Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
POKOK-POKOK SUNNAH
MENURUT IMAM AHMAD BIN HANBAL RAHIMAHULLAH
Telah mengabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Yahya bin Abi Hasan bin Al Banna, ia berkata:”Ayahku Abu Ali Hasan bin Al Banna mengabarkan kepada kami:”Telah mengabarkan kepada kami Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Bisyran Al Muadil: ”Aku adalah ‘Utsman bin Ahmad bin As Samk :”Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Hasan bin Abdul Wahab Abu Nabri, beliau telah membaca kitabnya pada bulan Rabiul awal Th. 293 H. ia berkata:”Telah mengabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Sulaiman Al Muqri Al Bashri Di Tunisia :”Telah mengabarkan kepadaku Abdus bin Malik Al Athar :”Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata :
”Pokok-pokok Sunnah (Islam) di sisi kami adalah:
- Berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat serta bertauladan kepada mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan perdebatan dalam masalah agama
- Sunnah menurut kami adalah atsar - atsar Rosululloh Shollallohu ‘alayhi wa a’laa aalihi wa sallam, Sunnah menafsirkan Al Qur’an dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al Qur’an, tidak ada qiyas dalam Sunnah [1], tidak boleh dibuat pemisalan – pemisalan bagi Sunnah, dan Sunnah tidak dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.
- Dan termasuk Sunnah yang harus diyakini, yang Barangsiapa meninggalkan salah satu darinya – tidak menerima dan tidak beriman padanya - maka dia tidak termasuk golongan Ahlus Sunnah, adalah:
o Iman kepada takdir yang baik dan buruk, membenarkan hadits-hadits tentang masalah ini, beriman kepadanya, tidak mengatakan “Mengapa?”, dan tidak pula mengatakan :”Bagaimana?”, akan tetapi kita hanya membenarkan dan beriman dengannya. Barangsiapa yang tidak mengetahui penafsiran satu hadits, dan tidak dapat dicapai oleh akalnya sesungguhnya hal tersebut telah cukup dan sempurna atasnya (tidak perlu berdalam-dalam lagi). Maka wajib baginya beriman, tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits ;’As shadiqul masduq“dan hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah taqdir, demikian juga semisal hadits – hadits ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah di sorga), walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang mendengar, akan tetapi wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak satu huruf pun, dan juga hadits-hadits lainnya yang ma’tsur (diriwayatkan) dari orang-orang terpercaya, jangan berdebat dengan seorangpun, tidak boleh pula mempelajari ilmu jidal, karena berbicara tanpa ilmu dalam masalah takdir, ru’yah dan Qur’an dan masalah lainnya yang terdapat dalam Sunnah adalah perbuatan yang dibenci dan dilarang, pelakunya tidak termasuk ahlus Sunnah walaupun perkataannya mencocoki Sunnah sampai dia meninggalkan perdebatan dan mengimani atsar.
o Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk, tidak benar hanya mengatakan :”bukan makhluk”. Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah, dan sesuatu yang berasal dari dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan dengan orang lafdziyah (Ahlul bid’ah yang mengatakan lafadzku ketika membaca Al Qur’an adalah makhluk) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (Abstain) dalam masalah ini yang berkata :”Aku tidak tahu Al Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk tetapi yang jelas Al Qur’an adalah kalamullah”, orang ini (yang tawaquf ) adalah ahlul bid’ah seperti orang yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk. Ketahuilah (keyakinan ahlus Sunnah adalah) Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk.
o Beriman dengan ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih
o Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam sungguh telah melihat Rabbnya [2], hal ini telah ma’tsur dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Al Hakam bin Iban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, diriwayatkan pula oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihram dari Ibnu Abbas, dan kita memahami hadits ini sesuai dengan dhahirnya sebagaimana datangnya dari Rasulullah Shalallahu ’alaihiwasallam dan berbicara (tanpa ilmu) dalam hal ini adalah bid’ah, akan tetapi kita wajib beriman dengannya sebagaimana dhahirnya dan kita tidak berdebat dengan seorangpun dalam masalah ini.
o Beriman dengan mizan (timbangan amal) pada hari kiamat, sebagaimana disebutkan dalam hadits : (yang artinya) ’’Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, dan beratnya tidak seberat sayap nyamukpun” dan akan ditimbang amalan para hamba sebagaimana disebutkan dalam atsar, maka wajib bagi kita untuk beriman dan membenarkannya, serta berpaling dari orang-orang yang menentangnya serta (kita harus) meninggalkan perdebatan.
o Sesungguhnya para hamba akan berbicara dengan Allah pada hari kiamat tanpa adanya penerjemah antara mereka dengan Allah dan kita wajib mengimaninya.
o Beriman kepada haudh (telaga) yang dimiliki oleh Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam pada hari kiamat, yang akan didatangi oleh umatnya, luasnya seperti panjangnya yaitu selama perjalanan satu bulan, bejana-bejananya seperti banyaknya bintang-bintang di langit, hal ini sebagaimana diberitakan dalam khabar-khabar yang benar dari banyak jalan.
o Beriman dengan adanya adzab kubur
o Sesungguhnya umat ini akan diuji dan ditanya dalam kuburnya tentang Iman, Islam, siapa Rabbnya dan siapa Nabinya. Munkar dan Nakir akan mendatanginya sebagaimana yang Dia kehendaki dan inginkan. Kita wajib beriman dan membenarkan hal ini.
o Beriman kepada syafa`at Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam dan kepada suatu kaum yang akan keluar dari neraka setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka akan diperintahkan menuju sungai di depan pintu surga (sebagaimana diberitakan dalam atsar) sebagaimana dan seperti apa yang Dia kehendaki, kita wajib beriman dan membenarkan hal ini.
o Beriman bahwa Al-Masih Ad-Dajjal akan keluar, tertulis di antara kedua matanya (Kafir/bahasa Arab) dan beriman dengan hadits-hadits yang datang tentang masalah ini beriman bahwa ini akan terjadi.
o Beriman bahwa Isa bin Maryam akan turun dan membunuh dajjal di pintu Ludd
- Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, sebagaimana telah diberitakan dalam hadits :(yang artinya) “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik ahlaqnya”, dalam hadits lain:“Barangsiapa meninggalkan shalat sungguh ia telah kafir”,”Tidak ada amalan yang kalau ditinggalkan orang menjadi kafir kecuali shalat”. Maka Barangsiapa meninggalkan shalat ia menjadi kafir dan Allah telah menghalalkan membunuhnya.
o Sebaik-baik umat setelah Nabi Shalallahu ’alaihi wasallamnya adalah Abu bakar As Shidiq, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, kita mengutamakan tiga shahabat ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengutamakan mereka, para shahabat tidak berselisih dalam masalah ini, kemudian setelah tiga orang ini orang yang paling utama adalah ashabus syura (Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad dan [Thalhah]*) seluruhnya berhak untuk menjadi khalifah dan imam. Dalam hal ini kita berpegang dengan hadits Ibnu Umar : (yang artinya) “Kami menganggap ketika Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam masih hidup dan para sahabatnya masih banyak yang hidup, bahwa sahabat yang terbaik adalah : Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian kita diam (tidak menentukan orang keempat)”, kemudian setelah ashabus syura orang yang paling utama adalah orang yang ikut perang badar dari kalangan Muhajirin kemudian dari kalangan Anshar sesuai dengan urutan hijrah mereka, yang lebih dulu hijrah lebih utama dari yang belakangan, kemudian manusia yang paling utama setelah para sahabat adalah generasi yang beliau diutus pada mereka dan sahabat yang pernah bersahabat dengan beliau selama satu tahun, satu bulan, satu hari atau satu jam, siapa yang pernah melihat Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam maka dia termasuk sahabat Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam. Dia mempunyai keutamaan sesuai dengan lamanya dia bersahabat dengan Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam, dia lebih dulu masuk Islam bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam, mendengar dan melihatnya (merupakan satu keutamaan baginya – pent). Orang yang paling rendah persahabatannya dengan Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam tetap lebih utama dari pada generasi yang tidak pernah melihatnya, walaupun mereka bertemu dengan Allah dengan membawa seluruh amalannya [3]. Mereka yang telah bersahabat dengan Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam telah melihat dan mendengar beliau lebih utama –karena persahabatan mereka - dari kalangan Tabi’in walaupun mereka (Tabi’in) telah beramal dengan semua amal kebaikan.
o Mendengar dan taat pada Imam dan Amirul mukminin yang baik ataupun yang fajir.dan juga wajib taat kepada orang yang menjabat kekhalifahan karena manusia telah berkumpul (ba’iat) dan ridha kepadanya, dan juga taat kepada orang yang memberontak mereka dengan pedang hingga menjadi khalifah dan dinamakan amirul mukminin.
o Jihad terus berlangsung bersama Imam hingga hari kiamat dengan imam yang baik ataupun fajir tidak boleh ditinggalkan.
o Pembagian harta fa’i (harta rampasan yang diambil tanpa melalui peperangan terlebih dahulu) dan pelaksanaan hukum-hukum had dilakukan oleh imam, dan hal ini terus berlangsung tidak boleh seorangpun mencela mereka dan tidak boleh pula membantah mereka.
o Memberikan zakat (shadaqah) kepada mereka dibolehkan dan teranggap, Barangsiapa yang yang memberikannya kepada mereka maka sudah cukup baginya, Imamnya baik ataupun fajir.
o Shalat Jum’at di belakang Imam dan di belakang orang yang dipilih oleh Imam sudah cukup dan sempurna dan dilakukan dengan dua rakaat, Barangsiapa yang mengulang shalatnya maka dia adalah seorang ahlul bid’ah yang meninggalkan atsar dan menyelisihi Sunnah. Dia tidak mendapatkan keutamaan shalat Jum’at sedikitpun jika menganggap tidak boleh shalat di belakang Imam yang baik ataupun yang dhalim, Sunnah mengajarkan untuk shalat bersama mereka dua rakaat, kita beragama dan meyakini bahwa sholat Jum’atnya itu sudah sempurna, jangan sampai ada suatu perasaan apapun dalam dadamu tentang masalah tersebut.
o Barangsiapa yang memberontak kepada Imam kaum muslimin setelah mereka berkumpul dan mengakuinya sebagai khalifah, dengan cara apapun dengan ridha maupun dengan paksa, maka pemberontak itu telah memecahkan persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam, kalau dia mati dalam keadaan memberontak maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.
o Tidak dihalalkan atas seorangpun memerangi sulthan atau memberontaknya, Barangsiapa yang melakukannya maka dia adalah mubtadi’ (Ahlul bid’ah), sudah tidak di atas Sunnah dan jalan yang lurus.
o Memerangi para pencuri dan khawarij diperbolehkan jika mereka mengancam jiwa dan harta seseorang. Jika demikian seseorang dibolehkan untuk memeranginya dalam rangka membela jiwa dan hartanya sebatas kemampuannya, tapi dia tidak boleh mencari atau mengejar mereka jika mereka memisahkan diri atau meninggalkannya, tidak boleh seorangpun mengejarnya kecuali Imam atau pemerintah muslimin. Tapi yang diperbolehkan itu adalah membela dirinya ditempat kejadian, dan tidak berniat untuk membunuh seorangpun, kalau pencuri (khawarij) tersebut mati ditangannya ketika ia membela diri maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh , dan kalau dia (yang bela diri ) yang terbunuh dalam keadaan membela diri dan hartanya, aku mengharapkan dia mati syahid sebagaimana dalam hadits-hadits, seluruh atsar dalam masalah ini hanya menyuruh untuk memeranginya dan tidak memerintahkan untuk membunuh atau mengintainya, tidak diperbolehkan membunuhnya kalau dia tersungkur atau terluka, kalau menjadikannya sebagai tawanan juga tidak boleh dibunuh, dan jangan dihukum hadd olehnya sendiri, akan tetapi hendaknya urusan tersebut diserahkan kepada orang yang telah Allah tunjuk sebagai Imam (qadhi) untuk menghukumnya.
o Kami tidak mempersaksikan (memastikan ) seorang ahlu qiblah dengan amalannya akan masuk surga atau neraka. Kami mengharapkan orang yang shalih (untuk masuk surga -pent.), dan kami juga mengkhawatirkan serta menakutkan orang yang berbuat jelek dan dosa (untuk masuk neraka ,pent) dan kami mengaharapkan rahmat Allah untuknya.
o Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dengan membawa dosa yang bisa memasukkannya dalam neraka- tapi dia taubat tidak terus menerus melakukan dosanya- maka sesunguhnya Allah menerima taubat hambanya serta mema’afkan kejelekannya.
o Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan telah ditegakkan atasnya hukum had didunia maka itulah penghapus dosa baginya, sebagaimana telah ada khabar dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam.
o Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan terus menerus melakukan dosa, dan tidak bertaubat dari dosa-dosa yang mengharuskan ia dihukum oleh Allah, maka urusannya dikembalikan kepada Allah, kalau Allah menghendaki Dia akan mengadzab orang tersebut dan jika tidak Allah akan mengampuninya.
o Barangsiapa yang bertemu dengan Allah – dalam keadaan kafir – Allah akan mengadzabnya dan tidak ada ampunan baginya.
o Rajam itu adalah haq (wajib) atas orang yang zina dan telah menikah, jika dia mengaku atau telah ada bukti yang kuat, Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam telah merajam, demikian pula khulafaur rasyidin.
o Barangsiapa yang menghina seorang saja dari shahabat Rasulullah Salallahu ’alaihiwasallam atau membencinya karena dosa, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya maka dia adalah ahlul bid’ah sampai dia bertarahum (mendoakan semoga Allah merahmati) kepada mereka semua dan hatinyapun selamat dari perasaan jelek kepada mereka.
o Nifak adalah kufur, kufur kepada Allah dan menyembah selainnya. Serta menampakkan Islam dalam dhahirnya, seperti orang-orang munafik pada zaman Rasululah.
- “Tiga perkara yang barangsiapa tiga perkara ini ada padanya berarti dia munafik “ dengan keras (mengancam), kita riwayatkan sebagaimana datangnya tidak kita qiyas-qiyaskan. Dan sabdanya: (yang artinya) “Janganlah kalian kembali menjadi kafir jika aku telah wafat, sebagian kalian membunuh sebagian yang lainnya”, dan seperti : “Jika dua orang muslim berkelahi dengan membawa pedang mereka maka yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka”, dan seperti :“Mencerca muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah suatu kekufuran”, dan seperti: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “Ya kafir” maka sifat tersebut akan kembali (mengenai) salah seorang diantara keduanya”. Dan seperti :“Kufur pada Allah melepaskan nasab walaupun sedikit”. Dan seperti hadits-hadits ini yang shahih dan dihapal, kita harus menerimanya walau tidak tahu tafsirnya kita tidak mempersalahkan dan tidak pula memperdebatkannya, dan tidak kita tafsirkan kecuali dengan hadits yang lebih shahih dari itu.
o Sorga dan neraka sudah diciptakan (sudah ada) sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam bersabda :“Aku masuk ke surga, akupun melihat istana di sana, aku juga melihat alkautsar” dan “Aku lihat ke surga akupun bisa melihat bahwa kebanyakan penduduk surga adalah ini, dan aku lihat neraka dan aku lihat kebanyakan penghuninya adalah ini (Wanita-pent)”. Barangsiapa yang menyangka keduanya belum ada saat ini berarti dia telah mendustakan Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam dan aku tidak mengira (menganggap) orang ini beriman atas adanya surga dan neraka.
o Barangsiapa yang mati dari ahlul kiblat (muslim) dalam keadaan muwahid (bertauhid), dishalati jenazahnya dan dimintakan ampun untuknya, jangan sampai tidak dimintakan ampun dan jangan pula jenazahnya dibiarkan (tidak dishalati) hanya karena disebabkan melakukan dosa - baik yang dosa kecil ataupun besar- dan urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala.
Akhir risalah:
Walhamdulillahi wahdah, wa shalawatuhu ‘ala Muhammad wa alihi wasallam taslima.
Telah mendengar seluruh risalah ini dari lafadz Syaikh Imam Abu Abdillah Yahya bin Abi Ali Hasan bin Ahmad Al Banna dengan riwayat dari dua orang tuanya Syaikh Imam Muhadzab Abu Mudzfar Abdul Malik bin Ali bin Muhammad Alhamdani dia berkata : “Dengan ini aku beragama kepada Allah”, telah mendengar penulis pemilik nuskhah dan penulisnya Abdurrahman bin Hibatullah bin Mi’rad al Harani, ini terjadi di akhir bulan Rabiul Awwal 529 H.
Alhamdulillah : Telah mendengarnya dari lafadzku anakku yang bernama Abu Bakar Abdullah dan saudaranya Badarudin Hasan dan ibunya Bulbul bintu Abdullah dan telah mendengar pula sebagian risalah ini Abdul Hadi. Telah shahih (benar) hal ini terjadi pada hari Senin 17 Jumadil Awal Th. 897 H, aku bolehkan bagi mereka untuk meriwayatkannya dariku dan juga seluruh yang aku riwayatkan dengan syaratnya. Yang menulis Yusuf Abdul Hadi.
Telah berkata (penulisnya kepada dirinya sendiri) Muhammad Nashiruddin Al Albani:
Aku selesai menulisnya dari makhtutath (naskah) khaththiyah di Dhahiriyah, Damaskus (Majmu’ 68: 10-15). Sesaat sebelum Dhuhur, Rabu 6 Sya’ban 1373H.
Telah meletakkan catatan kaki ini bagian tahqiq majalah Al Mujahid. Jazakumullahu khairo, mudah-mudahan Allah menolong mereka dalam melawan musuh mereka dan musuhnya kaum muslimin.
Darul Manar berharap orang yang membaca risalah ini untuk mendoakan mereka,
Shalallahu wasallama ‘ala Nabiyina Muhammad Shalallahu ’alaihi wasallam wa ‘ala alihi wa ashabihi ajmain.
(Dikutip dari buku terjemah kitab Ushulus Sunnah, karya Imam Ahmad bin Hanbal, Penerbit Darul Manar cet. 1 Th. 1411H. Penerjemah : Al Ustadz Abdur Rahman Mubarak Ata, Editor : Team Al Atsari, Cetakan pertama, September 1999, Penerbit : Pustaka Al Mubarak. Alamat : Kp. Cikalagan Rt 02/10 Cileungsi (Depan Pasar Cileungsi) Bogor-Jabar 16820 Telp. (021) 823 5220)
Sumber : adiabdullah.wordpress.com
FOOTNOTE (Tambahan Sa’ad):
[1] Yakni tidak ada qiyas di dalam masalah aqidah, yang ada hanyalah nash – nash qoth’i (pasti) dan tauqifiyyah karena masalah aqidah tidak dapat dipahami dengan akal pikiran belaka.
[2] “... ada riwayat shahih pula darinya (Ibnu ‘Abbas radliyallohu ‘anhumaa) yang menyelisihi riwayat tersebut. Ia (Ibnu ‘Abbas) berkata:
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى
“Tidaklah berdusta hatinya tentang apa yang dia lihat.”(QS. An-Najm:11)
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى
“Dan sungguh dia telah melihat Rabbya pada waktu yang lain (●).”(QS. An-Najm:13)
Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata:”Nabi Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam melihat Rabbnya dengan hatinya dua kali.” [Mukhtashar Muslim:83]. Dan tidaklah benar riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menyatakan dengan jelas bahwa beliau Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam melihat Rabbnya dengan pandangan mata. Bahkan dalam sebagian riwayat darinya ia memutlakkan kata Ar-Ru’yah, dan dalam sebagian riwayat lainnya ia mentaqyid-nya dengan pandangan hati sebagaimana dalam atsar terakhir tadi.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahulloh berkata:”Telah datang riwayat – riwayat mutlaq dan muqoyyad dari Ibnu ‘Abbas, maka wajib mentaqyid (mengkhususkan –Sa’ad) riwayat – riwayat mutlaq tersebut.”
Ia juga berkata:”Ada kemungkinan untuk menggabungkan antara penetapan Ibnu ‘Abbas dan penafian ‘Aisyah (atas ru’yah Nabi Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam terhadap Rabbnya), yaitu dengan menafikan (meniadakan –Sa’ad) pandangan dengan mata dan menetapkan adanya pandangan dengan hati. Kemudian yang dimaksud dengan ru’yatul fu-aad adalah ru’yatul qalbi (pandangan hati) dan bukan hanya adanya ilmu/pengetahuan, karena sesungguhnya beliau Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam adalah orang yang selalu mengenal Alloh Subhanahu wa Ta’ala.” [Fathul Baari’ (8/474)].
Syaikh kami (Al-Albani) berkata dalam menta’liq (mengomentari) hadits Ibnu ‘Abbas tentang ru’yatul fu-aad,”Aku katakan: hadits ini mauquf, maka mafhumnya adalah bahwa Nabi Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam tidak melihat-Nya dengan matanya. Sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits ‘Aisyah di dalam bab ini yang menyatakan dengan jelas peniadaan ru’yah, karena maksudnya adalah ru’yatul ‘ain (pandangan mata). Dan yang semisalnya adalah hadits Abu Dzar radliyallohu ‘anhu, ia berkata:’Aku bertanya kepada Rasulullah Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam, apakah engkau melihat Rabbmu ?’ Beliau menjawab:’Sebuah cahaya, bagaimana mungkin aku dapat melihat-Nya.’ [Diriwayatkan oleh Muslim]. Memang benar, hadits ini menyelisihi hadits ‘Aisyah dari sisi yang lain, karena sesungguhnya ia (‘Aisyah) bertanya kepada Nabi Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam tentang firman Alloh Subhanahu wa Ta’aala:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى
“Dan sungguh dia telah melihat Rabbya pada waktu yang lain (●).”(QS. An-Najm:13)
Beliau Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam menjawab:”Dia tiada lain adalah Jibril ‘alayhis salaam.” Dan termasuk hal yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat yang marfu’ didahulukan daripada riwayat yang mauquf.” [Mukhtashar Muslim hal. 29, dan lihat ta’liq Syaikh al-Albani terhadap Aqidah Thahawiyah hal. 27].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata,”Sungguh telah benar dari Nabi Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam bahwa beliau mengatakan ‘Aku telah melihat Rabbku Tabaarka wa Ta’aala’, akan tetapi hal itu bukanlah di waktu kejadian Isra’ Mi’raj. Bahkan (ucapan itu disabdakan –Sa’ad) tatkala beliau berada di Madinah, kemudian memberitahukan pada mereka (para shahabat) bahwa beliau melihat Alloh Tabaaraka wa Ta’aala di malam itu ketika tidur.
Maka dari itu, Imam Ahmad rahimahullah mengatakan:’Betul, beliau melihat-Nya, beliau melihat-Nya dengan benar, karena sesungguhnya mimpinya para Nabi adalah haq dan pasti.’ Akan tetapi Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa beliau melihat-Nya dengan mata kepalanya ketika sadar. Dan barang siapa yang meriwayatkan hal itu darinya maka sungguh ia telah berbuat kekeliruan.
Akan tetapi ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan: ‘Beliau Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam telah melihat-Nya.’ Dan pernah juga mengatakan: ‘Beliau melihat-Nya dengan hatinya.’ Sehingga ada dua riwayat darinya. Dan ada riwayat ketiga darinya yang termasuk dari tindakan sebagian murid – muridnya, bahwa ia melihat-Nya dengan mata kepalanya. Dan inilah pernyataan – pernyataan Imam Ahmad yang ada, tidak ada di dalamnya hal itu.” [Majmu’ Fatawa (6/509)].
[Footnote no. 1) dan 2) diambil dari Ushulus Sunnah edisi Indonesia Keyakinan Imam Ahmad dalam Aqidah foot note no. 35 hal. 81 – 83. Penerbit Pustaka Darul Ilmi, Bogor cet. pertama Rabiul Awwal 1429 H/Maret 2008]
(●) Ada sebagian mushaf yang menerjemahkannya dengan “…Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain.” Jadi lafadz “هُ (hu)”[dia] merujuk kepada Jibril, dan bukan Alloh. Wallohu a’lam.
[3] {Dengan demikian telah kelirulah orang yang lebih mengutamakan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rohimahulloh daripada Mu’awiyyah bin Abi Sufyan rodliyallohu ‘anhu –Sa’ad}
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Adapun tentang Imam Syafi'i rahimahullah, silahkan cermati pernyataan beliau dalam masalah aqidah dalam link berikut:
BalasHapushttp://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=244&Itemid=97
Silahkan juga dicermati masalah penghancuran bangunan (kubah, dan yang sejenisnya) di atas kuburan.
Semoga bermanfaat ...