Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

03 Februari 2008

FILE 27 : Sekelumit Tafsir Ayat 'HUKUM'

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Sekelumit Tafsir Ayat 'HUKUM'

Oleh:

Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifulloh

“. ..Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah.orang-orang yang kafir

[Al-Ma’ idah : 44]

Di antara syubhat yang dilontarkan oleh kelompok Khowarij dan orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran dan aqidah mereka di zaman ini ialah menyebarkan keragu-raguan terhadap keshohihan tafsir Ibnu Abbas Rodhiyallahu anhuma terhadap ayat hukum’ [1] dari surat Al-Ma’idah ayat ke 44.

lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma berkata : “Sesungguhnya kekufuran dalam ayat ini bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dia adalah kufrun duna kufrin (kufur kecil yang tidak mengeluarkan pelakunya dan lslam)”. [Tafsir Ibnu Jarir 10/355]

Syubhat berikutnya yang mereka lontarkan, mereka menyatakan bahwa pendapat yang membagi kekufuran menjadi dua : “kufur akbar” dan “kufur duna kufrin” (kufur kecil) adalah pendapat Murjiah sebagaimana dikatakan oleh Abu Bashir di dalam sebagian dari bait-bait syairnya yang melecehkan para ulama Salafiyyin.

Mereka memandang kekufuran dengan perkataan yang melampaui batas, keimanan Murji’ah Dan menyifatinya sebagai kufur duna kufrin.

[Bait-bait syair Abu Bashir di atas dinukil oleh Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi hafizhahullah di dalam makalah beliau yang berjudul Man Humul Khowarij Mariqun wal Murji’ah Mumayyi’un]

Sudah bisa ditebak tujuan penyebaran syubhat-syubhat di atas, mereka hendak melegalkan pemikiran para pendahulu mereka yang memahami secara serampangan ayat 44 surat al-Ma’idah di atas, lantas dengan pemahaman yang dangkal ini mereka kafirkan kaum muslimin dan mereka halalkan darah-darah kaum muslimin!

Mengingat syubhat ini banyak disebarkan akhir-akhir ini oleh kelompok-kelompok tertentu yang terpengaruh pemikiran Khowarij di tanah air, dalam bahasan kali ini kami berusaha menyingkapkan syubhat di atas dengan mengacu kepada tulisan-tulisan para ulama salafiyyin yang tidak diragukan lagi keteguhan langkah mereka di atas manhaj salaf.

METODE TAFSIR YANG SHOHIH.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullah berkata : “Jika ada yang bertanya apakah metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an? Maka jawabannya adalah : Metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an adalah al-Qur’an ditafsirkan dengan al-Qur’an, karena yang global di suatu ayat diperinci di ayat lain, dan jika ada yang diringkas dalam suatu ayat maka dijabarkan di ayat yang lainnya. Dan jika hal itu menyulitkan, wajib bagimu mencarinya di dalam sunnah Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam, karena Sunnah adalah syarah (penjelas) al-Qur’an. Bahkan al-Imam asy-Syafi’i rohimahullah berkata : ’Setiap hukum yang diputuskan oleh Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam adalah apa yang beliau pahami dari al-Qur’an.’

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alloh wahyukan kepadamu, dan Janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang yang khianat” [An-Nisa’ :105]

Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” [An-Nahl : 44]

Dan karena inilah Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Dan ketahuilah sesungguhnya aku telah diberi al-Qur’an dan yang semisalnya (yaitu as-Sunnah) bersamanya.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi hal.33]…

Dan jika kita tidak menjumpai tafsir di dalam Kitab dan Sunnah, kita kembalikan hal itu kepada perkataan para sahabat Rodhiyallahu anhum karena mereka lebih mengetahui hal itu. Dengan sebab adanya hal-hal yang hanya dimiliki oleh mereka, seperti: Apa yang mereka saksikan dan diturunkannya al-Qur’an. Dan apa yang mereka miliki dan pemahaman yang sempurna, ilmu yang shohih, dan amal yang sholih; terutama ulama mereka seperti: Abu Bakar, Umar bin Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Tholib, Abdulloh bin Mas’ud, dan Abdulloh bin Abbas, Rodhiyallahu anhum .

Dan jika engkau tidak mendapati tafsir di dalam al Qur’àn, tidak juga dalam As-Sunnah, dan tidak engkau jumpai pula dalam perkataan-perkataan sahabat Rodhiyallahu anhum maka sebagian besar para imam merujuk kepada perkataan-perkataan para tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Abul ‘Aliyah, Robi’ bin Anas, Atho’ bin Abu Robah, Hasan al-Bashni, Masruq, Sa’id bin Musayyib, Qotadah, dan yang lainnya dari para tabi’in” [Muqoddimah fi Ushuli Tafsir hal. 93-101 dengan sedikit ringkasan]

KEDUDUKAN TAFSIR IBNU ABBAS RODHIYALLAHU ANHUMA

Abdulloh bin Abbas Rodhiyallahu anhuma dikenal dengan julukan “Penerjemah al-Quran dengan barokah do’a Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam.

Ya Alloh, pahamkan dia dalam agama dan ajarilah dia tafsir” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad 1/328 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir]

lbnu Mas’ud Rodhiyallahu anhu berkata : “Sebaik-baik penerjemah al-Qur’an adalah lbnu Abbas” [Diriwayatkan oleh lbnu Jarir dalam Muqoddimah Tafsir-nya dengan sanad yang shohih]

TAFSIR IBNU ABBAS RODHIYALLAHU ANHUMA TERHADAP “AYAT HUKUM”

[1]. Al-Hafizh Ibnu Jarir Ath-Thobari Rohimahullah berkata dalam Tafsir-nya (6/256). : Telah mengabarkan kepada kami Hannad dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Waki’ dan telah mengabarkan kepada kami lbnu Waki’ bahwasanya dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami bapakku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rosyid dari lbnu Thowus dari bapaknya dari lbnu Abbas rodhiallahu anhu (tentang ayat) … Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Ma‘idah : 44), dia (lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma) berkata: “ini adalah kekufuran dan bukan kufur kepada Alloh, para malaikatNya, kitab-kitab-Nya, dan para rosul-Nya.”

Kami katakan: Para perowi riwayat ini adalah orang-orang yang tsiqoh (terpercaya) dan para imam, dan sanad ini dishohihkan oleh Syaikh al-Albani rohimahullah dalam Silsilah Shohihah 6/113.

[2]. Al-Hakim Rohimahullah berkata dalam Mustadrok-nya (2/342) : Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman al-Mushili dia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Harb dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thowus dari lbnu Abbas Rodhiyallahu anhu dia berkata: “Dia bukanlah kekufuran yang kalian [2] katakan, sesungguhnya dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. (Ayat yang artinya:) …. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orangorang yang kafir (Al-Ma ‘idah (51:44). ini adalah kufur duna kufrin”

Sesudah membawakan riwayat ini, al-Hakim rohimahulloh berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya” dan disetujui oleh Dzahabi rohimahullah dalam Talkhis Mustadrok 2/342.

Syaikh Al-Albani rohimahullah berkomentar : “Keduanya berhak mengatakan hadits ini shohih atas syarat Bukhori dan Muslim karena memang demikian keadaannya.” [Silsilah Shohihah 6/113]

[3]. Al-Imam Ibnu Jarir rohimahullah berkata dalam Tafsir-nya (6/257) : Telah mengabarkan kepadaku Mutsanna dia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Abdulloh bin Sholih dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abu Tholhah dari lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma tentang firman Allah … Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-Ma ‘idah : 44); (lbnu Abbas Rodhiyallahu anhu berkata): “Barangsiapa yang juhud (mengingkari) apa yang diturunkan oleh Alloh maka sungguh dia telah kafir, dan barangsiapa yang mengakui apa yang diturunkan oleh Alloh dan tidak berhukum dengannya maka dia zholim lagi fasik.”

Kami katakan: Abdulloh bin Sholih dikatakan oleh lbnu Hajar: “Shoduq Katsirul Gholath Tsabt fi Kitabihi (shoduq, banyak salah kuat dalam kitabnya)’, Mu’awiyah bin Sholih dikatakan oleh lbnu Hajar dalam Taqrib: “Shoduq Lahu Auham (shoduq, memiliki beberapa kesalahan)”.

Ali bin Abu Tholhah dikatakan oleh lbnu Hajar dalam Taqrib: “Shoduq Qod Yukhti’u (shoquq, kadang salah)’ dia dikritik dalam riwayatnya dari lbnu 'Abbas rodhiallahu anhumaa oleh beberapa ulama seperti Duhaim dan lbnu Hibban bahwasanya Ali bin Abu Tholhah tidak pernah mendengar riwayat langsung dari lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma (Lihat Tahdzibut Tahdzib 7/339-341), tetapi hal ini dijawab oleh Abu Ja’far an-Nuhas dan lbnu Hajar bahwa Ali bin Abu Tholhah mengambil riwayat tafsir dari lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma dengan perantaraan orang-orang yang tsiqoh seperti Mujahid dan lkrimah “ [Lihat Nasikh dan Mansukh hal 13 dan Al-Itqon 2/415]

Naskah tafsir lbnu Abbas dari riwayat Abdulloh bin Sholih dari Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abi Tholhah ini dijadikan rujukan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal rohimahullah. dan banyak dibawakan oleh al-Imam Bukhori dalam Shohih-nya [Lihat asy-Syari’ah oleh Ajuri hal. 78, Tahdzibut Tahdzib 7/340, dan Fathul Bar! 8/438]

Riwayat Ali bin Abu Tholhah dihasankan oleh Suyuthi serta dishohihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi [Lihat Al-Itqon 2/241 dan Mustadrok 3/23]

PARA ULAMA BERSANDAR KEPADA TAFSIR IBNU ABBAS RODHIYALLAHU ‘ANHUMA TENTANG “AYAT HUKUM

Hal lain yang menunjukkan keshohihan tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma, para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini selalu bersandar kepada tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhu terhadap ayat hukum, sebgaimana di dalam nukilan-nukilan berikut ini.

1). Atho’ bin Abu Robah, seorang tabi’in, menyebut ayat 44-46 surat al-Ma’idah, dan berkata: “Kufrun duna kufrin (kufur kecil), fisqun duna fisqin (fasik kecil), dan zhulmun duna zhulmin (dzolim kecil)” [Diriwayatkan oleh lbnu Jarir dalam Tafsir-nya 6/256 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Shohihah 6/114]

2). Thowus bin Kaisan, salah seorang tabi’in, menyebut ayat hukum dan berkata :”Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya 6/256 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani dalam SilsiIah Shohihah 6/114]

3). Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang maksud kufur dalam ayat hukum, maka beliau berkata : “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dan keimanan” [Majmu’ Fatawa 7/254]

4). Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam membawakan tafsir lbnu Abbas dan Atho’ bin Abu Robah terhadap ayat hukum dan berkata : “Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agamanya tetap eksis meskipun tercampur dengan dosa-dosa.” [Kitabul lman hal. 45]

5). Al-Imam Bukhori berkata dalam Shohih-nya (1/83) : “Bab Kufronil ‘Asyir wa Kufrun Duna Kufrin’ al-Haflzh Ibnu Hajar berkata :”Penulis (Al-Imam Bukhori) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abu Robah dan yang lainnya” [FathuI Bari 1/83]

6). Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari menyebutkan lima pendapat para ulama tentang tafsir ayat hukum kemudian berkata : “Pendapat yang paling utama menurutku adalah pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat ini turun pada orang-orang kafir ahli kitab, karena ayat-ayat sebelum dan sesudahnya turun pada mereka, merekalah yang dimaksudkan dengan ayat-ayat ini, dan konteks ayat-ayat ini adalah khobar (kabar) tentang mereka, maka keberadaannyab sebagai kabar tentang mereka lebih utama.

Jika ada orang yang bertanya : Sesungguhnya Alloh Ta’ala mengabarkan secara umum seluruh orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh, bagaimana engkau menjadikan ayat ini khusus bagi ahli kitab ?

Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya Alloh Ta’ala mengabarkan secara umum dengan ayat ini tentang suatu kaum yang juhud (mengingkari) hukum Alloh di dalam Kitab-Nya. Alloh mengabarkan bahwasanya mereka kafir ketika meninggalkan hukum Alloh dengan cara seperti yang mereka lakukan (yaitu juhud). Demikian juga, setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh karena juhud terhadapnya maka dia telah kafir terhadap Alloh. sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas Rodhiallahu anhuma” [Tafsir Ibnu Jarir 6/257]

7). Al-Imam Baihaqi berkata dalam Sunan Kubro (10/207): “Yang kami riwayatkan dari al-Imam Syafi’i dan para imam yang lainnya tentang para ahli bid’ah ini mereka maksudkan kufrun duna kufrin (kufur kecil) sebagaimana dalam firman Alloh.

“Artinya : ..Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(AI-Ma’idah : 44); lbnu Abbas Rodhiallahu anhumas berkata : Dia bukanlah kekufuran yang kalian (para Khowarij) katakan, sesungguhnya dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. Ini adalah kufur duna kufrin.”

8). Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (4/237) : “Telah datang dari lbnu Abbas Rodhiallahu anhuma bahwasanya dia berkata tentang hukum penguasa yang lancung, kufrun duna kufrin”.

9). Al-Imam Qurthubi berkata:”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Alloh karena menolak al-Qur’an dan juhud (mengingkari) pada perkataan Rosul Shallallahu alaihi wa sallam maka dia kafir, ini adalah perkataan Ibnu Abbas Rodhiyallahu anhuma dan Mujahid” [Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 6/190]

10).Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah menafsirkan ayat hukum di atas dengan mengatakan: “Yaitu seorang yang menghalalkan berhukum dengan selain hukum Alloh.” [Majmu’ Fatawa 3/268]

Beliau juga berkata: “Ketika datang dari perkataan salaf bahwasanya di dalam diri seseorang ada keimanan dan kemunafikan, maka demikian halnya perkataan mereka bahwasanya di dalam diri seseorang ada keimanan dan kekufuran ; kekufuran ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari agama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas Rodhiallahu anhuma dan para sahabatnya tentang tafsir firman Alloh.

“Artinya : Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-Ma’idah : 44); mereka berkata :”Dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari IsIam” Perkataan ini diikuti oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari para Imam Sunnah.” [Majmu’ Fatawa 7/312]

11). lbnul Qoyyim membawakan tafsir Ibnu Abbas, Thowus, dan Atho’ bin Abu Robah terhadap ayat hukum dan berkata :”Hal ini jelas sekali dalam al-Qur’an bagi siapa saja yang memahaminya, karena Alloh menyebut kafir seorang yang berhukum dengan Selain hukum Alloh, dan menyebut kafir seorang yang mengingkari pada apa yang Dia turunkan pada Rosul-Nya ; dua kekufuran ini tidaklah sama” [Ash-Sholat wa Hukmu Tarikiha hal. 57]

12). Syaikh Al-Albani berkata: “Kesimpulannya, ayat hukum ini turun pada orang-orang Yahudi yang juhud (mengingkari) hukum Alloh. Barangsiapa yang ikut serta mereka dalam juhud, dia telah kafir dengan kufur i’tiqodi; dan barangsiapa yang tidak ikut serta mereka dalam juhud maka kufurnya amali, karena dia melakukan amalan mereka, maka dia telah berbuat kejahatan dan dosa, tetapi tidak keluar dari agama sebagaimana telah terdahulu (keterangannya) dari lbnu Abbas Rodhyiallahu anhuma” [Silsilah Shohihah 6/115]

13). Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata : Adapun yang berhubungan dengan atsar Ibnu Abbas Rodhiallahu anhuma di atas, cukuplah bagi kita bahwa para ulama yang mumpuni seperti Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim dan selain keduanya telah menerimanya dengan baik, mereka membawakan dan menukilnya, maka atsar ini adalah shohih” [Ta’liq terhadap risalah Syaikh Al-Albani at Tahdzir min Fitnati Takfir hal. 69]

ANTARA AHLI SUNNAH, KHOWARIJ, DAN MURJI AH

Untuk memperjelas kedudukan Ahli Sunnah, Khowarij, dan Murji’ah dalam masalah ini kami nukilkan beberapa penjelasan para ulama dalam masalah ini:

Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata: “Adapun berhukum dengan selain hukum Alloh dan meninggalkan sholat maka dia termasuk kufur amali secara qoth’i, tidak mungkin ditiadakan darinya nama kufur sesudah diletakkan padanya oleh Alloh dan Rosul-Nya.

Maka seseorang yang berhukum dengan selain hukum Alloh, dia kafir. Seseorang yang meninggalkan sholat, dia kafir dengan nash dari Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam tetapi kekufuran ini adalah kufur amal dan bukan kufur i’tiqod….

Seorang yang mengamalkan sebagian Kitabulloh dan meninggalkan pengamalan sebagian yang lainnya, Alloh menamakannya : mu’min pada apa yang dia amalkan dan kafir pada apa yang dia tinggalkan.

“Artinya : Apakah kalian beriman kepada sebahagian al-Kitab dan kufur terhadap sebahagian yang lain?” [Al-Baqoroh : 85]

Maka mereka beriman kepada apa yang mereka amalkan dari perjanjian (Al-Kitab), dan kafir terhadap apa yang mereka tinggalkan ; maka iman amali lawannya kufur amali dan iman i’tiqodi lawannya kufur l’tiqodi..

Perincian ini adalah pendapat para sahabat yang merupakan orang paling berilmu tentang Kitabulloh di antara umat ini, dan paling tahu tentang Islam dan kufur serta hal-hal yang menyertai keduanya. Maka tidaklah dipelajari masalah ini melainkan dari mereka; karena sesungguhnya orang-orang yang datang belakangan tidak paham maksud para sahabat sehingga terpecah menjadi dua kelompok:

a). Kelompok yang mengeluarkan para pelaku dosa besar dan Islam, dan menghukumi bahwa para pelaku dosa besar ini kekal di neraka! (mereka ini adalah kelompok Khowarij)

b). Kelompok yang kedua menjadikan para pelaku dosa besar ini adalah orang-orang mu’min yang sempurna keimanan mereka! ( Mereka ini adalah kelompok Murji’ah )

Kelompok pertama ghuluw (berlebihan) dan kelompok kedua sembrono dan menggampangkan.

Maka Alloh memberikan petunjuk kepada Ahli Sunnah berupa jalan yang benar dan pendapat yang tengah tengah, (perumpamaan) dia dalam kelompok-kelompok Islam seperti Islam di antara agama-agama lainnya; maka di sini ada kufur duna kufrin, nifaq duna nifaq, syirik duna syirik, fusuq duna fusuq, dan zhulmun duna zhulmin.” [Ash-Sholat wa Hukmu Tarikiha hal. 55-57]

Al-Imam al-Jashshash rohimahullah berkata :”Khowarij telah mentakwil ayat ini atas pengkafiran siapa saja yang meninggalkan berhukum dengan hukum Alloh (kendati) tanpa mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Alloh.” [Ahkamul Qur’an 2/534]

KHOWARIJ MENUDUH AHLI SUNNAH MURJI’AH

Tuduhan Khowarij bahwa Ahli Sunnah adalah Murji’ah bukanlah perkara baru Al-Imam lshaq bin Rahuwiyah rohimahullah berkata : “Suatu saat Abdulloh bin Mubarok datang ke kota Ray, maka seorang ahli ibadah berdiri menghampirinya -dugaan terkuat, dia ini mengikuti pemikiran Khowarij- dia berkata kepada Abdulloh bin Mubarok : “Wahai Abu Abdirrohman, apa pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khomer?”

Abdulloh bin Mubarok berkata: “Aku tidak mengeluarkannya dari keimanan”.

Orang tersebut berkata; “Wahai Abu Abdirrohman, dalam usia setua ini engkau menjadi Murji’ah?!”

Abdulloh bin Mubarok berkata : “Orang-orang Murji’ah tidak setuju dengan kami, mereka mengatakan : Amalan-amalan ‘ kami diterima dan dosa-dosa kami diampuni. Dan seandainya aku tahu bahwa satu amalan baikku diterima, maka aku akan mempersaksikan bahwa diriku di surga”. [Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Utsman ash-Shobuni rohimahullah dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hal. 84 dengan sanad yang shohih]

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Riwayat tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma terhadap ayat hukum adalah riwayat yang shohih. Bahkan sebagian jalannya shohih atas syarat Bukhori dan Muslim.

Hal lain yang menunjukkan keshohihan tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma, para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini selalu bersandar kepada tafsir Ibnu Abbas Rodhiyallahu anhu terhadap ayat hukum.

Perincian kekufuran menjadi dua : kufur akbar dan kufur duna kufrin (kufur kecil) adalah pendapat para sahabat yang merupakan orang paling berilmu tentang Kitabulloh di antara umat ini serta paling tahu tentang Islam dan kufur berikut hal-hal yang menyertai keduanya. Inilah pendapat ulama Ahli Sunnah dari masa ke masa. Adapun pendapat yang memutlakkan kekufuran dengan mengatakan bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Alloh maka dia kafir, keluar dari Islam secara mutlak tanpa perincian -mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Alloh ataupun tidak-, maka ini adalah pendapat Khowarij.

Ahli Sunnah wal Jama’ah menyelisihi kelompok Murji’ah dalam masalah ini karena kelompok Murji’ah menyatakan bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan. Murji’ah menetapkan bahwa para pelaku dosa besar termasuk orang-orang berhukum dengan selain hukum Alloh adalah orang-orang mu’min yang sempuma keimanan mereka, sedangkan Ahli Sunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa pelaku dosa besar berkurang keimanan mereka tetapi tidak mengeluarkan mereka dari keimanan.

Para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Alloh dari undang-undang buatan manusia dan hukum-hukum jahiliah, dengan mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Alloh, atau berpendapat bahwasanya hukum Alloh tidak relevan dengan zaman sekarang, atau berpendapat sama saja berhukum dengan hukum Alloh atau dengan yang lainnya, maka orang ini keluar dari Islam secara keseluruhan.

Mereka, para ulama AhIi Sunnah, juga sepakat bahwa siapa saja yang berhukum dengan selain hukum Alloh dengan mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Alloh dan tidak mengingkarinya, maka dia belum sampai kepada kekufuran yang mengeluarkannya dari Islam.

Demikianlah, kami akhiri bahasan ini dengan seruan kepada seluruh kaum muslimin agar kembali kepada Islam secara utuh di dalam ilmu dan amal, selalu berusaha menerapkan hukum Alloh di dalam semua segi kehidupan : aqidah, ibadah, mu’amalah, dakwah, politik, akhlak, dan segi-segi yang Iainnya. Kepada para da’i, kami serukan : Marilah kita mendidik umat ini kepada aqidah yang shohih, menjelaskan kepada mereka hukum Islam yang hakiki, tidak menyia-nyiakan waktu untuk hiruk-pikuk urusan politik, tidak berusaha memaksakan penegakan hukum dengan cara merebut kekuasaan, tetapi dengan menumbuhkan hukum Islam ini pada tubuh kaum muslimin dan mengajak mereka menerapkannya dalam kehidupan mereka, yang pada akhirnya hukum Islam akan tegak dalam kehidupan mereka bi-idznillah. Wallohul Muwaffiq.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 05 Tahun VI // DzuI-Hijjah 1427 Januari 2007. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

___________

Foot Note

[1]. Penamaan ayat ini dengan “Ayat Hukum” berasal dari perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rohimahullah ta’ ala di dalam SilsiIah Shohihah 6/115.

[2]. Syaikh al-Albani rohimahullah berkata: “Seakan-akan beliau mengisyaratkan pada orang-orang Khowarij yang memberontak terhadap Kholifah Ali bin Abu Tholib Rodhiyallahu anhu [Silsilah Shohihah 6/113]

Sumber: almanhaj.or.id

Untaian Mutiara dalam Memahami Ayat Hukum

بسم الله الرحمن الرحيم

إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله. فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار .

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Wa Ba'du:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

سيخرج في أخر الزمان قوم أحداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية يقرأون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية . فإذا لقيتموه فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم عند الله يوم القيامة .

"Akan keluar pada akhir zaman, suatu kaum, umurnya masih muda, rusak akalnya, mereka bertutur dengan manis. Mereka membaca al-Qur'an, namun tidak melebihi kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama bagai terlepasnya anak panah dari busurnya. Apabila kalian menemuinya, bunuhlah mereka, karena terdapat ganjaran bagi mereka yang membunuh kaum tersebut" (HR. Bukhari: 3611, Muslim: 1066).

Hadits ini salah satu di antara dalil yang memberitakan perihal kelompok sesat Khawarij. Jargon yang senantiasa mereka dengung-dengungkan adalah kembali untuk kembali kepada hukum Allah. Seruan yang baik dan patut didakwahkan, namun apa yang mereka dengungkan ternyata berakibat fatal dan hal itu disebabkan beberapa faktor, entah kekeliruan dalam memahami berbagai dalil, mengikuti perasaan dan hawa nafsu semata atau minimnya usaha mereka untuk merujuk kepada perkataan para ulama ahlus sunnah wal jama'ah.

Jargon utama mereka adalah kalimat:

لاَ حُكْمَ إِلاَّ لله

"Tidak ada hukum yang layak diikuti melainkan hukum Allah semata"

Secara lahiriah tidak ada yang keliru pada kalimat tersebut. Namun permasalahan terletak pada tindakan Khawarij dalam mempraktekkan kalimat tersebut dengan mengusung dalil firman Allah ta'ala:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah: 44).

Kalimat yang benar, namun dipraktekkan secara salah kaprah. Kalimat yang benar, namun menjadi momok tatkala kalimat tersebut diusung untuk memperkuat praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan oleh mereka. Oleh sebab itu sahabat Ali radhiyallahu 'anhu mengomentari jargon mereka tersebut dengan ucapan beliau:

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيْدَ بِهَا بَاطِلٌ

"Ucapan yang hak (benar), namun digunakan untuk membela kebatilan." (HR. Ibnu Hibban: 6939, Syaikh Su'aib Al-Arnauth berkomentar, "Sanad hadits ini shahih menurut kriteria Muslim." )

Minimnya keinginan untuk merujuk pada pemahaman sahabat dalam memahami dalil merupakan awal kekeliruan mereka sekaligus hal ini menunjukkan urgensi untuk menggunakan pemahaman sahabat dalam mengetahui maksud suatu dalil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengetengahkan beberapa perkataan para ulama di berbagai kurun waktu mengenai tafsir ayat hukum, ayat yang sering dijadikan landasan untuk membenarkan praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan.

Tulisan yang berada di hadapan anda ini merupakan terjemahan dari sebuah artikel yang kami temukan tatkala kami sedang mencari-cari tulisan di sahab.org. Betapa senangnya kami melihat artikel ini karena di dalamnya termuat perkataan-perkataan para ulama pembawa petunjuk mengenai ayat hukum, mereka menjelaskan tafsir ayat tersebut serta batasan-batasan kapan seseorang itu dikatakan kafir dan keluar dari Islam apabila dia berhukum kepada selain hukum Allah.

Kami tergerak untuk menerjemahkannya mengingat kita sangat butuh pelurusan terhadap makna ayat ini, yang hal tersebut tidak dilakukan oleh saudara-saudara kita yang gampang mengafirkan sesama kaum muslimin ketika dia melihat mereka berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga tidak heran dapat kita lihat dengan mudahnya lisan mereka melontarkan kata-kata kafir kepada kaum muslimin. Wallahul musta'an

Kami berharap dengan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca, kami memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan taufik untuk tetap berada di atas agama-Nya.

Habrul Ummah dan Turjumanul Qur'an (penafsir al-Qur'an),

Sahabat yang mulia

Abdullah ibn Abbas radhiyallahu 'anhuma

'Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang tafsir dari ayat,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. al-Maidah : 44).

Beliau berkata:

من جحد ما أنزل الله، فقد كفر، ومن أقرّ به، لم يحكم به فهو ظالم فاسق

"(Maksudnya) adalah barang siapa yang mengingkari kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah sungguh dia telah kafir. Dan barang siapa yang mengakui kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah namun dia tidak berhukum dengannya maka dia adalah seorang zalim fasik."

Thawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas tafsir beliau yang lain terhadap ayat ini, beliau (Ibnu Abbas) berkata:

"ليس بالكفر الذي يذهبون إليه". وفي لفظ: "كفر لا ينقل عن الملة". وفي لفظ آخر: "كفر دون كفر، وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق". ولفظ ثالث: "هو به كفره، وليس كمن كفر بالله، وملائكته، وكتبه ورسله.

"(Kekafiran yang dimaksud dalam ayat tersebut -pent) bukanlah kekafiran sebagaimana yang mereka pahami (yang mengeluarkan pelakunya dari Islam). Dalam suatu lafazh dikatakan: Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama. Dan dalam lafazh yang lain: Kekufuran yang bukan kekufuran (kufrun duna kufrin), kedzoliman yang bukan kezaliman (zhulmun duna zhulmin) dan kefasikan yang bukan kefasikan (fisqun duna fisqin)."

Dan lafazh ketiga adalah: "Dia telah melakukan suatu bentuk kekufuran namun tidak sama dengan orang yang mengingkari (kufur) terhadap Allah, malaikat-Nya dan para rasul-Nya" (karena kekufuran yang seperti ini mengeluarkan pelakunya dari agama-pent).

Para ulama yang menegaskan akan benarnya penafsiran Ibnu Abbas dan berdalil dengan perkataan beliau

Al Hakim dalam Al Mustadrak (2/393) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (2/64) beliau berkata: Shahih menurut kriteria Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Al Imam Al Qudwah Muhammad bin Nashr Al Mawarzi dalam Ta'zhim Qadrish Shalat (2/520), Al Imam Abu Mizhfar As Sam'ani dalam Tafsirnya (2/42), Al Imam Al Baghawi dalam Ma'alimut Tanzil (3/61), Al Imam Abu Bakar Ibnul 'Arabi dalam Ahkamul Qur'an (2/624), Al Imam Al Qurthubi dalam Al Jaami' li Ahkamil Qur'an (6/190), Al Imam Al Baqa'I dalam Nizhmud Duror (2/460), Al Imam Al Wahidi dalam Al Wasith (2/191), Al Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Nailul Maram (2/472), Al Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqhithy dalam Adwa'ul Bayan (2/101), Al Allamah Abu Ubaid al Qosim bin Salam dalam Al Iman (hal.45), Al Allamah Abu Hayyan dalam Al Bahr Al Muhith (3/492), Al Imam Ibnu Baththah dalam Al Ibanah (2/723), Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Allamah Al Kahzin dalam Tafsirnya (1/310), Al Allamah As Sa'di dalam Tafsirnya (2/296), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa (7/312), Al Allamah Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah dalam Madarijus Salikin (1/335), Muhaddits Abad ini Al Allamah Al Albani dalam Ash Shohihah (6/109).

Faqihuz Zaman, Al Allamah Ibnu 'Utsaimin dalam At Tahdzir min Fitnatit Takfir berkata (hal.68):

لكن لما كان هذا الأثر لا يرضي هؤلاء المفتونين بالتكفير؛ صاروا يقولون: هذا الأثر غير مقبول! ولا يصح عن ابن عباس! فيقال لهم: كيف لا يصحّ؛ وقد تلقاه من هو أكبر منكم، وأفضل، وأعلم بالحديث؟! وتقولون: لا نقبل ... فيكفينا أن علماء جهابذة؛ كشيخ الإسلام ابن تيمية، وابن القيم - وغيرهما - كلهم تلقوه بالقبول ويتكلمون به، وينقلونه؛ فالأثر صحيح.

"Akan tetapi tatkala atsar ini tidak diterima oleh mereka yang terjangkiti penyakit takfir (pengkafiran kaum muslimin secara mutlak dan tidak memakai kaidah-kaidah dalam mengafirkan seseorang -pent), mereka mengatakan: Atsar ini tidak bisa diterima dan tidak berasal dari Ibnu Abbas. Maka kita katakan kepada mereka: Bagaimana bisa atsar tersebut tidak shahih, padahal atsar tersebut telah diterima oleh orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya, lebih banyak keutamaannya dan lebih tahu tentang hadits daripada kalian? Namun anehnya kalian tetap mengatakan: Kami tidak akan menerimanya. Maka cukuplah bagi kita bahwa para ulama yang benar-benar alim seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan lain-lain, semuanya menerima atsar tersebut, berpendapat dengannya dan menukilnya. Alhasil atsar tersebut shahih."

Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah Al Imam Ahmad bin Hambal (wafat tahun 241 H)

Isma'il bin Sa'd berkata dalam Sualaat Ibn Haani (2/192):

Aku bertanya kepada Imam Ahmad (tentang firman Allah ta'ala -pent):

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

Kekufuran apakah yang dimaksud (dalam ayat ini-pent)?, maka beliau menjawab:

كفر لا يخرج من الملة

"Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama".

Dan tatkala Abu Dawud As Sijistaniy bertanya kepada beliau dalam Sualaat (hal.114) tentang ayat tersebut, maka beliau menjawabnya dengan perkataan Thawus dan Atha' yang terdahulu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menceritakan dalam Majmu' Fatawaa (7/254), dan muridnya Ibnul Qayyim dalam (Hukmu Tarikish Shalat, hal 59-60): Bahwa Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang makna kufur yang disebutkan dalam ayat hukum, maka beliau berkata:

كفر لا ينقل عن الملة؛ مثل الإيمان بعضه دون بعض، فكذلك الكفر، حتى يجيء من ذلك أمر لا يختلف فيه

"Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, sebagaimana iman itu bertingkat-tingkat. Demikian pula kekufuran, hingga seseorang melakukan suatu hal yang tidak ada perselisihan di dalamnya (bahwa melakukannya dapat mengeluarkan pelakunya dari agama -pent)."

Al Imam Muhammad Ibn Nashr Al Marwazi

(wafat tahun 294 H)

Beliau berkata dalam Ta'zhimu Qadrish Shalat (2/520):

ولنا في هذا قدوة بمن روى عنهم من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم والتابعين؛ إذ جعلوا للكفر فروعاً دون أصله لا تنقل صاحبه عن ملة الإسلام، كما ثبتوا للإيمان من جهة العمل فرعاً للأصل، لا ينقل تركه عن ملة الإسلامة، من ذلك قول ابن عباس في قوله: وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ .

"Dan kami memiliki panutan dalam perkara ini, yaitu mereka yang meriwayatkan dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari para tabi'in. Yaitu mereka menetapkan bahwa kekufuran itu memiliki cabang-cabang, yang tidak mengeluarkan pelakunya (yakni pelaku cabang-cabang kekufuran tersebut -pent) dari Islam sebagaimana mereka menetapkan bahwa suatu amal merupakan cabang iman sehingga yang meninggalkannya tidak keluar dari Islam. Di antaranya adalah penafsiran Ibnu Abbas tentang firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

Dan beliau juga berkata (2/532) mengomentari perkataan Atha':

"كفر دون كفر، وظلم دون ظلم وفسق دون فسق"-: وقد صدق عطاء؛ قد يسمى الكافر ظالماً، ويسمى العاصي من المسلمين ظالماً، فظلم ينقل عن ملة الإسلام وظلم لا ينقل"

"Kekufuran yang bukan kekufuran (kekufuran kecil), kezaliman yang bukan kezaliman (kezaliman kecil) dan kefasikan yang bukan kefasikan (kefasikan kecil)". Sungguh benar apa yang dikatakan Atha', karena terkadang seorang yang kafir disebut zalim dan terkadang muslim yang bermaksiat disebut zalim. Jadi ada kezaliman yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada kezaliman yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam"

Syaikhul Mufassirin Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabary

(wafat tahun 310 H)

Beliau berkata dalam Jami'ul Bayan (6/166):

وأولى هذه الأقوال عندي بالصواب: قول من قال: نزلت هذه الآيات في كفّار أهل الكتاب، لأن ما قبلها وما بعدها من الآيات ففيهم نزلت، وهم المعنيون بها، وهذه الآيات سياق الخبر عنهم، فكونها خبراً عنهم أولى. فإن قال قائل: فإن الله تعالى قد عمّ بالخبر بذلك عن جميع من لم يحكم بما أنزل الله، فكيف جعلته خاصاً؟! قيل: إن الله تعالى عمّ بالخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به في كتابه جاحدين، فأخبر عنهم أنهم بتركهم الحكم على سبيل ما تركوه كافرون، وكذلك القول في كلّ من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً به، هو بالله كافر؛ كما قال ابن عباس".

"Dan pendapat yang paling benar menurutku adalah pendapat yang menyatakan ayat ini diturunkan untuk orang-orang kafir ahli kitab, karena ayat sebelum dan sesudahnya menerangkan demikian dan merekalah yang menjadi objek pembicaraan dalam ayat itu. Ayat ini merupakan bentuk pemberitaan tentang mereka, maka pendapat yang menyatakan ayat tersebut adalah pemberitaan tentang mereka lebih utama untuk diterima.

Jika ada yang mengatakan: 'Sesungguhnya Allah ta'ala dengan pengabaran dalam ayat tersebut tidak membeda-bedakan dan mencakup seluruh orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka bagaimana bisa kamu mengkhususkannya?'

Jawabannya: 'Sesungguhnya Allah ta'ala dengan ayat ini memberi keumuman terhadap suatu kaum yang mengingkari kewajiban berhukum dengan apa yang ditetapkan Allah dalam kitab-Nya. Maka Dia mengabarkan tentang mereka, bahwa tatkala mereka meninggalkan hukum Allah seperti yang dilakukan orang-orang kafir ahli kitab maka mereka menjadi kafir. Dan demikianlah vonis bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena mengingkarinya maka dia telah kafir kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas."

Al Imam Ibnu Baththah Al Akbari

(wafat tahun 387 H)

Beliau menyebutkan dalam Al Ibanah (2/723), "Bab beberapa dosa yang mengantarkan pelakunya pada kekufuran tanpa mengeluarkannya dari agama":

الحكم بغير ما أنزل الله، وأورد آثار الصحابة والتابعين على أنه كفر أصغر غير ناقل من الملة

"(Di antara dosa-dosa tersebut -pent) adalah berhukum dengan selain hukum Allah, dan terdapat atsar dari para sahabat dan tabi'in bahwa hal itu merupakan kufur asghar dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama."

Al Imam Ibnu Abdil Barr

(wafat tahun 463H)

Beliau berkata dalam At Tamhid (5/74):

"وأجمع العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمد ذلك عالما به، رويت في ذلك آثار شديدة عن السلف، وقال الله عز وجل: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾،﴿ الظَّالِمُونَ ﴾،﴿ الْفَاسِقُونَ ﴾ نزلت في أهل الكتاب، قال حذيفة وابن عباس: وهي عامة فينا؛ قالوا ليس بكفر ينقل عن الملة إذا فعل ذلك رجل من أهل هذه الأمة حتى يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر روي هذا المعنى عن جماعة من العلماء بتأويل القرآن منهم ابن عباس وطاووس وعطاء".

"Ulama sepakat bahwa penyimpangan dari hukum Allah termasuk dosa-dosa besar bagi orang yang sengaja melakukannya sedang dia mengetahui kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah, telah diriwayatkan akan hal itu atsar dari para salaf.

Allah telah berfirman yang artinya: "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." Di ayat sesudahnya "mereka itulah orang-orang yang zalim" dan ayat sesudahnya "mereka itulah orang-orang yang fasik."

Ayat ini diturunkan terkait dengan Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu Abbas berkata: "Ayat ini umum dan mencakup umat kita". Mereka mengatakan: "Akan tetapi hal itu tidak mengeluarkan pelakunya dari agama apabila seseorang dari umat ini melakukannya hingga dia mengkufuri Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kiamat. Penjelasan semisal diriwayatkan dari para ulama' di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Thawus dan Atha'."

Al Imam As Sam'ani

(wafat tahun 510 H)

Beliau berkata dalam tafsirnya terhadap ayat hukum (2/42):

واعلم أن الخوارج يستدلون بهذه الآية، ويقولون: من لم يحكم بما أنزل الله؛ فهو كافر، وأهل السنة قالوا: لا يكفر بترك الحكم.

"Ketahuilah sesungguhnya Khawarij berdalil dengan ayat ini sembari mengatakan: 'Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka dia kafir', sedangkan Ahlus Sunnah tidaklah mengafirkan (kaum muslimin -pent) lantaran tidak berhukum dengan hukum Allah (maksudnya tidak serampangan mengafirkan secara perorangan seperti yang dilakukan Khawarij, akan tetapi harus dirinci -pent).

Al Imam Ibnul Jauzy

(wafat tahun 597 H)

Beliau berkata dalam Zaadul Masir (2/366):

وفصل الخطاب: أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكمم به؛ فهو ظالم فاسق".

"Kesimpulannya adalah: Siapa yang tidak berhukum dengan yang Allah turunkan dengan mengingkari kewajibannya, sedangkan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana perbuatan kaum Yahudi maka dia kafir. Dan barang siapa yang tidak berhukum dengannya karena condong kepada hawa nafsu tanpa mengingkari kewajibannya, maka dia seorang yang zalim fasik. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau berkata: "Barang siapa yang mengingkari apa yang telah Allah turunkan maka dia kafir, dan barang siapa yang mengakui dan tidak menentangnya akan tetapi dia tidak berhukum dengannya maka dia seorang yang zalim lagi fasik".

Al Imam Ibnul 'Arabi

(wafat tahun 543 H)

Beliau rahimahullah berkata dalam Ahkamul Qur'an (2/624):

وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله، فهو تبديل له يوجب الكفر، وإن حكم به هوى ومعصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين".

(Hukum dalam hal ini berbeda -pent), apabila dia berhukum dengan hukum buatannya sendiri dengan keyakinan bahwa itulah hukum Allah, maka ini adalah tabdil (penggantian -pent) terhadap hukum Allah sehingga pelakunya berhak untuk dikafirkan. Akan tetapi apabila dia berhukum dengan hukum selain Allah karena hawa nafsu dan maksiat, maka dia berdosa dan masih berhak untuk mendapatkan ampunan sebagaimana akidah ahlus sunnah tentang ampunan terhadap orang-orang yang berdosa.

Al Imam Al Qurthubi

(wafat tahun 671 H)

Beliau berkata dalam Al Mufhim (5/117):

وقوله ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ يحتج بظاهره من يكفر بالذنوب، وهم الخوارج!، ولا حجة لهم فيه؛ لأن هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى، كما جاء في الحديث، وهم كفار، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب النزول. وبيان هذا: أن المسلم إذا علم حكم الله تعلى في قضية قطعاً ثم لم يحكم به، فإن كان عن جحد كان كافراً، لا يختلف في هذا، وإن كان لا عن جحد كان عاصياً مرتكب كبيرة، لأنه مصدق بأصل ذلك الحكم، وعالم بوجوب تنفيذه عليه، لكنه عصى بترك العمل به، وهذا في كل ما يُعلم من ضرورة الشرع حكمه؛ كالصلاة وغيرها من القواعد المعلومة، وهذا مذهب أهل السنة".

Firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar berdalil dengan ayat ini, tapi ayat ini bukanlah hujjah bagi mereka, karena ayat ini diturunkan terkait dengan Yahudi yang telah merubah firman Allah ta'ala sebagaimana yang diterangkan dalam hadits sedangkan mereka itulah orang kafir.

Maka seseorang yang berhukum dengan hukum selain Allah akan dihukumi sama dengan Yahudi (yakni kafir keluar dari agama -pent) apabila keadaan mereka sesuai dengan asbabun nuzul ayat tersebut (yakni kaum Yahudi dikafirkan karena merubah firman Allah ta'ala -pent).

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya seorang muslim apabila dia mengetahui hukum Allah ta'ala dalam suatu masalah, kemudian dia tidak berhukum dengannya, apabila hal itu dilakukan karena dia menentang hukum Allah maka dia kafir, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Akan tetapi apabila dia melakukan hal itu tanpa maksud menentang maka dia telah melakukan maksiat dan dosa besar, karena dia pada asalnya masih meyakini kebenaran hukum Allah dan dia mengetahui kewajiban untuk melaksanakannya akan tetapi dia bermaksiat ketika tidak mengamalkannya.

Apa yang kami jabarkan ini berlaku dalam segala hal yang telah diketahui hukumnya secara pasti seperti shalat dan selainnya landasan-landasan pokok agama yang lain. Dan inilah mazhab ahlus sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

(wafat tahun 728)

Beliau berkata dalam Majmu' Fatawa (3/267):

والإنسان متى حلّل الحرام المجمع عليه أو حرم الحرام المجمع عليه أو بدل الشرع المجمع عليه كان كافراً مرتداً باتفاق الفقهاء، وفي مثل هذا نزل قوله على أحد القولين : ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ المائدة:44 ؛ أي: المستحل للحكم بغير ما أنزل الله".

"Seseorang tatkala menghalalkan sesuatu yang telah disepakati keharamannya (oleh syariat-pent) atau mengharamkan sesuatu yang telah disepakati kehalalannya atau mengganti salah satu syariat yang telah disepakati maka dia kafir, murtad dengan kesepakatan para ulama'. Dan yang senada dengan hal ini adalah firman Allah ta'ala, menurut salah satu dari dua penafsiran

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"

Maksudnya adalah orang yang beranggapan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah.

وقال في منهاج السنة (5/130): قال تعالى: ﴿ فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا ﴾ النساء:65؛ فمن لم يلتزم تحكيم الله ورسوله فيما شجر بينهم؛ فقد أقسم الله بنفسه أنه لا يؤمن، وأما من كان ملتزماً لحكم الله ورسولة باطناً وظاهراً، لكن عصى واتبع هواه؛ فهذا بمنزلة أمثاله من العصاة. وهذه الآية مما يحتج بها الخوارج على تكفير ولاة الأمر الذين لا يحكمون بما أنزل الله، ثم يزعمون أن اعتقادهم هو حكم الله. وقد تكلم الناس بما يطول ذكره هنا، وما ذكرته يدل عليه سياق الآية".

Dalam Minhajus Sunnah (5/130) beliau berkata:

Allah ta'ala berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An Nisaa': 65).

Maka barang siapa yang tidak komitmen menggunakan aturan Allah dan rasul-Nya sebagai hukum dalam perkara yang mereka perselisihkan, maka Allah telah bersumpah bahwasanya mereka tidak beriman. Adapun seorang yang komitmen dengan hukum Allah dan rasul-Nya baik secara batin dan zhahir akan tetapi dia bermaksiat dan mengikuti hawa nafsunya (sehingga dia menyimpang dari hukum Allah dan rasul-Nya) maka dia termasuk ahli maksiat.

Ayat ini termasuk dalil yang digunakan oleh Khawarij untuk mengkafirkan para penguasa yang tidak berhukum dengan yang Allah turunkan kemudian mereka menyangka bahwa keyakinan mereka tersebut merupakan hukum Allah. Telah banyak pembahasan para ulama akan hal ini, yang tidak mungkin dicantumkan di sini, dan apa yang telah aku sebutkan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh siyaq (rentetan) ayat.

وقال في "مجموع الفتاوى" (7/312): "وإذا كان من قول السلف: (إن الإنسان يكون فيه إيمان ونفاق)، فكذلك في قولهم: (إنه يكون فيه إيمان وكفر) ليس هو الكفر الذي ينقل عن الملّة، كما قال ابن عباس وأصحابه في قوله تعالى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ قالوا: كفروا كفراً لا ينقل عن الملة، وقد اتّبعهم على ذلك أحمد بن حنبل وغيره من أئمة السنة".

Beliau berkata dalam Majmu' Fatawa (7/312): "Termasuk di antara perkataan salaf: 'Sesungguhnya terkadang dalam diri seseorang terdapat keimanan dan kenifakan' dan demikian juga perkataan mereka: 'Sesungguhnya terkadang dalam diri seseorang terdapat keimanan dan kekufuran', (akan tetapi yang di maksud -pent) bukanlah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, hal ini sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas dan para sahabatnya terhadap ayat Allah ta'ala:

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".

Mereka mengatakan: "Mereka telah melakukan perbuatan kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama", dan penafsiran mereka diikuti oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan imam-imam sunnah selain beliau.

Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah

(wafat tahun 751 H)

Dalam Madarijus Salikin (1/336), beliau berkata:

والصحيح: أن الحكم بغير ما أنزل الله يتناول الكفرين: الأصغر والأكبر بحسب حال الحاكم، فإنه إن اعتقد وجوب الحكم بما أنزل الله في هذه الواقعة، وعدل عنه عصياناً، مع اعترافه بأنه مستحق للعقوبة؛ فهذا كفر أصغر. وإن اعتقد أنه غير واجب، وأنه مُخيّر فيه، مع تيقُنه أنه حكم الله، فهذا كفر أكبر. إن جهله وأخطأه، فهذا مخطئ، له حكم المخطئين.

"Yang benar, perbuatan berhukum dengan selain yang Allah turunkan mencakup dua jenis kekufuran, yaitu kufur asghar dan kufur akbar tergantung kondisi yang ada pada seorang hakim. Apabila dia meyakini wajibnya untuk berhukum dengan yang Allah turunkan dalam suatu perkara, kemudian dia berpaling karena maksiat sedangkan dia mengetahui dan meyakini bahwa dia berhak untuk di azab atas perbuatannya tersebut, maka perbuatan ini termasuk kufur asghar. Apabila dia meyakini bahwa berhukum dengan yang Allah turunkan tidak wajib baginya dan dia bebas memilih serta meyakini bahwa yang demikian itu adalah hukum Allah maka perbuatan ini merupakan kufur akbar. Akan tetapi apabila dia tidak tahu hukum Allah dan salah dalam menghukumi, maka dia seorang yang mukhthi' (berbuat salah dengan tidak sengaja -pent) dan berlaku untuknya ketentuan untuk orang yang salah tanpa disengaja."

Beliau berkata dalam Ash Shalat wa Hukmu Taarikiha (hal. 72):

وههنا أصل آخر، وهو الكفر نوعان: كفر عمل. وكفر جحود وعناد. فكفر الجحود: أن يكفر بما علم أن الرسول جاء به من عند الله جحوداً وعناداً؛ من أسماء الرب، وصفاته، وأفعاله، وأحكامه. وهذا الكفر يضاد الإيمان من كل وجه.وأما كفر العمل: فينقسم إلى ما يضاد الإيمان، وإلى ما لا يضاده: فالسجود للصنم، والاستهانة بالمصحف، وقتل النبيِّ، وسبه؛ يضاد الإيمان. وأما الحكم بغير ما أنزل الله ، وترك الصلاة؛ فهو من الكفر العملي قطعاً".

"Ada kaidah yang patut diperhatikan, yaitu kekufuran itu ada dua jenis, kufur amali dan kufur juhud wa inad. Yang dimaksud dengan kufur juhud adalah seseorang mengkufuri dan menentang ajaran rasul baik berupa nama-nama dan sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya padahal dia mengetahui bahwa itu berasal dari sisi Allah, maka kekufuran jenis ini meniadakan iman secara keseluruhan. Adapun kufur amali dibagi dua, yaitu yang meniadakan iman dan yang tidak meniadakan iman. Sujud kepada berhala, meremehkan mushaf al-Qur'an, membunuh dan mencela para nabi merupakan kufur amali yang meniadakan iman. Adapun berhukum dengan selain hukum Allah, meninggalkan shalat maka ini jelas termasuk kufur amali yang boleh jadi meniadakan atau tidak meniadakan iman."

Al Hafizh Ibnu Katsir

(wafat tahun 774)

Beliau rahimahullah berkata dalam Tafsirul Qur'anil Azhim (2/61) ketika menafsiri firman Allah ta'ala:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

لأنهم جحدوا حكم الله قصداً منهم وعناداً وعمداً، وقال ههنا: (فَأُوْلَـئِكَ هُم الظَّالِمُونَ) لأنهم لم ينصفوا المظلوم من الظالم في الأمر الذي أمر الله بالعدل والتسوية بين الجميع فيه، فخالفوا وظلموا وتعدوا".

"(Mereka dikafirkan -pent) karena mereka menentang hukum Allah secara langsung dan sengaja."

Dan Allah juga berfirman dalam surat yang sama:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."

Mereka disebut dengan zalim karena mereka tidak berlaku adil terhadap orang-orang yang di zalimi dalam suatu perkara yang Allah telah perintahkan untuk berlaku adil di dalamnya -baik terhadap orang zalim maupun tidak-, malahan mereka menyelisihi perintah Allah tersebut, berbuat zalim dan melampaui batas.

Al Imam Asy Syathibi

(wafat tahun 790)

Beliau berkata dalam Al Muwafaqat (4/39):

"هذه الآية والآيتان بعدها نزلت في الكفار، ومن غيّر حكم الله من اليهود، وليس في أهل الإسلام منها شيء؛ لأن المسلم -وإن ارتكب كبيرة- لا يقال له: كافر"

"Ayat ini dan dua ayat sesudahnya diturunkan terhadap orang-orang kafir Yahudi yang telah merubah hukum-hukum Allah. Ayat ini sama sekali tidak boleh digunakan terhadap kaum muslimin (yakni untuk mengafirkan mereka -pent), karena seorang muslim yang mengerjakan dosa besar tidak disebut orang kafir."

Al Imam Ibnu Abil 'Izz Al Hanafi

(wafat tahun 791)

Beliau berkata dalam Syarah Aqidah Thahawiyah (hal. 323):

وهنا أمر يجب أن يتفطن له، وهو: أن الحكم بغير ما أنزل الله قد يكون كفراً ينقل عن الملة، وقد يكون معصية: كبيرة أو صغيرة، ويكون كفراً: أما مجازاً؛ وإما كفراً أصغر، على القولين المذكورين. وذلك بحسب حال الحاكم: فإنه إن اعتقد أن الحكم بما أنزل الله غير واجب، وأنه مخير فيه، أو استهان به مع تيقنه أنه حكم الله؛ فهذا أكبر. وإن اعتقد وجوب الحكم بما أنزل الله، وعلمه في هذه الواقعه، وعدل عنه مع اعترافه بأنه مستحق للعقوبة؛ فهذا عاص، ويسمى كافراً كفراً مجازيا، أو كفراً أصغر. وإن جهل حكم الله فيها مع بذل جهده واستفراغ وسعه في معرفة الحكم وأخطأه؛ فهذا مخطئ، له أجر على اجتهاده، وخطؤه مغفور.

"Di sini ada hal yang harus dipahami dengan benar, yaitu bahwa berhukum dengan selain hukum Allah terkadang merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari Islam dan terkadang bisa berupa kemaksiatan baik besar maupun kecil. Dan juga terkadang bisa berbentuk kekufuran majazi (kiasan) yang disebut juga dengan kufur kecil. Ada dua pendapat dalam hal ini sebagaimana yang telah disebutkan. Dan kekufuran ini tergantung kondisi orang yang berhukum (memutuskan).

Apabila ia berkeyakinan bahwa berhukum kepada hukum Allah itu tidak wajib, ada alternatif lain atau dia meremehkannya padahal dia yakin itu adalah hukum Allah, maka hal itu merupakan kekufuran besar.

Namun apabila dia yakin kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah dan dalam konteks yang terjadi dia juga menyadari hal itu kemudian dia menyimpang dari hukum Allah sedang dia tahu dia berhak mendapatkan siksa maka orang ini bermaksiat. Dia disebut kafir secara kiasan saja atau disebut juga kufur kecil. Dan apabila dia tidak mengetahui hukum Allah dalam perkara itu setelah dia mengerahkan segala kemampuan untuk mengetahui hukumnya kemudian dalam memutuskan ternyata salah, maka ia adalah seorang mukhthi' (bersalah tanpa disengaja -pent). Dia mendapat satu ganjaran atas ijtihadnya, sedangkan kesalahannya diampuni."

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani

(wafat tahun 852 H)

Beliau berkata dalam Fathul Baari (13/120):

"إن الآيات، وإن كان سببها أهل الكتاب، لكن عمومها يتناول غيرهم، لكن لما تقرر من قواعد الشريعة: أن مرتكب المعصية لا يسمى: كافراً، ولا يسمى - أيضاً - ظالماً؛ لأن الظلم قد فُسر بالشرك، بقيت الصفة الثالثة"؛ يعني الفسق.

"Sesungguhnya ayat-ayat ini (yakni ayat-ayat yang membicarakan tentang berhukum kepada selain hukum Allah yang terdapat dalam surat Al Maaidah -pent) walaupun sebab diturunkannya adalah karena perbuatan ahli kitab akan tetapi keumuman ayat-ayat tersebut juga mencakup selain mereka (termasuk kaum muslimin -pent). Namun tatkala terdapat kaidah syariat, yaitu pelaku maksiat tidak disebut kafir dan juga tidak disebut zalim, karena makna zalim adalah syirik, maka yang tersisa adalah sifat yang ketiga bagi orang Islam yang berhukum dengan hukum Allah yakni fasik."

Al Allamah Abdul Lathif bin Abdirrahman Alus Syaikh

(wafat tahun 1293 H)

Beliau berkata dalam Minhajut Ta'sis (hal. 71):

وإنما يحرُم إذا كان المستند إلى الشريعة باطلة تخالف الكتاب والسنة، كأحكام اليونان والإفرنج والتتر، وقوانينهم التي مصدرها آراؤهم وأهوائهم، وكذلك البادية وعادتهم الجارية... فمن استحل الحكم بهذا في الدماء أو غيرها؛ فهو كافر، قال تعالى : ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ ... وهذه الآية ذكر فيها بعض المفسرين: أن الكفر المراد هنا: كفر دون الكفر الأكبر؛ لأنهم فهموا أنها تتناول من حكم بغير ما أنزل الله، وهو غير مستحل لذلك، لكنهم لا ينازعون في عمومها للمستحل، وأن كفره مخرج عن الملة".

"Sesungguhnya yang haram adalah jika seseorang bersandar pada suatu aturan yang batil dan menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah seperti undang-undang Yunani, Eropa, Tartar, dan undang-undang mereka yang bersumber dari pemikiran-pemikiran dan hawa nafsu mereka.

Maka barang siapa yang menganggap boleh untuk berhukum dengan undang-undang tersebut dalam permasalahan darah atau selainnya, maka dia seorang yang kafir (keluar dari agama -pent). Allah ta'ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".

Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa kekufuran yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kekufuran yang bukan kekufuran akbar (yakni tidak mengeluarkan pelakunya dari agama -pent), karena mereka (yakni sebagian ahli tafsir) memahami bahwa ayat ini juga mencakup setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah meskipun orang tersebut tidak menghalalkan perbuatannya tersebut (yakni tetap meyakini akan kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah tapi dia menyimpang dari hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu -pent). Namun ahli tafsir tidak berselisih akan kekufuran orang yang menghalalkan perbuatan tersebut (yakni menghalalkan untuk tidak berhukum kepada hukum Allah -pent) dan bahwa kekufuran mereka itu mengeluarkan dari agama."

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'dy

(wafat tahun 1307 H)

Beliau berkata dalam Taisirul Karimir Rahman (2/296-297):

فالحكم بغير ما أنزل الله من أعمال أهل الكفر، وقد يكون كفرً ينقل عن الملة، وذلك إذا اعتقد حله وجوازه، وقد يكون كبيرة من كبائر الذنوب، ومن أعمال الكفر قد استحق من فعله العذاب الشديد .. ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ قال ابن عباس: كفر دون كفر، وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق، فهو ظلم أكبر عند استحلاله، وعظيمة كبيرة عند فعله غير مستحل له".

"Berhukum kepada selain hukum Allah merupakan amalan orang kafir. Terkadang perbuatan tersebut merupakan kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, yaitu apabila pelakunya meyakini kehalalan dan bolehnya hal tersebut. Dan terkadang hal itu merupakan dosa besar dan termasuk perbuatan kekufuran sehingga orang yang melakukannya mendapatkan siksa yang sangat pedih.

Allah ta'ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

Ibnu Abbas berkata: "Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, kezaliman yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, kefasikan yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama". Maka perbuatan tersebut merupakan kezaliman akbar (yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama -pent) ketika pelakunya menghalalkan perbuatan tersebut, dan merupakan dosa besar (dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama -pent) ketika dia melakukannya tanpa menghalalkan hal tersebut."

Al Allamah Shiddiq Hasan Khan

(wafat tahun 1307 H)

Beliau berkata dalam Ad Dinul Khalis (3/305):

"الآية الكريمة الشريفة تنادي عليهم بالكفر، وتتناول كل من لم يحكم بما أنزل الله، أللهم إلا أن يكون الإكراه لمهم عذراً في ذلك، أو يعتبر الاستخفاف أو الاستحلال؛ لأن هذه القيود إذا لم تعتبر فيهم، لا يكون أحد منهم ناجياً من الكفر والنار أبداً".

"Ayat yang mulia ini mencakup mereka (yang berhukum dengan selain hukum Allah -pent) dengan kekufuran dan ayat ini juga mencakup setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, terkecuali mereka yang dipaksa, maka mereka memiliki udzur. Mereka dicap dengan kekufuran dengan syarat mereka melakukannya dengan penghalalan atas perbuatan mereka dan meremehkan hukum Allah, apabila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan (yakni sikap menghalalkan dan meremehkan -pent), maka tidak akan ada seorangpun yang akan dapat selamat sama sekali dari kekufuran dan neraka."

Samahatusy Syaikh Al Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh

(wafat tahun 1389 H)

Beliau berkata dalam Majmu'ul Fatawa (1/80):

وكذلك تحقيق معنى محمد رسول الله: من تحكيم شريعته، والتقيد بها، ونبذ ما خالفها من القوانين والأوضاع وسائر الأشياء التي ما أنزل الله بها من سلطان، والتي من حكم بها يعني القوانين الوضعية أو حاكم إليها؛ معتقداً صحة ذلك وجوازه؛ فهو كافر الكفر الناقل عن الملة، فإن فعل ذلك بدون اعتقاد ذلك وجوازه؛ فهو كافر الكفر العملي الذي لا ينقل عن الملّة".

"Dan demikian pula termasuk pemurnian makna syahadat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah rasul Allah, yaitu berhukum dengan syariat beliau, berpegang teguh dengannya dan mengesampingkan undang-undang yang menyelisihinya dan segala aturan yang tidak diturunkan oleh Allah.

Seseorang yang berhukum atau meminta hukum suatu perkara dengan undang-undang buatan manusia dengan meyakini bolehnya hal tersebut, maka dia telah kafir dan keluar dari agama. Namun apabila dia melakukannya tanpa meyakini bahwa hal tersebut halal dan boleh, maka dia melakukan kufur amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam."

Al Allamah Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithy

(wafat tahun 1393 H)

Beliau berkata dalam Adwa'ul Bayan (2/104):

واعلم: أن تحرير المقال في هذا البحث: أن الكفر والظلم والفسق، كل واحد منها أطلق في الشرع مراداً به المعصية تارة، والكفر المخرج من الملة أخرى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معارضاً للرسل، وإبطالاً لأحكام الله؛ فظلمه وفسقه وكفره كلها مخرج من الملة. ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معتقداً أنه مرتكب حراماً، فاعل قبيحاً، فكفره وظلمه وفسقه غير مخرج من الملة"

"Ketahuilah, bahwa kesimpulan dari pembahasan ini, bahwa penggunaan istilah kekufuran, kezaliman dan kefasikan dalam dalil-dalil syariat terkadang maksudnya adalah kemaksiatan dan terkadang yang dimaksud adalah sesuatu yang mengeluarkan dari Islam.

Maka barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah karena menentang para rasul dan membatalkan hukum Allah, maka kekufuran, kezaliman dan kefasikannya mengeluarkannya dari Islam. Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah sedang dia meyakini bahwa dia telah melakukan keharaman dan melakukan kejelekan, maka kekufuran, kezaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkan dia dari Islam."

Muhaddits Abad Ini Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani

(wafat tahun 1421 H)

Beliau berkata dalam At Tahdzir min Fitnatit Takfir (hal. 56) :

" ... ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾؛ فما المراد بالكفر فيها؟ هل هو الخروج عن الملة؟ أو أنه غير ذلك؟، فأقول: لا بد من الدقة في فهم الآية؛ فإنها قد تعني الكفر العملي؛ وهو الخروج بالأعمال عن بعض أحكام الإسلام. ويساعدنا في هذا الفهم حبر الأمة، وترجمان القرآن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، الذي أجمع المسلمون جميعاً - إلا من كان من الفرق الضالة - على أنه إمام فريد في التفسير. فكأنه طرق سمعه - يومئذ - ما نسمعه اليوم تماماً من أن هناك أناساً يفهمون هذه الأية فهماً سطحياً، من غير تفصيل، فقال رضي الله عنه: "ليس الكفر الذي تذهبون إليه"، و:"أنه ليس كفراً ينقل عن الملة"، و:"هو كفر دون كفر"، ولعله يعني: بذلك الخوارج الذين خرجوا على أمير المؤمنين علي رضي الله عنه، ثم كان من عواقب ذلك أنهم سفكوا دماء المؤمنين، وفعلوا فيهم ما لم يفعلوا بالمشركين، فقال: ليس الأمر كما قالوا! أو كما ظنوا! إنما هو: كفر دون كفر...".

"....Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Kekufuran apakah yang dimaksud dalam ayat ini? Apakah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam ataukah tidak? Aku berkata, (kita) harus teliti dalam memahami ayat ini. Dan terkadang yang dimaksud oleh ayat adalah kufur amali, yaitu melakukan beberapa perbuatan yang mengeluarkan pelakunya dari sebagian hukum-hukum Islam.

Pemahaman kita ini didukung oleh Habrul Ummah dan Penafsir al-Qur'an Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin -kecuali kelompok-kelompok sesat- bahwa beliau adalah seorang imam yang tiada bandingnya dalam tafsir al-Qur'an. (dengan penafsiran beliau terhadap ayat ini -pent) seakan-akan beliau ketika itu telah mendengar apa yang kita dengar pada hari ini bahwa di sana ada sekelompok orang yang memahami ayat ini dengan pemahaman yang dangkal tanpa perincian.

Beliau berkata (tentang tafsir ayat ini -pent): "(Kekufuran yang dimaksud -pent) bukan seperti yang kalian duga, bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama". (Akan tetapi yang dimaksud -pent) adalah kufrun duna kufrin".

Mungkin yang beliau maksudkan dengan hal itu adalah kaum Khawarij yang memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali radhiyallahu 'anhu, dan termasuk akibat dari perbuatan mereka adalah tertumpahnya darah kaum mukminin, mereka melakukan perbuatan keji terhadap kaum mukminin yang tidak mereka lakukan kepada kaum musyrikin, maka beliau berkata terhadap mereka, "Bukanlah perkara itu sebagaimana yang mereka katakan dan mereka duga, akan tetapi yang dimaksud adalah kufrun duna kufrin (kekafiran yang tidak mengeluarkan dari islam)".

Samahatusy Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz

(wafat tahun 1420 H)

Beliau berkata dalam surat kabar Asy Syarq Al Ausath nomor 6156 tanggal 12/5/1416, beliau berkata di dalamnya:

اطلعت على الجواب المفيد القيّم الذي تفضل به صاحب الفضيلة الشيخ محمد ناصر الدين الألباني - وفقه الله - المنشور في جريدة "الشرق الأوسط" وصحيفة "المسلمون" الذي أجاب به فضيلته من سأله عن تكفير من حكم بغير ما أنزل الله - من غير تفصيل -، فألفيتها كلمة قيمة قد أصاب فيه الحق، وسلك فيها سبيل المؤمنين، وأوضح - وفقه الله - أنه لا يجوز لأحد من الناس أن يكفر من حكم بغير ما أنزل الله - بمجرد الفعل - من دون أن يعلم أنه استحلّ ذلك بقلبه، واحتج بما جاء في ذلك عن ابن عباس - رضي الله عنهما - وغيره من سلف الأمة. ولا شك أن ما ذكره في جوابه في تفسير قوله تعالى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾، ﴿...الظَّالِمُونَ ﴾، ﴿ ...الْفَاسِقُونَ ﴾، هو الصواب، وقد أوضح - وفقه الله - أن الكفر كفران: أكبر وأصغر، كما أن الظلم ظلمان، وهكذا الفسق فسقان: أكبر وأصغر، فمن استحل الحكم بغير ما أنزل الله أو الزنا أو الربا أو غيرهما من المحرمات المجمع على تحريمها فقد كفر كفراً أكبر، ومن فعلها بدون استحلال كان كفره كفراً أصغر وظلمه ظلماً أصغر وهكذا فسقه".

"Aku telah meneliti jawaban yang sangat bermanfaat yang diberikan oleh shohibul fadlilah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -semoga Allah memberikan taufik padanya- yang beredar pada surat kabar Asy Syarq Al Ausath dan Al Muslimun sebagai jawaban atas seseorang yang telah bertanya kepada beliau tentang pengkafiran terhadap orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah secara mutlak tanpa perincian. Maka aku temukan jawaban yang berharga di dalamnya, sesuai dengan kebenaran dan hal tersebut merupakan jalannya orang-orang mukmin.

Beliau (Syaikh Al Albani -pent) menjelaskan bahwa tidak boleh bagi siapapun mengkafirkan seseorang yang tidak berhukum kepada hukum Allah dengan hanya melihat perbuatannya semata tanpa mengetahui apakah dia menghalalkan perbuatan tersebut dengan hatinya, dan beliau beralasan dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan imam-imam salaf selain beliau.

Dan tidak diragukan lagi, apa yang beliau sebutkan dalam jawaban tentang tafsir firman Allah pada surat Al Maidah ayat 44, 45 dan ayat 47 adalah benar. Beliau telah menjelaskan bahwa kekufuran itu ada 2 jenis, yakni kufur akbar dan asghar demikian pula kezaliman dan kefasikan. Maka barang siapa menghalalkan untuk berhukum dengan hukum selain Allah, menghalalkan zina, riba atau perbuatan-perbuatan yang telah disepakati keharamannya maka sungguh dia telah kafir dengan kekufuran akbar. Akan tetapi barang siapa yang melakukan perbuatan tersebut tanpa menghalalkannya maka kekufuran yang dilakukannya merupakan kekufuran ashghar dan demikian pula kezaliman dan kefasikan yang dia lakukan."

Faqihuz Zaman, Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

(wafat tahun 1421 H)

Dalam sebuah kaset berjudul At Tahrir fii Mas'alatit Takfir pada tanggal 22/4/1420 beliau ditanya:

إذا ألزم الحاكم الناس بشريعة مخالفة للكتاب والسنة مع اعترافه بأن الحق ما في الكتاب والسنة لكنه يرى إلزام الناس بهذا الشريعة شهوة أو لاعتبارات أخرى، هل يكون بفعله هذا كافراً أم لابد أن يُنظر في اعتقاده في هذه المسألة؟

"Apabila seorang hakim mewajibkan manusia untuk mengikuti aturan yang menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah padahal dia mengetahui kebenaran adalah segala yang berada dalam al-Qur'an dan as-Sunnah akan tetapi dia memaksa manusia untuk mengikuti aturan ini karena itulah yang sesuai dengan keinginannya atau pertimbangan yang lain, maka apakah dengan perbuatannya tersebut dia kafir atau harus meneliti keyakinannya dalam masalah tersebut?"

فأجاب: "... أما في ما يتعلق بالحكم بغير ما أنزل الله؛ فهو كما في كتابه العزيز، ينقسم إلى ثلاثة أقسام: كفر، وظلم، وفسق، على حسب الأسباب التي بُني عليها هذا الحكم، فإذا كان الرجل يحكم بغير ما أنزل الله تبعاً لهواه مع علمه أن بأن الحق فيما قضى الله به ؛ فهذا لا يكفر لكنه بين فاسق وظالم، وأما إذا كان يشرع حكماً عاماً تمشي عليه الأمة يرى أن ذلك من المصلحة وقد لبس عليه فيه فلا يكفر أيضاً، لأن كثيراً من الحكام عندهم جهل بعلم الشريعة ويتصل بمن لا يعرف الحكم الشرعي، وهم يرونه عالماً كبيراً، فيحصل بذلك مخالفة، وإذا كان يعلم الشرع ولكنه حكم بهذا أو شرع هذا وجعله دستوراً يمشي الناس عليه؛ نعتقد أنه ظالم في ذلك وللحق الذي جاء في الكتاب والسنة أننا لا نستطيع أن نكفر هذا، وإنما نكفر من يرى أن الحكم بغير ما أنزل الله أولى أن يكون الناس عليه، أو مثل حكم الله عز وجل فإن هذا كافر لأنه يكذب بقول الله تعالى: ﴿ أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ ﴾ وقوله تعالى: ﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾.

Maka beliau menjawab: "Adapun permasalahan yang berkaitan dengan berhukum kepada selain hukum Allah, maka sebagaimana dalam al-Qur'an pelakunya terbagi menjadi 3 jenis, yaitu kafir, zalim, dan fasik, tergantung sebab-sebab yang mendasari (perbuatan)nya. Apabila seseorang berhukum kepada selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsunya sedangkan dia mengetahui bahwa kebenaran itu terletak pada putusan Allah, maka dia tidak kafir akan tetapi dia seorang yang fasik atau zalim.

Jika dia membuat suatu aturan umum yang harus dilakukan oleh umat karena dia (hakim -pent) memandang bahwa hal itu termasuk hal yang bermanfaat dikarenakan ada orang yang membuat kerancuan padanya, maka dia tidak kafir, karena sebagian besar penguasa itu bodoh terhadap ilmu syariat dan berhubungan dengan orang-orang yang tidak mengetahui hukum syar'i namun mereka menganggap sebagai seorang yang sangat alim. Oleh karena itu penguasa tadi terjerumus dalam kesalahan.

Apabila penguasa itu mengetahui syariat akan tetapi dia berhukum dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah yang menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah kemudian menjadikannya pedoman/undang-undang agar manusia melaksanakannya, kami berkeyakinan bahwa dia adalah seorang yang zalim dalam perbuatannya dan zalim terhadap apa yang terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, sesungguhnya kami tidak mampu untuk mengkafirkan pelaku perbuatan tadi, hanya saja yang kami kafirkan adalah orang yang menganggap manusia itu lebih baik berhukum dengan selain hukum Allah atau menganggap hukum Allah 'azza wa Jalla itu sama dengan hukum manusia maka dia kafir karena mendustakan firman Allah ta'ala,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

"Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?"

Dan firman-Nya:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?."

Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab saudi

الفتوى رقم (6310): س: ما حكم من يتحاكم إلى القوانين الوضعية، وهو يعلم بطلانها، فلا يحاربها، ولا يعمل على إزالتها؟ ج: "الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على رسوله، وآله وصحبه؛ وبعد: الواجب التحاكم إلى كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم عند الاختلاف، قال تعالى: ﴿ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴾، وقال تعالى: ﴿ فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا ﴾. والتحاكم يكون إلى كتاب الله تعالى وإلى سنة الرسول صلى الله عليه وسلم، فإن لم يكن يتحاكم إليها مستحلاً التحاكم إلى غيرهما من القوانين الوضعيه بدافع طمع في مال أو منصب؛ فهو مرتكب معصية، وفاسق فسقاً دون فسق، ولا يخرج من دائرة الإيمان".

Fatwa nomor 6310:

Soal:

"Apakah hukum seseorang yang meminta untuk dihukumi dengan undang-undang positif padahal dia mengetahui kebatilannya, namun dia tidak memerangi dan tidak berusaha untuk menghapusnya?"

Jawab :

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya, wa ba'du.

Wajib bagi setiap muslim untuk meminta dihukumi dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala terjadi perselisihan.

Allah ta'ala berfiman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Dan juga Allah ta'ala berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْل

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."

Maka hanya boleh meminta dihukumi dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila seseorang tidak minta dihukumi dengan keduanya tanpa menganggap boleh karena dorongan rakus harta dan kedudukan, maka dia pelaku kemaksiatan, seorang yang fasik akan tetapi tidak keluar dari keimanan.

Al Allamah Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah

سُئل في المسجد النبوي في درس شرح سنن أبي داود بتاريخ: 16/11/1420 :

هل استبدال الشريعة الإسلامية بالقوانين الوضعية كفر في ذاته؟ أم يحتاج إلى الاستحلال القلبي والاعتقاد بجواز ذلك؟ وهل هناك فرق في الحكم مرة بغير ما أنزل الله، وجعل القوانين تشريعاً عاماً مع اعتقاد عدم جواز ذلك؟

فأجاب: "يبدو أنه لا فرق بين الحكم في مسألة، أو عشرة، أو مئة، أو ألف - أو أقل أو أكثر

- لا فرق؛ ما دام الإنسان يعتبر نفسه أنه مخطئ، وأنه فعل أمراً منكراً، وأنه فعل معصية، وانه خائف من الذنب، فهذا كفر دون كفر.

وأما مع الاستحلال - ولو كان في مسألة واحدة، يستحل فيها الحكم بغير ما أنزل الله، يعتبر نفسه حلالاً-؛ فإنه يكون كافراً ".

Beliau ditanya di Masjid Nabawi pada saat pelajaran Syarah Sunan Abu Dawud tanggal 16/11/1420, "Apakah perbuatan mengganti syariat Islam dengan undang-undang positif merupakan perbuatan kekufuran tanpa melihat orangnya? Atau membutuhkan penghalalan dari hati dan adanya keyakinan bolehnya hal tersebut? Apakah terdapat perbedaan dalam berhukum dengan selain hukum Allah dalam kasus tertentu, dengan menetapkan undang-undang positif sebagai aturan secara umum diiringi keyakinan tidak bolehnya hal tersebut?"

Maka beliau menjawab:

Tidak ada perbedaan seseorang itu berhukum dengan selain hukum Allah sekali, sepuluh kali, seratus kali atau seribu kali, baik kurang dari itu atau lebih banyak dari itu. Selama seseorang menganggap dirinya salah, melakukan perbuatan mungkar dan maksiat serta dia takut akan dosa dari perbuatannya tersebut, maka perbuatannya ini adalah kufur duna kufrin (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pent)

Namun jika diiringi dengan penghalalan, yaitu menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah dan dirinya menganggap hal itu halal maka dia telah kafir (keluar dari Islam -pent) meski dia melakukannya hanya dalam satu kasus.

Segala puji bagi Allah ta'ala.

Selesai diterjemahkan secara bebas tanggal 3 Jumadil Awal 1427 H.

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar, SS

***

Berikut ini sebuah komentar yang diberikan oleh salah seorang pembaca muslim.or.id terhadap artikel “Anda Salah Paham Tentang Manhaj Salaf yang tidak kami tampilkan. Jazaakumullohu khoirul jaza’ kepada ikhwah kita yang telah memberikan komentar, kepada ustadz Muhammad Arifin, dan seluruh pembaca.

Berikut komentarnya:

Akhuna Suripan berkata:

Bismillahirrahmanirrakhim Assalamu'alaikum Wr.Wb. Saudaraku Seiman yang saya cintai karena Allah. Puji syukur kehadirat Allah dan Salawat beserta Salam kepada junjungan kita Muhammad SAW, keluarga, para sahabat beliau yang mulia. Saya bukanlah orang yang alim di antara kalian dan bukan juga syaikh yang diagung-agungkan. Saya hanya seorang muslim biasa yang sangat prihatin melihat perkembangan umat Islam dewasa ini khususnya yang melibatkan saudara-saudara yang mengaku dirinya sebagai Salafiyun. Maha Suci Allah yang telah mengkaruniakan ilmuNya kepada saudara-saudara hingga saudara-saudara mempunyai kemampuan hujjah yang baik dalam menyampaikan ajaran Addin ini kepada ummat. Bak ibarat pedang saudara-saudara mempunyai pedang dengan mata pedang yang sangat tajam, segala puji hanya milik Allah yang berhak menerima pujian.

Alhamdulillah pada pembukaan tulisan ini, akhuna Suripan menunjukkan sikap jujur dan semoga ini keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sikap jujur yang membawanya berterus terang mengutarakan fenomena yang terjadi di medan dakwah, yaitu yang berkaitan dengan keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri ikhwah-ikhwah yang mendakwahkan dan berupaya meniti metode ulama salaf dalam beragama. Yaitu kelebihan berupa karunia dari Allah berupa ilmu agama, sehingga mereka seperti yang diutarakan oleh akhuna Suripan memiliki kemampuan hujjah yang baik dalam menyampaikan ajaran agama kepada umat. Sikap jujur ini semoga senantiasa membawa keberkahan dalam kehidupan akhuna Suripan, dan menjadi modal besar baginya dalam mencari kebenaran dan mengamalkannya, Amin.

Selanjutnya untuk sedikit membuktikan kepada para pembaca bahwa karunia ini ilmu yang didasari oleh hujjah yang jelas nan shahih/otentik adalah karunia terbesar yang didapatkan oleh umat manusia setelah hidayah mengikrarkan syahadat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah, saya akan sebutkan beberapa dalil yang membuktikan hal itu:

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujaadalah: 11)

Ulama ahli tafsir menegaskan bahwa maksud dari ayat ini adalah: Allah akan meninggikan kedudukan orang-orang yang beriman sebagai balasan bagi amalan mereka, sebagaimana Allah juga akan memberikan kelebihan bagi orang-orang yang berilmu dari kaum kalangan orang-orang yang beriman, sehingga kedudukan mereka lebih tinggi dibanding orang mukmin lainnya beberapa derajat. (Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thabary 28/19).

Dan di antara dalil yang menunjukkan akan keutamaan ilmu dan orang yang berilmu adalah firman Alloh Ta'ala:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ

"Katakanlah: 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. Az Zumar: 9)

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata: "Sesungguhnya yang dapat mengetahui perbedaan antara kelompok ini (yang berilmu) dari kelompok itu (yang tidak berilmu) hanyalah orang-orang yang memiliki akal." (Tafsir Ibnu Katsir 4/48).

Ini sebagian dari sekian banyak dalil yang membuktikan bahwa orang yang berilmu lebih utama dibanding orang yang tidak berilmu. Dan bukan hanya sekedar itu, pada ayat ke-2 Allah mengisyaratkan bahwa yang dapat membedakan antara mereka hanyalah orang-orang yang memiliki akal sehat, sehingga dengan akalnya yang sehat ia dapat mengetahui bahwa orang yang berilmu lebih utama dibanding yang tidak berilmu. Saya rasa hal ini sangat jelas dan gamblang bagi orang-orang yang benar-benar berakal sehat, dan hatinya tidak ditutupi oleh dosa fanatis golongan, ashabiyah terhadap guru, atau noda-noda perbuatan dosa. Dan saya yakin, akhuna Suripan adalah termasuk salah seorang yang dapat mengetahui perbedaan antara keduanya, sehingga dengan jujur dan tanpa rasa malu akhuna suripan mengakui akan kelebihan ilmu yang ada pada orang-orang yang mengakui dan berusaha meniti manhaj salaf, dibanding lainnya. Dan menurut akhuna, mereka yang mengakui meniti manhaj salaf (salafiyyin) bak telah memiliki senjata tajam, dan ini adalah modal besar untuk berjihad dan beramal. Dan ini adalah pengakuan bahwa bila salafiyyun berhasil mengarahkan senjata tajamnya ini dengan baik dan benar, niscaya akan berhasil mengalahkan musuh. Tentu dari pengakuan ini tersirat pengakuan lain bahwa, selain mereka (salafiyyun) belum atau tidak memiliki senjata yang tajam, sehingga mana mungkin mereka dapat mengalahkan musuh bila senjatanya tumpul atau bahkan tidak memiliki senjata sama sekali. Atau bahkan yang dimilikinya adalah racun yang ia anggap sebagai obat, sehingga bukannya sembuh dari penyakit yang ia derita, akan tetapi kebinasaanlah yang akan ia temui.

Untuk mengetahui kebenaran dari pengakuan tersirat dari akhuna Suripan, maka kita harus tahu bahwa sumber kekuatan dan sebab datangnya pertolongan Allah kepada umat islam ialah iman dan amal shalih yang didasari oleh dalil dari Al Quran dan As Sunnah, bukan dengan rekayasa sendiri-sendiri, oleh karena itu Allah memerintahkan kita dengan firmannya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

"Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali (agama) Allah, dan jangan sekali-kali kamu bercerai berai." (QS. Ali Imran: 103)

Sebagaimana Allah juga memerintahkan agar tidak bercerai berai dan saling berselisih, karena perselisihan itu adalah sumber petaka, di dunia dan akhirat, dan sebab terjadinya kekalahan ketika menghadapi musuh. Allah ta'ala berfirman:

وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَاجَآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلاَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهُُ وَتَسْوَدُّ وُجُوهُ

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram." (QS. Ali Imran: 104-105)

Dan bila kita bertanya: Apakah tolok ukur persatuan dan kesatuan menurut Allah dan Rasul-Nya?

Untuk mengetahui jawaban pertanyaan cerdas ini, maka marilah kita merenungkan firman Allah berikut:

وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ

"Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu saling berselisih, sehingga kamu menemui kegagalan dan hilanglah kekuatanmu." (QS. Al Anfaal: 46)

Amatilah, pada ayat ini Allah ta'ala menjadikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya sebagi lawan dari perselisihan, dan perselisihan/perbedaan adalah sumber/biang kerok bagi kelemahan dan hilangnya kekuatan umat islam.

Dan sudah barang tentu, kita semua sadar bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya hanyalah akan terealisasi, bila kita benar-benar mengamalkan Al Quran dan As Sunnah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sahabatnya dan ulama' terdahulu (salafus sholeh). Dan sudah barang tentu ini semua tidak akan dapat terealisasi tanpa adanya ilmu.

Wasiat dari Allah ini juga ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabda beliau berikut:

لا تختلفوا فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا

"Janganlah kamu saling berselisih, karena umat sebelummu telah berselisih, sehingga mereka binasa/ runtuh." (HSR Muslim)

Inilah sumber permasalahan, dan inilah sumber kelemahan yang harus segera dibenahi dan diperangi, yaitu adanya berbagai penyelewengan dari ajaran Al Quran dan As Sunnah. Inilah sebab terjadinya kemunduran sekaligus kekalahan umat islam dari selain mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Umat Islam mundur dan kalah bukanlah karena kekurangan pengikut, atau kalah dalam hal teknologi atau persenjataan. Akan tetapi sebab utamanya ialah apa yang telah saya jabarkan di atas, yaitu umat islam pada zaman ini berusaha mencari kemuliaan dari selain jalan Alloh dan Rasul-Nya, dan mencampakkan jauh-jauh syariat yang telah diajarkan dalam Al Quran dan As Sunnah.

Saya harap akhuna Suripan sudi menjawab pertanyaan saya berikut: Apakah yang dapat dipetik oleh umat islam sekarang ini dari kemajuan Pakistan & Iran dalam hal persenjataan nuklir yang telah mereka miliki? Bukankah antum tahu bahwa banyak dari umat islam yang telah berhasil mencapai kemajuan dalam berbagai IPTEK, memiliki kekayaan yang melimpah ruah, akan tetapi apa yang dapat dirasakan oleh umat islam dari berbagai kemajuan dan kekayaan mereka?

Ini semua membuktikan kebenaran sabda Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam berikut:

يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها. فقال قائل: ومن قلة نحن يومئذ؟ قال: بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل، ولينزعن الله من صدور عدوكم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن. فقال قائل يا رسول الله وما الوهن: قال حب الدنيا وكراهية الموت. رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني

"Sebentar lagi berbagai umat akan bersekongkol untuk menindas/menggerogoti (mengeroyok) kalian, sebagaimana para pemakan akan ramai-ramai menyantap hidangan mereka. Maka ada salah seorang sahabat yang berkata: Apakah hal itu terjadi karena jumlah kami sedikit? Beliau menjawab: Bahkan kalian kala itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih (lemah) bak buih air bah, dan sungguh-sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh-musuh kalian rasa segan terhadap kalian, dan Allah benar-benar akan mencampakkan ke dalam hati kalian rasa wahan (lemah). Maka ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan wahn? Beliau menjawab: Rasa cinta terhadap dunia dan takut akan kematian." (HRS Ahmad dan Abu Dawud, dan disahihkan oleh Al Albani)

Inilah sumber permasalahan dan inti problematika umat pada zaman ini. Oleh karena itu marilah kita semua kembali kepada ajaran agama, dengan menimba ilmu agama sebanyak-banyaknya dan berupaya menghidupkannya dalam diri kita, keluarga, masyarakat kita. Tentunya semua ini harus dengan metode yang bijak, penuh dengan hikmah, lembut dan dengan tidak terburu-buru ingin segera memetik hasil dalam sekejap mata, bak membalikkan telapak tangan. Karena bila kita terburu-buru, niscaya yang akan terjadi adalah kekecewaan dan kegagalan yang pasti, seperti dalam pepatah:

من استعجل الشيء قبل أوانه عوقب بحرمانه

"Barang siapa yang tergesa-gesa ingin memetik sesuatu sebelum saatnya, niscaya ia akan dihukumi dengan kegagalan mendapatkannya."

Dan ini pula yang sekarang kita lihat di negeri kita: Orang-orang yang ingin menegakkan syariat islam dengan cara pengeboman, mereka hanya mendatangkan petaka dan permasalahan bagi umat, setiap yang berusaha menjalankan syariat agama islam sekarang malah dicurigai sebagai anggota teroris, dst.

Begitu juga kelompok lainnya, yang menempuh jalan demokrasi, dan membentuk partai dan hanyut dalam kehidupan berpolitik, semua ini dengan alasan ingin segera mengubah sistem dan menerapkan syariat islam sesegera mungkin. Akan tetapi apa yang terjadi, mereka malah ikut andil dalam mengesahkan berbagai undang-undang yang menyelisihi syariat, dan ikut melakukan berbagai amalan yang jelas-jelas diharamkan dalam syariat. Dan yang lebih ironis, seruan untuk menerapkan syariat sekarang ini telah hilang dan sirna 100 % dari pembicaraan mereka, setelah kebagian jabatan dan mendapatkan jatah kursi dst. La haula wala quwwata illa billah.

Hendaknya kita sadar dan mengamati, dan janganlah kita menutup mata dari fenomena yang ada di lapangan, hanya sekedar terbuai oleh cita-cita dan slogan-slogan kosong mlompong, bagaikan mimpi di siang bolong.

Hendaknya kisah yang disebutkan oleh ulama' ahli sirah Nabi berikut ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua:

"Tatkala pasukan orang-orang Quraisy telah menghadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beserta kaum muslimin, dan kemudian terjadi negosiasi antara kedua belah pihak, di antara tawaran yang ditawarkan oleh orang-orang Quraisy kepada beliau shallallahu 'alaihi wasallam ialah tawaran yang disampaikan oleh 'Utbah bin Rabi'ah:

يا ابن أخي إن كنت إنما تريد بما جئت به من هذا الأمر مالا جمعنا لك من أموالنا حتى تكون أكثرنا مالا وإن كنت تريد به شرفا سودناك علينا حتى لا نقطع أمرا دونك وإن كنت تريد به ملكا ملكناك علينا وإن كان هذا الذي يأتيك رئيا تراه لا تستيطع رده عن نفسك طلبنا لك رآق وبذلنا فيه أموالنا حتى نبرئك منه

"Wahai keponakanku, bila yang engkau kehendaki dari apa yang engkau lakukan ini adalah karena ingin harta benda, maka akan kami kumpulkan untukmu seluruh harta orang-orang Quraisy, sehingga engkau menjadi orang paling kaya dari kami, dan bila yang engkau kehendaki ialah kedudukan, maka akan kami jadikan engkau sebagai pemimpin kami, hingga kami tidak akan pernah memutuskan suatu hal melainkan atas perintahmu, dan bila engkau menghendaki menjadi raja, maka akan kami jadikan engkau sebagai raja kami, dan bila yang menimpamu adalah penyakit (kesurupan jin) dan engkau tidak mampu untuk mengusirnya, maka akan kami carikan seorang dukun, dan akan kami gunakan seluruh harta kami untuk membiayainya hingga engkau sembuh." (Sirah Ibnu Hisyam 2/131, Dan Dalail An Nubuwah oleh Al Asbahani 1/194, dan kisah ini dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Fiqhus Sirah)

Mendengar tawaran yang demikian ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak lantas menerima salah satu tawarannya yang berupa tawaran menjadi raja/pemimpin -sebagaimana yang diteorikan oleh banyak harokah islamiyyah zaman sekarang- agar dapat memimpin dan kemudian baru akan mengadakan perubahan undang-undang dst. Nabi tetap meneruskan perjuangannya membentuk tatanan masyarakat muslim yang berakidahkan aqidah islam/tauhid dan berakhlakkan dengan akhlak islamiah. Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab tawaran orang ini dengan membacakan surat Fushshilat, yang intinya menyebutkan maksud diturunkannya Al Quran, yaitu guna mendakwahi manusia agar beribadah hanya kepada Allah Ta'ala.

Inilah metode penegakan khilafah islamiyyah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu membina generasi islam yang benar-benar islam dan bersih dari berbagai noda kesyirikan dan bid'ah/penyelewengan dalam hal ibadah atau lainnya.

Akhi Suripan berkata:

Namun akhir-akhir ini saya jadi bertanya-tanya atas sikap saudara-saudara Salafiyin yang menggunakan kelihaian hujjahnya, dengan mengatasnamakan menjaga kemurnian aqidah mengarahkan mata pedangnya kesesama muslim, dan hal ini sungguh dilakukan dengan tanpa rasa sungkan dan malu, bahkan seakan mereka tidak berfikir bahwa disamping kanan kiri banyak kaum kuffar yang melihatnya.hal ini tidak dapat dipungkiri karena kita jumpai di internet di website-website Salafy sangat banyak kita jumpai hal-hal tersebut sebagai contoh seperti yang turut saya lampirkan di atas. Website Salafy tumbuh bak jamur di musim hujan, sebenarnya itu hal sangat baik sebagai wasilah da'wah, namun bila kita lihat, kita baca dan kita amat-amati secara mendalam disana akan kita dapati bahwa mata pedang kaum salafy hari ini tidak diarahkan kepada musuh-musuh Alloh namun sebaliknya malah diarahkan kepada kaum muslimin yang lain khususnya gerakan-gerakan Islam, dan tidak perlu saya sebutkan nama gerakan tersebut disini karena semua orang tahu hal itu. Saudaraku salafiyin yang saya cintai karena Alloh, dari tulisan-tulisan yang saya dapat di website Salafy dan dari diskusi serta dari bertanya kepada orang-orang salafy bahwa saudara-saudara punya cita-cita besar yaitu tegaknya Khilafah Islamiyah, bahkan politikpun diharamkan sebelum tegaknya Khilafah Islamiah. Saudara-saudaraku ini adalah pekerjaan besar dan bukan pekerjaan sederhana, itu perlu persiapan dengan melibatkan seluruh komponen ummat Islam bukan Yahudi, Nasrani dan Musyrikin, tetapi ummat Islam, mengapa? Karena ummat Islamlah yang akan menjadi subjek (pelaku) dari kheKhilafahan tersebut, sedang di luar itu mereka harus tunduk kalau memang mereka sudah ummat Islam tundukkan, nah berangkat dari sini izinkan saya mengkritisi apa yang sudah saudara-saudara lakukan saat ini...

Saya rasa, pada penggalan ucapan akhuna Suripan diatas kita dapat pahami bahwa akhuna Suripan juga menunjukkan sikap jujur yang patut dipuji, yaitu akhuna mengakui bahwa di tengah-tengah umat islam terjadi perbedaan atau dengan lebih tegas nan lugas: terjadi perpecahan. Perpecahan yang oleh akhuna disebut dengan kata-kata lembut, yaitu "gerakan-gerakan Islam" Hal ini adalah pengakuan yang patut diacungi jempol, sebab -Insya Allah- pengakuan ini akan membimbing akhuna kepada kebenaran.

Terjadinya perpecahan dan perselisihan ini jauh-jauh hari telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya. Beliau mengabarkan fenomena ini, bukan dalam rangka berbangga-banga dengan keanekaragaman alur dan manhaj yang akan muncul di tengah-tengah umatnya, akan tetapi beliau mengabarkannya dalam rangka memperingatkan umatnya dari keanekaragaman tersebut. Cermatilah hadits berikut:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قال رسول الله : لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في حجر ضب لاتبعتموهم. قلنا: يا رسول الله: آليهود والنصارى؟ قال: فمن؟!

"Dari sahabat Abu Sa'id Al Khudri radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Sunguh-sungguh kamu akan mengikuti/mencontoh tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lubang dhob, niscaya kamu akan meniru/mencontoh mereka.' Kami pun bertanya: 'Apakah (yang engkau maksud adalah) kaum Yahudi dan Nasrani?' Beliau menjawab: 'Siapa lagi?'" (HRS Muttafaqun 'Alaih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata: "Beliau mengabarkan bahwa akan ada dari umatnya orang-orang yang meniru orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang mereka adalah ahlul kitab, dan diantara mereka ada yang meniru bangsa Persia dan Romawi, yang keduanya adalah orang-orang non arab." (Iqtidlo' Sirathol Mustaqim 6)

Pada hadits lain beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة

"Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Umat Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umat nasrani berpecah belah seperti itu pula, sedangkan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan." (HRS Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abi 'Ashim, dan disahihkan oleh Al Albani)

Inilah fenomena yang sedang terjadi di masyarakat kita sekarang, umat Islam benar-benar telah terpecah belah menjadi berbagai kelompok, dan setiap kelompok memiliki metode dan manhaj tersendiri. Nah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengabarkan fenomena ini bukan dalam rangka menceritakan kenikmatan yang akan didapatkan oleh umatnya, akan tetapi dalam rangka memperingatkan mereka dari petakan ini. Oleh karena itu dalam hadits lain beliau shallallahu 'alaihi wasallam berwasiat kepada umatnya agar senantiasa meniti manhaj yang beliau ajarkan dan meninggalkan berbagai manhaj dan golongan/gerakan lainnya yang tidak menerapkan manhaj beliau. Simaklah wasiat beliau ini:

الزم جماعة المسلمين وإمامهم. قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك.

"Berpegang teguhlah engkau dengan jama'atul muslimin dan pemimpin (imam/kholifah) mereka. Aku pun bertanya: 'Seandainya tidak ada jama'atul muslimin, juga tidak ada pemimpin (imam/kholifah)?' Beliau pun menjawab: 'Tinggalkanlah seluruh kelompok-kelompok tersebut, walaupun engkau harus menggigit batang pepohonan, hingga datang ajalmu, dan engkau dalam keadaan demikian itu.'" (HRS Al Bukhory dan Muslim).

Pendek kata, upaya menikam dan meruntuhkan berbagai gerakan dan manhaj yang tidak sesuai dengan manhaj Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah metode berdakwah dan beragama yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan diwasiatkan oleh beliau kepada umatnya. Dan sebagai salah satu buktinya amatilah hadits berikut:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (إن من ضئضيء هذا قوما يقرأون القرآن لا يجاوز حناجرهم يقتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية لئن أدركتهم لأقتلنهم قتل عاد) متفق عليه

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Sesungguhnya dari tulang rusuk orang ini akan lahir suatu kaum yang mereka membaca Al Quran akan tetapi bacaannya tidak dapat melewati tenggorokannya (mereka tidak memahami apa yang mereka baca), mereka membunuhi kaum muslimin, dan membiarkan para penyembah berhala, mereka akan keluar dari Islam, layaknya anak panah yang keluar dan menembus binatang buruan. Seandainya aku menemui mereka, niscaya akan aku membunuh mereka hingga habis, layaknya kaum 'Ad dibinasakan hingga habis.'" (Muttafaqun 'alaih)

Ya Akhi Suripan, untuk sedikit membuktikan kepada antum, bahwa sebenarnya gerakan-gerakan islam yang tidak sesuai dengan manhaj Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam berdakwah dan beragama, maka hendaknya antum baca sejarah berikut ini:

Tatkala kaum muslimin telah berhasil menggulingkan dua negara adi daya kala itu (Persia dan Romawi), dan tidak ada lagi kekuatan musuh yang mampu menghadang laju perluasan dan penebaran agama Islam, mulailah musuh-musuh Islam menyusup dan menebarkan isu-isu bohong, guna menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat Islam. Dan ternyata mereka berhasil menjalankan tipu muslihat mereka ini, sehingga timbullah fitnah pada zaman Khalifah Usman bin Affan, yang berbuntut terbunuhnya sang Khalifah, dan berkepanjangan dengan timbulnya perang saudara antara sahabat Ali bin Abi Tholib dengan sahabat Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. (Untuk lebih lengkapnya, silakan baca buku-buku sejarah dan tarikh, seperti: Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir, dll).

Bukankah runtuhnya khilafah Umawiyyah, akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Bani Abbasiyyah, demi memperebutkan kekuasaan? Berapa banyak jumlah kaum muslimin yang tertumpahkan darahnya akibat pemberontakan tersebut?!

Bukankah jatuhnya kota Baghdad ke tangan orang-orang Tartar pada tahun 656 H akibat pengkhianatan seorang Syi'ah yang bernama Al Wazir Muhammad bin Ahmad Al 'Alqamy? Pengkhianatan ini ia lakukan tatkala ia menjabat sebagai Wazir (perdana menteri) pada zaman Khalifah Al Musta'shim Billah, ia berusaha mengurangi jumlah pasukan khilafah, dari seratus ribu pasukan, hingga menjadi sepuluh ribu pasukan. Dan dia pulalah yang membujuk orang-orang Tatar agar membunuh sang Kholifah beserta keluarganya. (Baca kisah selengkapnya di kitab Al Bidayah wa An Nihayah oleh Ibnu Katsir jilid 13).

Sepanjang sejarah, tidak ada orang Yahudi atau Nasrani yang berani menyentuh kehormatan Ka'bah, apalagi sampai merusaknya. Akan tetapi kejahatan ini pernah dilakukan oleh satu kelompok yang mengaku sebagai umat Islam, yaitu oleh (Qaramithoh) salah satu sekte aliran kebatinan. Pada tanggal 8 Dzul Hijjah tahun 317 H, mereka menyerbu kota Mekkah, dan membantai beribu-ribu jamaah haji, dan kemudian membuang mayat-mayat mereka ke dalam sumur zamzam. Ditambah lagi mereka memukul hajar Aswad hingga terbelah, dan kemudian mencongkelnya dan dibawa pulang ke negeri mereka; Hajer di daerah Bahrain. (Untuk lebih lengkap, silakan simak kisah kejahatan mereka di Al Bidayah wa An Nihayah 11/171).

Perlu diketahui, bahwa kelompok Qoromithoh ini adalah kepanjangan tangan dari kelompok fathimiyyah, yang merupakan salah satu sempalan dari sekte Syi'ah, dan mereka pernah menguasai negeri Mesir selama satu abad lamanya. (Untuk lebih mengenal tentang siapa itu Qoromithoh, silahkan baca kitab: Al Aqoid Al Bathiniyyah wa Hukmul Islam Fiha, oleh Dr. Shobir Thu'aimah).

Oleh karena itu dalam memperjuangkan Islam, hendaknya kita tidak melupakah sejarah kita sendiri, dan hendaknya kita menggali pelajaran dan hikmah dari sejarah kita sendiri, sehingga kita tidak mengulang kegagalan, dan berhasil mengembalikan kejayaan umat yang telah hilang. Akhuna Suripan camkanlah perkataan Imam Malik berikut:

لن يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها

"Tidaklah mungkin akan dapat membaguskan urusan generasi akhir umat ini kecuali hal yang telah membaguskan urusan generasi pendahulu mereka."

Dan saya rasa akhuna Suripan juga tahu bahwa Islam mengajarkan prinsip amar ma'ruf nahi mungkar, dan bahwasanya prinsip ini memiliki tiga tahapan, yaitu

(1) Ingkar dengan hati, dengan membenci amalan mungkar tersebut,

(2) Ingkar dengan lisan, yaitu dengan menjelaskan bahwa amalan itu mungkar dan haram,

(3): Ingkar dengan kekuatan:

من رأى من منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه.

"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak bisa, maka dengan lisannya dan bila tidak bisa maka dengan hatinya." (HR. Muslim)

Dan apa yang antum sesali dari manhaj salaf, yaitu membongkar kesesatan dan kesalahan pelaku kesesatan dan kesalahan, dan memperingatkan umat masyarakat dari perbuatan tersebut adalah bagian dari ingkar al mungkar.

Sudah barang tentu syariat amar ma'ruf nahi mungkar ini dan wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya di saat menghadapi perpecahan yang telah saya nukilkan di atas, sangat bertentangan dengan metode yang didengung-dengungkan oleh sebagian orang, yaitu metode yang dikenal dalam bahasa Arab:

نتعاون فيما اتفقنا ويعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا

"Kita saling bekerja-sama dalam hal persamaan kita, dan saling toleransi dalam segala perbedaan kita."

Sepintas metode ini bagus sekali, akan tetapi bila kita sedikit berpikir saja, niscaya kita akan terkejut, terlebih-lebih bila kita memperhatikan fenomena penerapannya. Hal ini dikarenakan metode ini terlalu luas dan tidak ada batasannya, sehingga konsekuensinya kita harus toleransi kepada setiap orang, dengan berbagai aliran dan pemahamannya, karena setiap kelompok dan aliran yang ada di agama islam, syi'ah, jahmiyah, qadariyah, ahmadiyah, JIL (Jaringan Islam Liberal) dan lain-lain memiliki persamaan dengan kita, yaitu sama-sama mengaku sebagai kaum muslimin. Bahkan seluruh umat manusia pasti memiliki persamaan dengan kita, minimal persamaan dalam hal menentang praktek kanibalisme, yaitu memakan daging manusia. Kalau demikian lantas akan ke mana kita menyembunyikan prinsip-prinsip akidah kita, dan negara islam model apakah yang hendak didirikan?!

Akhuna Suripan berkata:

Kalau cita-cita mulia itu ingin saudara Salafiyin wujudkan dengan menikamkan mata pedang saudara ke dada-dada kaum muslimin yang lain, hingga mereka tersungkur tidak berdaya, lalu kepada siapa syariat Islam itu akan diimplementasikan/diterapkan? Mungkin saudara-saudara akan katakan kepada kaum muslimin yang seaqidah dengan aqidah Salafy, kalau demikian saudara-saudara sudah menganggap saudara-saudara muslim yang lain itu kafir dst. Kalau demikian adanya maka Fiqud Da'wah yang saudara-saudara terapkan perlu diulang kaji.Tidak layak seorang Muslim yang katanya mengikuti manhaj Salaf tapi berlaku berlawanan dengan manhaj Salaf itu sendiri yaitu menghujat, mencela dan memberikan gelar-gelar yang tidak baik ke sesama muslim dimuka umum (website). Bukankah demikian pendapat-pendapat saudara dalam mengingatkan seorang penguasa, harusnya juga berlaku kepada sesama saudara muslim. Saudara-saudaraku, orang-orang yang dihatinya ada penyakit, yang mereka benci kepada Islam (kaum kuffar) akan bersorak sorai melihat apa yang saudara-saudara lakukan tersebut, maka selayaknya mata pedang saudara-saudara arahkanlah kepada kaum kuffar, dan dekatilah saudara sesama muslim dengan pendekatan kasih sayang yang tulus, Insya Alloh, Alloh akan membukakan pintu kemenangan kepada kaum muslimin.

Waah, kayaknya akhuna suripan tidak pernah membaca sejarah islam, dan asal usul berbagai sekte atau firqah yang ada di masyarakat sekarang ini. Agar Akhuna Suripan dapat menyadari bahwa ucapannya di atas amat tidak realistis, maka hendaknya membaca sejarah islam, sehingga akhuna tahu bahwa semenjak dahulu kala, para sahabat, tabi'in, dan ulama' salaf setelah mereka senantiasa memerangi sekte-sekte/firqah-firqah yang menyelisihi aqidah ahlis sunnah. Walau demikian negara Islam (Khilafah Islamiyyah) masih bisa berjalan dengan baik, dan hukum islam tetap diterapkan. Bahkan diantara penerapan hukum islam ialah dengan memerangi bid'ah dan para pelakunya. Sebagai bukti: Sahabat Ali mengadakan/mengobarkan peperangan melawan sekte (firqah) khawarij yang mereka itu adalah nenek moyang orang-orang yang dengan enteng mengkafirkan selain golongannya, terutama para penguasa, sehingga mereka mengkafirkan sahabat Ali beserta seluruh orang yang taat dan mengakui kekhilafahannya, dan juga mengkafirkan saabat Mu'awiyyah dan seluruh orang yang mendukungnya. Peperangan antara mereka terjadi di daerah yang disebut di Nahrawan, sebagaimana dikisahkan/diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no: 3414) & Muslim (no: 1066).

Bukankah khowarij adalah kaum muslimin? Akan tetapi mengapa sahabat Ali Memerangi mereka? Apakah sahabat Ali hanya ingin menerapkan/menjadikan pengikutnya saja sebagai obyek kekhilafahannya? Ataukah Ali telah mengkafirkan mereka? Agar akhuna Suripan tahu dengan benar alasan sahabat Ali memerangi mereka, maka simaklah riwayat berikut:

لما قتل علي رضي الله عنه الحرورية قالوا: من هؤلاء يا أمير المؤمنين أكفار هم؟ قال: من الكفر فروا. قيل: فمنافقين؟ قال: إن المنافقين لا يذكرون الله إلا قليلا، وهؤلاء يذكرون الله كثيرا. قيل: فما هم؟ قال: قوم أصابتهم فتنة فعموا فيها. رواه عبد الرزاق 10/150 ومحمد بن نصر المروزي في تعظيم قدر الصلاة 2/543.

"Tatkala Ali radiallahu 'anhu telah selesai memerangi orang-orang haruriyyah (khawarij), sebagian pasukannya bertanya: 'Siapakah sebenarnya mereka itu wahai Amirul Mukminin, apakah mereka itu orang-orang kafir?' Ia menjawab: 'Mereka itu melarikan diri dari kekufuran.' Ditanya lagi: 'Kalau begitu apakah mereka itu orang-orang munafik?' Ia menjawab: 'Sesungguhnya orang-orang munafik tidaklah mengingat Allah selain sedikit sekali, sedangkan mereka itu banyak mengingat Allah.' Ditanya lagi: 'Lalu siapakah sebenarnya mereka itu?' Ia menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang tertimpa fitnah (kesesatan) hingga mereka buta mata karenanya.'" (Riwayat Abdurrazzaq 10/150, dan Muhammad bin nasher Al Marwazi dalam kitab Ta'zhim Qadr As Shalah, 2/543).

Akhuna Suripan, cermatilah baik-baik kisah ini, niscaya antum akan sadar bahwa orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan selain kelompok mereka, seperti yang dilakukan oleh kelompok (baca: sekte: LDII, JI dll) layak untuk dijauhi dan dibeberkan kesesatannya di hadapan umat, bahkan kalau perlu diperangi seperti yang pernah dilakukan oleh kholifah sekaligus menantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu khalifah Ali bin Abi Thalib.

Bahkan, sahabat Ali bukan hanya melakukan peperangan terhadap sekte khawarij saja, bahkan kepada sekte yang mengkultuskan beliau pun, yaitu yang terkenal dengan sebutan sekte Syi'ah, sahabat Ali juga mengadakan peperangan, bukan hanya peperangan, bahkan malah dihukumi dengan dibakar hidup-hidup, sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab Al Bad'u wa At Tarikh 5/125.

Kemudian berbagai kitab dan karya ilmiyyah yang ditulis oleh para ulama' semenjak zaman dahulu hingga sekarang, yang menjelaskan dan membongkar kesesatan sekte-sekte yang ada di masyarakat, adalah salah satu bukti bahwa diantara metode dakwah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabatnya ialah menepis segala kesesatan dengan segala sarana yang kita miliki. Bukan malah berupaya menutup-nutupi kesesatan mereka, karena sesungguhnya pertolongan Allah, dan kemenangan umat islam tidak akan pernah datang selama umat islam tercerai berai oleh bid'ah dan kesesatan. Umat Islam akan jaya bila mereka benar-benar memurnikan agama mereka selaras dengan Al Qur'an dan As Sunnah.

الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمناهم بظلم ألئك لهم الأمن وهم مهتدون

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al An'am: 82)

Dan janji berikutnya:

ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض ولكن كذبوا فأخذناهم بما كانوا يكسبون

"Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al A'raf: 96)

وعد الله الذين آمنوا وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكننهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم الفاسقون

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menggantikan (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam keadaan ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq." (QS. An Nur: 55)

Dan juga firman-Nya:

يأيها الذين آمنوا إن تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم

"Hai, orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Alloh, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)

Jadi jangan takut kalah oleh musuh bila kita benar-benar telah memurnikan iman dan amal shaleh kita sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Adapun ucapan antum bahwa ikhwah salafiyyin yang membeberkan kesesatan sekte-sekte yang ada di masyarakat berarti mereka telah menganggap kafir sekte-sekte tersebut, adalah suatu tuduhan yang tanpa dasar, sebab menyebutkan kesalahan, bahkan memerangi tidak relevan dengan mengkafirkan, sebagai salah satu buktinya adalah ucapan dan penjelasan sahabat Ali di atas. Dan perlu antum ketahui bahwa manhaj salaf mengenal perbedaan antara mengklaim kafir pelaku dosa dengan menyatakan bahwa perbuatan dosa itu adalah kekufuran, sebab tidak setiap pelaku kekufuran itu kafir. Oleh karena itu manhaj ahlus sunnah mengajarkan adanya iqamatul hujjah dan izalatus syubhat.

Dan pada kesempatan ini saya anjurkan akhuna suripan untuk mengkaji permasalahan ini, yaitu iqamatul hujjah dan izalatus syubhat menurut pemahaman salaf, dan silahkan antum bertanya kepada salah seorang ustadz salafi yang antum kenal, semoga antum dapat membedakan antara mengklaim kafir pelaku kekufuran dengan mengklaim kafir perbuatan kekufuran.

Kemudian dalam hal mengingkari kemungkaran, memang Ahlis Sunnah membedakan antara mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan yang dilakukan oleh masyarakat biasa. Walau demikian, ahlus sunnah juga tetap mengajarkan bahwa selama kemungkaran dapat diingkari dan ditanggulangi tanpa menyebutkan nama pelakunya, maka itulah yang harus dilakukan, akan tetapi bila tidak mungkin, atau telah terlanjur menyebar dimasyarakat, maka melindungi agama masyarakat banyak lebih didahulukan dibanding menjaga kehormatan satu orang atau satu kelompok tertentu. Akan tetapi bila kesalahan itu dilakukan oleh pemerintah atau penguasa, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita agar pengingkarannya dilakukan dengan cara tersembunyi, dan tidak dibeberkan dihapan khalayak ramai, demi menjaga kemaslahatan umum dan agar tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من أراد أن ينصح لذي سلطان في أمر فلا يبده علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه. رواه ابن أبي عاصم وصححه الألباني

"Barang siapa yang hendak menasehati seorang penguasa dalam suatu urusan, maka janganlah disampaikan di depan khalayak ramai, akan tetapi hendaknya ia sampaikan di saat ia menyendiri dengannya, dan bila ia menerima nasehatnya, maka itulah yang diinginkan, dan bila tidak menerima, maka ia telah menunaikan kewajibannya." (Riwayat Ibnu Abi 'Ashim, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Bila akhuna Suripan merasa terusik oleh sikap ikhwah salafiyyin yang mengkritik kesesatan sekte-sekte berbagai tokoh firqoh yang ada, maka ini pulalah yang akan dilakukan oleh para pemimpin/penguasa yaitu akan marah dan tersinggung. Akan tetapi antara kemarahan penguasa dengan sekte-sekte yang ada terdapat perbedaan, yaitu bila yang marah adalah pemerintah, maka akan terjadi kerusakan yang luas, sedangkan bila yang marah adalah ketua sekte/firqah, maka mereka tidak dapat berbuat apa-apa, selain menelan ludah pait (terlebih-lebih bila supremasi pemerintah tegak dan kuat). Selain itu bila kesalahan pemerintah diungkit-ungkit di khalayak ramai, maka akan merusak kepatuhan masyarakat kepada pemerintah, dan menjadikan para penjahat semakin berani melancarkan kejahatannya, bukankah antum sudah merasakan sendiri perbedaan yang terjadi di masyarakat kita Indonesia antara masa Suharto ORBA dengan berbagai kejahatannya, dengan masa Reformasi? Keamanan hilang, harga bahan pangan menjadi mahal, kejahatan dan kemaksiatan semakin merajalela, dst. Ini semua sebagian dari dampak buruk sikap mengkritik/menyebarkan kesalahan penguasa di khalayak ramai.

Akhuna Suripan berkata:

Dalam mensikapi keadaan yang demikian cepatnya berobah, saudara-saudara Salafiyin tidak perlu panik, tenanglah dan bermohonlah kepada Alloh, bermusyawarahlah untuk mengambil langkah-langkah yang terbaik, hingga langkah-langkah yang saudara-saudara ambil akan bermanfaat kepada saudara-saudara dan kaum muslimin umumnya, dan tidak sebaliknya menjadi bumerang bagi saudara-saudara dan kaum muslimin itu sendiri. Tidak usah buru-buru menimpakan suatu keburukan kepada sesama gerakan muslim lain hanya karena ingin selamat dari tudingan orang-orang yang tidak senang kepada Islam. Lalu membuat tulisan-tulisan di muka umum (website) dengan menghujat salah satu gerakan Islam, padahal itu bisa menelanjangi saudara-saudara sendiri. Contoh hal seperti apa yang tertulis di website Salafy yang turut saya lampirkan ini. Bagaimana kok bisa dikatakan menelanjangi saudara-saudara sendiri? Izinkan saya menguraikanya.

Kata Presiden kami SBY Kata-kata di atas itu bisa diartikan bahwa saudara-saudara itu mengakui dan turut memiliki Presiden tersebut, dan seakan-akan keberadaan Presiden tersebut itu ada berkat kerja keras saudara-saudara pada saat pemilu yang lalu, karena mekanisme pemilihan Presiden dilakukan melalui Pemilu, padahal saudara-saudara adalah kelompok orang-orang yang menyakini dan memfatwakan bahwa Pemilu (Demokrasi) itu haram sehingga saudara-saudara Salafiyin pada saat itu tidak ada yang turut mencoblos, alias Golput. Nah sekarang kok ujuk-ujuk dengan merasa tidak bersalah mengatakan Presiden kami Susilo bambang Yudoyono, kalau saya tidak salah yang mendukum pencalonan SBY-Kala itu kan PKS dan PD, inikan lucu? Mungkin saudara-saudara akan memberi hujjah, boleh melakukan hal itu bila dalam keadaan darurat, setahu saya belum ada pernayataan pemerintah yang menyudutkan saudara-saudara? Mbok ya mohon kepada Alloh semoga Alloh melindungi saudara-saudara. Dan tidak perlu disembunyi-sembunyikan akan jati diri saudara-saudara, bahwa saudara-saudara Salafiyin itu di mata musuh-musuh Alloh adalah penganut Islam garis keras (Islam Fundamentalis) karena menurut mereka orang-orang/kelompok atau apalah itu namanya kalau yang tidak mengakui Demokrasi maka mereka adalah musuh. Apa lagi? Sedang saudara-saudara sudah jelas-jelas mengharamkan Demokrasi, jelas di mata mereka adalah musuh laten.

Aduuh, akhuna Suripan, mbok yo jangan buru-buru menyalahkan suatu pendapat yang antum belum tahu dasar dan dalil-dalilnya. Dan menurut hemat saya, akhuna Suripan benar-benar kurang membaca sejarah Islam. Untuk sedikit membuktikan ucapan ini, saya harap Akhuna Suripan membaca sejarah berdirinya khilafah Umawiyyah, Abbasiyyah, Utsmaniyyah. Ketiga dinasti (baca: khilafah) islam ini dimulai dengan kesalahan, yaitu menentang dan melawan khalifah yang sah. Khilafah Umawiyyah dimulai dari perlawanan sahabat Mu'awiyyah terhadap khalifah yang sah yaitu sahabat Ali bin Abi Thalib, dan setelah melalui berbagai kejadian sejarah, akhirnya terjadilah penyerahan kekuasaan oleh sahabat Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada sahabat Mu'awiyyah. Khilafah Abbasiyyah dimulai dari pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh Bani Abbasiyyah melawan khilafah yang sah, yaitu khilafah bani Umawiyyah, dan akibat pemberontakan ini tertumpahlah ratusan ribu jiwa umat islam. Begitu juga halnya dengan khilafah Utsmaniyyah.

Walau proses perebutan kekuasaan ini telah disepakati oleh ulama' sebagai tindakan yang diharamkan, dan pelakunya berdosa karenanya, akan tetapi bila kekuasaan berhasil direbut, dan para pemberontak berhasil menata kekhilafahan sehingga terciptalah stabilitas keamanan, kekuatan, perekonomian dll, maka umat islam semenjak dahulu telah sepakat untuk mengakui khalifah hasil pemberontakan tersebut. Jadi bisa jadi metode perebutan kekuasaan diharamkan, akan tetapi bila telah berhasil direbut dan yang merebutnya memiliki kemampuan untuk menjalankan khilafah, maka umat islam seluruhnya diwajibkan untuk mengakui khalifah tersebut, dan khalifah tersebut menjadi khalifah yang sah dan wajib ditaati.

Oleh karena itu tidak pernah ada seorang ulama'-pun yang menyatakan bahwa khilafah Abbasiyah tidak sah, dan wajib digulingkan, walaupun semua orang tahu bahwa mereka dapat sampai kepada kekuasaan/khilafah dengan cara yang diharamkan. Bukankah demikian sejarahnya wahai akhuna Suripan?!

Oleh karena itu kami juga berkata: Pemilu dan demokrasi adalah haram dan bukan ajaran islam, akan tetapi ajaran orang-orang kafir, akan tetapi bila dari pemilu ada seorang yang berhasil menjadi pemimpin, maka kami akan mengakuinya dan taat kepadanya dan menentang setiap upaya pemberontakan kepadanya, kecuali bila pemimpin tersebut melakukan kekufuran yang nyata-nyata kufur dan tidak ada lagi keraguan padanya, dan umat islam memiliki kekuatan untuk menggantinya, tanpa mengakibatkan pertumpahan darah yang lebih berat dibanding berada di bawah kekuasaannya, maka kita akan katakan boleh untuk menggantinya dengan paksa.

Inilah metode berfikir Ahlus Sunnah yang penuh dengan hikmah dan senantiasa mementingkan kepentingan umat dibanding kepentingan pribadi.

Dari sedikit uraian di atas, jelaslah bahwa khilafah/kekuasaan bukanlah tujuan utama yang harus ditegakkan. Akan tetapi khilafah adalah sarana untuk menegakkan hukum Allah. Jadi bila upaya menegakkan khilafah dengan jalur kekuatan hanya akan menimbulkan kerusakan, dan pertumpahan darah yang tiada hentinya, maka apalah artinya. Karena khilafah ada diantara tujuannya adalah guna melindungi jiwa dan agama umat islam. Oleh karena itu saya harap akhuna Suripan kembali membaca dan merenungi kisah negoisasi yang dilakukan oleh 'Utbah bin Rabi'ah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas.

Walau demikian saya katakan menurut sunnatullah, hukum-hukum Allah tidak akan dapat ditegakkan dengan sempurna tanpa adanya khilafah yang islamiyyah.

Akhuna Suripan berkata:

Permasalahan Bom Bunuh Diri (BBD) Secara terang-terangan bahwa saudara-saudara telah mengarahkan kesalah satu gerakan Islam, padahal pemerintah sendiri dalam hal ini polisi tidak berani melakukan hal itu.Bahkan tuduhan-tuduhan itu saudara-saudara lakukan tanpa kajian mendalam dan tanpa melakukan tawazunitas terlebih dulu, hanya karena ada fatwa bahwa BBD yang dilakukan kaum muslimin palestina adalah bukan BBD tapi Bom Syahid lalu dengan entengnya saudara-saudara kait-kaitkan bahwa BBD itu karena akibat dari fatwa tersebut. Padahal fatwa tersebut jelas-jelas menyebutkan bahwa bila BBD itu yang dilakukan di wilayah konflik ummat Islam seperti Palestina hari ini yang boleh dikatakan sebagai Bom Syahid, bukan BBD yang dilakukan di wilayah aman seperti di wilayah Indonesia, itu jelas tidak termasuk yang difatwakan. (Penjelasan lebih lanjut masalah bom syahid, lain kali akan saya terlampir).

Ya akhi pernahkan antum bertanya: Siapakah korban pengeboman yang terjadi di JW Mariot, Kedubes Australia, dll, siapakah yang menjadi korbannya? Apakah orang-orang muslim ataukah orang non muslim atau campur antara keduanya? Nah dengan dosa dan sebab apa orang muslim menjadi korban pengeboman? Pernahkan anda menelusuri dalil-dalil tentang haramnya penumpahan darah seorang muslim?

Sebagai pengingat diri saya dan diri antum, saya ajak antum untuk merenungi hadits berikut:

عن عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : (لزوال الدنيا أهون على الله من قتل رجل مسلم) رواه الترمذي والنسائي وصححه الألباني

"Dari sahabat Abdullah bin 'Amer bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sungguh sirnanya dunia seisinya lebih ringan di sisi Allah dibanding membunuh seorang muslim." (Tirmizy dan An Nasa'I dan dishahihkan oleh Al Albani)

Dan berikut saya nukilkan fatwa ulama' tentang masalah ini:

Jawaban Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullah-

Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang meletakkan bom ditubuhnya, guna membunuh segerombolan orang yahudi?

Jawaban: Menurut saya -dan tentang hal ini, kami telah ingatkan berkali-kali- bahwa aksi tersebut tidak benar, sebab aksi ini merupakan aksi bunuh diri. Allah berfirman:

ولا تقتلوا انفسكم

"Janganlah kamu membunuh dirimu."

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من قتل نفسه بشيئ عذب به يوم القيامة

"Barang siapa membunuh dirinya dengan cara sesuatu, maka ia akan disiksa dengannya pada hari Kiamat."

Seorang muslim harus berusaha melindungi jiwanya, dan jika telah dikumandangkan panggilan jihad, maka dia pergi berjihad bersama kaum muslimin, kalau ia terbunuh maka alhamdullah. Adapun ia membunuh dirinya sendiri dengan cara mengikatkan bahan peledak pada dirinya, agar terbunuh bersama diri orang-orang yahudi, maka ini adalah metode yang salah dan tidak boleh, atau dengan menikam dirinya agar ada orang kafir yang terbunuh bersamanya. Tapi jalan yang benar adalah, jika telah disyariatkan jihad, ia berjihad bersama umat Islam lainnya. Adapun aksi yang dilakukan remaja-remaja Palestina, adalah satu kesalahan, lagi tidak baik. Kewajiban mereka adalah berdakwah, mendidik dan membimbing serta menasehati, tanpa melakukan aksi kekerasan. (Kaset Aqwalul Ulama Fil Jihad, Studio Minhajus Sunnah Riyadh).

Jawaban Syeikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -rahimahullah-

Beliau -rahimahullah- pada waktu menjelaskan kisah ashhabul ukhdud (Kisah mereka diriwayatkan oleh Imam Muslim, pada Kitab Az Zuhud wa Ar Raqaiq, bab: Kisah Ashhabil Ukhdud, no: 3005). tatkala menyebutkan faedah darinya, berkata: "Sesunggunya boleh bagi seseorang untuk mengorbankan dirinya demi kemashlahatan seluruh kaum muslimin, karena anak ini telah menunjukkan raja tersebut kepada hal yang bisa membunuhnya dan membinasakan dirinya, yaitu dengan mengambil anak panah dari tempatnya...

Syeikhul Islam berkomentar: "Karena perbuatan anak tersebut adalah jihad fii sabilillah, satu umat beriman (karenanya), sedang dia tidak kehilangan sesuatu apapun, walau dia mati, karena dia pasti mati, cepat atau lambat."

Adapun yang dilakukan sebagian orang, dengan membawa bahan peledak (bom), dan maju kepada orang-orang kafir, kemudian apabila telah berada ditengah-tengah mereka, ia meledakkannya, maka sesungguhnya tindakan ini termasuk bunuh diri -wal'iyadzu billahi-, dan barangsiapa yang bunuh diri, maka dia akan kekal di neraka jahannam selama-lamanya, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (Beliau mengisyaratkan kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, pada kitab: At Thib, bab: Hukum meminum racun dan obat yang dapat mematikan, no: 5778). Karena orang ini, telah membunuh dirinya sendiri, tanpa mendatangkan kemashlahatan sedikit pun bagi kaum muslimin, karena apabila dia telah membunuh dirinya dan membunuh 10 atau 100 atau 200 orang kafir, agama islam tidak mendapat manfaat darinya, manusia tidak juga masuk islam, berbeda dengan kisah anak kecil tersebut, barangkali musuh akan lebih mengganas, hingga membantai kaum muslimin dengan membabi buta.

Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yahudi terhadap penduduk Palestina, karena penduduk Palestina apabila satu diantara mereka mati dengan sebab bom bunuh diri, dan berhasil membunuh 6 atau 7 orang yahudi, maka orang-orang yahudi itu akan membunuh 60 orang atau lebih dengan sebab perbuatannya itu, maka hal ini tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin, dan juga bagi orang yang bunuh diri tersebut.

Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa tindakan sebagian orang, dengan melakukan bom bunuh diri, tergolong dalam perbuatan bunuh diri tanpa alasan yang dibenarkan, dan menjadikan pelakunya masuk neraka -wal 'iyadzu billahi-, dan pelakunya tidak dikatakan syahid. Akan tetapi jika orang itu melakukan tindakan tersebut karena men-ta'wil, dia mengira bahwa hal ini dibolehkan, kami mengharap dia terbebas dari dosa, adapun untuk kemudian dia dijuluki sebagai orang syahid, maka tidak bisa, karena dia tidak menempuh jalan syahadah (cara mati syahid yang benar), barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka ia mendapat satu pahala." (Syarah Riyadhus sholihin 1/165-166).

Pertanyaan: Apa hukum syariat mengenai orang yang meletakkan bom ditubuhnya dan kemudian meledakkan dirinya sendiri di tengah-tengah kerumunan orang-orang kafir, dalam rangka membantai mereka? Apakah benar berdalil dengan kisah anak kecil yang seorang raja memerintahkan agar dibunuh (kisah Ashhabul Ukhdud?)

Jawaban: Orang yang meletakkan bom ditubuhnya dengan tujuan untuk kemudian meledakkan dirinya ditempat keramaian musuh, maka dia telah membunuh dirinya, dan akan diadzab di neraka jahannam dengan alat yang ia gunakan untuk membunuh dirinya, ia kekal di neraka selama-lamanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang orang yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia akan diadzab dengan alat tersebut di neraka jahannam.

Sungguh mengherankan orang-orang yang melakukan perbuatan seperti ini, padahal mereka telah membaca firman Allah Ta'ala:

ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما

"Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Alloh amat kasih sayang terhadapmu." (QS. An-Nisa': 29), lalu tetap nekad melakukan tindakan tersebut, apakah mereka berhasil memetik sesuatu? apakah musuh terkalahkah dengan cara itu? apakah malah sebaliknya, musuh bertambah ganas terhadap orang-orang yang melakukan tindakan ini, seperti yang kita saksikan di negara yahudi. Mereka tidaklah jera dengan adanya tindakan seperti ini, bahkan semakin brutal, bahkan kita dapatkan negara yahudi pada jajak pendapat terakhir, kelompok garis kanan yang berkeinginan membasmi orang-orang arab berhasil meraih kemenangan.

Akan tetapi orang yang melakukan tindakan ini dengan dasar ijtihad, dia mengira hal itu termasuk amal baik yang akan mendekatkan dirinya kepada Allah, maka kami mohon kepada Allah Ta'ala untuk tidak menyiksanya, karena dia mentakwil dan jahil.

Adapun berdalih dengan kisah anak kecil (ashhabul ukhdud), maka kisah anak kecil itu menyebabkan masuknya satu umat ke dalam agama islam, bukan membantai musuh, oleh karena itu ketika sang raja tersebut mengumpulkan masyarakat dan mengambil anak panah dari tempatnya anak kecil tersebut, sambil berkata: "Dengan menyebut nama Allah Tuhan anak kecil ini," manusia berteriak semuanya: "Tuhan Yang Benar adalah Tuhannya anak kecil ini!" dari sinilah suatu umat yang banyak masuk islam. Seandainya dihasilkan seperti kisah ini, maka kami akan mengatakan mungkin bahwa ada benarnya berdalil dengan kisah ini, dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkisahkannya kepada kita, agar kita mengambil pelajaran darinya. Akan tetapi mereka yang melakukan peledakkan dirinya sendiri, apabila berhasil membunuh 10 atau 100 orang musuh, maka musuh semakin brutal dan kokoh dalam berpegang teguh dengan prinsip mereka.

Pertanyaan: Ada orang yang mengaku bahwa dirinya melakukan aksi jihad dengan model bunuh diri, sebagai contoh, seseorang dari mereka memuati kendaraanya dengan bahan peledak dan kemudian menerobos musuh, dan dia yakin bahwa ia pasti akan menemui ajalnya dalam aksi tersebut?

Jawaban: Aksi ini menurut saya, adalah aksi bunuh diri dan ia akan di siksa di Jahannam dengan cara yang dia tempuh untuk menghabisi nyawanya, seperti yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits shohih.

Namun orang bodoh yang tidak mengerti dan ia melakukannya dengan anggapan bahwa perbuatannya tersebut baik dan diridhoi Allah, saya harap semoga Allah mengampuninya, karena ia melakukannya berdasarkan ijtihad. Meskipun saya berpendapat bahwa dia tidak memiliki alasan di masa kini, sebab bunuh diri dengan bentuk di atas, telah dikenal dan menyebar di kalangan umat. Seharusnya ia menanyakannya kepada ulama', agar jelas baginya kebenaran dari kesesatan.

Yang mengherankan, mereka membunuh diri mereka sendiri, padahal Allah melarangnya. Allah berfirman:

ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An Nisa': 29)

Kebanyakan mereka hanya terdorong oleh keinginan balas dendam terhadap musuh, dengan cara apapun, baik itu cara yang haram ataupun yang halal, ia hanya ingin memuaskan dirinya. Semoga Allah memberikan kepada kita penguasaan terhadap ilmu agama dan mengamalkan setiap yang membuat-Nya ridho. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Majalah Ad Dakwah, edisi 1598).

Akhuna Suripan berkata:

Walaupun berjenggot tetapi beda antara salafiyin dengan harakah lain Saudara-saudara Salafiyin yang di Rahmati Alloh. Musuh-musuh Alloh tidak perlu dikecoh dengan pernyataan-pernyataan seperti itu, mereka sudah kenyang dengan bermacam-macam tipu daya, 32 tahun mereka berkuasa (khusus Indonesia) dengan perlakuan zolimnya, intelijen mereka banyak lebih banyak dari jumlah saudara-saudara, lagi pula Alloh juga sudah mengingatkan kita di dalam salah satu ayatnya (QS. 2:120) agar kita hati-hati kepada mereka, disana Alloh nyatakan dengan jelas bahwa mereka tidak akan senang kepada sampai engkau mengikuti millah mereka. Jelas, mereka benci kita bukan karena jenggot tapi karena kita punya millah yang hanif yaitu millah yang mengakui bahwa Alloh itu Esa, Syariat Alloh adalah yang tertinggi tidak boleh ada yang lain, karena itulah mereka benci, kebencian mereka akan hilang kalau kita mau ikut millah mereka. Mereka sudah tahu siapa saudara-saudara, fatwa-fatwa saudara yang saudara-saudara rilis di website saudara terlihat jelas bahwa saudara-saudara mengharamkan, Pemilu, Demokrasi, Demontrasi dll dan itu sudah cukup bagi mereka untuk memasukkan saudara-saudara kedaftar pengikut Islam garis keras. Mungkin kalau selama ini mereka tidak mengutik-utik saudara-saudara, bukan berarti bahwa mereka senang pada saudara-saudara, menurut saya sekurang-kurangnya ada 2 hal, mengapa mereka tidak mengganggu saudara salafiyin sbb:

1. Selama ini, secara tidak langsung sikap saudara-saudara kepada harakah Islam yang lain sangat menguntungkan mereka, dimana salafiyin sikapnya keras terhadap kaum muslimin dan lemah lembut terhadap kaum kafirin? Inilah poin penting bagi mereka untuk tetap memelihara saudara-saudara, mereka tidak susah susah mengeluarkan banyak energi, tenaga dan biaya untuk membunuh gerakan-gerakan Islam, cukup dengan tulisan dan lisan saudara salafiyin.Nanti bila tiba saatnya, manakala kekuatan Islam yang selama ini bisa menghambat kezaliman mereka sudah lumpuh, maka mata meriam-meriam mereka akan mereka arahkan kepada sasaran tunggal yaitu kaum yang mengaku kaum Salafy. Bukankah saudara-saudara sadar dan ingat bahwa manusia paling licik dan jahat adalah Yahudi? Contoh peristiwa dari kelicikan mereka adalah Afganistan, dan Iraq. Dulu mereka adalah negara yang mereka bantu, namun sekarang mereka hujani mereka dengan misil, bom dan meriam.

2. Saudara-saudara salafiyin yang dirahmati Alloh. Saudara-saudara dimata musuh-musuh Alloh masih dikatagorikan da'wah yang masih difase teoritis, pada fase ini mereka tidak ambil pusing dengan beberapa fatwa yang saudara-saudara keluarkan yang ahkikatnya sangat bertentangan dengan prinsip mereka. Nanti pada saatnya saudara-saudara mau melangkah ke fase aplikatif, nah disini pereng sesungguhnya dimulai, saudara-saudara harus siap mengerahkan segala kemampuan baik materi, sumber daya manusia dan tenaga bahkan juga nyawa. Mereka tidak akan segan-segan untuk menggunakan cara-cara yang keji untuk melaumpuhkan musuh-musuhnya, sementara saudara-saudara umat islam (harokah islam) yang lain mungkin sudah duluan terkubur bahkan mungkin jadi mereka terkubur oleh andil dari tangan dan lisan saudara-saudara. Ah, kan masih ada Alloh yang akan membantu hambanya. Saudara-saudara harusnya malu kepada seorang salafus shaleh yang mengatakan bahwa: yang haq tidak akan bisa mengalahkan yang bathil kalau yang haq itu bercerai berai sedang kebathilan begitu kuat dan rapinya.

Ya akhi, sebenarnya yang menjadikan pemerintah ORBA senatiasa menguber-uber berbagai macam sekte/firqah yang ada di Indonesia adalah karena rasa khawatir akan kekuasaannya, yang mereka sadari sedang diganggu oleh firqah-firqah tersebut. Adapun bila kita tidak berupaya mengganggu kekuasaan mereka, niscaya mereka tidak akan mengusik dakwah kita. Apalagi bila mereka sadar bahwa kekuasaan akan tetap berada ditangan mereka bila mereka menerima dakwah kita, niscaya mereka akan tenang dan tidak akan nguber-uber dakwah kita. Bukankah antum semenjak dahulu sering membaca dan mendengar sebutan "Subversi", akan tetapi apakah antum pernah mendengar bahwa ORBA menangkap orang atau memenjarakan orang karena ia shalat dengan benar, atau tidak mau syirik, tidak mau menyembah kuburan dll? Saya yakin antum tahu dengan pasti hal ini. Nah inilah rahasianya mengapa pemerintah dimanapun senantiasa nguber-uber setiap sekte yang berupaya merebut kekuasaan, dan senantiasa mengawas-awasi setiap gerak mereka. Apalagi sekte yang mengajarkan kepada para pengikutnya bai'at kepada pemimpin mereka atau mengaku mendirikan negara Islam bawah tanah atau yang serupa.

Adapun musuh-musuh Islam dari orang-orang yahudi dan nasrani, maka sebenarnya yang paling mereka takuti adalah orang-orang yang bertauhid dengan benar, dan senantiasa memerangi tindak kesyirikan dan bid'ah, oleh karena itu mereka dengan dana besar-besaran mendukung berbagai program kesesatan, dimulai dari seruan persatuan agama melalui JIL Paramadina, gerakan tasawuf melalui Dzikir berjama'ah, Jama'ah Tabligh, dll. Ini semua mereka lakukan demi mencari budak-budak yang akan menjadi kambing hitam dalam menghancurkan kekuatan umat Islam.

Dan diantara makar yang senantiasa mereka persiapkan untuk menghancurkan umat islam ialah dengan mendidik sekte-sekte garis keras, baik secara langsung atu tidak, agar suatu saat dapat dijadikan kambing hitam, dan alasan untuk menyerang negara islam, sebagaimana yang mereka lakukan dengan Usamah Bin Laden dan kelompoknya. Dahulu Amerika mendidik mereka menggunakan senjata, dan juga mempersenjatai mereka, bahkan menurut pengakuan sebagian kawan saya yang berasal dari Afganistan dan pernah ikut andil dalam melawan Uni Soviet: Setiap orang Afghan yang angkat senjata melawan Uni Soviet setiap hari mendapat gaji 1/2 dolar US. Dan ketika tiba saatnya mereka ingin menyerang Afganistan dan menguasai negri muslim ini, mereka jadikan antek-antek mereka (Usamah bin laden CS) sebagai dalih/kambing hitam. (Lha akhuna Suripan di tulisannya di atas telah menyadari akan hal ini, kok ya tidak mengambil Ibrah?).

Dan tidak mustahil, berbagai pengeboman di negri Islam termasuk Indonesia ada campur tangan dari mereka, baik dengan suplay bahan peledak, atau pendidikan/kaderisasi para perakit bom dll.

Saya menjadi heran dengan akhuna Suripan, mengesankan bahwa ikhwah salafiyyin keras terhadap sesama muslim, padahal yang mereka lakukan hanyalah mengkritik, dan membuktikan kesalahan dan penyelewengan sekte-sekte yang ada kepada masyarakat. Akan tetapi mengapa akhuna Suripan tidak merasa kebakaran jenggot melihat nyawa sebagian kaum muslimin direnggut dan jasad sebagiam umat islam bergelimpangan akibat terkena bom yang dipasang oleh sebagian sekte yang mengebom pasar umum atau perhotelan, atau fasilitas umum lainnya? Ataukah akhuna Suripan memang menganut paham, bahwa selain kelompoknya adalah kafir, sebagaimana yang diyakini oleh LDII? Ataukah akhuna Suripan menganggap bahwa masyarakat kita adalah masyarakat jahiliyyah, sehingga seluruh anggota masyarakat kita selain anggota kelompoknya layak untuk menjadi tumbal atau dikorbankan? La haula wala quwwata illa billah.

Pada kesempatan ini saya anjurkan antum untuk mengkaji sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia melawan penjajah Belanda. Perjuangan yang dilakukan oleh Umat Islam di bawah kepemimpinan Imam Bonjol melawan Nasrani dan budak mereka yaitu kaum adat. Dan hendaknya antum juga mengkaji sejarah perjuangan umat Islam di India melawan Nasrani Inggris beserta anteknya Ahmadiyyah. Bila antum telah mengkaji sejarah ini, saya yakin antum akan berkesimpulan lain.

Yang sangat mengherankan lagi dari seluruh tulisan akhuna Suripan adalah: Akhuna Suripan merasa bersedih dan seakan tersayat-sayat hatinya melihat sebagian orang dan sekte yang dikritik dan dibongkar kesesatannya, akan tetapi Akhuna Suripan tidak merasa terusik dengan kesalahan dan penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai sekte dari ajaran agama, misalnya seperti yang dilakukan oleh JIL, sekte Syi'ah yang menuhankan sahabat Ali, dan menyangka bahwa Malaikat Jibril salah alamat dalam menyampaikan wahyu, Ahmadiyyah yang mengaku bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi, kaum Tasawuf yang mengajarkan kasta dalam beragama, dimulai dari kasta syari'at, ma'rifat, wali, wihdatus syuhud, hingga wihdatul wujud, LDII yang senantiasa menganggap kafir seluruh kaum muslimin yang tidak ikut dalam sektenya dll.

Akhuna Suripan! Dengarlah baik-baik penjelasan Imam Malik bin Anas berikut:

من أحدث في هذه الأمة اليوم شيئا لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خان الرسالة لأن الله تعالى يقول: حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير لله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم وخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم . فما لم يكن يومئذ دينا لا يكون اليوم دينا.

"Barang siapa pada zaman sekarang mengada-adakan pada ummat ini sesuatu yang tidak diajarkan oleh pendahulunya (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabatnya), berarti ia telah beranggapan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengkhianati kerasulannya, karena Allah Ta'ala berfirman: 'Diharamkan bagimu bangkai, darah ......pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. Maka barang siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.' (QS. Al Maidah: 3), sehingga segala yang tidak menjadi ajaran agama kala itu (zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabatnya) maka hari ini juga tidak akan menjadi ajaran agama." (Riwayat Ibnu Hazem dalam kitabnya Al Ihkam 6/225).

Inilah hakikat bid'ah. Pada hakikatnya bid'ah adalah sanggahan terhadap kesempurnaan agama Islam yang telah ditetapkan Allah pada surat Al Maidah ayat 3, dan merupakan tuduhan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang mendapatkan amanat menyampaikan risalah ini telah berkhianat. Seorang yang melakukan bid'ah Seakan-akan ia berkata: Bahwa agama Islam ini belum sempurna, sehingga perlu ditambahkan amalan saya ini, atau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah berkhianat, sehingga amalan baik yang saya amalkan tidak beliau ajarkan kepada umatnya. Na'uuzubillah min zalika.

Saudara Suripan berkata:

Mari kita bicara realitas yang lebih detil:

Presiden kita sekarang adalah hasil proses pemilu yang demokratis yang menurut antum sudah jelas tanpa ragu akan keharaman demokrasi tersebut. Tentunya antum juga tahu bahwa penguasa kita sekarang bukan hanya dihantarkan oleh pemilu yang demokratis yang haram itu, tapi sekaligus penguasa kita hari ini ‘melanjutkan’ dan bahkan ‘menumbuhsuburkan’ demokrasi itu sendiri. Sebagai contohnya, dengan tetap berjalan dan berfungsinya DPR, Pilkada dll. Menurut antum apakah kebijakan penguasa kita sekarang ini yang menumbuhsuburkan demokrasi yang jelas haramnya (menurut antum) itu, termasuk kekufuran yang nyata yang berarti boleh dibuka aibnya dengan ditulis dimana2, di website baik langsung atau tidak langsung dengan membongkar kebobrokannya yaitu bahwa penguasa sekarang telah jelas2 menyebarluaskan sesuatu yang diharamkan oleh Islam yaitu ‘demokrasi’. Atau kita harus menutup rapat-rapat borok ini. Kalau mengikuti nasehat antum, mestinya demokrasi di Indonesai (yang bukan teori tapi sudah prakteknya) tidak boleh dibongkar di masyarakat tapi harus disampaikan secara 4 mata kepada penguasa kita (afwan kalau salah). Tapi kenyataannya justru kebalikannya, antum justru membongkar aib penguasa kita yang pro demokrasi ini. Jadi sikap kita bagaimana? Apakah mendiamkan (mentaati) penguasa yang terus menumbuh suburkan demokrasi yang jelas haram itu, karena dia adalah penguasa yang sah, ataukah dibongkar habis-habisan tentang borok demokrasi yang sedang digencarkan oleh penguasa tersebut. Dalam hal ini kalau boleh saya menilai: antum nampaknya ambivalen (mendua). Kenapa? Karena mengungkap keburukan penguasa misalnya dengan demonstrasi atas kenaikan BBM antum kritik habis-habisan sebagai tidak sejalan dengan manhaj salaf, tapi disisi lainnya antum menyebarluaskan bahaya dan bobroknya demokrasi kepada ummat Islam (baik cetak, terbitan, tasjilat, online, kajian, daurah) dengan begitu gencarnya. Artinya antum bisa dikatakan tidak taat kepada penguasa. Buktinya, saya yakin Ikhwah salafy juga tidak ikut pemilu, padahal itu adalah perintah penguasa kita. Berarti antum membangkang perintah penguasa. Saya kira walaupun tidak eksplisit, tidak sulit bagi orang awam untuk menyimpulkan bahwa salafy dengan demikian juga telah mengoreksi habis-habisan kebijakan penguasa yang membiarkan demokrasi tumbuh subur. Sesuatu yang selama ini ikhwah salaf sangat ingin menjauhi (kritik terbuka) nya. Benarkah demikian? Apakah tidak membingungkan? Kalau memang demokrasi sudah jelas haramnya, kenapa antum tidak segera datang ke penguasa menyampaikan masalah haramnya demokrasi dan pemilu ini (atau barangkali sudah, afwan saya belum tahu)? Kok malah disebar-sebarkan kepada ummat sehingga ummat semuanya tahu bahwa penguasa kita sekarang ini bergelimang dengan kebijakan yang diharamkan oleh Islam. Ataukah memang manhaj salaf dakwahnya hanya nasyrul fikrah/ilmi tanpa aplikasi/tindakan, atau barangkali belum waktunya masih menunggu saat yang tepat untuk tidak hanya’bicara’? Apalagi antum sudah berpendapat bahwa kalau sesuatu yang jelek itu sampai ke tangan penguasa maka kemadharatannya semakin luas dan sulit untuk dikendalikan.

Berikut jawaban dari ustadz Muhammad Arifin Badri...

Pada kesempatan kali ini saya akan menyebutkan firman Alloh berikut yang merupakan pedoman yang senantiasa dipegangi oleh Ahlusunnah wal Jamaah dalam menyikapi pemerintahan atau khilafah yang ada:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(QS An Nisa’ 59)Para pembaca, yang semoga senantiasa dirahmati Alloh, pada ayat ini Alloh memerintahkan kita semua untuk taat kepada Alloh, yaitu dengan mengikuti kitab-Nya, dan menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti sunnahnya, serta menaati para pemimpin (ulul ‘amri) di antara kita, baik ulul ‘amri dari kalangan ulama atau umara (penguasa). Ini adalah kewajiban kita semua untuk senantiasa taat kepada Alloh, Rosululloh dan para pemimpin di antara kita.

Akan tetapi walau demikian, pada ayat ini Alloh ta’ala mengulang perintah untuk taat, yaitu kata “taatilah” sebanyak dua kali, yaitu taat kepada Alloh dan taat kepada Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ketika menyebutkan ulul ‘amri, Alloh tidak mengulang kata taatilah .

Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kewajiban taat kepada Alloh dan Rasul-Nya bersifat mutlak karena sebagai konsekuensi pengakuan dan keimanan kita kepada Alloh dan Rasul-Nya adalah senantiasa taat dan untuk tidak beramal selain dengan syariat yang Alloh dan Rasul-Nya ajarkan. Sedangkan ketaatan kepada ulul ‘amri tidak bersifat mutlak, akan tetapi ketaatan kepada mereka hanya wajib atas kita sebatas dalam hal yang ma’ruf atau selama tidak melanggar dengan kewajiban ta’at kepada Alloh dan Rasul-Nya.

Pemahaman semacam ini dengan tegas telah disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

Dari sahabat Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menaati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menaati”. (HR Bukhori dan Muslim) Hal ini atau prinsip ini bukan hanya berlaku dalam hubungan interaksi antara rakyat dan pemerintah dan ulama akan tetapi berlaku dalam segala urusan, sampai-sampai dalam hubungan antara anak dan orang tuanya prinsip ini tetap berlaku dan wajib diindahkan oleh setiap muslim. Perhatikanlah firman Alloh berikut ini: “Dan jika keduanya (Ayah dan ibu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu patuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS Luqman: 15) Dan masih banyak lagi dalil serta keterangan ulama Ahlusunnah tentang prinsip ketaatan kepada sesama manusia, baik pemerintah, atau orang tua, atau atasan dalam sebuah organisasi, atau perusahaan atau lainnya, yang semuanya menguatkan apa yang saya utarakan ini, yaitu ketaatan kepada sesama manusia hanya boleh dilakukan selama tidak melanggar syariat Alloh.Berangkat dari prinsip ini, umat islam di mana-mana tidak berkewajiban, bahkan tidak boleh untuk menaati peraturan atau perintah siapa pun yang melanggar syariat Alloh dan Rasul-Nya. Dan saya yakin para pembaca juga sependapat dengan apa yang telah saya utarakan di atas. Dan sebagai penerapannya, umat islam di Indonesia atau di manapun mereka berada tidak boleh untuk menaati atau menjalankan peraturan atau undang-undang yang jelas-jelas melanggar syariat islam, misalnya prostitusi dilegalkan, dan dilindungi, yaitu dengan adanya komplek-komplek yang melayani praktek maksiat tersebut, riba dengan adanya berbagai macam model perbankan, dimulai dari bank yang jelas-jelas menyatakan riba atau yang memakai kedok bank syariat atau perkreditan, penerapan sistem demokrasi, juga emansipasi wanita, persamaan hak dan kewajiban antara komponen masyarakat, tanpa pandang bulu agama dan ajarannya dst.Bukan hanya tidak boleh menaati, akan tetapi umat islam berkewajiban mengingkari berbagai kemaksiatan tersebut, masing-masing sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya, dan sesuai dengan manhaj atau metode yang diajarkan oleh Rasulullah dalam mengingkari kemungkaran (berdakwah) “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak bisa, maka dengan lisannya dan bila tidak bisa maka dengan hatinya”. (HR Muslim)

Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini membagi manusia menjadi tiga golongan:

Golongan pertama, adalah orang-orang yang mampu untuk menghilangkan kemungkaran dengan tangannya (kekuatannya), yaitu pemerintah atau pemimpin atau yang diberi wewenang dalam hal ini, seperti lembaga-lembaga dan gubernur serta panglima.

Golongan kedua, orang-orang yang mengingkari dengan lisannya, yaitu yang tidak memiliki kekuasaan, tapi memiliki kemampuan untuk menjelaskan.

Dan golongan ketiga, orang-orang yang mengingkari kemungkaran dengan hatinya, yaitu mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menjelaskan.

Di antara manfaat dibaginya manusia menjadi tiga golongan semacam ini, adalah tercapainya tujuan yaitu terlaksanakannya atau tersampaikannya nasihat kepada yang hendak dinasihati tanpa terjadi ketimpangan, sebab bila ada orang yang melebihi kapasitasnya dalam mengingkari kemungkaran, niscaya akan terjadi ketimpangan bahkan kerusakan, misalnya: orang yang tidak berilmu mengingkari dengan cara membantah, menulis atau menganalisa dst, niscaya yang terjadi adalah kemungkaran baru, sebab orang tersebut pasti akan berkata-kata tanpa dasar ilmu, sehingga akan sesat dan menyesatkan.

Begitu juga bila ia mengingkari dengan kekuatan, niscaya akan terjadi kerusakan, yaitu melampaui batas, bersikap anarkis, atau menyingkirkan kemungkaran dengan kemungkaran lain yang sama atau lebih besar, misalnya yang sering terjadi di masyarakat, ketika ada pencuri yang tertangkap oleh masa, maka karena tidak berilmu mereka membakar atau membunuh atau menyiksa pencuri tersebut,padahal sikap itu jelas tidak islami dan diharamkan dalam syariat, bahkan termasuk berhukum dengan selain hukum islam, karena hukuman pencuri adalah dengan dipotong tangannya, bukan dicincang atau dibakar hidup-hidup dst.Oleh sebab itu, bila dalam mengingkari kemungkaran kita mengandalkan kekuatan masa, mengerahkan masa, berdemonstrasi yang sebenarnya mereka tidak berhak untuk mengingkari dengan kekuatan atau tangan, maka akan terjadi kemudhorotan yang besar, diantaranya, terjadinya kemacetan di jalan raya, mungkin terjadi penjarahan terhadap pertokoan, perusakan massal dst. Padahal kemaslahatannya seringnya tidak ada atau terlalu kecil bila dibanding dengan kerugiannya.

Dan saya yakin para pembaca pernah menyaksikan atau minimal membaca atau mendengar kejadian yang terjadi di masa reformasi beberapa tahun lalu. Tentu ini adalah sikap yang tidak islami dan termasuk berhukum kepada selain hukum Alloh, dan berhukum kepada hukum rimba atau masa, wallohul musta’aan.Dan di antara kaidah Ahlusunnah yang senantiasa diajarkan dan diperhatikan oleh para ulama dalam setiap hal ialah kaidah:Kewajiban merealisasikan kemaslahatan dan menghindarkan kemudhorotan.Dalam penerapannya yang berkaitan dengan mengingkari kemaksiatan, para ulama menjelaskan bahwa bila suatu amalan, termasuk pengingkaran terhadap suatu kemaksiatan akan berdampak buruk dan lebih berat nilai negatifnya dibanding maslahat yang dapat dicapai, maka pengingkaran tersebut tidak boleh dilakukan, baik pengingkaran tersebut dilakukan dengan kekuatan atau lisan atau tulisan. Sebab tujuan diturunkan syariat Islam kepada umat manusia adalah demi merealisasikan kemaslahatan bagi mereka dan menghindarkan kemudhorotan dari mereka.Oleh karena itu setiap langkah dan upaya yang akan kita tempuh dalam mengingkari kemungkaran harus kita timbang dengan kaidah ini, apa maslahat yang akan tercapai, dan apa mudhorot yang akan timbul dari pengingkaran tersebut.

Ini kaidah umum berlaku terhadap setiap pelaku kemungkaran, baik penguasa atau rakyat biasa. Oleh karena itu bila suatu saat ada suatu keadaan/situasi atau ada orang yang mampu mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan tangan/kekuatan tanpa menimbulkan kerusakan atau dampak negatif yang lebih besar, maka hal itu diperbolehkan, sebagai contoh bila yang melakukan kemungkaran adalah seorang bupati atau gubernur, dan yang mengingkari adalah Menteri Dalam Negeri atau presiden, maka boleh bagi mereka untuk mengingkari dengan kekuatan, atau terus terang, atau dengan tangan, sebab pengingkaran itu (atas izin Alloh) tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Atau bila orang yang mengingkari itu adalah orang tua penguasa tersebut atau orang yang disegani atau yang semisal.

Hal ini berdasarkan kisah berikut:Ketika Marwan bin Hakam rohimahulloh (khalifah kala itu) hendak berdiri di mimbar dan mendahulukan khotbah ‘ied sebelum sholat (yang benar adalah sholat ‘ied terlebih dahulu kemudian khotbah) maka Abu Sa’id Al Khudri rodhiallohu ‘anhu menarik tangan khalifah Marwan agar ia sholat terlebih dahulu, walaupun akhirnya Khalifah Marwan tetap ngotot mendahulukan khotbah sebelum Sholat, dan berkata kepada sahabat Abu Sa’id Al Khudri: “Sesungguhnya apa yang engkau ketahui (sunnah tentang mendahulukan sholat sebelum khotbah) telah ditinggalkan”. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim.

Walau Abu Sa’id Al Khudry mengingkari dengan tangannya, dan di hadapan khalayak ramai, akan tetapi karena kedudukan beliau sebagai sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan kaum muslimin kala itu menjadikan sikap beliau ini tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Bila permasalahan ini telah dipahami dengan baik, maka masih ada dua permasalahan besar dalam prinsip Ahlusunnah yang harus kita camkan baik-baik,

Pertama: Kemaksiatan yang sedang kita bahas yaitu demokrasi, dan berhukum dengan selain hukum Alloh ta’ala adalah kemaksiatan yang jelas-jelas haram, dan termasuk dosa besar, akan tetapi yang perlu diingat adalah: perbuatan ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi dilakukan oleh banyak orang yang ada di masyarakat, baik itu pemerintah, atau organisasi atau perorangan atau kepala rumah tangga dll. Jadi kewajiban berhukum kepada hukum Alloh adalah kewajiban setiap orang yang memiliki kesempatan/ wewenang untuk mengambil keputusan, baik ia sebagai pelaksana pemerintahan, atau bukan. Begitu juga halnya dengan sistem demokrasi, diterapkan oleh pemerintah juga diterapkan oleh lembaga non pemerintah bahkan diterapkan oleh perorangan, misalnya dalam kehidupan berkeluarga atau yang serupa. Sehingga ketika kita mengatakan bahwa demokrasi itu haram dan sesat, tidak berarti yang dimaksud hanya sikap dan sistem yang dijalankan oleh pemerintah yang ada, akan tetapi kemungkaran ini dilakukan oleh banyak orang pemerintah dan selainnya. Untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan bersama sebab turunnya ayat 44 Surat Al Maaidah:

Yaitu ketika ada seorang laki-laki dan seorang wanita yahudi (yang telah menikah) berzina, dihukumi oleh kaumnya dengan dilumuri wajahnya dengan arang dan kemudian diarak keliling, padahal dalam kitab At Taurat mereka, hukuman zina adalah rajam. Dan ketika hal ini sampai kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepada mereka: Dalam kitab At Taurat kalian, apa hukuman orang yang berzin? Mereka menjawab: Kami mempermalukan mereka di hadapan orang umum, kemudian dicambuk, maka sahabat Abdulloh bin Salam berkata kepada mereka: Kalian telah berdusta, sesungguhnya dalam At Taurat ada ayat tentang rajam, maka mereka mendatangkan At Taurat, lalu dibuka, akan tetapi salah seorang dari mereka meletakkan tangannya di atas ayat yang memerintahkan rajam, maka Abdulloh bin Salam memerintahkannya untuk mengangkat tangannya, dan terlihatlah ayat tentang rajam, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kedua orang yahudi tersebut dirajam. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.

Dari kisah sebab turunnya ayat tersebut, kita bisa simpulkan bahwa berhukum kepada hukum Alloh bukan hanya kewajiban pemerintah atau khalifah saja, akan tetapi merupakan kewajiban seluruh manusia, sebab orang-orang yahudi tersebut tidaklah memiliki negara, akan tetapi hanya sebuah kabilah, ditambah lagi konteks ayat tersebut umum, tidak ada batasan dengan pemerintah atau yang lainnya, maka barang siapa yang mengatakan bahwa ayat tersebut hanya berkenaan dengan pemerintah atau khalifah, maka ia harus mendatang dalil.

Untuk lebih memperjelas kesimpulan ini mari kita baca ayat 65 surat An Nisa’ :

Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Dan untuk memperjelas pemahaman ini, mari kita simak kisah berikut yang menggambarkan bagaimana pemahaman sahabat Nabi sekaligus anak paman beliau, yaitu Abdulloh bin Abbas tentang kewajiban berhukum dengan hukum Alloh, beliau bercerita:

“Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan berkumpul di daerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib rodhiallohu ‘anhu: “Wahai Amirul Mukminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat zuhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka”. Maka Ali berkata: “Aku takut atas dirimu”. Aku menjawab: “Tidak akan terjadi apa-apa”. Lalu aku berangkat menuju kepada mereka, dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka, dan mereka pun spontan menjawab: “Selamat datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang kemari?”. Aku berkata kepada mereka: “Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menantunya, atas merekalah Al Quran diturunkan, sehingga mereka lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak seorang pun di antara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat), sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka katakan/yakini, dan hendaknya kalian pun menyampaikan apa yang kalian katakan/yakini”. Lalu aku berkata kepada mereka: “Apakah yang kalian benci dari sahabat Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam dan anak pamannya?” Mereka menjawab: “Ada tiga hal”. Aku berkata: “Apakah itu?” Mereka menjawab: “Adapun yang pertama: karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim (berhakim) dalam urusan Alloh, padahal Alloh telah berfirman yang artinya: “Tiadalah hukum/keputusan, kecuali hukum Alloh”, apa urusan manusia dalam hukum Alloh?” .Aku berkata kepada mereka: “Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang manusia dalam urusan Alloh, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat dari Al Quran, yang menyatakan bahwa Alloh telah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia dalam urusan yang berharga seperempat dirham, dan Alloh memerintahkan agar mereka memutuskan dalam urusan tersebut, Alloh berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalam keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka hukumannya adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian“. (QS Al Maaidah: 95),

maka atas nama Alloh ta’ala, apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari binatang buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan perdamaian di antara mereka, sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Alloh menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia?” Mereka menjawab: “Tentang keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama.” (Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya) Dan dalam urusan seorang istri dengan suaminya, Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Dan bila kalian khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Alloh memberikan taufik kepada keduanya”. (QS An Nisa’: 35)Maka, atas nama Alloh, apakah keputusan manusia dalam urusan perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka lebih utama ataukah, keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil menjawab tuduhan kalian? Mereka menjawab: Ya¦ dst. (riwayat At Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi dll).

Jadi dengan singkat, berhukum kepada hukum Alloh adalah sebuah sistem/manhaj yang harus diterapkan oleh setiap muslim, baik tercakup dalam instansi pemerintah atau tidak. Sehingga penjelasan bahwa demokrasi adalah haram, tidak serta-merta menyerang pemerintah atau membeberkan kesalahan mereka di hadapan masyarakat umum, akan tetapi pemahaman kitalah (karena kita menganggap bahwa berhukum dengan hukum Alloh itu hanya kewajiban pemerintah) yang menjadikannya "seakan-akan" hanya tertuju kepada pemerintah.

Pendek kata, dalam tema ini (penjelasan bahwa demokrasi adalah haram,) kita sedang mengingkari sebuah sistem yang diterapkan oleh masyarakat, baik pemerintah atau lainnya. Dan tidak secara khusus membongkar kesalahan pemerintah, sehingga sikap kita ini sama halnya dengan sikap kita ketika mengatakan atau membahas bahwa khomer adalah haram, judi haram, perzinaan adalah haram.Kedua: yaitu membedakan antara mengingkari dengan menyebutkan pelakunya secara langsung dari mengingkari dengan menyebutkan pelakunya. Bila kita mengingkari dengan tidak menyebutkan pelakunya, maka hal itu bebas dilakukan oleh setiap orang yang berkompeten dalam permasalahan yang dimaksud, misalnya dengan mengatakan bahwa riba adalah haram, perzinaan adalah haram, dan khomer adalah haram, demokrasi adalah haram perjudian adalah haram dst. Sebab kemaksiatan ini pelakunya banyak, bukan hanya pemerintah saja, akan tetapi banyak elemen masyarakat yang melakukannya. Dan cara pengingkaran ini (insya Alloh) tidak akan menimbulkan mafsadah yang besar, dan diharapkan dengannya terkuranginya perbuatan maksiat di masyarakat.Akan tetapi bila mengingkari dengan menyebutkan pelakunya, misalnya: Ahmad berzina, atau memakan riba, harta haram, atau lainnya, maka pengingkaran ini pada dasarnya adalah haram hukumnya/tidak boleh dilakukan karena ini adalah termasuk perbuatan ghibah, kecuali bila pelaku perbuatan mungkar tersebut tidak bisa dihentikan dari kemungkarannya kecuali dengan cara menyebutkan namanya, misalnya dengan cara melaporkannya ke pihak yang berwenang atau orang yang dapat menghentikan kemungkarannya atau yang dapat menasihatinya. Atau bila tidak disebut namanya ditakutkan akan banyak masyarakat yang terpedaya olehnya atau hanyut oleh kesesatan dan kemaksiatannya.

“Dari sahabat Abdulloh bin Umar rodhiallohu ‘anhu: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus suatu pasukan di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid untuk menyerang bani Judzaimah, akan tetapi mereka (bani Judzaimah) tidak bisa mengucapkan: Aslamnaa (kami telah masuk Islam), sehingga mereka berkata: Kami telah berganti agama, kami telah berganti agama, maka(melihat yang demikian) Khalid bin Walid tetap membunuh dan menawan mereka. Kemudian ia membagi-bagikan tawanan perang kepada setiap pasukannya. Dan pada suatu hari ia (Khalid) memerintahkan kami untuk membunuh setiap tawanan perang yang ada di tangannya, (melihat hal itu sahabat Ibnu Umar) berkata: Sungguh demi Alloh aku tidak akan membunuh tawanan yang ada padaku, dan juga sahabat-sahabatku tidak boleh ada yang membunuh tawanan yang ada padanya. Setibanya kami di Madinah, kami menyebutkan kejadian ini kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: Ya Alloh, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari tindakan Khalid bin Walid (beliau mengucapkan doa ini dua kali).”(HR. Bukhari).

Pada kisah ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Khalid bin Walid dengan cara menyebutkan namanya langsung, dan pasti sikap beliau ini tidak akan menimbulkan mafsadah atau kekacauan. Semoga penjelasan saya ini sedikit membuka wawasan kita tentang metode berfikir/manhaj Ahlusunnah tentang Fiqhud Dakwah dan Inkarul Munkar, dan mohon maaf bila terlalu bertele-tele dan ada kata-kata yang kurang berkenang atau kurang bisa dipahami.

Semoga jawaban saya ini dapat berguna dan menghilangkan berbagai syubhat yang ada pada diri akhuna Suripan dan setiap yang membaca tulisan saya ini. Dan semoga Alloh senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dan melindungai umat islam dari berbagai kesesatan, bid'ah dan kejahatan musuh-musuh-Nya.

اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السَّماواتِ والأرضِ، عالمَ الغيبِ والشَّهادة، أنتَ تحْكُمُ بين عِبَادِك فيما كانوا فيه يَخْتَلِفُون، اهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فيه من الحق بإِذْنِكَ؛ إنَّك تَهْدِي من تَشَاء إلى صراط مستقيم. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعينز والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.

"Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami -atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan padanya, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Sholawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: "segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam." Amin.

Walllahu a'lam bisshawab.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

Sumber: muslim.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !