Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

26 November 2011

FILE 246 : Hakikat Rasa Aman

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Dan Tidurlah dengan Tenang


Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukkan bahwa Umar adalah lelaki dengan pakaian seadanya, yang sedang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya. Tetapi, memang itulah kenyataannya. Di Masjid itu tidak ada orang lain kecuali Umar....
----------

Di Madinah yang tenang, hari itu. Siang berlalu setengah perjalanan. Serombongan orang yang nampak asing berjalan memasuki kota suci Islam kedua itu. Ternyata itu rombongan Hurmuzan, Panglima dan Pangeran Persia yang telah ditaklukkan pasukan Muslim, yang ingin bertemu dengan Amirul Mu'minin Umar bin Khaththab radliyallaahu 'anhu.

Dengan ditemani Anas bin Malik radliyallaahu 'anhu, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan kemegahannya. Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Perhiasan yang bertahtakan permata melekat di dahi. Sementara mantel sutra yang mewah menutupi pundaknya. Sementara itu, sebilah pedang bengkok dengan hiasan batu-batu mulia menggantung pada sabuknya. Ia bertanya-tanya di mana Amirul Mu'minin bertempat tinggal. la membayangkan bahwa Umar bin Khaththab radliyallaahu 'anhu yang kemasyhurannya tersebar ke seluruh dunia pasti tinggal di sebuah istana yang megah.

Sampai di Madinah, mereka langsung menuju ke tempat kediaman Umar. Tetapi mereka diberitahu bahwa Umar sudah ke Masjid, sedang menerima delegasi dari Kufah. Mereka pun bergegas ke Masjid, tetapi tidak juga melihat Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak Madinah mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu diberitahukan bahwa Amirul Mukminin sedang tidur di beranda kanan Masjid dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal.

Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukkan bahwa Umar adalah lelaki dengan pakaian seadanya, yang sedang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya. Tetapi, memang itulah kenyataannya. Di Masjid itu tidak ada orang lain kecuali Umar.

Maka, dalam riwayat lain dikatakan, sambil berdecak heran Hurmuzan bergumam,
"Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan adil, lalu engkau aman, dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman."

Setelah itu terjadi dialog yang panjang lebar. Juga kesepakatan-kesepakatan penting. Tetapi sepenggal kisah di atas adalah kisah tentang kebesaran orang-orang terbaik sepanjang sejarah -seperti Umar– yang mengajarkan arti sesungguhnya dari rasa aman dan tenang. Bisakah dibayangkan, seorang pemimpin tertinggi, yang kekuasaannya bergema ke seantero bumi, dengan ringan dan tanpa rasa takut sedikitpun tidur-tiduran di emperan Masjid ?

Tak bisa dipungkiri, ada hubungan erat antara tidur seseorang dengan rasa aman. Meski indikator rasa aman tidak semata hanya kenyamanan sewaktu tidur. Tetapi, yang pasti, orang yang sedang mengalami gangguan fisik maupun psikis, umumnya akan susah tidur. Gangguan susah tidur, dalam terminologi kedokteran atau psikologi sering disebut dengan insomnia (in = tidak, sommus= tidur). Ada yang sementara, ada yang kronis.

Setiap orang perlu tidur. Meski lamanya waktu tidur yang diperlukan orang berbeda-beda. Dengan tidur, seseorang melakukan pembersihan diri dari "sampah penyebab kelelahan" sehingga saat bangun tubuh terasa segar. Karenanya, pada masa Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam, ketika Perang Uhud berkecamuk hebat, salah satu kenikmatan besar yang dirasakan kaum muslimin adalah turunnya hujan dan datangnya rasa kantuk. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

ثُمَّ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنۢ بَعْدِ ٱلْغَمِّ أَمَنَةًۭ نُّعَاسًۭا يَغْشَىٰ طَآئِفَةًۭ مِّنكُمْ

"Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu." (QS. Ali Imran [3]: 154)

Begitu juga sewaktu menjelang Perang Badar. Malam sebelum pertempuran besar pertama dalam Islam itu berkecamuk, Allah menidurkan pasukan kaum muslimin untuk menentramkan perasaan mereka sebelum berperang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

إِذْ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةًۭ مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءًۭ لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ ٱلشَّيْطَٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلْأَقْدَامَ

"(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu)." (QS. AI-Anfal [8]: 11).

Setiap kita perlu rasa aman. Bahkan rasa aman merupakan salah satu kebutuhan penting manusia dalam hidup. Tanpa rasa aman, apalah artinya dunia dan segala gemerlapnya. Karenanya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman menceritakan nikmat-Nya kepada Kaum Quraisy,

فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَٰذَا ٱلْبَيْتِ . ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۭ

"Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy [106]: 3 - 4)

Senada dengan firman Allah di atas, Rasulullah Shallallaahu 'alayhi wa sallam bersabda (yang artinya kurang lebih),"Barangsiapa di antara kalian mendapati paginya dalam keadaan aman, di keluarganya dan di perjalanannya, sehat badannya, memiliki apa yang ia makan hari itu, maka sungguh ia (seperti) telah memiliki dunia seluruhnya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kunci dari semua kenyamanan terletak pada kenyamanan jiwa. Sedang kenyamanan jiwa bersumber dari rasa aman yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya. Dengan jelas, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya kurang lebih),

"Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang taubat kepada-Nya. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik." (QS. Ar Ra'd [13]: 27 -29).

Pengaruh iman dan amal shalih terhadap rasa nyaman sangat besar. Ada kontribusi siginifikan yang diberikan kenyamanan hati terhadap kenyamanan fisik. Apa yang ada di hati akan "bersuara" pada fisik kita.

Bahkan, kadangkala, kadar keimanan dan keshalihan itu tidak saja memberi rasa aman pada pemiliknya. Seringkali keshalihan seseorang berimbas kepada munculnya rasa aman pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Seperti sosok Umar bin Abdul Aziz, khalifah kelima yang terkenal keshalihannya itu. Malik bin Dinar mengisahkan, ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, para penggembala kambing di puncak gunung berkata, "Siapakah khalifah yang shalih yang sedang memerintah manusia saat ini?" Padahal para penggembala itu tidak tahu menahu tentang peristiwa di kota, termasuk diangkatnya khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika hal itu ditanyakan kepada mereka, para pengembala itu menjelaskan, “Bila pemerintahan dipegang oleh seorang khalifah yang shalih, serigala dan singa tidak mengganggu kambing-kambing kami.”

Riwayat lain yang menguatkan kisah tersebut, adalah apa yang dituturkan oleh Hasan Al-Qasshar, “Aku bekerja sebagai pemerah susu kambing pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada suatu ketika, aku melewati para penggembala, sedangkan di tengah-tengah gerombolan kambingnya terdapat sekitar tiga puluh serigala. Karena sebelumnya aku belum pernah melihat serigala, aku mengira serigala itu adalah anjing. Akupun bertanya kepada para penggembala itu, 'Wahai penggembala, untuk apakah anjing sebanyak itu?' Mereka menjawab, 'Wahai anak muda, ini bukan kawanan anjing, tetapi kawanan serigala.' Aku berkata heran, 'Subhanallah, apakah mereka tidak membahayakan kambing-kambing engkau?' Penggembala itu menjawab, 'Wahai anak muda, apabila kepala sudah sehat, maka badan tidak akan rusak.'" Maksud dari kepala adalah kepala pemerintahan, yang waktu itu dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah.

Begitulah keshalihan Umar bin Abdul Aziz. Maka ketika Umar bin Abdul Aziz telah tiada, keadaannya pun berubah. Musa bin Ayyan mengisahkan, "Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, demi Allah, kami menggembala kambing bersama serigala di suatu tempat. Hingga pada suatu malam serigala menyerang seekor kambing kami. Dengan ada peristiwa ini kami memperkirakan bahwa lelaki shalih yang diangkat menjadi khalifah telah mati. Ternyata, keesokan harinya memang benar, kami mendengar kabar bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah meninggal dunia."

Atas dasar semua itu, mengertilah kita mengapa orang sekelas Umar bin Khaththab radliyallaahu 'anhu bisa dengan ringan tidur di Masjid seorang diri. Karena masalah utamanya bukan terletak pada soal tidurnya itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada di balik tidur tersebut. Sesuatu itu adalah jiwa yang penuh dengan suluh keimanan. Bersinar terang memenuhi relung hati yang lapang. Yang cahayanya melahirkan rasa tentram, rasa damai dan aman, bahkan untuk orang-orang yang ada di sekitarnya . Tetapi itu tak berarti bahwa orang-orang seperti Umar bin Khaththab radliyallaahu 'anhu atau yang lainnya lantas banyak mengisi hidupnya dengan tidur, Umar justru jarang tidur karena banyaknya urusan. Tetapi ia bisa tidur di mana saja, tanpa sedikit pun rasa takut, kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Betapa banyak orang bergelimang kemewahan dan pangkat. Tetapi untuk sekadar memejamkan mata saja tak bisa. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang tampak lahirnya biasa-biasa saja. Namun di dalam jiwanya terdapat samudera ketenangan yang luar biasa. Di dalam jiwanya terletak mata air iman yang segar dan menyegarkan.

Kini segalanya menjadi jelas. Dalam jenak-jenak istirahat tidur yang kita lakukan, sesungguhnya kita sedang bertaruh, apakah kita seorang mukmin yang baik atau tidak. Karena, di sana, di dalam cahaya iman itu, letak rasa aman dan nyenyak tidur kita yang sesungguhnya.

*******
Sumber: khansamuslim.blogspot.com (dengan sedikit penambahan)

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

19 November 2011

FILE 245 : Lafadz "AMIN" dalam Sholat

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Lafal "Amin" yang Benar


Pertanyaan:
Bismillah. Assalamu ‘alaikum, Ustadz.

Saya mau tanya perihal lafal “Amin” saat shalat berjamaah setelah imam membaca surah Al-Fatihah. Bagaimana dengan panjang-pendeknya bacaan “Amin” tersebut, karena saya mengetahui dalam kaidah bahasa Arab, lafal “Amin” itu ada 4 perbedaan. Salah satu di antaranya “Aamiin” (alif dan mim sama-sama panjang), yang artinya, “Ya Tuhan, kabulkanlah doa kami.” Apakah lafal ini yang dipakai, atau bagaimana yang diperbolehkan? Jazakallahu khairan.

Rasyid Ibnu Ali (**_math07@yahoo.***)

 

Jawaban:
Wa ‘alaikumussalaam warahmatullah.

Ada beberapa kata yang mirip untuk kata “Aamiin“.

1. أَمِيْنٌ (a: pendek, min: panjang), artinya ‘orang yang amanah atau terpercaya’.

2. أٰمِنْ (a: panjang, min: pendek), artinya ‘berimanlah’ atau ‘berilah jaminan keamanan’.

Ketika shalat, kita tidak boleh membaca “Amin” dengan dua cara baca di atas.

3. آمِّيْنَ (a: panjang 5 harakat, mim: bertasydid, dan min: panjang), artinya ‘orang yang bermaksud menuju suatu tempat’.

Ada sebagian ulama yang memperbolehkan membaca “Amin” dalam shalat dengan bentuk bacaan semacam ini. Demikian keterangan Al-Wahidi. Imam An-Nawawi mengatakan, “Ini adalah pendapat yang sangat aneh. Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya sebagai kesalahan pengucapan orang awam. Beberapa ulama mazhab kami (Mazhab Syafi’i) mengatakan, ‘Siapa saja yang membaca ‘Amin’ dengan model ini dalam shalatnya maka shalatnya batal.’” (At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, hlm. 134)

4. أٰمِيْنَ (a: panjang 2 harakat karena mengikuti mad badal, min: panjang 4–6 harakat karena mengikuti mad ‘aridh lis sukun, dan nun dibaca mati), artinya ‘kabulkanlah’. Inilah bacaan “Amin” yang benar.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Sumber: konsultasisyariah.com

*******

Jawaban Ust. Dzulqarnain hafidhahullah:
Re: [nashihah] Tentang kata Amiin

Yang penting bagi seorang muslim adalah mengucapkan kalimat amin dengan benar. Memang betul bahwa amin dalam bahasa Arab bermakna allahumma istajib (Ya Allah kabulkanlah).
Namun perlu saya luruskan bahwa penyebutan amin dalam bahasa Arab, dibaca aamiin (أٰمِيْنَ) dengan memanjangkan alif dan mimnya. Juga bisa dibaca amiin (أَمِيْنٌ) alif nya dipendekkan dan Mim nya dipanjangkan.
Untuk bacaan shalat, telah Syah dari Nabi Shallahu alaihi wa sallam syariat untuk memanjangkan pengaminan. Tentu panjang madnya sesuai dengan kaidah bahasa Arab yaitu alifnya dipanjangkan 2 harakat, juga boleh 4 harakat, Mimnya boleh dipanjangkan Hingga 6 harakat. 
Wallahualam.

Dzulqarnain M. Sunusi


Pada 4 Mei 2011, at 10:25, HABIBAH <habibah1984@...> menulis:
 
Ustadz, mohon bantuan apakah uraian tentang kata amin berikut adalah benar, jazakumulloh khoir sebelumnya
Kesalahan penulisan Aamiin Yang sering Terjadi ==============================================
... Bismillahirrohmanirrohiim. . .  Assalamu 'alaikum warahmatullah wabarakatuh. . .  Mungkin artikel ini tidaklah seberapa penting buat sebagian orang, tapi buat saya pribadi teramat sangatlah penting sekali (lengkap amat kalimatnya ).  Banyak saya temui diantara teman-teman FB ini yang menurut saya salah dalam penulisan Aamiin.  Ada yang menulis "amin", "amiin", "aamin" bahkan tidak jarang juga ada yg menulis "Amien".  Seperti kita ketahui Lafaz Aamiin diucapkan didalam dan diluar salat, diluar salat, aamiin diucapkan oleh orang yang mendengar doa orang lain.  Aamiin termasuk isim fiil Amr, yaitu isim yang mengandung pekerjaan. Maka para ulama jumhur mengartikannya dengan Allahummas istajib (ya Allah ijabahlah).  Makna inilah yang paling kuat dibanding makna-makna lainnya seperti bahwa aamiin adalah salah satu nama dari asma Allah Subhanahu wa ta'alaa.  Membaca aamiin adalah dengan memanjangkan a (alif) dan memanjangkan min, apabila tidak demikian akan menimbulkan arti lain.  Dalam Bahasa Arab, ada empat perbedaan kata "AMIN" yaitu :  1. "AMIN" (aliF dan mim sama-sama pendek), artinya AMAN, TENTRAM  2. "AAMIN" (alif panjang & mim pendek), artinya MEMINTA PERLINDUNGAN KEAMANAN  3."AMIIN" (alif pendek & mim panjang), artinya JUJUR TERPERCAYA  4."AAMIIN" (alif & mim sama-sama panjang), artinya YA TUHAN, KABULKANLAN DOA KAMI  Terus Bagaimana dengan pengucapan/ Penulisan "Amien" ???  Sebisa mungkin untuk yang satu ini (Amien) dihindari, karena ucapan "Amien" yang lazim dilafadzkan oleh penyembah berhala (Paganisme) setelah do'a ini sesungguhnya berasal dari nama seorang Dewa Matahari Mesir Kuno: Amin-Ra (atau orang Barat menyebutnya Amun-Ra)  Marilah kita biasakanya aya menggunakan kaidah bahasa yang benar dan jangan pernah menyepelekan hal yang sebenarnya besar dianggap kecil.  Semoga bermanfaat.  Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh..

Sumber: milis nashihah

******


Komentar saya:
Pendapat dan jawaban yang menentramkan hati adalah pelafalan amin dengan alif dan mim sama-sama panjang (أٰمِيْنَ). Jadi baik alif maupun mim nya tidak ada yang dibaca pendek.

Tulisan ini memang amat sangat ringan. Namun saya berharap tidak ada yang menanggapinya dengan kata-kata:"Ah, yang penting niatnya..."

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًۭا يَرَهُۥ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍۢ شَرًّۭا يَرَهُۥ

"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula." (QS. Al Zalzalah [99]: 7 - 8)

Semoga bermanfaat.


Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

12 November 2011

FILE 244 : Istri Selingkuh, Bagaimana Solusinya ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Istri Selingkuh dan Solusinya


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum, Ustadz.

Baru-baru ini keluarga yang telah kami bina selama 8 tahun mengalami badai. Istriku selingkuh dengan orang lain. Lebih menyakitkan lagi, dia kedapatan sedang mengandung. Menurut dokter, usia kandungannya sudah 5 atau 6 minggu. Sedangkan saya merasa tiap kali berhubungan selalu menggunakan alat pengaman (maaf, kondom). Setelah didesak, istri saya mengaku telah melakukan perbuatan terkutuk tersebut dengan orang lain. Hati saya hancur saat itu, tetapi saya tidak sampai hati pada dua anak kami yang masih kecil-kecil. Anak saya baru 7 tahun dan 3 tahun; keduanya perempuan. Istri saya (menyatakan) menyesal dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Dan saya telah memaafkan dan menerimanya kembali, dengan syarat mau menggugurkan bayi hasil perbuatan terkutuknya, karena saya takut kalau bayi tersebut lahir, saya tidak dapat menahan diri dan selalu mengingat peristiwa tersebut.

Yang saya tanyakan, berdosakah saya menyuruh istri saya melakukan aborsi, dan apa yang harus saya lakukan sekarang? sampai sekarang, hanya saya dan istri saya yang mengetahui hal ini, mohon jawabannya supaya saya tidak dihantui perasaan berdosa. Terima kasih.

NN (**@yahoo.co.id)


Jawaban:
Wa ‘alaikumussalaam warahmatullah.
 
Aborsi dengan sengaja, hukumnya haram. Bayi itu sama sekali tidak bersalah. Menggugurkannya sama dengan berbuat zalim kepadanya.

Tidak kami sarankan untuk mempertahankan istri atau suami yang berzina (istri selingkuh atau suami selingkuh). Syekh Dr. Anis Thahir, pengajar di Masjid Nabawi dan merupakan seorang ulama ahli hadis, mengatakan, “Saya wasiatkan para suami untuk sabar dengan kekurangan istrinya, kecuali dalam tiga hal:
  1. Istri memiliki akidah yang rusak (kemusyrikan);
  2. Tidak mau shalat;
  3. Berzina (istri selingkuh)

=*=*=*=*=*=*=*=

Catatan tambahan redaksi mengenai solusi istri selingkuh:

Aborsi dengan sengaja, hukumnya haram. Bayi itu sama sekali tidak bersalah. Menggugurkannya sama dengan berbuat zalim kepadanya. Ingatlah firman Allah,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ . بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.

“Ingatlah apabila para bayi wanita perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. Dosa apakah yang menyebabkan dia harus dibunuh.” (QS. At-Takwir: 8 – 9)

Jawaban apakah yang akan kita persiapkan untuk pertanyaan di atas? Ketika kita berada di hadapan Dzat Yang Maha Adil, yang akan membalas setiap tindakan hamba-Nya sesuai dengan amalnya.

Jika anda keberatan untuk menceraikan, anda boleh mempertahankan istri anda. Dan pastikan bahwa istri anda telah bertaubat. Kemudian untuk status anak yang berada di kandungan adalah anak anda, karena andalah suaminya. Meskipun bisa jadi -bukan menuduh- anak itu sejatinya adalah hasil hubungan zina dengan lelaki lain.

Dalilnya, dari A’isyah radliallahu ‘anha, dulu Utbah bin Abi Waqqas berpesan kepada saudaranya Sa’d bin Abi Waqqas, bahwa anak budaknya Zam’ah adalah anakku maka ambillah. Di masa penaklukan kota Mekah, Sa’d mengambil anak tersebut. Tiba-tiba Abd bin Zam’ah angkat suara,"Dia saudaraku, anak budak bapakku. Dia dilahirkan ketika si wanita tersebut menjadi budak bapakku."

Akhirnya keduanya berdebat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sa’d berkata,"Dia anak saudaraku, lihatlah betapa miripnya dengan saudaraku."

Kemudian Abd bin Zam’ah membela, "Dia saudaraku, anak dari budak bapakku, ketika ibunya menjadi pasangan ayahku.’

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan,"Anak ini milikmu wahai Abd bin Zam’ah." Lalu Beliau bersabda,

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلعَاهِرِ الحَجْرُ

“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maksud hadits:

Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh dengan lelaki lain.

Sedangkan lelaki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikitpun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain. (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10: 37)

Demikian tambahan catatan dari redaksi mengenai solusi istri selingkuh. Allahu a’lam.

*******
 
Sumber: konsultasisyariah.com



Tambahan faedah dari Ust. Nurdin al Bukhori hafidhahullah: Dari permasalahan di atas bisa memunculkan pertanyaan :"Bagaimana jika yang selingkuh adalah suami, bisakah istri mengajukan permohonan cerai?"

Beliau menjawab:"Istri boleh mengajukan permohonan cerai (khulu') jika dia merasa dengan mengetahui perselingkuhan suaminya tersebut dia akan mengurangi hak-hak suami yang menjadi kewajibannya (nusyuz), misalnya tidak mau lagi/enggan melayani suami dan semisalnya.

Jadi permohonan cerainya didasarkan pada kekhawatirannya atas nusyuz tersebut, dan bukan karena suaminya selingkuh. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ

"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya." (QS. Al Baqarah : 229)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa istri Tsabit Ibnu Qais menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata:"Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka durhaka (kepada suami) setelah masuk Islam."

Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apakah engkau mau mengembalikan kebun (yang dijadikan mahar oleh Tsabit bin Qois) kepadanya?"

Ia menjawab: "Ya."

Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali talak." Selesai.

Semoga bermanfaat.


Baca Juga:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

05 November 2011

FILE 243 : Keistimewaan Air Zam-Zam

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Keistimewaan Air Zam-Zam

.Disusun Oleh:
Ust. Mu'tashim



Air Zam-Zam bukanlah air yang asing bagi kaum Muslimin. Air ini mempunyai keutamaan yang sangat banyak. Rasulullah telah menjelaskan kegunaan air tersebut. Beliau bersabda,"Sebaik-baik air yang ada di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit."[1] Apa rahasia dibalik air yang banyak memiliki khasiat dan penuh barakah ini?


MAKNA ZAM-ZAM

Kata Zam-Zam dalam bahasa Arab berarti, yang banyak atau melimpah [2]. Adapun air Zam-Zam yang dimaksud oleh syari'at, yaitu air yang berasal dari sumur Zam-Zam. Letaknya dengan Ka'bah, berjarak sekitar 38 hasta.

Gambar 1 : Posisi Sumur Zam-Zam dari Ka'bah

Dinamakan Zam-Zam, sesuai dengan artinya, karena memang air dari sumur tersebut sangat banyak dan berlimpah. Tidak habis walau sudah diambil dan dibawa setiap harinya ke seluruh penjuru dunia oleh kaum Muslimin.

Dinamakan dengan Zam-Zam, bisa juga diambil dari perbuatan Hajar. Ketika air Zam-Zam terpancar, ia segera mengumpulkan dan membendungnya. Atau diambil dari galian Malaikat Jibril dan perkataannya, ketika ia berkata kepada Hajar.

Disebutkan juga, bahwa nama Zam-Zam adalah 'alam, atau nama asal yang berdiri sendiri, bukan berasal dari kalimat atau kata lain. Atau juga diambil dari suara air Zam-Zam tersebut, karena zamzamatul ma`  adalah suara air itu sendiri.[3]

Nama lain Zam-Zam, sebagaimana telah diketahui, antara lain ia disebut barrah (kebaikan), madhmunah (yang berharga), taktumu (yang tersembunyi), hazmah Jibril (galian Jibril), syifa` suqim (obat penyakit), tha'amu tu'im (makanan), syarabul abrar (minuman orang-orang baik), thayyibah (yang baik) [4].


SEJARAH MUNCULNYA ZAM-ZAM

Disebutkan oleh Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, dari hadits Ibnu 'Abbas. Suatu saat, ketika berada di Mekkah, Nabi Ibrahim menempatkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di sekitar Ka`bah, di suatu pohon besar yang berada di atas sumur Zam-Zam. Waktu itu, tidak ada seorangpun di Mekkah, melainkan mereka bertiga. Setelah Nabi Ibrahim Alaihissalam meletakkan kantong berisi kurma dan air, iapun beranjak pergi. Namun Hajar mengikutinya seraya mengatakan,”Wahai Ibrahim, kemanakah engkau akan pergi dengan meninggalkan kami sendiri di tempat yang tiada manusia lain, atau yang lainnya?"

Pertanyaan itu ia ulangi terus, tetapi Nabi Ibrahim tidak menengok kepadanya. Sampai akhirnya Hajar berseru kepadanya,”Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan hal ini?”

“Ya,” jawab Nabi Ibrahim.

"Kalau begitu, Allah tidak akan menyengsarakan kami,” seru Hajar. Kemudian kembalilah Hajar ke tempatnya, dan Nabi Ibrahim terus melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di Tsaniyah -jalan bebukitan, arah jalan ke Kada`. Rasulullah ketika memasuki Mekkah juga melewati jalan tersebut- dan keluarganya tidak dapat melihatnya lagi, Nabi Ibrahim 'Alaihissalaam menghadap ke arah Baitullah, lalu mengangkat kedua tangannya seraya berdoa :
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
[QS. Ibrahim [14] : 37]
Ibunda Ismail menyusui anaknya dan meminum dari kantong air tersebut. Hingga akhirnya air itu pun habis, dan anaknya kehausan. Dia melihat anaknya dengan penuh cemas, karena terus menangis. Dia pun pergi untuk mencari sumber air, karena tidak tega melihat anaknya kehausan.

Pergilah dia menuju bukit terdekat, yaitu bukit Shafa, dan berdiri di atasnya. Pandangannya diarahkan ke lembah di sekelilingnya, barangkali ada orang disana. Akan tetapi, ternyata tidak ada.

Dia pun turun melewati lembah sampai ke bukit Marwa. Berdiri di atasnya dan memandang barangkali ada manusia di sana? Tetapi, ternyata tidak juga. Dia lakukan demikian itu hingga tujuh kali.

Ketika berada di atas bukit Marwa, dia mendengar ada suara, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Diam!" Setelah diperhatikannya ternyata memang benar dia mendengar suara, kemudian dia pun berkata, "Aku telah mendengar, apakah di sana ada pertolongan?"

Tiba-tiba dia melihat Malaikat Jibril, yang mengais tanah dengan kakinya (atau dengan sayapnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain), kemudian memukulkan kakinya di atasnya. Maka keluarlah darinya pancaran air.

Hajar pun bergegas mengambil dan menampungnya. Diciduknya air itu dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam tempat air. Setelah diciduk, air tersebut justru semakin memancar. Dia pun minum air tersebut dan juga memberikan kepada putranya, Ismail. Lalu Malaikat Jibril berkata kepadanya, "Jangan takut terlantar. Sesungguhnya, di sinilah Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini (Ismail) bersama ayahnya. Dan sesungguhnya, Allah tidak akan menelantarkan hambanya."

Beberapa waktu kemudian, datanglah orang-orang dari kabilah Jurhum turun di lembah Makkah. Mereka turun karena melihat burung -burung yang berputar-putar. Mereka berkata,"Burung ini berputar-putar di sekitar air. Kami yakin di lembah ini ada air," lalu mereka mengirim utusan, dan ternyata benar mereka mendapatkan air. Utusan itupun kembali dan memberitahukan kepada orang-orang yang mengutusnya tentang adanya air. Merekapun kemudian mendatanginya, dan meminta izin dari Ummu Ismail, bahwa mereka akan mampir ke sana. Ummu Ismailpun mempersilahkan dengan syarat, bahwa mereka tidak berhak memiliki (sumber) air tersebut, dan kabilah Jurhum inipun setuju [5].


PENEMUAN KEMBALI AIR ZAM-ZAM

Ketika Abdul Muthalib sedang tidur di Hijr Ismail, dia mendengar suara yang menyuruhnya menggali tanah.

"Galilah thayyibah (yang baik)!"

"Yang baik yang mana?" tanyanya.

Esoknya, ketika tidur di tempat yang sama, dia mendengar lagi suara yang sama, menyuruhnya menggali barrah (yang baik).

Dia bertanya, "Benda yang baik yang mana?" Lalu dia pergi.

Keesokan harinya, ketika tidur di tempat yang sama di Hijr Ismail, dia mendengar lagi suara yang sama, menyuruhnya menggali madhmunah (sesuatu yang berharga).

Dia bertanya," Benda yang baik yang mana?"

Akhirnya pada hari yang keempat dikatakan kepadanya : "Galilah Zam-Zam!"

Dia bertanya,"Apa itu Zam-Zam?"
Gambar 2 : Mata Air Zam-Zam

Dia mendapat jawaban : "Air yang tidak kering dan tidak meluap, yang dengannya engkau memberi minum para haji. Dia terletak di antara tahi binatang dan darah. Berada di patukan gagak yang hitam, berada di sarang semut".

Sesaat Abdul Muthalib bingung dengan tempatnya tersebut, sampai akhirnya ada kejelasan dengan melihat kejadian yang diisyaratkan kepadanya. Kemudian ia pun bergegas menggalinya.

Orang-orang Quraisy bertanya kepadanya,"Apa yang engkau kerjakan, hai Abdul Muthalib?

Dia menjawab,"Aku diperintahkan menggali Zam-Zam," sampai akhirnya ia beserta anaknya, Harits mendapatkan apa yang diisyaratkan dalam mimpinya, menggali kembali sumur Zam-Zam yang telah lama dikubur dengan sengaja oleh suku Jurhum, tatkala mereka terusir dari kota Mekkah.[6]


KEUTAMAAN DAN KHASIAT AIR ZAM-ZAM

Dari penjelasan Rasulullah dan para ulama dapat diketahui, bahwa air Zam-Zam memiliki barakah dan keutamaan. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan air Zam-Zam dapat disebutkan sebagai berikut.

عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ - أخرجه أحمد وابن ماجه

"Dari Jabir dan Ibnu 'Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Air Zam-Zam, tergantung niat orang yang meminumnya."[7]

Ibnu Taimiyyah berkata,”Seseorang disunnahkan untuk meminum air Zam-Zam sampai benar-benar kenyang, dan berdoa ketika meminumnya dengan doa-doa yang dikehendakinya. Tidak disunnahkan mandi dengannya (menggunakan air Zam-Zam)."[8]

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ إِنْ شَرِبْتَهُ تَسْتَشْفِي شَفاَكَ الله ُوَإِنْ شَرِبْتَهُ لِشَبْعِكَ أَشْبَعَكَ الله ُوَإِنْ شَرِبْتَهُ لِقَطْعِ ظَمْئِكَ قَطَعَهُ اللهُ وَهِيَ هَزْمَةُ جِبْرَائِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَسُقْيَا اللهِ إسْمَاعِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
رواه الدارقطني والحاكم وقال صحيح الإسناد

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhumaa, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Air Zam-Zam sesuai dengan niat ketika meminumnya. Bila engkau meminumnya untuk obat, semoga Allah menyembuhkanmu. Bila engkau meminumnya untuk menghilangkan dahaga, semoga Allah menghilangkannya. Air Zam-Zam adalah galian Jibril, dan curahan minum dari Allah kepada Ismail."[9]

وَعَنْ أَبِيْ الطُّفَيْلِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ كُنَّا نُسَمِّيْهَا شَبَّاعَةً يَعْنِيْ زَمْزَمَ وَكُنَّا نَجِدُهَا نِعْمَ الْعَوْنُ عَلَى الْعِيَالِ - رواه الطبراني في الكبير

"Dari Abi Thufail, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhumaa, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda,”Kami menyebut air Zam-Zam dengan syuba'ah (yang mengenyangkan). Dan kami juga mendapatkan, air Zam-Zam adalah sebaik-baik pertolongan (kebutuhan atas kemiskinanan)". (HR Tabrani di dalam Al Kabir) [10]

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِسِجِلٍّ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ - رواه أحمد

"Dari Usamah, bahwasanya Rasulullah meminta untuk didatangkan segantang air Zam-Zam, kemudian beliau meminumnya dan berwudhu dengannya" (HR Ahmad) [11]


كَانَ يَحْمِلُ مَاءَ زَمْزَمَ ( فِيْ الأَدَاوِيْ وَالْقِرَبِ وَكَانَ يَصُبُّ عَلىَ الْمَرْضَى وَيَسْقِيهِمْ )  .  حديث صحيح

"Disebutkan dalam Silsilah Shahihah, adalah Rasululllah membawa air Zam-Zam di dalam kantong-kantong air (yang terbuat dari kulit). Beliau menuangkan dan membasuhkannya kepada orang yang sedang sakit".

إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ رَكَضَ زَمْزَمَ بِعَقِبِهِ جَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تَجْمَعُ الْبَطْحَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَحِمَ اللهُ هَاجِراً وَأُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا كاَنَتْ عَيْنًا مَعِيْنًا.
( صحيح )

Tatkala Jibril memukul Zam-Zam dengan tumit kakinya, Ummi Ismail segera mengumpulkan luapan air. Nabi berkata,"Semoga Allah merahmati Hajar dan Ummu Ismail. Andai ia membiarkannya, maka (tentulah air Zam-Zam) akan menjadi mata air yang menggenangi (seluruh permukaan tanah)."[12]

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ الله - صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ، فِيْهِ طَعَامُ الطَّعْمِ، وَشِفَاءُ السَّقْمِ

"Dari Ibnu 'Abbas radliyallaahu 'anhumaa, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Sebaik-baik air yang terdapat di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit."[13]

Abu Dzar al Ghifari radliyallaahu 'anhu berkata,"Selama 30 hari, aku tidak mempunyai makanan kecuali air Zam-Zam. Aku menjadi gemuk dan lemak perutku menjadi sirna. Aku tidak mendapatkan dalam hatiku kelemahan lapar."[14]

  كُنْتُ أُجَالِسُ ابْنَ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَأَخَذَتْنِيْ الحْمُىَ فَقَالَ أَبْرِدْهَا عَنْكَ بِمَاءِ زَمْزَمَ فإَِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  الْحُمَى مِنْ فيَحْ ِجَهَنَّمَ فَأَبْرِدُوهَا بِالْمَاءِ أَوْ قاَلَ بِمَاءِ زَمْزَمَ 

"Dari Hammam, dari Abi Jamrah ad-Duba`i, ia berkata : "Aku duduk bersama Ibnu 'Abbas di Mekkah, tatkala demam menyerangku. Ibnu 'Abbas mengatakan, dinginkanlah dengan air Zam-Zam, karena Rasulullah mengatakan, sesungguhnya demam adalah dari panas Neraka Jahannam, maka dinginkanlah dengan air atau air Zam-Zam" [15]

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّهَا كَانَتْ تَحْمِلُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ وَتُخْبِرُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يَحْمِلُهُ

Dari 'Aisyah, ia membawa air Zam-Zam. Ia mengkabarkan, sesungguhnya dahulu Rasulullah membawanya (sebagai bekal-Pen.).[16]

Ibnul Qayyim berkata,"Aku dan selain diriku telah megalami perkara yang ajaib tatkala berobat dengan air Zam-Zam. Dengan izin Allah, aku telah sembuh dari beberapa penyakit yang menimpaku. Aku juga menyaksikan seseorang yang telah menjadikan air Zam-Zam sebagai makanan selama beberapa hari, sekitar setengah bulan atau lebih. Ia tidak mendapatkan rasa lapar, ia melaksanakan thawaf sebagaimana manusia yang lain. Ia telah memberitahukan kepadaku bahwa, ia terkadang seperti itu selama empat puluh hari. Ia juga mempunyai kekuatan untuk berjima', berpuasa dan melaksanakan thawaf ".[17]

Beliau rahimahullah berkata,"Ketika berada di Mekkah, aku mengalami sakit dan tidak ada tabib dan obat (yang dapat menyembuhkannya). Akupun mengobatinya dengan meminum air Zam-Zam dan membacakan atasnya berulangkali (dengan al Fatihah), kemudian aku meminumnya. Aku mendapatkan kesembuhan yang sempurna. Akupun menjadikannya untuk bersandar ketika mengalami rasa sakit, aku benar-benar banyak mengambil manfaat darinya."[18]

Demikian penjelasan singkat tentang air Zam-Zam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita dan membenarkan khasiat dan keutamaan air yang tak pernah kering tersebut, meskipun setiap hari diambil oleh banyak manusia. Dengan mengetahui secara sepintas air Zam-Zam ini, maka hendaknya dapat meningkatkan dan memperkuat sandaran dan ketergantungan kita kepada Allah. Dia-lah yang Maha Penguasa mengatur segala yang Ia kehendaki.

Wallahu a'lam.

Sumber Bacaan :
- Shahihul-Bukhari, 3/1190, Cet Daar Ibnu Katsir, al Yamamah, Beirut.
- Fat-hul Bari, 6/402, Cetakan tahun 1379, Darul Ma`rifah, Beirut.
- Shahih Muslim, 4/1919, Cetakan Dar Ihya Turats Arabi, Beirut.
- Syarh Nawawi 'ala Muslim, 8/194, Cetakan Dar Ihya` Turats al Arabi, Beirut.
- Sunan Tirmidzi, 3/295, Cetakan Dar Ihya` Turats al Arabi, Beirut.
- Bidayah wan-Nihayah, Ibnul Katsir, 2/244-245, Cetakan Maktabah al Ma`arif, Beirut.
- Musnad Ahmad, Cetakan Muassasah al Qurtubah, Mesir, halaman 1/291.
- Zaadul Maad, Cetakan Muassasah ar Risalah, Beirut, 4/162.
- Shahih Sirah Nabawiyah, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Urdun, Beirut
- Irwa-ul Ghalil, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Mukhtashar Irwa` , al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Manasik Haji wal Umrah, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Al Mutli`  'ala Abwabul-Fiqh, al Bali, Cetakan Maktab al Islami, Beirut, halaman 1/200.
- Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Saudi Arabia, internet. www.al-islam.com
- Kamus al Munawir, Edisi II, Cetakan Pustaka Progessif.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Gambar 3 : Kondisi Sumur Zam-Zam
________
Footnotes
[1]. Hadits hasan. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, Syaikh al Albani, 2/18.
[2]. Lihat Nihayah, Ibnul Atsir, 5/605, 2/779; al Mutli`  'ala Abwabul-Fiqh, Abu Fath al Ba'li, halaman 200; kamus al Munawir, 583.
[3]. Lihat Ibnul Atsir, 2/779; al Mutli`  'ala Abwabul-Fiqh, Abu Fath al Ba'li, 1/200; Syarh Nawawi ala Muslim, 8/194.
[4]. Lihat al Mutli`  'ala Abwabul-Fiqh, Abu Fath al Ba'li, 1/200.
[5]. Lihat Fat-hul Bari, 6/402; Shahih Sirah Nabawiyah, al Albani, 40, Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Saudi Arabia, www.al-islam.com.
[6]. Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir, 2/244-245.
[7]. Hadits shahih. Lihat Irwa-ul Ghalil, al Albani, 1/218.
[8]. Lihat Hajjatun-Nabi, al Albani, 1/117.
[9]. Hadits hasan li ghairihi. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, 2/19.
[10]. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, 2/19
[11]. Hadits hasan. Lihat Mukhtasar Irwa-ul Ghalil, al Albani, 1/3.
[12]. Silsilah Shahihah, 4/232.
[13]. Hadits hasan. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, 2/18.
[14]. Lihat Shahih Muslim, 4/1919, Cetakan Dar Ihya Turats Arabi, Beirut. Lihat Shahih Sirah Nabawiyah, al Albani, 129.
[15]. Lihat Shahihul-Bukhari, 3/1190, Cetakan Dar Ibnu Katsir, al Yamamah, Beirut. Dalam riwayat yang sama terdapat dalam Musnad Ahmad. Shuaib al Arnauth mengatakan, bahwa sanadnya shahih sesuai dengan syarat shahihain. Lihat Musnad Ahmad, halaman 1/291, Cetakan Muassasah al Qurtubah, Mesir.
[16]. Hadist hasan, sebagaimana yang dikatakan oleh Tirmidzi, dan dishahihkan oleh al Albani. Lihat Sunan Tirmidzi, 3/295, Cetakan Dar Ihya` Turast al Arabi, Beirut.
[17]. Lihat Zaadul Ma'ad, 3/192, Cetakan al Misriyah.
[18]. Lihat Zaadul Ma'ad, 4/162, Cetakan Muassasah ar-Risalah, Beirut.

*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin