Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Korupsi Tidak Sama dengan Mencuri
Dijawab Oleh:
Ust. Dr. Erwandi Tarmidzi
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukuman untuk koruptor? Apakah sama hukumannya
dengan pencuri, yaitu potong tangan?
Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korupsi
adalah, “Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb.)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.” (KBBI Hal. 462).
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa harta yang
diselewengkan oleh seorang pegawai koruptor adakalanya harta milik sekelompok
orang tertentu, seperti perusahaan atau harta serikat dan adakalanya harta
milik semua orang, yaitu harta rakyat atau harta milik negara.
Dalam tinjauan fikih, seorang pegawai sebuah perusahaan atau
pegawai instansi pemerintahan, ketika dipilih untuk mengemban sebuah
tugas, sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah
dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang
dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan
mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya,
seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk
kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah
yang diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan terhadap harta negara dikenal
dengan ghulul. Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul
berarti sikap seorang mujahid yang menggelapkan harta rampasan perang sebelum
dibagi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, XXXI/272).
Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan bahwa di antara
hal yang termasuk ghulul adalah menggelapkan harta rakyat umat Islam
(harta negara), berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Al-Mustaurid bin
Musyaddad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang kami angkat sebagai aparatur negara hendaklah dia menikah (dengan biaya
tanggungan negara). Jika tidak mempunyai pembantu rumah tangga hendaklah dia mengambil pembantu
(dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak memiliki rumah hendaklah dia
membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara).“ (Nadhratun Na`im, XI. Hlm.
5131)
Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta
negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul
atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh
Al-Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974 H) berkata, “Sebagian para
ulama berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang berasal dari baitul
maal (kas negara) dan zakat termasuk ghulul“. (Az Zawajir an
Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).
Istilah ghulul untuk korupsi harta negara juga
disetujui oleh komite fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam fatwa No. 9450, yang
berbunyi, “Ghulul, yaitu: mengambil sesuatu dari harta rampasan perang
sebelum dibagi oleh pimpinan perang dan termasuk juga ghulul harta yang
diambil dari baitul maal (uang negara) dengan cara berkhianat
(korupsi)”. (Fataawa Lajnah Daimah, jilid XII, Hal 36.)
Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan Malikah dalam
pembahasan takyiif fiqhiy (kajian fikih untuk menentukan bentuk kasus) tentang korupsi. (Jaraimul
Fasad fil Fiqhil Islami, Hal. 99).
Apakah koruptor dapat disamakan dengan pencuri? Bila
disamakan dengan pencuri, bolehkah dijatuhi hukuman potong tangan? Demikian
pertanyaan mendasar yang patut kita jawab.
Allah berfirman, yang artinya,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللهِ وَاللهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al Maidah: 38).
Firman Allah yang memerintahkan untuk memotong tangan pencuri
bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan berapa batas maksimal harga barang yang
dicuri, dimana tempat barang yang dicurinya dan lain sebagainya. Akan tetapi
kemutlakan ayat diatas di-taqyid (diberi batasan) oleh hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kemudian, para ulama mensyaratkan beberapa hal untuk
menjatuhkan hukum potong tangan bagi pencuri. Di antaranya:
Barang yang dicuri berada dalam hirz (tempat yang terjaga dari
jangkauan), seperti brankas/lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk
barang berharga, semisal: Emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan
seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, tidak boleh
memotong tangan pencuri. [1]
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki dari suku Muzainah tentang
hukuman untuk pencuri buah kurma,
“Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu
dibawa pergi, hukumannya adalah dia harus membayar dua kali lipat. Pencuri buah
kurma dari tempat jemuran buah setelah dipetik hukumannya adalah potong tangan,
jika harga kurma yang dicuri seharga perisai yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr emas).”
(HR. Nasa’i dan Ibnu Majah. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan).
Batas minimal barang yang dicuri seharga 1/4 dinar
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh
dipotong tangan pencuri, melainkan barang yang dicuri seharga 1/4 dinar hingga
seterusnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan maksud ayat yang memerintahkan potong
tangan, bahwa barang yang dicuri berada dalam penjagaan pemiliknya dan sampai
seharga 1/4 dinar.
Persyaratan ini tidak terpenuhi untuk kasus korupsi, karena
koruptor menggelapkan uang milik negara yang berada dalam genggamannya melalui
jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan dia tidak mencuri uang negara dari
kantor kas negara. Oleh karena itu, para ulama tidak pernah menjatuhkan sanksi
potong tangan kepada koruptor.
Untuk kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor
sama dengan mengkhianati amanah uang/barang yang dititipkan. Karena koruptor
dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara orang yang mengkhianati
amanah dengan menggelapkan uang/barang yang dipercayakan kepadanya tidaklah
dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan
kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh
Al-Albani).
Di antara hikmah Islam membedakan antara hukuman bagi orang
yang mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya dengan cara
berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang sangat tidak
mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang lain yang disimpan dengan
perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara lain untuk menghentikan
aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan dengan menjatuhkan sanksi yang
membuatnya jera dan tidak dapat mengulangi lagi perbuatannya, karena tangannya
yang merupakan alat utama untuk mencuri, telah dipotong. Sementara orang yang mengkhianati amanah uang/barang dapat
dihindari dengan tidak menitipkan barang kepadanya. Sehingga merupakan suatu
kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan uang/barang berharga
kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu Qayyim, I’lamul
Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)
Ini bukan berarti, seorang koruptor terbebas dari hukuman
apapun juga. Seorang koruptor tetap layak untuk dihukum. Di antara hukuman yang
dijatuhkan kepada koruptor sebagai berikut:
Pertama, koruptor diwajibkan
mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan.
Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar
akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan
haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“.
(HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua, hukuman ta’zir.
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII, hal 276.)
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII, hal 276.)
Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak
terpenuhi persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah
menjadi ta’zir.
Jenis hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan
kepada ulil amri (pihak yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa
hukuman fisik, harta, kurungan, moril, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat
menghentikan keingingan orang untuk berbuat kejahatan.
Di antara hukuman fisik
adalah hukuman cambuk. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman
cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari 1/4 dinar.
Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk hukuman fisik.
Diriwayatkan bahwa khalifah Utsman bin Affan pernah memenjarakan Dhabi bin
Al-Harits karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi persyaratan potong
tangan.
Denda dengan membayar dua kali lipat dari nominal harga
barang atau uang negara yang diselewengkannya, merupakan hukuman terhadap harta.
Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia
harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hukuman ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta
negara tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang dicuri
tidak berada dalam hirz (penjagaan selayaknya).
Kesimpulan dari uraian di atas
- Pegawai perusahaan atau instansi pemerintah statusnya sebagai orang yang diberi amanah.
- Pengkhianatan terhadap harta masyarakat, lebih besar akibatnya dari pada pengkhianatan harta milik pribadi.
- Pengkhianatan terhadap harta yang menjadi amanah disebut ghulul.
- Termasuk kategori ghulul adalah tindak korupsi terhadap uang negara.
- Syarat hukuman potong tangan untuk pencuri, antara lain: harus mencapai nilai minimal: 1/4 dinar (1,07 gr emas), dan harta yang diambil berada dalam hirz (penjagaan yang layak dari pemilik).
- Korupsi harta negara atau perusahaan (ghulul), termasuk tindak pencurian yang tidak memenuhi syarat potong tangan. Karena pelaku mengambil harta yang ada di daerah kekuasannya, melalui jabatannya. Sehingga harta itu bukan harta yang berada di bawah hirz (penjagaan pemilik).
- Hukuman untuk pelaku kriminal ada 2: hukuman yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat (disebut hudud), dan hukuman yang tidak ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, dan dikembalikan kepada keputusan hakim (disebut ta’zir).
- Hukuman yang diberikan untuk koruptor adalah sebagai berikut:
- Dipaksa untuk mengembalikan semua harta yang telah dikorupsi.
- Hukuman ta’zir. Hukuman ini bisa berupa denda, atau fisik seperti cambuk, atau dipermalukan di depan umum, atau penjara. Semuanya dikembalikan pada keputusan hakim.
Footnote (Tambahan Sa'ad):
[1] Ini merupakan salah satu bentuk rahmat Allah kepada hamba-Nya. Islam tidaklah menerapkan hukuman secara sembarangan (kaku), namun melihat kepada persyaratan-persyaratan tertentu sehingga hukuman (hudud) tersebut dilaksanakan/dijatuhkan. Begitu pula dengan hukuman-hukuman untuk tindak maksiat yang lain, seperti rajam untuk pezina dan qishash untuk pembunuh.
*****
Sumber: konsultasisyariah.com
Baca Juga:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !