Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……
.
Pilkada dalam Sorotan
.
Pilihlah si A dalam pilkada…! Bersama calon B kita bangun daerah kita….! Hanya calon C lah kita bisa berubah…! Itulah inti kampanye dari setiap kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di negeri ini.
Bagi calon yang memiliki sumber doku (baca: dana) yang besar tak segan untuk berkampanye lewat jalur media elektronik.
Sempat muncul pertanyaan dibenak ini, "Apa yang mereka inginkan dengan kampanye model itu? Apakah hanya kemenangan semata atokah yang lainnya?"
Begitulah, ciri yang melekat pada sistem demokrasi yakni adanya pemilu yang memilih pimpinan ato para wakil rakyat, secara otomatis hal ini akan memunculkan orang-orang yang mencalonkan dirinya, entah itu untuk mencapai jabatan presiden, anggota dewan, gubernur, bupati, ato pun sekadar RT.
Tentu saja, model pemilihan semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat. Kok bisa?
.
Diri Sok Suci
Orang-orang yang mencalonkan dirinya untuk dipilih sebagai pemimpin secara tak langsung berucap, "Aku adalah orang yang paling utama untuk kalian pilih." Ato, "Hanya calon B yang bisa membawa perubahan." dan sebagainya.
Tentunya bagi seorang yang mengincar kursi kepemimpinan akan berusaha melahirkan pengakuan yang baik-baik saja agar menang dalam pemilihan. Bukankah pengakuan model ini jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Janganlah kalian mengatakan diri kalian mengatakan diri kalian suci, Dia(Allah)lah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertaqwa. (An Najm:32)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
Jauhilah oleh kalian memuji secara berlebih, karena itu merupakan penyembelihan (kebinasaan). (Riwayat Al Baihaqi, Ahmad di shahihkan Albani dalam Ash Shahihah no.1196,1284)
.
Ketamakan yang Diperingatkan
Pencalonan diri sebagai pemimpin merupakan bentuk ketamakan dan haus kekuasaan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah bersabda,
Sesungguhnya kalian akan tamak mendapatkan kepemimpinan, padahal akan menjadi penyesalan pada hari kiamat… (Riwayat Al Bukhari)
Memang benar, kepemimpinan dan kekuasaan merupakan perkara-perkara yang harus ada dan kehidupan Muslim tidak akan tegak kecuali dengannya. Darah, harta, dan kehormatan pun bisa terjaga dengan kepemimpinan tersebut.
Tapi dalam memilih pemimpin kudu meniti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak memberikan kepemimpinan kepada orang yang memintanya (mencalonkannya) dan tamak terhadap kekuasaan.
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Wahai Abdurrahman! Janganlah kamu meminta jabatan pemimpin karena sesungguhnya jika kamu diberi jabatan tersebut karena meminta niscaya kamu akan diberi dan ditinggalkan, jika kamu diberi jabatan bukan karena meminta niscaya kamu akan ditolong mengatasinya. (Riwayat Al Bukhari)
.
Boros dan Israaf
Pemborosan dan israaf (kelewat batas) identik dengan model pemilihan ini. Atribut partai, foto calon pemimpin, umbul-umbul dan bendera, biaya rapat, konsumsi kampanye, dan pesta -pesta yang digelar untuk mensukseskan kemenangan tentu sangat mebutuhkan dana yang tidak sedikit.
Kalo mau berpikir, bukankah dana pesta dan konsumsi bisa mencukupi anak-anak terlantar dan mereka yang kelaparan? Bukankan kain-kain yang digunakan untuk promosi dan kampanye cukup untuk kain kafan ratusan kaum muslimin? Kalo begitu, bukankah harta dan materi yang mereka keluarkan hanya tabdzir dan israaf belaka?
Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (Al Isra: 26-27)
Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatakan,
Sesungguhnya Dia (Allah) tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. (Al An'am: 141)
Kata israf (berlebihan) sendiri yang tidak disukai Allah subhanahu wa ta’ala bersifat umum, mencakup infaq, sadaqah, makan minum, berpakaian dan lainnya. Kalo begitu, bukankah pemborosan dalam kampanye jelas salahnya?
.
Aklamasi dan Suara Terbanyak
Penyimpangan yang tak terelakkan dalam pemilihan pemimpin dalam sisten yang dikatakan demokrasi ini sangat jauh dan berkebalikan dengan jalan Islam sendiri.
Jelas sekali, karena kebenaran tidak dilihat dan dihitung dari banyaknya pendukung, tapi kebenaran dilihat dari dalil dan hujjah yang nyata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orangdi muka bumi niscaya mereka menyesatkanmu dari jalan Allah. Al An'am:116)
Seorang murid Syaikh Albani, Syaikh 'Ali bin Hamd berkata,
Cara (mengambil keputusan dengan jumlah pendukung) secara pasti menyelisihi hal yang telah dijalani para sahabat Rasulullah. Kita tidak pernah mengetahui satu kejadian pun bahwa para sahabat tersebut menghitung orang-orang yang menyelisihi dan menyetujuinya …Maka ilmu itu tidak mengikuti mayoritas, tapi hanya mengikuti dalil…. (Ma'a Anaa 'Alaihi wa Ashaabiy, Ahmad salam hal 70-71).
Jelaslah, bahwa sistem pemilihan yang ada bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan bisa dibilang bentuk bid'ah dan tasyabuh(menyerupai) orang kafir. Padahal kita tahu bahwa bid'ah dan tasyabuh merupakan bentuk keharaman yang tak samar lagi. Terus…. apa lagi?
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki kita jalan yang lurus. Amiin. (ANay)
.
Sumber: majalah El-Fata edisi 06 tahun 08 Juni 2008
.
****
.
[Editorial Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th. III/1420-1999]
.
Demokrasi adalah produk manusia. Yang membuat kaidah-kaidah serta aturan-aturan main demokrasi adalah manusia. Sebagus apapun demokrasi, tak mungkin dapat mengatasi persoalan hidup manusia secara adil dan menyeluruh. Betapa tidak, demokrasi berpijak pada demokrasi rakyat, sedangkan mayoritas rakyat adalah orang-orang awam. Bagaimana mungkin kedaulatan yang berbasis pada pemikiran rakyat awam akan menghasilkan suatu kedaulatan yang menetramkan? Ketentraman yang ada hanyalah ketentraman semua penuh tipu daya. Yang ada hanyalah saling tindas. Yang paling demokratis adalah yang berkuasa.
Sementara itu pemilihan umum Kepala Negara atau kepala-kepala yang lain di dunia saat ini, pada umumnya merupakan karya demokrasi. Jika kemudian timbul money politic, pelacuran politik, kebrutalan, penipuan dan kebebasan berbicara tanpa adab, adalah dampak yang sangat wajar, betapapun orang berusaha melakukan kontrol.
Mestinya seorang demokrat sejati harus memaklumi, manakala lawan politiknya melakukan money politics atau yang sejenisnya. Sebab ia juga melakukan hal yang demikian secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung. Ketika langkah perbaikan umat (ishlah/reformasi) dilakukan melalui proses demokrasi yang tidak jarang menggunakan cara-cara pengerahan massa, termasuk di dalamnya pemilihan umum pemimpin bangsa, maka yang terjadi adalah timbulnya korban besar yang sia-sia. Jika terjadi pergantian kepemimpinan pun, belum tentu lebih baik dari pendahulunya, padahal banyak sisi yang harus menjadi korban. Karenanyalah Islam melarang adanya pengerahan massa ala demokrasi atau pemilihan umum ala demokrasi.
Jika orang mau mencermati, bagaimana Islam mengajarkan umat memilih pemimpinnya, maka di sana ada Ahlul halli wal ‘aqdi. Suatu lembaga perwakilan ummat yang salah satu tugasnya memilih pemimpin. Mereka terdiri atas para ulama, orang-orang shalih dan orang-orang yang mengerti kemaslahatan umat. Mereka tidak dipilih oleh rakyat awam, karena orang awam tidak mengerti mana yang ulama dan mana yang bukan, mana yang shalih dan mana yang bukan. Sebab orang-orang awam adalah awam, justru perlu mendapatkan bimbingan supaya menjadi baik. Kalau mereka dibiarkan memilih pemimpinnya sendiri, maka yang terjadi adalah hawa nafsu.
Hal lain yang perlu dicermati ialah bahwa dalam Islam tidak ada ketentuan pembatasan masa jabatan seorang Kepala Negara. Bahkan ada syari’at bahwa harus bersabar terhadap pemimpin yang zalim sekalipun. Ummat tidak boleh memberontak terhadap pemimpinnya, karena yang demikian itu adalah dosa besar dan hanya dilakukan ahlu bid’ah. Mereka justru harus diperangi.
Karenanya, mengapa orang Islam sibuk memikirkan pemilihan umum? Mengapa mereka tidak berfikir bahwa jangan-jangan mereka telah sengaja menjerumuskan diri ke dalam tahazzub (perpecahan kelompok) ? Pemilihan ala demokrasi itu juga amat potensial memicu kerusuhan dan kerusakan. Dalam kaidah dikatakan:
“Menolak mafsadah lebih didahulukan daripada meraih manfaat.”
Mestinya, ummat Islam mengerahkan segenap potensi yang ada untuk kemaslahatan agama, ummat dan Negara. Karena jika Negara sepi dari kerusuhan, umat pun akan tenteram, dan orang Islam pun akan lebih dapat berkonsentrasi untuk memikirkan kemajuan dakwah Islamiyah.
Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, kerahkan potensi untuk mengatasi korupsi itu. Caranya bukan dengan menghasut lewat mimbar-mimbar bebas atau media-media massa. Tetapi dengan dakwah dan nasehat. Didiklah orang-orang agar faham terhadap Islam dengan baik, serta perbaikilah tauhidnya. Bila ia pejabat, carilah orang-orang yang bisa berkomunikasi dengannya untuk dakwah. Bila ia orang awam, kerahkan para da’i untuk memahamkan orang-orang awam.
Penuhilah masjid-masjid dengan pengajian-pengajian tentang agama, tentang tauhid, tentang wudhu, shalat, haid, nifas, dan lain-lain. Masjid bukan diramaikan dengan mengajarkan tentang politik atau dendam kepada jama’ah.
Ingatlah akan kaidah, bahwa keadaan yang buruk itu tidak akan dapat dan tidak mungkin diperbaiki dengan cara yang buruk atau salah.
Dan Allah juga tidak akan menghilangkan kehinaan itu, kecuali jika ummat kembali kepada agama yang haq.
.
Sumber : assunnahsurabaya.wordpress.com
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !