Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
....
Apakah Emas dan Perak di Zaman Ini Sudah Bukan Benda Ribawi?
Disusun oleh:
Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc. Hafidhahullaah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
bahwa emas dan perak adalah termasuk benda ribawi. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير،
والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فإذا اختلفت هذه
الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد
.
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum)
dengan burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, takarannya/timbangannya harus sama dan harus dibayar tunai
(kontan). Jika berbeda jenisnya, maka juallah sesuai dengan yang engkau
kehendaki selama dilakukan dengan tunai.” [Diriwayatkan
oleh Muslim (no. 1587).]
Akan tetapi, para ulama’ berbeda pendapat apa ‘illah
riba dari emas dan perak, yakni apa yang menyebabkan emas dan perak
dikategorikan sebagai benda ribawi?
Pendapat
pertama
‘Illah-nya adalah karena
emas dan perak itu ditimbang. Jika kita menguatkan pendapat ini, maka semua
benda yang ditimbang ketika diperjualbelikan juga adalah benda ribawi, seperti
besi, daging, gula, dll. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiy dan Hanbaliy.
Pendapat
kedua
‘Illah-nya adalah karena emas dan perak adalah logam
mulia yang digunakan sebagai mata uang. Oleh karena itu, menurut pendapat ini,
hanya emas dan perak yang merupakan benda ribawi, sedangkan uang kertas tidak.
Ini adalah pendapat Imam Malik dalam pendapat yang masyhur dari beliau,
Imam Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Pendapat
ketiga
‘Illah-nya adalah karena
emas dan perak adalah mata uang. Oleh karena itu, seluruh benda yang digunakan
sebagai mata uang merupakan benda ribawi, termasuk uang kertas dan uang logam
yang kita miliki sekarang. Ini adalah pendapat terakhir Imam Malik dan salah
satu pendapat di madzhab Hanbali.
Pendapat yang terkuat adalah pendapat terakhir. Syaikh
Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata,
قال بعض العلماء: إن العلة في الذهب والفضة هي الثمنية، أي أنها
تستعمل في البيع والشراء وإنها ثمن الأشياء، فكل ما كان ثمنا للأشياء ولو لم يكن
ذهبا أو فضة فإنه يجري فيه الربا، فالأوراق النقدية فيها الربا لأنها ثمن الأشياء،
وكذلك لو قدر أن الدولة وضعت نقودها من الخشب فإنه يجري فيها الربا لأنها ثمنية
.
“Sebagian ulama’ berkata: Sesungguhnya ‘illah pada
emas dan perak adalah mata uang, yaitu bahwa ia digunakan dalam jual-beli dan
ia adalah alat tukar. Maka semua yang merupakan alat tukar walaupun bukan emas
dan perak adalah benda ribawi. Sehingga uang kertas adalah benda ribawi karena
ia adalah alat tukar. Demikian pula jika diasumsikan bahwa negara menjadikan
mata uangnya dari kayu, maka ia adalah benda ribawi karena ia berfungsi sebagai
alat tukar.” [Mudzakkirah Fiqh, karya al-’Utsaimin (2 / 312)]
Akan tetapi, emas dan perak di zaman ini tidak lagi digunakan
sebagai alat tukar, akan tetapi lebih berfungsi sebagai komoditas perhiasan.
Jika kita mengatakan bahwa alasan yang menyebabkan emas dan perak menjadi benda
ribawi adalah karena ia digunakan sebagai alat tukar ketika transaksi
jual-beli, maka apakah di zaman ini emas dan perak sudah bukan lagi benda
ribawi?
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa ketika emas dan perak
adalah dalam bentuk perhiasan dan bukan sebagai alat tukar, maka tidak berlaku
lagi hukum riba baginya. Dewan Syariah Nasional MUI dalam fatwanya nomor
77/DSN-MUI/V/2010 tentang jual-beli emas secara tidak tunai, setelah menimbang
dan menukil banyak pendapat para ulama’ dalam masalah ini, memilih pendapat
bahwa emas dan perak di zaman ini bukanlah benda ribawi, sehingga boleh bagi
kita untuk melakukan jual-beli emas secara tidak tunai.
Akan tetapi, penulis lebih condong pada pendapat yang
mengatakan bahwa emas dan perak di zaman ini tetap merupakan benda ribawi
walaupun sudah tidak digunakan lagi sebagai alat tukar, mengingat sebuah kaidah
fikih,
إن العلة المستنبطة إذا عادت إلى النص بالإبطال وجب إلغاء حكمها
أو تأثيرها
“Sesungguhnya ‘illah yang diperoleh dengan cara istinbath,
jika kemudian kembali pada nash dan bertentangan dengannya, maka wajib
untuk meniadakan hukumnya atau pengaruhnya.”
Ketika kita mengatakan bahwa ‘illah riba dari emas dan
perak adalah karena ia digunakan sebagai alat tukar, maka ‘illah ini
adalah hasil istinbath para ulama’ dari dalil-dalil.
Jika kemudian di
zaman ini emas dan perak bukan lagi berfungsi sebagai alat tukar sehingga kita
katakan bahwa emas dan perak bukan lagi benda ribawi, yang konsekuensinya
adalah boleh bagi kita untuk melakukan jual-beli emas dan perak secara tidak
tunai, maka kesimpulan hukum ini telah bertentangan dengan dalil asal istinbath
itu sendiri, yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
kita bawakan di atas.
Tidak mungkin bagi kita untuk mendahulukan kesimpulan
hasil istinbath daripada pernyataan dalil itu sendiri.
Dengan demikian, kita simpulkan bahwa dalam masalah ini
pendapat yang kami lebih condong kepadanya adalah bahwa emas dan perak di zaman
ini tetap merupakan benda ribawi, walaupun tidak lagi digunakan sebagai alat
tukar dalam transaksi jual-beli.
@ Dago, Bandung, 1 Sya’ban 1441 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !