Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
Kedudukan Niat dalam Amal
Oleh :
Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسْولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهٍجُرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
.
“Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907).
Kedudukan Hadits
Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Oleh karena itu Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar
إنما الأعمال بالنيات,
hadits ‘Aisyah
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد,
dan hadits An Nu’man bin Basyir
الحلال بين والحرام بين.”
Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu’man bin Basyir.
Dan telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah termasuk amalan shalih dan diterima.
Kemudian segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah ‘azza wa jalla, secara lahiriah harus diukur dengan timbangan (standar) sehingga amalan itu sah dan yang menjadi standar dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah (1).
Oleh karena itu, hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah jalla wa ‘alaa.
Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya”
Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau
إنما الأعمال بالنيات
terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.
Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat,
Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات.
Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما نوى maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut.
Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut.
Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى memiliki kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] merupakan penjelas terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara yang terjadi.
Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.
Definisi Amal
الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz الأعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.
Namun keumuman lafadz الأعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat dalam pelaksanaannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau إنما الأعمال بالنيات contohnya seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.
Permasalahan Niat
Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati (2); karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.
Seperti firman Allah,
لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang (berniat) mencari wajah Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)
وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al An’am: 52)
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al Kahfi: 28)
Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya.” (QS. Asy Syuura: 20)
Atau dengan lafadz الابتغاء seperti firman Allah,
إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى
“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)
Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة, lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.
Makna Niat
Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna.
Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:
Jenis Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga mampu dibedakan dengan ibadah yang lain.
Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan الإخلاص yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.
Jadi kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Sehingga makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((وإنما لكل امرئ ما نوى))
Di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى [setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya.
Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang shalih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan adalah amalan yang jelek lagi rusak. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-Nya,
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az Zumar: 3)
Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,
أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملًا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim nomor 5300).
Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya batal dan rusak.
Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terjadi di suatu rukun namun tidak terjadi di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’.
Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya’ atau sum’ah kepada makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
من صلى يرائي فقد أشرك، ومن صام يرائي فقد أشرك، ومن تصدق يرائي فقد أشرك
“Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya’ maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad nomor 16517)
Yang patut diperhatikan adalah riya’ dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya’ hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya’ model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,
يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا
“Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An NIsaa’: 142)
Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah: 264)
Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya’ atau sum’ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan batal.
Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:
Kondisi pertama, orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian memperuntukkan ibadah tersebut kepada makhluk selain Allah.
Kondisi kedua, seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian memperindah ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya’ dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan syirik ashghar (syirik kecil)-wal ‘iyadzu billah.
Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah ta’ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,
تلك عاجل بشرى المؤمن
“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak menginginkannya.” (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)
Pembagian Amal
Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.
Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung kekerabatan.” (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)
Atau seperti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من قتل قتيلا فله سلبه
“Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199)
Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena tidak mungkin hal tersebut disebutkan kecuali Dia mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah, namun di samping itu dirinya berharap mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang) dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.
Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah ‘azza wa jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah ‘azza wa jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Huud: 15)
Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karena itu, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, “Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya.”
Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.
Sekelumit Tentang Hijrah
Huruf fa’ (الفاء) dalam sabda beliau فمن كانت هجرته berfungsi untuk merinci jenis amalan yang terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.
Hijrah (الهجرة) bermakna (الترك) meninggalkan. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.
Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrah yang dilakukakannya. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri Islam atau seseorang yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid’ahan dan kemungkaran menuju daerah yang menegakkan sunnah dan minim kemungkaran. Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.
Kedua, golongan yang berhijrah dikarenakan motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Golongan ini seperti seorang pedagang yang berhijrah untuk mendapatkan harta atau seorang yang berhijrah untuk menikahi wanita yang dipujanya, maka hijrah yang dilakukannya tidaklah mendatangkan pahala dan terkadang dirinya memperoleh dosa.
و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين
Selesai diterjemahkan oleh Muh Nur Ikhwan Muslim di Pogung Baru, 8 Shafar 1428 H
Sumber: wahonot.wordpress.com
.
FOOTNOTE [Tambahan Sa’ad]:
(1) Perhatian: tidak semua amalan ibadah yang didasari niat baik diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Berikut ini beberapa contoh amalan ibadah yang ikhlas dalam niatnya dan bertujuan baik, akan tetapi diingkari oleh para ‘ulama’ salaf karena tidak sesuai dengan sunnah/tuntunan Nabi Muhammad Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam:
a. 'Abdullah bin Mas’ud Rodliyallohu ‘anhu [Shahabat Nabi Muhammad Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam, wafat tahun 32 H]
Dari Amru bin Salamah, beliau berkata : Kami duduk-duduk di depan rumah 'Abdullah bin Mas'ud sebelum Shubuh lalu jika beliau keluar kami akan berjalan bersamanya ke masjid, lalu datanglah Abu Musa Al-Asy’ari dan berkata : "Apakah Abu 'Abdurrahman (kunyah 'Abdullah bin Mas'ud) telah menemui kalian ?" Kami jawab : “Belum.”
Lalu beliau duduk bersama kami sampai 'Abdullah bin Mas'ud keluar. Ketika beliau keluar kami semua menemuinya. Kemudian berkata Abu Musa kepadanya : "Wahai Abu 'Abdurrahman saya telah melihat di masjid tadi satu hal yang saya anggap mungkar dan saya tidak memandangnya -Alhamdulillah-kecuali kebaikan.
Beliau bertanya : "Apa itu ?"
Dijawab : "Jika engkau hidup niscaya akan melihatnya, aku telah melihat di masjid suatu kaum berhalaqah, duduk-duduk menanti shalat pada setiap halaqah ada seorang yang memimpin dan ditangan-tangan mereka ada batu kerikil, lalu berkata (yang memimpin) : ‘Bertakbirlah seratus kali’ dan mereka bertakbir seratus kali dan berkata ‘Bertasbihlah seratus kali’ dan mereka bertasbih seratus kali."
Berkata 'Abdullah bin Mas'ud : "Apa yang engkau katakan kepada mereka ?"
Abu Musa menjawab : "Saya tidak mengatakan sesuatupun pada mereka menunggu perintahmu."
Berkata 'Abdullah bin Mas'ud : "Mengapa tidak kamu perintahkan mereka untuk menghitung kejelekan mereka dan aku menjamin mereka tidak ada kebaikan mereka yang disia-siakan".
Kemudian beliau berjalan dan kami berjalan bersamanya sampai beliau mendatangi satu halaqah dari pada halaqah-halaqah tersebut dan menghadap mereka lalu berkata : "Apa ini yang kalian lakukan ?!"
Mereka menjawab : "Wahai Abu 'Abdirrahman, batu kerikil yang kami pakai untuk menghitung tahlil dan tasbih".
Berkata Ibnu Mas'ud : "Aku menjamin tidak akan ada satupun kebaikan kalian yang tersia-siakan. Celakalah kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Mereka sahabat-sahabat nabi masih banyak hidup dan ini pakaiannya belum rusak dan bejananya belum hancur. Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan".
Mereka berkata : "Demi Allah wahai Abu 'Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.”
Lalu beliau berkata : "Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya ada kaum yang membaca Al-Qur'an tidak melebihi tenggorokannya.’ dan demi Allah saya rasa tampaknya kebanyakan mereka adalah dari kalian.”
Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amru bin Salamah berkata : "Aku telah melihat mayoritas halaqah-halaqah tersebut memerangi kami pada perang Nahrawan bersama Khawarij"
[HR. ad-Darimi dalam Sunannya Juz 1 hal. 68 – 69 No. 206, Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal. 198 – 199, Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shohiihah oleh Syaikh Al-Albani no. hadits 2005, juga Ilmu Ushul al- Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi hal. 92. Lihat juga pembahasan ilmiah beserta takhrij hadits di atas secara lebih lengkap di Majalah Al-Furqon edisi I Tahun IV rubrik Hadits "Gema Dzikir Bersama" oleh Ust. Abu Ubaidah hafidhahulloh. Bisa juga dilihat pada blog Abul Jauzaa' di sini]
b. Sa’id bin al-Musayyib Rohimahulloh [Tabi’in, wafat tahun 94 H]
Dari Sa’id bin al-Musayyib rohimahulloh, bahwasanya beliau pernah melihat seseorang yang shalat sunnah fajar lebih dari dua rakaat dan memperbanyak ruku’ dan sujudnya. Maka beliau kemudian melarangnya.
Akan tetapi orang tersebut tidak terima dan berkata,”Wahai Abu Muhammad (kun-yah Sa’id bin al-Musayyib –Sa’ad), apakah Allah akan mengadzabku karena sholat ?”
Sa’id bin al-Musayyib menjawab,”Tidak, tetapi Allah akan mengadzabmu dengan sebab menyelisihi Sunnah (dalam sholat sunnah fajar –Sa’ad).”
[Riwayat al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, ad-Darimi, dll. Dengan sanad yang shohih; sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi dalam kitab Ilmu Ushul al-Bida’ hal. 71]
(2) Imam Syafi’i rohimahulloh sendiri pernah berkata: Berbisik – bisik dalam niat sholat dan thoharoh (bersuci –Sa’ad) sebabnya adalah kebodohan terhadap syariat, atau adanya kerusakan pada akal.
Catatan Penting
Telah tersebar luas di tengah kaum muslimin, bahwa pendapat yang menyatakan wajibnya melafazhkan niat adalah pendapat Imam Syafi’i rohimahulloh. Kabar ini menyelisihi ucapan Imam Syafi’i rohimahulloh di atas. Dan semua itu disebabkan oleh kesalahpahaman seorang dari ulama yang bermadzhab Syafi’i yang bernama az-Zubairi –kemudian diikuti orang – orang belakangan- terhadap ungkapan Imam Syafi’i rohimahulloh ketika beliau mengatakan:
“Apabila seorang niat haji atau umroh maka telah dianggap cukup walaupun tidak melafazhkannya, berbeda halnya dengan sholat yang tidak sah kecuali dengan ucapan.”
Ucapan Imam Syafi’i rohimahulloh ini sama sekali tidak menunjukkan disyariatkannya melafazhkan niat, dan hal ini telah dijelaskan sendiri oleh pembesar ulama madzhab Syafi’i , yaitu Imam an-Nawawi rohimahulloh. Beliau berkata –sebagaimana dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab- :
“Orang yang mengucapkan ini (az-Zubairi –pen) telah berbuat fatal, karena yang dimaksud Imam Syafi’i rohimahulloh dengan ‘UCAPAN DALAM SHALAT’ bukan ini (niat –pen), akan tetapi yang dimaksudkan adalah takbir (takbiratul ihram).”
Dan Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rohimahulloh berkata: ”Tidak ada seorang pun dari Imam Empat, tidak Syafi’i dan tidak pula yang lainnya, yang mengatakan akan syarat melafazhkan, karena niat tempatnya adalah di hati menurut kesepakatan mereka, kecuali hanya ada sebagian ulama belakangan yang mewajibkan untuk melafazhkannya dan mengeluarkan satu bentuk pendapat dalam madzhab Syafi’i. Akan tetapi telah ditegaskan oleh an-Nawawi bahwa hal tersebut adalah kesalahan. Dan ini telah didahului oleh ijma’/kesepakatan.
[Footnote (1)b dan (2) diambil dari Majalah Adz-Dzakiirah, Vol. 6 No. 9 Edisi 41 – 1429 H, hal. 14, 17 - 18. Mengenai Catatan Penting, dapat dilihat file berikut di blog Abul Jauzaa' pada footnote nomor 5 ].
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !