman mengirim emas batangan kepada Nabi Shallalohu ‘alaihi wasallam maka beliau membagikannya kepada empat orang, berkatalah seorang laki-laki:”Wahai Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bertaqwalah engkau kepada Alloh ‘azza wa jalla . Ketika orang tersebut berlalu berkatalah Kholid bin Walid Radhiallohu’anhu: “Wahai Rosullulloh tidakkah aku penggal lehernya?,”Rosullulloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan barangkali dia seorang yang sholat,”Kholid Rodhiallohu’anhu berkata: “Berapa banyak orang yang sholat mengatakan dengan lisannya apa yang tidak ada dalam hatinya,”maka Rosullulloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tidak diperintahkan agar melubangi hati manusia dan membedah perut-perut mereka …”
Segi pendalilan: Orang ini telah memprotes keputusan Rosullulloh Shallallohu ‘alaihi wasallam tidak ridho dan tidak menerima, tetapi Rosullulloh Shallallohu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkannnya.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Anas bahwasanya pada waktu perang Hunain Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam memberikan kepada tokoh-tokoh Quraisy masing-masing seratus ekor onta dari harta Hawazin maka berkatalah beberapa orang Anshor: “Semoga Alloh ‘azza wa jalla mengampuni Rosululloh Shallalohu ‘alaihi wasallam dia memberi orang-orang Quraisy dalam keadaan pedang-pedang kita bertetesan darah-darah mereka (orang-orang Hawazin).”
Segi Pendalilan: Orang-orang Anshor ini mengingkari perbuatan Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dan merasa keberatan terhadap putusan beliau akan tetapi Rosululloh Shallalohu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata: “Barangsiapa yang tidak iltizam (berpegang teguh) di dalam berhukum kepada Alloh ‘azza wa jalla dan Rosul-Nya pada perkara yang diperselisihkan di antara mereka, maka sungguh Alloh telah bersumpah pada diri-Nya bahwa dia (fulan) tidak beriman, adapun orang yang iltizam terhadap hukum Alloh ‘azza wa jalla dan Rosul-Nya secara lahir dan batin, akan tetapi dia durhaka dan mengikuti hawa nafsunya, maka dia kedudukannya seperti para pelaku kemaksiatan.
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٦٥)
Maka demi Robb kamu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. An-Nisa’ [4]:65)
Ayat ini termasuk yang dijadikan argumen oleh orang-orang Khowarij atas pengkafiran para penguasa yang tidak berhukum dengan yang diturunkan Alloh ‘azza wa jalla, kemudian mereka menyangka bahwa keyakinan mereka ini adalah hukum Alloh ‘azza wa wa jalla. Dan manusia telah banyak bicara dengan hal yang terlalu panjang kalau disebutkan di sini, dan apa yang telah aku sebutkan adalah yang ditunjukkan oleh konteks ayat (Minhajus sunnah5/131)
SYUBHAT KEDUA
AYAT KE-40 DARI
Di antara syubhat yang dilontarkan oleh para pengusung pemikiran takfir bahwasanya mereka berdalil dengan ayat ke-40 dari
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٤٠)
Hukum itu hanyalah kepunyaan Alloh. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. (QS. Yusuf [12]:40)
Mereka berkata: “Sesungguhnya mereka yang memakai hukum-hukum buatan manusia telah merebut perkara yang khusus bagi Alloh ‘azza wa jalla sehingga terjatuh dalam syirik akbar” (Burhanul Munir hlm. 29 )
Kami katakan: Hukum dalam ayat ini meliputi hukum kauni dan qodari, Syaikhul Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata: “Kadang-kadang digabungkan dua hukum -yaitu kauni dan qodari- seperti dalam firman Alloh ‘azza wa jalla:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ (٤٠)
Hukum itu hanyalah kepunyaan Alloh. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. (QS. Yusuf [12]:40) (Majmu’ Fatawa 2/413)
Hukum Alloh Subhanahu wata’ala kauni adalah terjadi, sama saja disukai oleh Alloh Subhanahu wata’ala atau tidak disukai sebagaimana irodah kauniyah, dan hal ini tidak diragukan lagi bahwa tidak ada satu pun yang bisa berperan serta bersama-Nya di dalamnya, barangsiapa yang berkeyakinan bahwa seseorang yang berperan serta bersama Alloh Subhanahu wata’ala dalam hal ini maka sungguh dia telah terjatuh di dalam syirik akbar karena dia telah menyamakan selain Alloh Subhanahu wata’ala di dalam perkara yang khusus bagi-Nya dan dia adalah kesyirikan di dalam rububiyyah.
Adapun masalah hukum syar’i maka jika seseorang menyakini kehalalan perkara yang diharamkan Alloh Subhanahu wata’ala atau menyakini keharaman perkara yang di halalkan oleh Alloh Subhanahu wata’ala maka ini adalah kufur, dan jika dia hendak menyelisihi perintah Alloh Subhanahu wata’ala dalam keadaaan mengakui kesalahannya maka tidak ragu lagi bahwa dia tidak kafir sebagaimana keadaan para pelaku dosa, dan jika tidak kita katakan seperti ini maka kita akan seperti orang-orang khowarij yang mengkafirkan para pelaku dosa.
al-Imam asy-Syathibi Rahimahulloh berkata: “Mungkin di antara yang sama dalam bab ini adalah madzhab Khowarij yang mengangka tidak boleh ada tahkim (menjadikan hakim) dengan berdalil dengan firman Alloh Subhanahu wata’ala :
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ (٤٠)
dengan beralasan bahwa lafadz di atas datang dengan shighoh umum sehingga tidak bisa terkena pengkhususan karena itulah mereka berpaling dari firman Alloh Subhanahu wata’ala :
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا (٣٥)
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (Qs. An-Nisa’[4]:35)
dan firman Alloh Subhanahu wata’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ (٩٥)
…menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kalian. (Qs. Al-Maidah [5]:95),
padahal jika saja mereka mengetahui dengan benar-benar kaidah bahasa Arab bahwasannya keumuman ini dimaksudkan dengannya kekhususan, maka mereka tidak akan bersegera mengingkari dan mengatakan kepada diri mereka: Barangkali keumuman ini telah datang pengkhususannya …”(al-I’tishom 1/303)
SYUBHAT KETIGA
AYAT KE-31 DARI
Syubhat yang dilontarkan oleh para pengusung pemikiran takfir di antaranya mereka berdalil dengan ayat ke-31 dari
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٣١)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai sesembahan-sesembahan selain Alloh…(QS. At-Taubah [09]:31)
Mereka berkata: “Sesungguhnya ahli Kitab tatkala mereka mentaati para ulama mereka dan para rahib mereka, maka Alloh menyifati mereka telah menjadikan para ulama dan para rahib mereka sebagai sesembahan-sesembahan selain Alloh Subhanahu wata’ala: (Burhanul Munir hlm. 29)
Kami katakan: Ketaatan terhadap mereka tidak ke luar dari dua keadaan:
Pertama: Ketaatan terhadap mereka di dalam kemaksiatan terhadap Alloh Suhbanahu wata’ala bukan dalam perkara penghalalan dan pengharaman, hal ini pasti bukan lah kekufuran, kalau tidak kita katakan seperti ini maka konsekuensinya adalah pengkafiran terhadap para pelaku dosa dan kemaksiatan.
Yang Kedua: Ketaatan terhadap mereka di dalam penghalalan dan pengharaman dan itni tidak ragu lagi adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama, inilah ringkasan dari penjelasan Syaikhul Islam Rohimahulloh di dalam masalah ini di dalam Majmu’ Fatawa 7/70
SYUBHAT KEEMPAT
AYAT KE-60 DARI
Syubhat yang dilontarkan oleh para pengusung pemikiran takfir di antara mereka berdalil dengan ayat ke-60 dari
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا (٦٠)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menyangka dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu” Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (Qs. An-Nisa’[4]:60)
Mereka berkata: “Sesungguhnya mereka menjadi orang-orang munafik karena mereka hendak berhakim kepada thoghut dan menjadikan iman mereka hanyalah sebagai sangkaan” (Lihat Burhanul Munir hlm.27)
Kami katakan: Sesungguhnya ayat ini tidak menunjukkan atas pengkafiran seorang sekedar dia berhukum kepada selain yang diturunkan Alloh Subhanahu wata’ala, hal ini nampak dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwasanya ayat ini mengandung dua kemungkinan:
1.Bahwasanya keimanan mereka menjadi sekedar sangkaan karena mereka hendak berhukum kepada thoghut.
2.bahwa di antara sifat orang-orang yang imannya hanyalah sangkaan-yaitu orang-orang munafiq- keberadaan mereka yang hendak berhukum kepada thoghut, dan menyerupai orang-orang munafik di dalam salah satu sifat dari sifat-sifat mereka tidak mewajibkan kekafiran. (Lihat Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an 5/99).
Berdasarkan hal ini barangsiapa berhukum dengan selain yang diturunkan Alloh Subhanahu wata’alamaka sungguh dia telah menyerupai orang-orang munafik dalam salah saru sifat dari sifat-sifat mereka, dan hal ini tidak mewajibkan kekufuran kecuali dengan dalil yang lain seperti orang yang menyerupai orang-orang munafik di dalam kedustaan tidaklah menjadi kafir.
Dan jika datang dua kemungkinan di dalam suatu perkara antara keberadaannya membuat kafir pelakunya dan tidak mengkafirkannya maka dia tidak kafir dengan sebab perkara ini karena hukum asalnya adalh Islam, maka kesimpulannya ayat ini tidak bisa dijadikan dalil atas takfir karena mengandung dua kemungkinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata: “Karena sesungguhnya takfir tidak terjadi pada perkara yang mengandung kemungkinan (kufur dan tidak kufur)”(Shorimul Maslul 3/963)
Kedua: bahwasannya mereka ini berkehendak berhukum kepada thoghut, kehendak mereka ini tidaklah mutlak, akan tetapi irodah (kehendak) yang menafikan kekufuran kepada thoghut. Kekufuran terhadap thoghut adalah salah satu rukun dari rukun-rukun iman, dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak memandang wajibnya kekufuran terhadap thoghut maka dia adalah kafir.
Dan jika mereka tetap bersikeras bahwa irodah mereka ini adalah mutlak, maka dikatakan bahwa irodah mereka di sini mengandung dua kemungkinan sedangkan kekufuran tidak terjadi pada perkara yang mengandung dua kemungkinan (kufur dan tidak kufur)
SYUBHAT KELIMA
MASALAH ORANG-ORANG TARTAR DAN AL-YASIQ BUATAN JENGIS KHAN
Di antara syubhat yang banyk dibawakan oleh para pengusung pemikiran takfir yang berpendapat bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Alloh Subhanahu wata’ala maka dia kafir keluar dari islam secara mutlak tanpa perincian-mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Alloh Subhanahu wata’ala atau tidak-adalah ijma’ yang dinukil oleh al-Imam Ibnu Katsir atas kafirnya orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Alloh Subhanahu wata’la dan dia jadikan sebagai undang-undang. Al-Imam Ibnu Katsir berkata di dalam Bidayah wa Nihayah 13/128: ‘Di dalam hal itu semua terdapat penyelisihan terhadap syari’at-syari’at Alloh Subhanahu wata’ala yang diturunkan atas para hamba-Nya para nabi, barangsiapa yang meninggalkan syari’at yang muhkam (jelas) yang diturunkan oleh Alloh Subhanahu wata’ala kepada Muhammad Shalalohu ‘alaihi wasallam - penutup para nabi – dan berhukum kepada yang lainnya dari syari’at-syari’at yang telah dimansukh (dihapus hukumnya) maka dia t elah kafir, maka bagaimana dengan orang yang berhukum dengan al-Yasiq dan mendahulukannya atas syari’at Muhammad Shalalohu ‘alaihi wasallam?
Barangsiapa yang melakukan itu maka telah kafir dengan kesepakatan kaum muslimin” (Bidayah wa nihayah 13/128)
Sebagian dari mereka berkata:
“Coba kita renungkan bagaimana memutuskan hukum dengan al-Yasiq saja dianggap oleh Ibnu Katsir sebagai suatu kekufuran… “ (Thoghut oleh Abdul Mun’im Musthofa Halimah ‘Abu Bashir’! hlm. 139 terbitan Pustaka at-Tibyan)
Jawabannya:
Sesungguhnya pengetahuan kita tentang keadaan orang-orang Tartar dan al-Yasiq akan membantu kita dalam memahami ijma’ di atas, yaitu bahwasannya mereka terjatuh ke dalam tabdil (Lihat pembahasan Tabdil di dalam tulisan kami Syubhat Sekitar Ayat Hukum dalam Majalah AL FURQON edisi yang lalu) yang merupakan penghalalan dan pengharaman.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata: “Sesungguhnya mereka-orang-orang Tartar- telah menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi dan Nasrani dan bahwasanya semuanya ini adalah jalan-jalan yang mengantarkan kepada Alloh Subhanahu wata’ala sebagaimana kedudukan madzhab empat menurut kaum muslimin, kemudian di antara mereka ada yang lebih mengutamakan agama Yahudi atau agama Nasrani dan ada dari mereka yang lebih mengutamakan agama kaum muslimin.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh menjelaskan bagaimana orang-orang Tartar ini mengagungkan Jengish Khan dan menyamakannya dengan Rosululloh Shallalohu ‘alaihi wasallam –kemudian beliau berkata-: “Merupakan perkara yang dimaklumi secara pasti di dalam agama Islam dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwasanya orang yang membolehkan mengikuti selain agama Islam maka dia adlah kafir dan tia adalah seperti kekufuran orang beriman dengan sebagian al-Kitab dan kufur dengan sebagian al-Kitab” (Lihat Majmu’ Fatawa 28/520-527)
Dan di antara hal yang menunjukkan bahwa ijma’ yang dihikayatkan oleh al-Iman Ibnu Katsir kembali kepada penghalalan dan pengharaman adalah apa yang dikatakan oleh al-Imam Ibnu Katsir sendiri, di dalam Tafsirnya 2/131: “Alloh Subhanahu wata’ala mengingkari orang yang keluar dari hukum Alloh Subhanahu wata’ala yang meliputi semua kebaikan serta yang melarang dari semua kejelekan, dan orang ini perpaling menuju kepada selain hukum Alloh Subhanahu wata’ala dari pendapat-pendapat, hawa nafsu, dan istilah-istilah yang dibuat oleh para manusia dengan tanpa bersandar kepada syari’at Alloh Subhanahu wata’ala. Sebagaimana yang dijadikan hukum oleh ahli Jahiliyah dari kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan yang mereka buat dengan akal-akal dan hawa-hawa nafsu mereka, dan sebagaimana hukum yang dipakai oleh orang-orang Tartar dalam masalah-masalah politik kenegaraan yang diambil dari raja mereka Jengis khan, yang membuatkan al-Yasiq bagi mereka dan al-Yasiq adalah sebuah kitab yang merupakan kumpulan hukum-hukum yang di ambil dari berbagai macam syari’at seperti Yahudi, Nashroniyyah, agama Islam, dan yang lainnya, dan di dalamnya banyak dari hukum-hukum yang dia ambil dari sekedar pandangan dan hawa nafsunya, maka jadilah al-Yasiq tersebut berpindah kepada keturunannya sebagai syari’at yang diikuti yang lebih mereka dahulukan daripada hukum Alloh Subhanahu wata’ala maka barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia adalah kafir wajib diperangi hingga dia kembabali kepada hukum Alloh Subhanahu wata’ala dan Rosul-Nya hingga tidak berhukum kepada yang selain hukum Alloh Subhanahu wata’ala dan Rosul-Nya di dalam perkara yang sedikit dan banyak.”
Ahmad bin Ali al-Fazari al-Qolqosyandi berkata: “Kemudian yang dilakukan oleh Jengis Khan di dalam beragama yang diikuti oleh para keturunannya sepeninggalnya adalah berjalan seiring dengan manhaj-manhaj al-Yasiq yang dia tetapkan, dan dia adalah undang-undang yang terangkum dari akalnya dan dia tetapkan dar benaknya, dia susun di dalamnya hukum-hukum dan dia tetapkan di dalamnya batasan-batasan yang kadang sedikit darinya mencocoki syari’at Islam dan mayoritasnya adalah menyelisihi syari’at Islam karena itulah dia namakansebagai al-Yasiq al-Kubro…” (al-Khithoth 4/310-311)
Dari perkataan al-Imam Ibnu Katsir dan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya nampaklah bahwa ijma’yang disebutkan oleh al-Imam Ibnu Katsir di atas adalah pada orang yang terjatuh di dalam penghalalan dan pengharaman yaitu membolehkan hukum selain hukum Alloh Subhanahu wa ta’ala karena mereka telah menjadikan al-Yasiq seperti agama Islam ynag mengantarkan kepada Alloh Subhanahu wata’ala, sedangkan masalah yang kita bahas adalah pada orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Alloh Subhanahu wata’ala dengan mengakui kesalahannya bukan dengan mengatakan bahwa hukum selain Alloh Subhanahu wata’ala boleh tidak dilarang atau bahwa dia adalah jalan yang mengatarkan kepada Alloh Subhanahu wata’ala.
Kemudian perhatikanlah –wahai saudaraku kepada perkataan al-Imam ibnu Katsir” “Maka bagaimana dengan orang yang berhukum kepada al-Yasiq dan mendahulukannya atas syari’at Alloh Subhanahu wata’ala yaitu bahwa mereka ini telah menggabungkan antara berhukum dengan al-Yasiq dan mendahulukannya atas syari’at Alloh Subhanahu wata’ala, maka dosa mereka bukanlah sekedar berhukum yang merupakan amalan bahkan disertai dengan keyakinan yaitu mendahulukan al-Yasiq atas syari’at Alloh Subhanahu wa ta’ala .
PENUTUP
Kami akhiri bahasan ini dengan nasehat-nasehat para ulama tentang wajibnya berhati-hati dalam takfir dan bahwasanya wajib mengembalikan masalah besar ini kepada para ulama robbaniyyin dan bukan kepada fatwa-fatwa harokiyyin yang terlalu percaya diri dengan akalnya.
Al-Imam asy-Syaukani berkata:”Ketahuilah bahwa menghukumi kepada seorang muslim bahwa dia keluar dari Islam, dan masuk ke dalam kekufuran tidak selayaknya seorang muslim yang beriman kepada Alloh Subhanahu wata’ala dan hari akhir untuk melakukannya,kecuali dengan bukti yang lebih jelas daripada matahari di siang hari” (Sailul Jarror 4/578)
Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Abu Buthain berkata: “Di antara hal yang mengherankan bahwa salah seorang dari mereka jika ditanya tentang suatu permasalahan tentang thoharoh atau jual beli atau yang semacamnya maka mereka tidaklah berfatwa dengan sekedar pemahaman dan akalnya, bahkan dia menari dan menelaah perkataan para ulama dan berfatwa dengan paa yang dikatakan oleh para ulama, lalu bagaimana di dalam perkara besar ini yang merupakan perkara agama yang paling besar dan paling berbahaya dia bersandar kepada sekedar pemahaman dan akalnya?” (Deangan perantaan Minhaju Ahlil Haqqi wal Ittiba’ hlm.77)
Syaikh Sulaiman bin Sahman Rohimahulloh berkata: “Perkara yang paling mengherankan dari orang-orang jahil ini yang berbicara di dalam masalah-masalah takfir, dalam keadaan mereka ini tidalah sampai kepada sepersepuluh dari orang-orang yang diisyaratkan oleh Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Abu Tubhain di dalam jawaban beliau yang baru saja kita sebutkan di mana salah seorang dari mereka jika ditanya tentang suatu permasalahan tentang thoharoh atau jual beli atau yang semacamnya maka mereka tidaklah berfatwa dengan sekedar pemahaman dan akalnya, bahkan dia mencari dan menelaan perkataan para ulama dan berfatwa dengan pa yang dikatan oleh para ulama, lalu bagaimana di dalam perkara besar ini merupakan perkara agama yang paling besar dan paling berbahaya dia bersandar kepada sekedar pemahaman dan akalnya ?” (Minhaju Ahlil Haqqi ql Ittiba’ hlm.80)
“Maka sungguh mengherankan keadaan seseorang yang mengetahui kebodohan dirinya terhadap hukum-hukum syar’iyyah amaliyyah keseharian seperti sholat dan perkara-perkara yang berhubungan dengannya dari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, serta sunnah-sunnah, seperti hukum-hukum sujud sahwi, tilawah, puasa, jual-beli dan memilahkan antara jual beli yang shohih dan fasid (rusak), lalu engkau lihat dia di dalam masalah takfir begitu semangat dan merasa bangga dengan ketergesaan dan pengkafirannya terhadap para penguasa dan para ulama, tidakkah dia berhenti pada dirinya dan dia ingatkan tentang kesulitan dan bahaya apa yang dia lakukan dan bahwasanya semangat, ketergesaan, dan kelompok (golongan ) tidak akan bermanfaat bagi dirinya di hari kiamat, Alloh Subhanahu wata’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ … (٣١)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka sebagai Rob-rob selain Alloh … (QS. At-Taubah[09]:31) dan Alloh Subhanahu wata’ala berfirman:
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ (٣٤)وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ (٣٥)وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ (٣٦)لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ (٣٧)
Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, darai istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya (QS. ‘Abasa [80]:34-37) (Tabdi Kawasyif hlm. 42-43)
[Disalin dari majalah Al-Furqon edisi 5 tahun ke-7 1428/2007 hal 24-29].
Sumber:media-ilmu.com
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !