Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

01 Desember 2010

FILE 196 : Menjawab Syubhat Poligami

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Tulisan ini terinspirasi dari obrolan saya dengan teman di kantor. Sengaja saya susun dengan gaya bahasa obrolan – dan mungkin tidak ilmiah – supaya lebih enak diikuti. Tentunya nanti akan menimbulkan beragam tanggapan (pro dan kontra), oleh karena itu masukan dari siapa saja – yang bersifat membangun, tidak sekedar berbantah-bantahan belaka – sangat saya harapkan.

*******

Tanya : Mengapa Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam berpoligami ? Apakah beliau tidak merasa cukup dengan satu istri saja ? Apakah beliau tidak bisa menahan diri (dari syahwat) sehingga harus beristri banyak ?

Jawab : Secara umum, poligami dalam Islam itu diperbolehkan. Mengenai alasan berpoligami, secara umum sama dengan alasan menikah. Dan yang patut diingat, motivasi menikah tidak harus melulu karena masalah syahwat. Ada banyak motif-motif lain yang melatarbelakangi suatu pernikahan, seperti motif sosial.

Contoh motif-motif dalam pernikahan antara lain:

  • Menikah untuk menanggung dan melindungi janda (yang mungkin tidak lagi memiliki kerabat/orang yang menanggungnya), sebagaimana menikahnya Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam dengan Saudah binti Zam’ah dan Zainab binti Khuzaimah rodliyallohu ‘anhumaa
  • Menikah karena butuh orang yang dapat mengasuh orang-orang yang menjadi tanggungannya, sebagaimana shahabat Jabir bin ‘Abdillah rodliyallohu ‘anhu yang menikah untuk mendapatkan orang yang dapat mengurus adik-adik perempuannya.
  • Menikah untuk membantu merawat tanggungan orang yang akan dinikahi, sebagaimana Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam menikahi Ummu Salamah rodliyallohu ‘anhaa yang mempunyai banyak tanggungan anak dari Abu Salamah rodliyallohu ‘anhu (suaminya yang sudah meninggal)
  • Menikah untuk mempererat kekerabatan, sebagaimana menikahnya Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam dengan ‘Aisyah dan Hafshah rodliyallohu ‘anhumaa, menikahnya ‘Umar bin Khaththab rodliyallohu ‘anhu dengan Ummu Kultsum binti ‘Ali bin Abi Thalib, menikahnya ‘Utsman bin ‘Affan rodliyallohu ‘anhu dengan Ruqayyah dan Ummu Kultsum binti Muhammad rodliyallohu ‘anhumaa, menikahnya Ali bin Abi Thalib rodliyallohu ‘anhu dengan Fathimah binti Muhammad rodliyallohu ‘anhaa.
  • Menikah untuk menjalin kekerabatan dengan sekelompok kaum, sebagaimana menikahnya Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam dengan Juwairiyyah binti al-Harits rodliyallohu ‘anhaa
  • Menikah untuk melunakkan musuh, sebagaimana menikahnya Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam dengan Shafiyyah binti Huyay dan Ummu Habibah binti Abu Sufyan rodliyallohu ‘anhumaa.
  • Menikah untuk memberikan pelajaran dan menjalankan perintah dari Allah, sebagaimana menikahnya Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam dengan Zainab binti Jahsy rodliyallohu ‘anhaa (untuk mengajarkan bahwa istri yang telah dicerai oleh anak angkat boleh dinikahi)
  • Menikah untuk memiliki keturunan, karena mungkin istri pertama mandul
  • Dll.

Selain itu, bila kita bersikap obyektif, syahwat siapakah yang lebih besar, pemuda atau orang yang telah tua (berumur) ? Tentu kita semua sepakat bahwa pemuda mempunyai syahwat yang lebih besar daripada orang yang telah tua.

Apabila kita mencermati kehidupan Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam, bersama siapakah beliau menghabiskan masa mudanya ? Sejarah mencatat, selama hampir separuh umur beliau (dari usia 25 - ­+ 50 tahun [+ 25 tahun]) beliau habiskan bersama ummul mu’minin Khadijah binti Khuwailid rodliyallohu ‘anhaa, istri yang sangat beliau cintai dan senantiasa beliau kenang (yang bahkan menyebabkan ‘Aisyah merasa cemburu meskipun tidak pernah bertemu dengan Khadijah).

Dari ‘Aisyah rodliyallohu ‘anhaa, dia berkata,” Aku tidak pernah cemburu terhadap salah seorang istri-istri Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam seperti cemburuku terhadap Khadijah rodliyallohu ‘anhaa, padahal aku tidak pernah melihatnya sama sekali, akan tetapi Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam sering menyebut-nyebutnya. ...... Kadangkala saya katakan kepada beliau,’Sepertinya di dunia ini tidak ada lagi wanita selain Khadijah !’ Maka beliau berkata,’Sesungguhnya Khadijah itu begini dan begini (beliau memuji-muji Khadijah) dan aku memiliki keturunan juga darinya.’”. (HR. Bukhari-Muslim)

Pernah juga ‘Aisyah membanggakan dirinya dari Khadijah dengan berkata bahwa Khadijah itu adalah wanita yang sudah tua, janda, dan telah meninggal. Maka Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam marah dan menjawab kurang lebih seperti di atas. Padahal sebagaimana kita ketahui, bahwasanya ‘Aisyah memang masih muda, perawan (ketika dinikahi Nabi) dan masih hidup bersama Nabi ketika itu.

Selain itu, jika kita mau sedikit mencermati, ternyata semua wanita yang beliau nikahi (selain ‘Aisyah) adalah janda. Jika memang beliau menikah karena dorongan nafsu belaka, apa yang menghalangi beliau untuk menikahi wanita-wanita yang masih perawan dari para shahabiyah ? Terlebih lagi tiga di antaranya dinikahi oleh beliau dalam usia yang tidak bisa dikatakan muda dan menarik lagi (yaitu Saudah, Zainab binti Khuzaimah, dan Ummu Salamah rodliyallohu ‘anhunna).

Beginikah pribadi yang ‘katanya’ doyan wanita itu ?

Sementara ‘Aisyah rodliyallohu ‘anhaa sendiri juga pernah berkata,” Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam pernah mencium (istrinya) sewaktu berpuasa, dan pernah mencumbu (istrinya) sewaktu berpuasa, tetapi beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kalian (para shahabat dan tabi’in)”. (HR. Bukhari-Muslim)

Tanya : Kalau begitu, mengapa beliau tidak mencukupkan diri dengan menikahi empat orang saja, sebagaimana yang diperbolehkan dalam Al-Qur’an ?

Jawab : Perkara ini (menikahi wanita lebih dari empat) sebenarnya merupakan kekhususan Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam, yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya. Selain itu, perlu kita ketahui, bahwa pada mulanya beliau sendiri enggan dan merasa keberatan untuk menikahi lebih dari empat wanita.

Istri Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam yang kelima dinikahi oleh beliau (sementara keempat istri yang lain masih hidup) adalah Zainab binti Jahsyi rodliyallohu ‘anhaa, istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam ) yang telah ditalak oleh Zaid. Beliau pada mulanya merasa keberatan untuk menikahi Zainab karena beberapa alasan:

  • Zaid bin Haritsah rodliyallohu ‘anhu adalah anak angkat (adopsi) beliau, sementara dalam adat (budaya) bangsa Arab waktu itu, bekas istri anak angkat tidak boleh dinikahi. Padahal syari’at Islam sendiri tidak melarang hal tersebut
  • Istri beliau sudah ada empat (yakni Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, dan Ummu Salamah rodliyallohu ‘anhunna), sementara Al-Qur’an hanya membolehkan menikahi empat wanita, maka bagaimana mungkin beliau sendiri menikahi lebih dari empat wanita

Namun berbagai keberatan di atas dibantah oleh Pembuat Syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala) sendiri, yang justru memerintahkan beliau untuk menikahi lebih dari empat wanita untuk berbagai tujuan yang mulia sebagaimana disebutkan beberapa di antaranya di atas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذۡ تَقُولُ لِلَّذِىٓ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَأَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ أَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخۡفِى فِى نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَٮٰهُۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٌ۬ مِّنۡہَا وَطَرً۬ا زَوَّجۡنَـٰكَهَا لِكَىۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ حَرَجٌ۬ فِىٓ أَزۡوَٲجِ أَدۡعِيَآٮِٕهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡہُنَّ وَطَرً۬اۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولاً۬ . مَّا كَانَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ مِنۡ حَرَجٍ۬ فِيمَا فَرَضَ ٱللَّهُ لَهُۖ ۥ سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرً۬ا مَّقۡدُورًا . ٱلَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَـٰلَـٰتِ ٱللَّهِ وَيَخۡشَوۡنَهُ ۥ وَلَا يَخۡشَوۡنَ أَحَدًا إِلَّا ٱللَّهَۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبً۬ا

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut (khawatir) kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (Zainab binti Jahsy) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,

(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan”.(QS. Al-Ahzab [33]: 37 – 39)

Dan diriwayatkan pula dari ‘Aisyah dan ‘Utsman bin ‘Affan rodliyallohu ‘anhumaa, sehubungan dengan ayat

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ‌ۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُ ۥ‌ۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَـٰفِرِينَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Maaidah [5]: 67)

Bahwa seandainya ada ayat Al-Qur’an yang disembunyikan oleh Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam, niscaya beliau akan menyembunyikan (tidak menyebarkannya kepada manusia) ayat 37 dari surat Al-Ahzab di atas, karena beratnya perintah tersebut bagi beliau dalam rangka menghapus adat kaumnya di tengah-tengah umat yang baru mengenal Islam.

Jadi sebenarnya beristri lebih dari empat wanita adalah bukan dari keinginan/kehendak Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam sendiri. Bahkan pada awalnya beliau agak keberatan untuk melaksanakan perintah Allah (beristri lebih dari empat wanita) tersebut. Tetapi setelah Allah sendiri menegaskan secara langsung bahwa itu adalah perintah-Nya, maka tidak patut lagi bagi beliau (selaku utusan Allah) untuk merasa keberatan/enggan terhadap perintah tersebut. Sebagaimana keberatan-keberatan serupa pernah dirasakan oleh nabi-nabi yang terdahulu, namun mereka tetap menjalankan perintah Allah yang dibebankan kepada mereka.

Dengan demikian, kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya pernikahan beliau (sehingga lebih dari empat wanita) adalah atas perintah dari Allah, untuk berbagai tujuan-tujuan mulia yang dapat menyokong da’wah Islam pada awal-awal kemunculannya. Bukan untuk memenuhi dorongan syahwat beliau.

Tanya : Bukankah Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam sendiri pernah berkata, bahwasanya dijadikan indah bagiku perkara dunia kalian yaitu wanita dan minyak wangi ... ? Bukankah ini menunjukkan bahwa beliau pun memiliki syahwat terhadap wanita ?

Jawab : Selain sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam juga manusia biasa. Beliau makan, minum, tidur, buang air, lupa, dan mempunyai nafsu syahwat kepada lawan jenis, sebagaimana kita.

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ مِنَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ إِلَّآ إِنَّهُمۡ لَيَأۡكُلُونَ ٱلطَّعَامَ وَيَمۡشُونَ فِى ٱلۡأَسۡوَاقِ‌ۗ وَجَعَلۡنَا بَعۡضَڪُمۡ لِبَعۡضٍ۬ فِتۡنَةً أَتَصۡبِرُونَ‌ۗ وَڪَانَ رَبُّكَ بَصِيرً۬ا

Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar ? dan adalah Tuhanmu Maha Melihat”. (QS. Al-Furqaan [25]: 20)

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۟ بَشَرٌ۬ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهٌ۬ وَٲحِدٌ۬‌ۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلاً۬ صَـٰلِحً۬ا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Tanya : Kalau begitu, mengapa beliau menikahi ‘Aisyah (yang notebene masih di bawah umur), sementara banyak wanita muslim dewasa lain yang masih perawan ? Perlu diketahui, kalau itu diterapkan di zaman sekarang maka pelakunya akan disebut pedofil ..

Jawab : Pertama sekali perlu kita ketahui bahwa istilah-istilah yang menyudutkan seperti ini tidaklah keluar kecuali dari kalangan orang-orang kafir yang memusuhi Islam. Sebagaimana istilah teroris pernah mereka keluarkan untuk menyudutkan orang-orang Islam yang iltizam dan berkomitmen kuat kepada agamanya (meskipun akhirnya cakupan istilah ini mulai menyempit kepada orang-orang Islam yang melakukan pengeboman, dan tidak seluas pada awal-awal kemunculannya). Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita sebagai kaum muslim menggunakan istilah-istilah tersebut untuk mendiskreditkan Islam, apalagi terhadap Nabinya.

Selanjutnya perlu kita ketahui pula, bahwasanya bangsa Arab sangat memuliakan ikatan pernikahan. Ikatan pernikahan (perbesanan) menurut mereka merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk mengakrabkan antara kabilah-kabilah (suku-suku) yang berbeda.

Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa sikap Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam yang menikahi ‘Aisyah (putri Abu Bakr ash-Shiddiq) dan Hafshah (putri ‘Umar bin Khaththab), juga menikahkan Ruqayyah serta Ummu Kultsum (dengan ‘Utsman bin Affan) dan Fathimah (dengan Ali bin Abi Thalib); menunjukkan bahwa di balik itu semua Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam ingin memperkuat hubungan beliau dengan keempat orang tersebut, yang terkenal akan perjuangan dan pengorbanan mereka untuk Islam pada masa-masa krisis yang melanda da’wah Islam sejak permulaan kemunculannya. Keempat shahabat (yang dikenal sebagai Khalifah Rasyidah) itulah yang kelak berhasil menegakkan dan meninggikan Islam sepeninggal Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam.

Mengapa dari ‘Umar bin Khaththab beliau menikahi Hafshah ? Karena ialah satu-satunya putri ‘Umar bin Khaththab rodliyallohu ‘anhu.

Bagaimana dengan Abu Bakr ash-Shiddiq, yang beliau berkata tentangnya lima hari sebelum wafatnya beliau,

Sesungguhnya aku menyatakan berlepas diri kepada Allah dari menjadikan seseorang di antara kalian (para shahabat) sebagai kholil (kekasih mulia), karena sesungguhnya Allah telah mengambilku sebagai kholil sebagaimana Dia telah mengambil Ibrahim sebagai kholil. Seandainya aku boleh mengambil kholil, pastilah aku mengambil Abu Bakr sebagai kholil”. (HR. Muslim)

Sejarah mencatat bahwa putri Abu Bakr ash-Shiddiq hanya dua orang, yaitu Asma’ dan ‘Aisyah rodliyallohu ‘anhumaa. Ketika itu Asma’ binti Abu Bakr telah dinikahi oleh Zubair bin Al-‘Awwam rodliyallohu ‘anhu. Maka tinggallah ‘Aisyah binti Abu Bakr yang masih kecil (sekitar 6 tahun).

Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, jika beliau ingin mempererat hubungan dengan Abu Bakr ash-Shiddiq, selain menikahi ‘Aisyah dengan segera. Karena sangat mungkin nantinya beliau akan kedahuluan salah satu dari dua hal - sehingga keinginan beliau untuk mempererat hubungan dengan Abu Bakr ash-Shiddiq tidak terlaksana -, yaitu ‘Aisyah dinikahi oleh orang lain atau ‘Aisyah keburu meninggal dunia.

Dan sekali lagi, pernikahan ini pun terjadi atas wahyu dari Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan mimpi beliau kepada ‘Aisyah:

Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu malaikat yang berkata: ‘ini adalah istrimu’. Lalu aku singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu, kemudian aku berkata ‘sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah.” (HR. Bukhari-Muslim, dari ‘Aisyah rodliyallohu ‘anhaa)

Dan salah satu kekhususan para nabi dan rasul, bahwasanya mimpi mereka adalah wahyu dari Allah, sebagaimana mimpi Nabi Ibrahim dan Nabi Yusuf ‘alahimash sholaatu was salaam.

Kemudian bila kita cermati, ternyata beliau tidak langsung menggauli ‘Aisyah begitu menikahinya. Namun, beliau baru hidup serumah dan menggauli ‘Aisyah di Madinah, sewaktu ‘Aisyah mencapai akil baligh (mulai haidl). Seandainya apa yang dituduhkan bahwa Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam itu pedofil adalah benar, mengapa beliau tidak langsung saja menggauli ‘Aisyah sesudah menikahinya ?

Kita maklumi bersama, bahwa hidup berumah tangga dan berhubungan suami istri dengan wanita yang telah akil baligh secara umum bukanlah suatu hal yang tercela. Hanya mungkin bila usia wanitanya masih amat muda, di zaman sekarang termasuk hal yang kurang biasa terjadi. Namun bukan berarti di daerah/tempat dengan budaya yang berbeda hal tersebut juga merupakan suatu hal yang aneh. Sehingga permasalahan seperti ini sebenarnya kembali kepada adat/kebiasaan yang berlaku di suatu negeri.

Dengan demikian, janganlah kita tertipu dengan standard usia-usia menikah yang (katanya) ‘pantas’ bagi seorang wanita, terlebih lagi standard tersebut keluar dari orang kafir yang biasa menunda-nunda pernikahannya hingga menjelang tua. Betapa banyak kita dapati di zaman kita sekarang (yang notabene kerusakan moral sudah merata) berbagai kasus perzinaan dengan anak wanita (yang katanya) di bawah umur, yang berujung pada kehamilan anak wanita tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara biologis, mereka (anak wanita tersebut) telah siap untuk menikah dan memiliki keturunan.

Kemudian terdapat hikmah yang hanya bisa dicerna oleh orang yang berpikiran jernih dan jauh dari prasangka. Kehidupan dan akhlak seseorang itu dapat diketahui dengan lebih jelas (jauh dari berpura-pura) melalui muamalahnya dengan keluarganya. Bisa saja akhlak seseorang ketika bergaul dengan orang lain sangat baik. Namun sikap itu bisa berbalik 180% bila dia bergaul dengan keluarganya. Sikapnya dalam rumah tangganya lah yang menunjukkan kualitas akhlaknya yang sebenarnya. Begitu pula dengan Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam. Kehidupan dan akhlak beliau yang mulia dapat dibuktikan langsung dari penuturan istri-istri beliau.

Di samping itu, banyak masalah-masalah agama yang tidak dapat diketahui di luar rumah dan hanya mungkin terjadi di dalam rumah; misalnya tuntunan sebelum tidur, adab masuk dan keluar rumah, bergaul dengan istri, sifat sholat malam (tahajud), dll. Masalah-masalah seperti itu tidaklah dapat diketahui umum kecuali oleh keluarga (d.h.i. istri Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam) yang bersangkutan. Dan sudah umum diketahui bahwasanya orang yang masih muda itu lebih kuat dalam menghafal daripada orang yang sudah tua. Itulah kelebihan 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa dibandingkan istri-istri Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam yang lain. Dan kiranya hal ini tidaklah berlebihan, karena shahabat dari kalangan wanita yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam adalah 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa. Bahkan sering 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa mengoreksi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat senior yang lain.

Contohnya adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu. Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhl ibnu Abbas radliyallaahu 'anhumaa bahwasanya barang siapa yang masih dalam keadaan junub ketika terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika itu Abu Hurairah bertanya kepada 'Aisyah, maka 'Aisyah menjawab, "Rasulullah pernah junub (pada waktu masuk fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya." Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, Dia lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.”

Usia 'Aisyah radliyalaahu 'anhaa yang sangat muda ketika menikah dengan Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam juga membawa berkah yang lain. 'Aisyah termasuk istri Rasulullah yang terakhir meninggal (57 H), hampir berbarengan dengan Ummu Salamah -istri Rasulullah yang lain-. Usia yang panjang tersebut menjadikan 'Aisyah mampu mengajarkan dan menyebarluaskan hadits-hadits dari Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam lebih lama serta lebih banyak dari istri-istri Rasulullah yang lain. Sehingga kehidupan pribadi sehari-hari Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam dapat kita ketahui untuk selanjutnya kita jadikan suri tauladan. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna ...

Untuk lebih mengetahui kredibilitas Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam lebih jauh, silahkan lihat di artikel ini.

Tanya : Meskipun begitu, tetap saja poligami itu budaya orang Arab (atau hanya ada dalam agama Islam)

Jawab : Kebiasaan beristri banyak (poligami) sudah ada sejak zaman dulu. Kita bisa mengetahui bahwasanya para Nabi sebelum Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam pun telah berpoligami. Ambillah contoh Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub (Israa-il), Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman ‘alayhimush sholaatu was salaam. Bahkan dalam hadits riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah rodliyallohu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam pernah menceritakan tentang Nabi Sulaiman ‘alayhish sholaatu was salaam yang menggauli sembilan puluh istrinya dalam satu malam.

Adakah mereka itu orang Arab ? Tidak, bahkan mereka adalah leluhur bangsa Arab dan saudara-saudara mereka dari kalangan Bani Israa-il. Dan secara tidak langsung hal ini juga menunjukkan bahwa poligami itu diperbolehkan dalam syari’at Musa ‘alayhish sholaatu was salaam (agama Yahudi).

Bahkan kalau kita mau mencermati, di Amerika Serikat pun ternyata ada beberapa sekte (aliran) Kristen yang menganut paham poligami (bahkan tidak terbatas pada empat wanita saja). Meskipun sekte ini kemudian mendapat pencekalan – dan mungkin tidak diakui oleh sekte Kristen mayoritas -, minimal fakta ini menunjukkan bahwa poligami itu dikenal pula dalam agama Kristen.

Begitu pula, kalau kita mau sedikit meneliti, ternyata kebiasaan poligami tidak hanya ada di kalangan bangsa Arab saja. Poligami juga biasa dilakukan oleh kalangan penduduk Afrika, India, dan Cina zaman dahulu. Silahkan mencari melalui search engine pilihan anda.

Tanya : Poligami itu hanya menyenangkan bagi pria. Bagaimana dengan perasaan istrinya ? Mengapa wanita tidak boleh poliandri (bersuami banyak) ?

Jawab : Perlu kita pahami, bahwasanya poligami itu hanyalah suatu kebolehan (mubah). Poligami hanya dianjurkan bagi orang-orang yang benar-benar mampu dan membutuhkan poligami tersebut.

Islam adalah agama yang universal dan paling sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Sesungguhnya Allah telah menciptakan pria dan wanita dengan memiliki perbedaan dalam segi biologis/seksualitas. Pria memiliki kemampuan biologis untuk berhubungan suami istri sepanjang waktu semenjak dia mencapai akil baligh, sementara wanita dibatasi oleh siklus datang bulan (haidl). Pria bisa melakukan hubungan badan berkali – kali dalam semalam (sebagaimana Nabi Sulaiman dalam riwayat di atas), sementara wanita –umumnya sudah cukup puas dengan berhubungan badan sekali atau dua kali. Oleh karena itu, –secara adat– pria bisa memuaskan syahwat banyak wanita; sebaliknya coba bayangkan adakah wanita yang masih normal yang bisa memuaskan banyak suami dalam satu malam ??

Sekarang ketika wanita/istri sedang datang bulan, sementara suami sedang ingin menyalurkan hasrat biologisnya, ke mana suami harus menyalurkannya ?

Perlu kita ketahui, kondisi biologis di antara pria sendiri tidak sama. Ada pria yang memiliki syahwat kecil, ada yang sedang, dan ada pula yang besar. Bagi pria yang syahwatnya kecil atau sedang, ketika mengalami kejadian di atas (istri berhalangan, sementara suami ingin menyalurkan hasratnya) tentu tidak masalah baginya untuk menahan diri. Dalam hal ini, poligami –bisa dikatakan– tidak dianjurkan kepadanya, walau masih dibolehkan.

Adapun bagi pria yang memiliki syahwat besar, tentu sangat menyulitkan bagi dirinya untuk menahan diri ketika istrinya berhalangan dan dia sedang ingin menyalurkan hasrat biologisnya. Di sini ada dua jenis solusi bagi dirinya; yang satu dibolehkan agama, sedangkan sisanya dilarang. Solusi yang dihalalkan syari’at Islam adalah tetap bersabar, mencumbui istri selain di kemaluan atau berpoligami. Solusi yang diharamkan antara lain berzina (baik dengan PSK, berselingkuh, atau sejenisnya) atau onani.

Seandainya suami berusaha menahan dirinya dan bersabar untuk tidak berhubungan badan, tentu itu sangat baik. Kalau suami mencumbui istrinya selain di kemaluan dan syahwatnya terpenuhi dengan itu, tentu tidak masalah. Namun jika ternyata kedua hal itu tidak bisa memuaskan syahwatnya, solusi mana lagi yang akan diambil ?

Coba kita pikirkan, seandainya berzina (selingkuh, dan sejenisnya) adalah solusi yang dipilih. Berzina adalah termasuk dosa besar, sebagaimana syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Di sisi lain, melakukan onani (apalagi dalam kondisi kita sudah mempunyai istri) tentu tidak pantas dilakukan. Sementara poligami adalah perkara yang diizinkan oleh Allah, meskipun –mungkin– menyakiti perasaan istri. Sebagai suami/istri yang mendambakan keridlaan Allah, tentunya dapat menimbang kedua jenis pilihan ini dengan bijak.

Mengenai perasaan istri pertama, kita tidak akan pernah memungkiri bahwa wanita memang diberikan oleh Allah kelebihan dari sisi perasaan. Perasaan ini jangan sampai dimatikan, namun perlu dibimbing dan dibina agar tidak sampai menjerumuskan dirinya atau orang lain ke dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah. Oleh karena itu, menjadi kewajiban suami atau orang terdekatnya-lah untuk menjaga perasaan istri ketika si suami bermaksud untuk melakukan poligami.

Memang dalam syari’at, keridlaan istri pertama bukanlah kewajiban/syarat sahnya sebuah pernikahan poligami. Sebagaimana orang tua pihak pria tidaklah diperlukan persetujuannya ketika pria tersebut ingin menikah. Namun alangkah baiknya, sebagai salah satu wujud tata krama, kita berusaha semaksimal mungkin untuk menjadikan istri ridla –atau minimal mengetahui– dengan pernikahan poligami yang akan kita lakukan.

Sekarang masalahnya, bagaimana bila istri yang memiliki syahwat besar ? Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, pria yang normal umumnya bisa melampiaskan nafsu syahwatnya berkali-kali. Oleh karena itu, sebenarnya dalam hal ini tidak ada masalah karena pria hampir tidak mempunyai halangan untuk melakukan hubungan badan sepanjang waktu. Bila dalam kondisi tertentu, dimana si suami tidak bisa memenuhi syahwat istrinya yang besar (misalnya karena impoten atau yang lainnya), istri diperbolehkan untuk mengajukan cerai (khulu’). Meskipun bersabar dengan hal itu –selama suami masih bisa berhubungan badan– adalah lebih baik.

ٱلطَّلَـٰقُ مَرَّتَانِ‌ۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَـٰنٍ۬‌ۗ وَلَا يَحِلُّ لَڪُمۡ أَن تَأۡخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ شَيۡـًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ‌ۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡہِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦ‌ۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعۡتَدُوهَا‌ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah [2] : 229)

‘Aisyah rodliyallohu ‘anhaa menceritakan bahwa setelah Rifa’ah rodliyallohu ‘anhu mentalak istrinya dengan talak ba’in, mantan istrinya itu menikah dengan Abdurrahman bin Zubair rodliyallohu ‘anhumaa.

(Suatu hari) wanita itu mendatangi Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam dan bertanya: “Wahai Rasulullah! Aku adalah mantan istrinya Rifa’ah. Setelah ia menjatuhkan talak terakhirnya (yakni talak ba’in) kepadaku, akupun menikah dengan Abdurrahman bin Zubair. Sungguh demi Alloh, apa yang dimilikinya hanyalah seperti ujung kain ini !”, sambil ia memegangi ujung jilbabnya (maksudnya impoten).

Maka Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam pun tersenyum, dan menanyakan: “Sepertinya kamu ingin kembali lagi bersama Rifa’ah? Itu tidak boleh, kecuali setelah ia (Abdurrahman) mencicipi kenikmatan darimu dan kamu juga mencicipi kenikmatan darinya!” (HR. Muslim)

Potongan hadits di atas dapat dijadikan dalil bahwa istri boleh mengajukan gugatan cerai bila diketahui suami tidak bisa menjalankan kewajiban biologisnya. Hanya saja, dalam kasus di atas memang ada persyaratan dalam Al-Qur’an bahwa istri yang ditalak ba’in (talak tiga) boleh nikah kembali dengan mantan suaminya jika sang istri telah menikah dan ditalak oleh suaminya yang baru. Wujud pernikahan di sini tidak boleh hanya sekedar akad (karena hal itu disebut nikah muhallil dan dilarang dalam Islam), namun suami barunya juga harus berhubungan dengan sang istri tersebut.

Perkara yang kita bicarakan ini memang lebih cenderung ke arah seks. Tetapi yang perlu diingat, alasan seks ini bukanlah satu-satunya alasan seorang pria melakukan poligami. Masih ada alasan sosial atau kemanusiaan sebagaimana telah dijelaskan. Dan sebagai seorang muslim/muslimah, kenapa kita tidak mau saling tolong menolong dalam kebaikan ?

Apakah kita akan terus menerus mengekor kaum kafir yang berpandangan “tidak mengapa berzina (asal gak ketahuan); tapi kalo mau nikah lagi, ceraikan istri pertama ..” ??

Inilah hasil perang pemikiran antara muslim dengan kaum kafir. Kita dikondisikan untuk ‘memaklumi’ perbuatan zina, namun berpandangan sinis terhadap poligami. Kita lebih memaklumi bila ada pasangan pria-wanita yang berzina (ambil contoh pasangan artis yang baru-baru ini menghebohkan karena video mesumnya tersebar, dan artis yang hamil karena zina dalam tahanan), namun giliran ada da’i terkenal yang memilih poligami daripada harus berzina (baca: berselingkuh) langsung kita menghakimi bahwa si da’i tersebut bernafsu besar dan tidak tahu malu.

Memang cukup banyak bukti bahwa poligami ternyata menimbulkan keretakan dalam rumah tangga, namun tidak sedikit fakta yang menunjukkan bahwa poligami tetap menjadikan rumah tangga harmonis. Begitu pula dengan pernikahan secara umum. Banyak pernikahan yang membawa bencana bagi pria atau wanita, namun tidak sedikit pernikahan yang ternyata berjalan harmonis. Semuanya kembali kepada individu yang menjalankan pernikahan atau poligami tersebut.

Anda boleh-boleh saja memiliki idealisme bahwa anda tidak akan berpoligami atau dipoligami. Namun prinsip poligami dalam Islam itu adalah haq (benar) dan memiliki landasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian, tidak selayaknya kita sebagai umat Islam menghina dan melecehkan syari’at poligami tersebut.

Anda tidak setuju dan tidak bersedia berpoligami atau dipoligami, itu hak anda. Namun mengetahui dan menerima bahwa poligami itu disyari’atkan dan diperbolehkan dalam Islam adalah kewajiban anda. Dan sikap seorang mu’min yang betul-betul beriman kepada Allah dan hari akhir terhadap syari’at Islam adalah

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujuraat [49] : 1)

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ‌ۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ‌ۚ ذَٲلِكَ خَيۡرٌ۬ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisaa’ [4] : 59)

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ ۥۤ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاً۬ مُّبِينً۬ا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzaab [33] : 36)

وَإِذَا رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعۡرِضۡ عَنۡہُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِى حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦ‌ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيۡطَـٰنُ فَلَا تَقۡعُدۡ بَعۡدَ ٱلذِّڪۡرَىٰ مَعَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)”. (QS. Al-An’aam [6] : 68)

وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡڪُمۡ فِى ٱلۡكِتَـٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَـٰتِ ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِہَا وَيُسۡتَہۡزَأُ بِہَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِى حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦۤ‌ۚ إِنَّكُمۡ إِذً۬ا مِّثۡلُهُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ وَٱلۡكَـٰفِرِينَ فِى جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”. (QS. An-Nisaa’ [4] : 140)

Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat.

{Penyusunan tulisan ini banyak mengambil faidah dari Kitab Ar-Rahiiqul Maktum (Edisi Terjemah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam, penerbit Darul Haq – Jakarta), karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri –semoga Allah merahmati beliau-}

.

Artikel Terkait:

.

Dengarkan Juga:

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

2 komentar:

  1. Sebuah analogi yang bagus, mengenai masalah: Mengapa poligami itu hanya bagi pria dan tidak boleh [dianjurkan] bagi wanita.

    Sebuah botol yang berisi suatu cairan, apabila dituangkan ke dalam beberapa gelas yang bentuknya berbeda-beda pada satu waktu secara bersamaan, maka semua gelas tersebut akan terisi dengan cairan yang sama.

    Sebaliknya, coba bayangkan apabila beberapa botol yang masing-masing berisi cairan yang berbeda dituangkan ke dalam sebuah gelas pada satu waktu secara bersamaan, cairan apakah yang terbentuk ??

    BalasHapus

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !