Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
A. Pengantar
Masyarakat kadang-kadang dholim dalam bersikap terhadap anak yang dilahirkan tanpa bapak yang sah alias anak zina. Anak haram, anak jadah atau sebutan lainnya mungkin sering kita dengar untuk menyebut mereka. Padahal kita semua tahu bahwa mereka tidak ingin dilahirkan tanpa ayah dan mereka juga tidak ikut menanggung dosa zina kedua orang yang menyebabkannya lahir ke alam dunia ini.
Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan seseorang itu tidak akan menanggung dosa orang lain.”
(QS. Al An’am : 164)
Namun sebelum beranjak lebih jauh, terlebih dahulu saya katakan bahwa saya tidak akan membahas semua permasalahan yang berhubungan dengan anak zina, karena pembahasan itu sangat luas, namun yang akan saya bahas disini adalah hukum anak zina dalam hubungannya dengan fiqh islam seperti menjadi imam sholat, warisan, nasab dan lainnya.
Wallahul Musta’an
B. Bolehkah Anak Zina Menjadi Imam Sholat Berjamaah ?
Jumhur ulama’ di antaranya Imam Ahmad, Atho’, Hasan Al Bashri, Tsauri dan lainnya memperbolehkannya tanpa di makruhkan. Dan ini adalah madzhab yang rajih insya Alloh. Berdasarkan beberapa dalil diantaranya :
1.Mereka tidak menanggung dosa orang tuanya. Sebagaimana firman Alloh :
“Dan seseorang itu tidak menanggung dosa orang lain.” (QS. Al An’am 164)
2.Keumuman sabda Rosululloh :
يؤم القوم أقرؤكم لكتاب الله
“Yang menjadi imam bagi kalian adalah orang yang paling faham terhadap kitabulloh.” (HR. Muslim 290, Abu Dawud 282, Turmudzi 235)
(Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 3/72, Asy Syarhul Mumti’ Syaikh Utsaimin 4/355, Al Majmu’ Imam Nawawi 4/249)
- Hanya saja Imam Syafi’i dan Abu Hanifah membenci imam dari anak zina,
- sedangkan Imam Malik bin Anas hanya membenci anak zina jadi imam rowatib. Namun tidak ada dalil kuat yang menunjukkan akan dimakruhkannya keimamahan anak zina. (Lihat Al Umm Imam Syafi’i 1/166, Syarah Fathul Qodir Imam Ibnul Humam 1/247, Al Mudawwanah Imam Malik 1/86)
C. Nasab Anak Zina
Para ulama’ sepakat bahwa anak zina dinasabkan pada ibunya, bukan pada ayahnya, sebagaimana anak yang di li’an [1] oleh bapaknya. (Lihat Bada’i Ash shona’i Imam Al Kasani 5/363, Al Majmu’ Imam Nawawi 19/48, Al Muhalla Imam Ibnu Hazm 10/323, Al Istidlkar Imam Ibnu Abdil Bar 22/177, Zadul Ma’ad 5/368)
Dalil tentang hal ini :
1.Hadits Ibnu Umar berkata :
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meli’an istrinya pada zaman Rosululloh dan menafikan anaknya, maka Rosululloh memisahkan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut pada ibunya.” (HR. Bukhori 2/525, Muslim 2/1133)
2.Hadits Aisyah berkata :
“Sa’ad bin Abi Waqqosh dan Abd bin Zam’ah bertengkar mengenai seorang anak. Sa’ad berkata : “Wahai Rosululloh, ini adalah anak saudaraku Utbah bin Abi Waqqosh, dia memesan padaku bahwa dia adalah anaknya, lihatnya pada kemiripan antara keduanya.” Maka Abd bin Zam’ah berkata : “Wahai Rosululloh, ini adalah saudaraku, dia terlahir di firasy bapakku dari budak wanitanya.” Maka Rosululloh memandangnya, dan beliau melihat ada kemiripan yang sangat jelas dengan Utbah bin Abi Waqqosh. Maka Rosululloh bersabda :
هو لك يا عبد بن زمعة الولد للفراش و للعاهر الحجر
“Dia untukmu, wahai Abd bin Zam’ah anak itu milik yang memiliki firasy [2] dan bagi pezina hanyalah kerugian.” (HR. Bukhori 6750, Muslim 2/180)
- Letak pengambilan dalil dari hadits ini bahwasanya Rosululloh tidak menjadikan bagi pezina laki-laki kecuali kerugian, oleh karena itu si anak dinasabkan pada ibunya karena tidak ada firasy. Adapun si wanita pezina, dinasabkannya anak itu padanya karena memang dia yang melahirkan, sama saja apakah kelahiran itu karena nikah ataukah zina. (Lihat Fathul Bari 10/36, Zadul Ma’ad 5/368, Al Majmu’ Imam Nawawi 19/38)
Namun para ulama’ berselisih tentang apabila sang pezina laki-laki mengakunya sebagai anak, dan tidak ada firasy (suami dari istri atau tuan bagi budak wanita) yang menentangnya, apakah bisa dinasabkan padanya ataukah tidak?
- Imam madzhab empat dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa anak zina tidak bisa dinasabkan pada bapaknya secara muthlak, meskipun tidak ada firasy yang menentangnya.
- Dalil mereka adalah hadits Aisyah di atas. Di situ Rosululloh bersabda : “Anak itu milik yang punya firasy dan bagi pezina cuma kerugian.”
- Hadits ini menunjukkan bahwa anak milik yang punya firasy, dan firasy tidak bisa dicapai kecuali dengan dua cara :
- Akad nikah yang shohih atau yang bathil dan sudah terjadi jima’ syubhah [3]
- Memiliki budak wanita
seandainya kita nasabkan anak pada pezina laki-laki itu berarti kita menjadikan anak pada selain firasy. Dan ini jelas bertentangan dengan sabda Rosululloh tersebut.
(Lihat At Tamhid Imam Ibnu Abdil Bar 7/183, Al Inshof Imam Al Mardawi 9/269, Roudlotut Tholibin Imam Nawawi 6/44, Al Muhalla 5/363)
- Beberapa ulama’, diantaranya Atho’, Amr bin Dinar, Hasan, Ishaq bin Rohawaih. Mereka berkata apabila tidak ada pemilik firasy lalu anak zina itu ada yang mengakuinya, bahwa dia berzina dengan ibunya, maka dia dinasabkan pada yang mengakuinya tersebut.
- Mereka menta’wilkan hadits yang dijadikan dasar oleh jumhur dengan bahwasannya anak itu milik firasy kalau ada, namun kalau tidak ada firasy dan ada yang mengaku berzina dengan ibunya maka dia dinasabkan padanya. (Lihat Al Istidlkar Imam Ibnu Abdil Bar 22/177, Tsubutun Nasab oleh Yasin Mahmud Al Khothib hal : 395)
- Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, beliau berkata :
“Qiyas yang shohih menunjukkan akan hal ini, karena bapaknya adalah salah satu yang berzina. Maka apabila anak tersebut dinasabkan pada ibunya dan bisa mewarisinya, juga adanya hubungan nasab antara ia dengan kerabat ibunya, padahal ibunya pun berzina dengan bapaknya, si anak itu pun dilahirkan dari air mani keduanya, maka apa yang menghalangi untuk di nasabkan pada bapaknya jika tidak ada yang menentangnya ? Juga pernah Juraij berkata kepada anak yang ibunya berzina dengan seorang penggembala [4] : “Siapakah bapakmu ?” maka si anak menjawab : “Fulan si penggembala.” Ini adalah pembicaraan atas bimbingan Alloh yang tidak mungkin berbohong.” (Lihat Zadul Ma’ad 5/381)
- Madzhab ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Mardawi dalam Al Inshof 9/269. Wallahu A’lam
D. Hukum Menikah dengan Putrinya yang Dilahirkan karena perzinaan.
Apabila seseorang berzina berzina dengan wanita, lalu wanita tersebut hamil dan melahirkan anak wanita, apakah boleh bagi laki-laki tersebut untuk menikah dengan putri yang dilahirkan itu ?
Ada sedikit perbedaan pendapat dari para ulama’ mengenai hal ini :
Imam Malik dan Syafi’i dalam madzhab yang masyhur dari beliau [5] bahwa boleh baginya untuk menikah dengan anak putri tersebut. (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 17/386, At Tamhid Imam Ibnu Abdil Bar 8/1910)
Dalil mereka adalah :
Bahwasanya anak wanita itu bukan putrinya secara syar’i, dengan bukti bahwa keduanya tidak saling mewarisi, dan tidak wajib memberi nafkah, tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya juga tidak dikenai hukum nasab lainnya. Dan kalau dia bukan merupakan anaknya secara syar’i maka tidak masuk dalam keumuman firman Alloh Ta’ala :
“Di haramkan bagi kalian (untuk menikahi) ibu-ibu kalian, anak perempuan kalian,…” (QS. An Nisa’ : 23)
namun masuknya dalam keumuman wanita yang halal dinikahi, sebagaimana firman Alloh Ta’ala
“Dan dihalalkan (menikah) dengan wanita selain mereka.” (QS. An Nisa’ : 24)
Akan tetapi jumhur ulama’, di antaranya Imam Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa haram menikah dengan wanita hasil perbuatan zinanya. (Lihat Al Mughni 9/529, Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 32/134, Bada’i Ash Shona’i 3/1358)
Mereka berdalil dengan keumuman firman Alloh Ta’ala :
“Diharamkan atas kalian (menikah) dengan ibu-ibu kalian dan anak-anak perempuan kalian …” (QS. An Nisa’ : 23)
Lafadz Banatikum (anak-anak peremuan kalian) mencakup semua anak wanita, baik secara hakikat maupun majaz. Dan memang anak ini adalah anaknya yang tercipta dari air maninya, sama saja apakah ada hak saling mewarisi ataukah tidak.
- Pendapat yang rajih –Wallahu A’lam- adalah pendapat jumhur. Adapun mengenai dalil yang dipakai oleh madzhab yang membolehkannya, maka kita katakan bahwa tidak adanya sebagian hukum nasab yaitu tidak saling mewarisi, tidak boleh menjadi wali dan lainnya tidak menafikan bahwa dia itu memang anaknya, sebagaimana juga tidak bisa saling mewaris karena sebab salah satu menjadi budak atau berbeda agama. (Lihat Al Mughni 9/530)
Demikian juga keumuman ayat tahrim (ayat yang menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi yaitu An Nisa’ : 23,24) bukan seperti keumuman ayat warisan (An Nisa’ 11,12,176) dari tiga segi :
1.Ayat tahrim mencakup anak wanita, putri anak laki-laki, putri anak wanita, sebagaimana lafadl bibi juga mencakup bibinya bapak, bibinya ibu serta bibinya kakek, demikian juga anak wanita dari saudara wanita dan anak wanita dari keponakan. Keumuman seperti ini tidak terdapat dalam ayat warisan maupun ayat lainnya yang ada hubungannya dengan bab nasab.
2.Sesungguhnya diharamkannya menikah itu bisa cuma dengan sekedar adanya sebab susuan, sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh :
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
“Diharamkan dari sebab persusuan sebagaimana diharamkan karena sebab nasab.”
(HR. Bukhori 3/222, Muslim 2/1068)
Alloh Ta’ala mengharamkan seorang wanita untuk menikah dengan anak yang disusukannya, atau menikah dengan anak keturunannya, begitu juga haram atas ibu maupun bibinya. Bahkan diharamkan bagi anak wanita untuk menikah dengan suami ibu susunya, karena dialah yang yang menjadi sebab adanya air susu tersebut. Oleh karena itu kalau memang seseorang dilarang menikah dengan anak wanita susuannya, padahal tidak ada hukum nasab apapun selain keharaman menikah dan yang semisalnya, lalu bagaimana mungkin dihalalkan menikah dengan anak wanita yang terlahir dari air maninya ? ini lebih jelas lagi keharamannya berdasarkan keumuman khithob dan qiyas aulawi (hukum yang diqiyaskan lebih dari asalnya)
3.Alloh Ta’ala berfirman :
“dan istri-istri anak kandung yang dari tulang rusuk kalian..” (QS. An Nisa’ : 23)
Lafadl “ashlabikum” (anak kandung yang dari tukang rusuk kalian) untuk mengeluarkan anak angkat, sebagimana firman Nya :
“Supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (menikah) dengan istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari mereka.” (QS. Al Ahzab : 37)
Padahal telah diketahui bersama bahwa orang-orang pada zaman jahiliyah mengaku anak dari hasil zina itu lebih berat dari pada menjadikan anak angkat. Maka apabila Alloh mengkhususkan menantu hanya dari anak kandung, maka lafadl “Banat” yang umum mencakup semua yang termasuk anak perempuan. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 32/135 dengan sedikit perubahan)
E. Hukum Warisan Anak Zina
Anak zina tidak saling mewarisi antara dia dengan bapak zinanya, karena tidak ada hubungan nasab antara keduanya sama sekali, juga tidak saling mewarisi antara dia dengan keluarga bapak zinanya. Berdasarkan hadits riwayar Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwasanya Rosululloh bersabda :
أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد الزنا لا يرث و لا يورث
“Siapa saja lelaki yang berzina baik dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudzi 2113 dan Tahqiq Misykah 3054)
Adapun antara dia dengan ibunya, maka keduanya saling mewarisi dengan kesepakatan para ulama’ (Lihat Al Mughni 9/114, Al Muhalla 9/302, Al Majmu’ 17/245)
Tentang cara mewarisi antara keduanya, untuk warisan anak dari ibunya maka sebagaimana hukum anak lainnya. Namun untuk warisan ibu dari anak zinanya, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara para ulama’.
I. Imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Said bin Musayyib, Umar bin Abdul Aziz dan lainnya mengatakan bahwa anak zina apabila meninggal dunia , maka hartanya diwarisi oleh ibunya dan saudara-saudaranya seibu sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh dalam Al Qur’an lalu sisanya diberikan pada baitul mal ummat islam.
Dalil mereka adalah :
Bahwasannya hak mewarisi itu telah ditetapkan dengan nash, sedang tidak ditemukan nash yang memberikan bagian ibu di atas sepertiga, juga saudara seibu tidak lebih dari seperenam. Adapun bapaknya ibu serta kerabat ibu lainnya tidak ada bagian warisnya.
II. Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, Sya’bi, An Nakho’i, Ats Tsauri, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar mengatakan bahwa harta warisan anak zina milik ibunya secara ashobah, kalau ibunya tidak ada maka diberikan pada ashobah [6] ibunya
Dalil mereka adalah :
1.Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata : “Sesungguhnya Rosululloh menjadikan warisan anak yang di li’an untuk ibunya kemudian untuk ahli waris ibunya setelahnya.” (HR. Abu Dawud 2/112, Darimi 2/364 dengan sanad shohih, lihat Shohih Abu Dawud 2/220/2907)
letak pengambilan dalil bahwa ibunya mewarisi dengan cara ashobah, bahwa dalam kaedah ilmu faraidl orang yang jadi penyambung ahli waris yang ashobah maka dia mesti ashobah juga. Maka kalau keluarga dari jalur ibu ashobah berarti ibunya pun ashobah. (Lihat Tashilul faraidl hal : 48)
2.Karena ibu bagi anak zina adalah semacam ibu bapaknya dalam hal nasab, maka diapun mengambil semua sisa warisannya sebagaimana seorang bapak. (Lihat Al Mughni 9/118)
III. Sementara Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan Ahmad dalam riwayat lainnya mengatakan bahwa harta anak zina diwarisi oleh ibunya sesuai dengan ketentuan Al Qur’an. (mungkin 1/3 atau 1/6) lalu sisanya untuk ashobah ibunya.
Dalil mereka adalah :
1.Sabda Rosululloh :
ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فلأولى رجل ذكر
“Berikanlah bagian warisan pada yang berhak, lalu sisanya berikan pada laki-laki yang paling dekat.” (HR.Bukhori 8/187, Muslim 3/1233)
Dan laki-laki yang paling dekat hubungan kekeluargaan dengan anak zina adalah kerabat ibunya yang laki-laki.
2.Beberapa atsar dari sahabat, misal Ali bin Abi Tholib tatkala merajam wanita yang berzina, beliau mengatakan pada wali wanita tersebut : “anak ini (anak yang dihasilkan dari zina) adalah anak kalian, kalian mewarisinya dan diapun mewarisi kalian.”
3.Seandainya sang ibu mendapat ashobah seperti bapak, pasti akan menghalangi bagian saudaranya. Dan hal ini tidak ada seorangpun yang mengatakannya. (Lihat Al Mughni 9/118)
Pengaruh khilaf ini pada praktek pembagian warisan :
Seandainya ada anak zina meninggal yang meninggalkan ibu dan paman dari jalur ibu. Dalam madzhab pertama ibunya mendapatkan sepertiga lalu sisanya diberikan pada baitul mal. Dalam madzhab kedua ibu mendapatkan seluruh harta sedang paman tidak mendapatkan apa-apa. Dan dalam madzhab ketiga ibu mendapatkan sepertiga dan sisanya untuk paman. (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 17/247, Al Mughni 9/118)
Yang rajih diantara ketiga madzhab ini –wallohu a’lam- adalah madzhab kedua karena keshohihan dan kejelasan dalil mereka, adapun dalil madzhab pertama dan ketiga adalah umum yang bisa dikhususkan. Ini adalah yang dikuatkan oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Utsaimin. (Lihat Tashilul Fara’idl hal : 48)
Adapun warisan saudara anak zina, maka sebagai berikut :
- Antara dia dengan saudara sebapak tidak saling mewarisi, karena tidak ada hubungan antara keduanya disebabkan hubungan dari jalur bapak terputus.
- Saudara seibu mewarisi bagiannya, sebagaimana dijelaskan oleh Alloh Ta’ala dalam surat An Nisa’ : 12
- Saudara kandung tidak mewarisi dengan bagian saudara kandung, namun mewarisi dengan bagian saudara seibu. Walaupun kalau anak zina lahir kembar, tetap warisannya dengan bagian saudara seibu, karena keduanya tidak memiliki bapak. (Lihat Roudlotut Tholibin oleh Imam Nawawi 6/44)
Faedah :
Khilaf yang ada ini dengan catatan kalau anak zina tersebut tidak mempunyai ashobah sendiri seperti anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunan mereka. Adapun kalau dia mempunyai ashobah sendiri maka masalahnya menjadi jelas bahwa ibu mendapatkan bagian sebagaimana yang tertera pada An Nisa : 12 dan sisanya untuk ashobahnya.
Wallahu a’lam
1 Li’an adalah seorang suami menuduh istrinya berzina tapi tidak bisa mendatangkan empat saksi dan istrinya pun tidak mau mengaku, maka keduanya di suruh bersumpah empat kali di hadapan qodli dan yang kelima laknat atau kemarahan Alloh ditimpakan bagi yang berbohong. Dan setelah itu dipisahkan antara keduanya selamanya dan anak yang dili’an dinasabkan pada ibunya.
2 Firasy adalah istri atau budak wanita, maka seorang anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang saat itu menjadi istri atau budak lelaki tertentu maka anak itu adalah anaknya. bagaimanapun bentuk dan keadaannya. Bisa seorang ayah mengingkarinya dengan jalan li’an (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 19/47)
3 Jima’syubhah adalah jima’ yang terjadi karena kesalahan yang tidak sengaja. Mungkin antara suami istri yang dinikahkan dengan pernikahan yang bathil dan keduanya tidak tahu kalau pernikahannya bathil atau laki-laki yang menjima’i wanita yang disangkanya istrinya padahal bukan.
4 Imam Ibnul Qoyyim mengisyaratkan pada hadits Juraij dengan ibunya yang masyhur riwayat Bukhori 2482 dan Muslim 2550
5 Imam Ibnu Qoyyim, diikuti oleh Syaikh Al Albani, mengingkari bahwa hal ini pernah diucapkan oleh Imam Syafi’i (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/47, Tahdzirus Sajid hal : 53)
6 Ashobah adalah keluarga dari jalur laki-laki, misal anak laki-laki serta keturunan mereka yang laki-laki, bapak serta bapaknya keatas, saudara kandung atau sebapak serta anak keturunan mereka kebawah yang laki-laki, paman dari jalur bapak serta anak keturunan mereka yang laki-laki.
Sumber: ahmadsabiq.com
Artikel Terkait:
- Hukum Nikah dalam Keadaan Hamil
- Menikahi Wanita yang Hamil Karena Zina
- Anak Zina Tidak Akan Masuk Surga (?)
- Menikah dengan Anak Wanita Hasil Zina
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !