Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

19 Maret 2011

FILE 212 : Mengenal Talak dan Ruju'

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
….


TALAK DAN RUJU'
.
(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII)


PERTANYAAN :
  1. Istri yang ditalak satu atau dua dan setelah itu rujuk, bagaimanakah tata cara rujuk yang syar’i?
  2. Apabila masa ‘iddah belum habis, apakah harus membuat akad nikah baru?
  3. Apabila masa ‘iddah telah habis, bagaimanakah cara rujuk yang sesuai syar’i?
Jazakallahu khairan.

M. Iqbal, Kepri
08526497xxxx

 


JAWABAN :

Agama Islam sangat menjaga keutuhan biduk rumah tangga kaum muslimin. Hal ini bisa dilihat dalam pengaturan tentang perceraian (talak), bahwasanya Islam tidak menjadikan talak hanya sekali, namun sampai tiga kali.

Disebutkan dalam firman Allâh Ta'ala :

ٱلطَّلَـٰقُ مَرَّتَانِ‌ۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَـٰنٍ۬‌ۗ

"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik."

(Qs. al-Baqarah/2:229)

Juga adanya pensyariatan ‘iddah. Yaitu masa menunggu bagi yang ditalak, seperti tersebut dalam firman-Nya:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِہِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَ‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّڪُمۡ‌ۖ لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَـٰحِشَةٍ۬ مُّبَيِّنَةٍ۬‌ۚ  

"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu,
maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar),
dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka,
dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar,
kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang."

(Qs. ath-Thalâq/65:1)

Dengan demikian, seorang suami yang menceraikan istrinya satu kali, ia masih memungkinkan untuk memperbaiki kembali bila dirasa hal itu perlu dan baik bagi keduanya. Semua ini menunjukkan perhatian Islam yang sangat besar dalam pembangunan rumah tangga yang kokoh dan awet.

Adapun syarat sahnya rujuk, di antaranya:
  1. Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau dari hakim.
  2. Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka tidak ada rujuk. Demikian menurut kesepakatan ulama.
  3. Rujuk dilakukan selama masa ‘iddah. Apabila telah lewat masa ‘iddah -menurut kesepakatan ulama fikih- tidak ada rujuk.

Dalam rujuk, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih dalam masa ‘iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuknya, walaupun sang wanita tidak menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai) dari masa ‘iddah tetapi belum ada kata rujuk, maka sang wanita bebas memilih yang lain. Bila wanita itu kembali menerima mantan suaminya, maka wajib diadakan nikah baru.

Allâh Ta'ala menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya:

وَٱلۡمُطَلَّقَـٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَـٰثَةَ قُرُوٓءٍ۬‌ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ‌ۚ وَبُعُولَتُہُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٲلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَـٰحً۬ا‌ۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِى عَلَيۡہِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡہِنَّ دَرَجَةٌ۬‌ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allâh dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allâh dan hari akhirat.
Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu
jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf.
Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

(Qs. al-Baqarah/2 ayat 228)

Di dalam Fathul Bâri, Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan:

Para ulama telah bersepakat, bahwa bila orang yang merdeka menceraikan wanita yang merdeka setelah berhubungan suami istri, baik dengan talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk kepadanya, walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk sampai selesai masa iddahnya, maka sang wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali dengan nikah baru”. [1]

Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri yang ditalak, atau dengan perbuatan

Rujuk dengan ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh para ulama, dan dilakukan dengan lafazh yang sharih (jelas dan gamblang), misalnya dengan ucapan “saya rujuk kembali kepadamu” atau dengan kinayah (sindiran), seperti ucapan “sekarang, engkau sudah seperti dulu”. Kedua ungkapan ini, bila diniatkan untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk, maka tidak sah.

Sedangkan rujuk dengan perbuatan, para ulama masih bersilang pendapat, namun yang rajih (kuat) -insya Allâh- yaitu dengan melakukan hubungan suami istri atau muqaddimahnya, seperti ciuman dan sejenisnya dengan disertai niat untuk rujuk.

Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah dan dirajihkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh.[2] Apabila disertai dengan saksi, maka itu lebih baik, apalagi jika perceraiannya dilakukan di hadapan orang lain, atau sudah diketahui khalayak ramai.

Wallahu a’lam.

Foot Note:
[1]
Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah).
[2]
Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).

Sumber: majalah-assunnah.com

Artikel Terkait:

Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !