Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Hamil di Luar Nikah dan Masalah Nasab Anak Zina
1. Adik perempuan saya menikah tanpa persetujuan bapak. Dia lari ke rumah pacarnya dan menikah dengan wali hakim (tanpa seizin bapak). Pada saat itu, ia sudah hamil. Yang ingin saya tanyakan : Apakah pernikahannya sah? Bagaimana status anaknya?
2. Saudara perempuan saya mempunyai hubungan dengan seseorang yang tidak baik akhlaknya. Keluarga telah memperingatkan agar tidak menjalin hubungan tersebut. Dia selalu mengatakan sudah tidak lagi berhubungan. Ternyata sekarang ia sudah hamil dan kemudian menikah. Bagaimana hukumnya? Apakah setelah anaknya lahir, ia harus menikah lagi secara agama? Bagaimana dengan status anaknya tersebut?
Problem seperti kasus di atas banyak terjadi di tengah masyarakat. Yang tidak lain karena faktor keteledoran manusia, melakukan pelanggaran rambu-rambu agama. Tak syak, persoalan ini kemudian melebar dengan lahirnya anak-anak akibat perzinahan yang dilarang agama, nasab, waris, dan sebagainya.
Perbuatan zina itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, beliau menjelaskan, zina adalah dosa yang sangat besar dan sangat keji, serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang; berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang).
[QS. al Israa`/17 : 32].
Yang menjadi persoalan, jika zina telah terjadi, kemudian lahirlah anak akibat perbuatan tersebut, bagaimanakah status kehamilan, pernikahan pezina dan bagaimana pula nasab anak yang dikandungnya?
Untuk mengetahui permasalahan ini, berikut kami nukil buah pena Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, yang termaktub dalam buku beliau, Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Fashal 14, halaman 102-129, Cetakan IV Th. 1425H/2005M, Darul Qolam, Jakarta. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
Sumber: https://twitter.com/halalcorner/status/1292977368642904064 |
Hamil di luar nikah dan masalah nasab anak
Dalam fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, maka kami (Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, red) berkata:
1. Kejadian yang pertama : Apabila seorang perempuan[1] berzina kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak zina dengan kesepakatan para ulama. Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya[2] dan tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (bapak zinanya).
Tegasnya, hubungan nasab antara anak dengan bapaknya terputus. Demikian juga dengan hukum waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya. Demikian juga hak kewalian –kalau seorang anak perempuan- terputus dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya adalah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadhi (penghulu).[3]
Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina.[4]
Akan tetapi, hubungan sebagai mahram tetap ada, tidak terputus, meskipun hubungan nasab, waris, kewalian, nafkah terputus. Karena, biar bagaimanapun juga anak itu adalah anaknya, yang tercipta dari air maninya walaupun dari hasil zina. Oleh karena itu haram baginya menikahi anak perempuannya dari hasil zina sama haramnya dengan anak perempuannya yang lahir dari pernikahan yang shahih.
Lebih luasnya lagi bacalah kitab-kitab di bawah ini:
- Al Mughni, Ibnu Qudamah (juz 9 hal 529-530 tahqiq Doktor Abdullah bin Abdul Muhsin At Turkiy).
- Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah (jilid 32 hal. 134-142).
- Majmu Syarah Muhadzdzab (juz 15 hal. 109-113).
- Al Ankihatul Faasidah (hal. 75-79 Abdurrahman bin Abdirrahman Sumailah Al Ahsal).
2. Kejadian yang kedua: Apabila terjadi sumpah li’aan antara suami istri.
Sebagaimana telah saya jelaskan dengan ringkas di fasal ketiga belas (yakni bab tentang bagaimana anak itu menjadi laki-laki atau perempuan dan serupa dengan orang tuanya di dalam rahim, red), maka anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian juga tentang hukum waris dan nafkah serta hak kewalian.[5]
3. Kejadian yang ketiga: Apabila seorang istri berzina.
Apabila seorang istri berzina –baik diketahui suaminya[6] atau tidak- kemudian dia hamil, maka anak yang dilahirkannya itu dinasabkan kepada suaminya, bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamilinya[7], dengan kesepakatan para ulama berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).
(Hadits shahih riwayat Bukhari (no. 6749) dan Muslim (4/171) dari jalan Aisyah dalam hadits yang panjang. Dan Bukhari (no. 6750 dan 6818) dan Muslim (4/171) juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah dengan ringkas seperti lafazh di atas)
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ialah bahwa anak itu milik suami yang sah meskipun lahir dari hasil zina istrinya dengan orang (laki-laki) lain. Tetap anak itu menjadi miliknya dan dinasabkan kepadanya. Sedangkan bagi laki-laki yang menzinai istrinya tidak mempunyai hak apapun terhadap anak tersebut.
Sumber: https://twitter.com/cahayaningrum3/status/483114968569483266 |
Kejadian di atas di luar hukum li’aan dan perbedaannya ialah : kalau hukum li’aan suami menuduh istrinya berzina atau me-nafi-kan anak yang dikandung istrinya di muka hakim sehingga dilaksanakan sumpah li’aan. Dalam kasus li’aan ini, anak dinasabkan kepada istri, baik tuduhan suami itu benar atau bohong. Sedangkan pada kasus di atas, tidak terjadi sumpah li’aan, meskipun suami mengetahui bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah li’aan.[8]
4. Kejadian yang keempat:
Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah ia dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dan kepada siapa dinasabkan anaknya?
Jawabnya : Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya dengan kesepakatan (ijma’) para ahli fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Bar yang dinukil oleh al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fat-hul Baari (juz 9 hal. 157 di bagian kitab nikah bab: 24, hadits: 5105).[9]
Untuk lebih jelasnya lagi, marilah kita ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya:
Pertama : Fatwa Abu Bakar Ash Shidiq
Ibnu Umar berkata : Ketika Abu Bakar Ash Shiddiq sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting).”
Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar, “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan anak perempuanku!?”
Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuan itu!”
Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun.
(Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhalla juz 9 hal. 476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubra (juz 8 hal. 223) dari jalan Ibnu Umar).[10]
Kedua : Fatwa Umar bin Khattab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para Shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan para Shahabat[11] atau diketahui oleh mereka, khususnya ‘Umar. Dan semua para Shahabat diam menyetujuinya dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah terjadi ijma’ di antara para Shahabat bahwa perempuan yang berzina kemudian hamil boleh bahkan harus dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya.
Oleh karena itu, kita melihat para Shahabat berfatwa seperti di atas, di antaranya Umar bin Khattab ketika beliau menjadi khalifah, sebagaimana riwayat di bawah ini:
Abu Yazid al Makkiy berkata, “Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang anak gadis yang bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah dengannya) dan laki-laki itu pun mempunyai seorang anak laki-laki yang bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut, (yakni masing-masing membawa seorang anak, yang laki-laki membawa anak laki-laki dan yang perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka tatkala Umar datang ke Makkah, diajukanlah kejadian itu kepada beliau. Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan untuk mendera keduanya (dilaksanakan hukum had).[12]
Umar sangat ingin mengumpulkan di antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu tidak mau.”
(Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih).
Ketiga : Fatwa Abdullah bin Mas’ud
Dari Hammaam bin Harits bin Qais bin Amr An Nakha’i Al Kufiy :
عَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ فِي الرَّجُلِ يَفْجُرُ باِلْمَرْأَةِ ثُمَّ يُرِيْدُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ : لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ
Dari Hammaam bin Harits din Qais bin Amr An Nakha’i Al Kufiy dari Abdullah bin Mas’ud tentang,”Seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian laki-laki itu hendak menikahi perempuan tersebut?’ Jawab Ibnu Mas’ud, “Tidak mengapa yang demikian itu.”
(Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dengan sanad yang shahih atas syarat Muslim).
Dari ‘Alqamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu Mas’ud. Lalu laki-laki itu bertanya,”Seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan, apakah boleh laki-laki itu menikah dengan perempuan tersebut?” Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat ini:
ثُمَّ اِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِيْنَ عَمِلُوا السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْٓا اِنَّ رَبَّكَ مِنْۢ بَعْدِهَا لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yang mengerjakan kejahatan dengan kebodohan,[13] kemudian sesudah itu mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang.
[QS. An Nahl/16: 119]
Berkata Alqamah bin Qais,”Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat tersebut berkali-kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu Mas’ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau membolehkannya).” Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156).
Kemudian Imam Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan lain yang semakna dengan riwayat di atas, akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas’ud membaca ayat : [14]
وَهُوَ الَّذِيْ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهٖ وَيَعْفُوْا عَنِ السَّيِّاٰتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَۙ
Dan Dia lah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan dari kesalahan-kesalahan (mereka) dan Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.
[QS. Asy Syuura/42 : 25].[15]
Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan: Setelah Ibnu Mas’ud membaca ayat di atas beliau berkata,”Hendaklah dia menikahinya!”
Keempat : Fatwa Ibnu Umar
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)”. (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al Muhalla juz 9 hal. 475).
Kelima : Fatwa Jabir bin ‘Abdullah
Berkata Jabir bin ‘Abdullah, “Apabila keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan, maka tidak mengapa (tidak salah dilangsungkan pernikahan di antara keduanya) –yakni tentang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya-.” (Dikeluarkan oleh Imam Abdurrazzaq (7/202) yang semakna dengan riwayat di atas).
Keenam : Fatwa Ibnu Abbas
Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, bolehkah dia menikahinya?” Jawab beliau, “Ya, karena (nikah itu) perbuatan halal.” (Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih.)[16]
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas : Tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya? Beliau berkata, “Yang pertama itu zina sedangkan yang terakhir nikah dan yang pertama itu haram sedangkan yang terakhir halal.” (Dikeluarkan Baihaqiy (7/155).[17]
Dan dalam riwayat yang lain juga dari jalan Ikrimah ada tambahan,”Tidak salah (yakni menikahinya).“)
Berkata Sa'id bin Jubair : Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing dari keduanya telah menyentuh yang lain dengan cara yang haram (yakni keduanya telah berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut lalu laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas,”Yang pertama itu zina, sedangkan yang kedua nikah.” (Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (3/267 dengan sanad yang hasan).
Berkata Atha' bin Abi Rabah : Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian dia hendak menikahinya, “Yang petama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan yang terakhir nikah.” (Dikeluarkan Abdurrazzaq (7/202).)
Dari Thawus, ia berkata: Ditanyakan kepada Ibnu Abbas, “Seorang laki-laki menyentuh perempuan dengan cara yang haram (yakni zina), kemudian dia menikahinya?” Jawab beliau, “Itu baik –atau beliau mengatakan- itu lebih bagus.” (Dikeluarkan Abdurrazzaq (7/203).)
Demikian juga fatwa para tabi’in seperti Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Az Zuhri dan Hasan Al Bashri dan lain-lain ulama. (Baihaqiy (7/155) dan Abdurrazzaq (7/203-207).)
Dari keterangan-keterangan di atas, kita mengetahui :
Pertama : Telah terjadi ijma’ ulama yang didahului oleh ijma’-nya para Shahabat tentang masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya.
Kedua : Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya. Adapun mengenai hukuman bagi yang berzina (hukum had), yang melaksanakannya adalah pemerintah, bukan orang perorang atau kelompok perkelompok. Oleh karena di negeri kita ini, sebagaimana negeri-negeri Islam yang lainnya kecuali Saudi Arabia, tidak dilaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti hukum had dan lain-lain, ini tidak menghalangi taubatnya orang yang mau bertaubat, demikian juga nikahnya dua orang yang berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat dan beramal shalih. Langsungkanlah pernikahan karena yang demikian itu sangat bagus sekali sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-laki yang menzinai dan menghamili seorang perempuan lebih berhak terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain[18] dengan syarat keduanya mau dan ridha untuk nikah. Apabila salah satunya tidak mau maka janganlah dipaksa hatta perempuan tersebut telah hamil.[19]
Ini, kemudian pertanyaan kedua kepada siapakah anak tersebut di-nasab-kan?
Jawabnya : anak tersebut dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya laki-laki itu menikahi ibunya dengan sah.
Dan di dalam kasus yang seperti ini –dimana perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadits yang lalu, “Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur (suami yang sah) dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).”
Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil, bukan sebelumnya.
Meskipun demikian, laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena dari hasil zina inilah maka anak tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak apapun atasnya dari hal nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai dengan zhahir-nya bagian akhir dari hadits di atas yaitu, “… dan bagi (orang) yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).”
Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasab-nya kepada bapaknya. Demikian juga tentang hukum waris, wali, dan nafkah tidak terputus sama sekali. Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah. Atau lebih jelasnya lagi, perempuan itu hamil dari pernikahan yang sah, bukan dari zina. Wallahu A’lam. [20]
Sebagian orang di negeri kita ini ada yang mengatakan : Tidak boleh perempuan yang hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki yang menzinai atau menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan, berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ
Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.
[QS. Ath Thalaq/65: 4]
Kami jawab : Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tidak tepat dalam menempatkan keumuman ayat dan cenderung kepada pemaksaan dalil.
Pertama : Ayat di atas untuk perempuan yang hamil dari hasil nikah bukan untuk perempuan-perempuan yang hamil dari hasil zina. Karena di dalam nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, ‘iddah, nasab, waris dan kewalian. Sedangkan di dalam zina tidak ada semuanya itu, termasuk tidak adanya ‘iddah. Inilah perbedaan yang mendasar antara pernikahan dengan perzinaan.
Ayat di atas tetap di dalam keumumannya terhadap perempuan-perempuan yang hamil di-thalaq suaminya, maka ‘iddah-nya sampai dia melahirkan sesuai keumuman ayat di atas, meskipun ayat yang lain (Al Baqarah/2 : 234) menegaskan bahwa perempuan-perempuan yang kematian suaminya ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi perempuan tersebut, ketika suaminya wafat dalam keadaan hamil maka keumuman ayat di ataslah yang dipakai. Atau ayat di atas tetap di dalam keumumannya (yakni, 'iddah-nya sampai dia melahirkan) oleh sebagian ulama terhadap perempuan yang berzina lalu hamil kemudian dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, sebagaimana akan datang keterangannya di kejadian kelima, Wallahu A’lam.
Kedua : Telah terjadi ijma’ Shahabat bersama para ulama tentang bolehnya bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang dia hamili lantaran zina. Bacalah keterangan-keterangan kami di muka mengiringi apa yang telah dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa dalam hal ini telah terjadi ijma’ ulama. Dan anehnya tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas untuk melarang atau mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu melahirkan anaknya!? Apakah kita mau mengatakan bahwa kita ini lebih pintar cara berdalilnya dari para Shahabat dan seterusnya?
5. Kejadian yang kelima:
Apabila seorang perempuan berzina kemudian dia hamil, maka bolehkah dia dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya? Dan kepada siapakah dinasabkan anaknya?
Jawabnya :
Dalam hal ini para ulama kita telah berselisih menjadi dua madzhab.
Madzhab yang pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Syara’ (Agama) tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil zina, seperti terputusnya nasab dan lain-lain sebagaimana beberapa kali kami telah jelaskan di muka. Oleh karena itu, halal baginya menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya.
Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Syafi’iy dan Imam Abu Hanifah. Hanyasanya Abu Hanifah mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.
Adapun madzhab kedua mengatakan, haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan, beralasan kepada beberapa hadits :
Hadits pertama:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ
Dari Abu Darda`, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang perempuan[21] yang sedang hamil tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu kemah. Lalu beliau bersabda,”Barangkali dia[22] (yakni laki-laki yang memiliki tawanan[23] tersebut) mau menyetubuhinya!?” Jawab mereka, “Ya.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku berkeinginan untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke dalam kuburnya[24] bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal baginya!?”[25]
(Hadits shahih riwayat Muslim 4/161).
Hadits kedua:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَرَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ فِي سَبَايَا أَوْطَاسَ لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
Dari Abu Said Al Khudriy dan dia me-marfu’-kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan-tawanan perang Authaas,[26] “Janganlah disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak hamil sampai satu kali haid.”
(Hadits riwayat Abu Dawud (no. 2157), Ahmad (3/28,62,87) dan Ad Darimi (2/171.)
Hadits ketiga:
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَامَ فِينَا خَطِيبًا قَالَ أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَقَعَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَبِيعَ مَغْنَمًا حَتَّى يُقْسَمَ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَرْكَبْ دَابَّةً مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَعْجَفَهَا رَدَّهَا فِيهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَلْبَسْ ثَوْبًا مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَخْلَقَهُ رَدَّهُ فِيهِ
Dari Ruwaifi’ Al Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhotbah- ia berkata: Adapun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Hunain, beliau bersabda,
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman[27] orang lain –yakni menyetubuhi perempuan hamil-.[28] Dan tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyetubuhi perempuan dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih. Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menjual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan dari harta fa-i [29] kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa-i kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru mengembalikannya.”
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 2158 dan 2159) dan Ahmad (4/108/109) dengan sanad hasan.
Dan Imam Tirmidzi (no. 1131) meriwayatkan juga hadits ini dari jalan yang lain dengan ringkas hanya pada bagian pertama saja, dengan lafazh:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air (mani)nya ke anak orang lain (ke anak yang sedang dikandung oleh perempuan yang hamil oleh orang lain).
Inilah yang menjadi madzhab-nya Imam Ahmad dan Imam Malik. Dan madzhab yang kedua ini lebih kuat dari madzhab yang pertama dan lebih mendekati kebenaran. Wallahu A’lam!
Adapun masalah nasab anak, dia di-nasab-kan kepada ibunya, tidak kepada laki-laki yang menzinai dan menghamili ibunya dan tidak juga kepada laki-laki yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkannya. Atau dengan kata lain dan tegasnya: anak yang lahir itu adalah anak zina!
Bacalah dua masalah di kejadian yang kelima ini di kitab-kitab:
- Al Mughni, Ibnu Qudamah juz 9 hal. 561 s/d 565 tahqiq Doktor Abdullah bin Abdul Muhsin At Turky.
- Al Majmu Syarah Muhadzdzab juz 15 hal. 30-31.
- Al Ankihatul Faasidah (hal. 255-256).
- Fatawa Al Islamiyyah juz 2 hal. 353-354 dan 374-375 oleh Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Utsaimin dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/746893919425433599/ |
_______
Footnote:
[1] Gadis atau janda.
[2] Misalnya fulan bin fulanah atau fulanah binti fulanah.
[3] Al Muhalla Ibnu Hazm juz 10 hal. 323 masalah 2013. Al Majmu Syarah Muhadzdzab juz 15 hal. 112. Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 34/100.
[4] Tidak wajib maknanya tidak berdosa kalau dia tidak memberi nafkah, akan tetapi tidak juga terlarang baginya untuk memberi nafkah. Ini berbeda dengan anak dari pernikahan yang shahih, berdosa bagi bapak kalau dia tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya.
[5] Fat-hul Baari (no. 5315). Nailul Authar juz 7 hal 91 dan seterusnya.
[6] Dan suaminya tidak menuduh istrinya di muka hakim sehingga tidak terjadi hukum.
[7] Meskipun anak yang dilahirkan istrinya itu mirip dengan laki-laki yang menzinainya.
[8] Apabila seorang istri berzina atau suami berzina maka nikah keduanya tidak batal (fasakh) menurut umumnya ahli ilmu. (Al Mughni juz 9 hal. 565).
[9] Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (juz 2 hal. 542) oleh Imam Ibnu Abdil Bar. Tafsir Fat-hul Qadir (1/446 tafsir surat An Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy Syaukani.
[10] Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yang lain bahwa perempuan tersebut hamil (9/476), lihat juga Mushannaf Abdur Razzaq (12796).
[11] Al Muhalla juz 9 hal 476.
[12] Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahwa Umar mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai melahirkan.
[13] Kebodohan di sini maksudnya perbuatan maksiat yang dilakukan dengan sengaja. Karena setiap orang yang maksiat kepada Allah dikatakan jahil (Tafsir Ibnu Katsir 2/590).
[14] Imma kejadian ini satu kali dan masing-masing rawi membawakan satu ayat dari dua ayat yang dibaca Ibnu Mas’ud atau kejadian di atas dua kali. Wallahu A’lam.
[15] Lihat riwayat yang semakna di Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no. 12798).
[16] Al Mushannaf Abdurrazzaq (7/203).
[17] Idem (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4 ialah bahwa zina itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yang haram itu tidak bisa mengharamkan nikah yang memang halal. Karena sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang halal.
[18] Abdurrazzaq (7/206-207).
[19] Bacalah kembali riwayat Umar bin Khattab.
[20] Fatawa Islamiyah (juz 2 hlm. 353 dan 354, 374, 375). Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 32/134-142. Al Mughni, Ibnu Qudamah, Juz 9, hlm. 529-530. Al Muhalla (juz 10 hlm. 323). Fat-hul Bari (Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An Nisaa` ayat 23. Dan lain-lain.
[21] Perempuan ini adalah tawanan perang yang tertawan dalam keadaan hamil tua.
[22] Di sini ada lafazh yang hilang, yang takdirnya beliau bertanya tentang perempuan tersebut dan dijawab bahwa perempuan tersebut adalah tawanan si fulan.
[23] Hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan perang meskipun tidak dinikahi. Karena dengan menjadi tawanan dia menjadi milik orang yang menawannya atau milik orang yang diberi bagian dari hasil ghanimah (rampasan perang) meskipun dia masih menjadi istri orang (baca: orang kafir). Maka, dengan menjadi tawanan, fasakh-lah (putuslah) nikahnya dengan suaminya. (Baca Syarah Muslim juz 10 hal. 34-36).
[24] Hadits yang mulia ini pun menjadi dalil tentang haramnya menyetubuhi tawanan perang yang hamil sampai selesai ‘iddah-nya, yaitu sampai melahirkan, dan yang tidak hamil ber-‘iddah satu kali haidh sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua, Insya Allah. Berdasarkan hadits yang mulia ini, madzhab yang kedua mengeluarkan hukum tentang haramnya menikahi dan menyetubuhi perempuan yang hamil oleh orang lain sampai melahirkan.
[25] Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Bagaimana dia mewarisinya … dan seterusnya,” yakni bagaimana mungkin laki-laki itu mewarisi anak yang dikandung oleh perempuan tersebut padahal anak itu bukan anaknya. Dan bagaimana mungkin dia menjadikan anaknya itu sebagai budaknya padahal anak itu bukan anaknya. Wallahu A’lam.
[26] Authaas adalah suatu tempat di Thaif.
[27] Ke rahim orang lain yang telah membuahkan anak.
[28] Penjelasan ini imma dari Ruwaifi’ atau dari yang selainnya.
[29] Harta fa-i harta yang didapat oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tanpa peperangan. Akan tetapi imma kaum kuffar menyerah sebelum berperang atau mereka melarikan diri meninggalkan harta-harta mereka.
Baca Juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !