Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

05 Agustus 2009

FILE 124 : Polemik Jual Beli Kredit

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

…… .

Jual Beli dengan Cara Kredit

Oleh:

Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

.

Kredit dalam pengertian bahasa Indonesia adalah cara penjualan barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).

Pengertian ini mempunyai cakupan yang luas dalam fiqh Mu’amalat sebab ada beberapa masalah dalam fiqh Mu’amalat bentuknya bisa dikatagorikan dalam pengertian kredit menurut bahasa Indonesia.

Masalah-masalah itu adalah :

  1. Jual beli secara taqsith.
  2. Jual beli dengan cara Al-‘Inah.
  3. Masalah At-Tawarruq.
  4. Bai’ul Murabah lil Amiri bisy Syira` (Jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian).
  5. Al-Ijar Al-Muntahi bit tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan).

Karena pentingnya masalah jual beli dengan cara kredit, dan karena telah mewarnai banyak aspek mu’amalat serta kaburnya masalah ini bagi kalangan kaum muslimin, maka kami akan mencoba mengetengahkan kepada para pembaca pembahasan ini dengan harapan dapat menguak banyak tirai dan menperjelas seluruh sisi masalah ini. Wallahul Musta’an Wa ‘Alaihit Tuklan.

.

Jual beli secara Taqsith

Taqsith secara bahasa adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah.

Adapun secara istilah, ada beberapa definisi dikalangan para penulis masalah ini yang mungkin bisa didekatkan pengertiannya dalam definisi berikut ini :

Jual beli secara taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah keseluruhannya yang lebih banyak dari harga kontan.

Contoh : Seseorang membeli mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan membayar pada setiap bulannya sebanyak Rp. 10.000.000,- selama sepuluh bulan. Dimana harga mobil ini secara kontan hanya Rp. 90.000.000,-.

Hukum jual beli secara Taqsith

Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum jual beli secara taqsith ini dan uraiannya sebagai berikut :

Pendapat Pertama : Bolehnya jual beli secara taqsith. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama (kebanyakan ulama) dari kalangan shohabat, tabi’in dan para Imam Ahli Ijtihad -termasuk didalamnya para pengikut fiqh empat madzhab-. Bahkan sebahagian ulama menukil kesepakatan para ulama tentang bolehnya hal ini.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, ketika ditanya tentang hukum membeli sekarung gula dan semisalnya dengan harga 150 Riyal SA sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent) dan ia senilai 100 Riyal secara kontan, maka beliau menjawab :

“Sesungguhnya Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena menjual secara kontan berbeda dari menjual secara kredit dan kaum muslimin terus menerus melakukan mu’amalah seperti ini. Ini adalah Ijma(kesepakatan) dari mereka tentang bolehnya. Dan telah syadz (ganjil/bersendirian) sebagian ulama, bila ia melarang adanya tambahan disebabkan karena (tambahan) waktu sehingga ia menyangka hal tersebut adalah bagian dari riba. Ia adalah pendapat tidak ada sisinya, bahkan tidaklah (hal tersebut) termasuk riba sama sekali karena seorang pedagang ketika ia menjual barang sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent), ia menyetujui adanya penangguhan hanyalah karena ia mengambil manfaat dengan tambahan (harga) dan si pembeli rela adanya tambahan karena ada pengunduran dan karena ketidakmampuannya untuk menyerahkan harga secara kontan maka keduanya mengambil manfaat dengan mu’amalah ini dan telah tsabit (pasti/tetap) dari Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut…”. (Dinukil dari kitab Min Ahkamil Fiqhil Islamy Karya ‘Abdullah Al-Jarullah hal. 57-58 dengan perantara Bai’ut Taqsith karya Hisyam Alu Burgusy.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal tersebut halal baginya.

Beliau menjawab : “Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent). Akan tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang butuh kecuali dengan keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena daruratnya (karena ia sangat membutuhkannya,-pent.). [Adapun kalau ia butuh dirham lalu membelinya (kuda tersebut, -pent.) untuk ia jual pada saat itu juga dan ia mengambil harganya maka ini adalah makruh menurut (pendapat) yang paling zhohir dari dua pendapat ulama[1]]”. Dari Majmu’ Al-Fatawa 29/501.

Dan dalam jilid 29 hal. 498-500, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma.

Dan hukum bolehnya ini juga merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia[2], keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 51 (2/6) dan no. 64 (2/7)[3], kesimpulan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin[4], Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan[5], Fatwa Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh[6] dan kebanyakan ulama di zaman ini.

Pendapat Kedua : Tidak bolehnya jual beli secara taqsith. Dinukil oleh Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar 5/162 (cet. Darul Kutub) dari Zainal ‘Abidin ‘Ali bin Husain dan beberapa orang Syiah. Diantara ulama zaman ini yang berpendapat tentang tidak bolehnya adalah Syaikh Al-Albany[7] dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahumallah[8]..

Dalil-dalil Setiap Pendapat

Adapun pendapat pertama, para penganutnya mempunyai dalil yang banyak, namun kami batasi penyebutannya dengan yang kuat saja menurut penilaian kami. Uraiannya adalah sebagai berikut :

Pertama : Asal dalam setiap mu’amalah adalah halal dan boleh. Dan kami sebutkan dalil-dalil tentang hal ini dalam dhobith pertama pada volume yang telah lalu.

Karena tidak ada nash/dalil yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu barang, yaitu harga kontan dan harga kredit lalu penjual dan pembeli melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan kaidah/dhobith ini.

Kedua : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa` : 29)

Sisi pendalilan : Jual beli dengan cara taqsith adalah transaksi yang berlangsung atas dasar suka sama suka, berarti jual beli secara taqsith ini adalah boleh menurut nash ayat.

Ketiga : Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَسْلَفَ فِيْ تَمْرِ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ

“Siapa yang yang memberi salaf pada korma maka hendaknya memberi salaf pada takaran yang dimaklumi dan timbangan yang dimaklumi sampai waktu yang dimaklumi”. (Lafazh diatas bagi Imam Muslim)

Hadits diatas menunjukkan bolehnya As-Salam atau As-Salaf yaitu transaksi pada suatu barang yang maklum ; jelas sifatnya dan bentuknya, dibayar didepan kepada si penjual dan diambil pada waktu yang telah disepakati.

Contoh : Seperti penjual roti yang telah membayar harga 3000 buah roti tertentu kepada pabrik roti dengan perjanjian ia mengambilnya dari pabrik roti sebanyak 100 buah roti setiap harinya selama 30 hari.

As-Salam atau As-Salaf ini adalah diperbolehkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama.

Dari uraian diatas, di tarik suatu pendalilan tentang bolehnya jual beli secara Taqsith karena ia merupakan kebalikan dari As-Salam atau As-Salaf. Dan pada keduanya ada kesamaan jenis dari sisi adanya perbedaan antara harga dan barang, yaitu pada As-Salam atau As-Salaf, pembeli menyerahkan harganya kepada penjual dan mengambil barangnya selang beberapa waktu kemudian sesuai dengan perjanjian guna mendapatkan potongan harga semantara jual beli secara taqsith penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan dibayar secara berangsur guna mendapat tambahan harga.

Keempat : Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”. (QS. Al-Baqorah : 282)

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma : “Ayat ini turun pada As-Salam secara khusus”.

Berkata Al-Qurthuby : “Maknanya bahwa Salam penduduk Madinah adalah sebab (turunnya) ayat, kemudian ia mencakup seluruh hutang piutang menurut Ijma (kesepakatan ulama,-pent.).”

Dan Al-Qurthuby juga berkata : “Hakikat hutang adalah sebuah ibarat bagi setiap mu’amalah yang salah satu dari dua barang adalah kontan dan yang lainnya secara berangsur dalam tanggung jawabnya karena barang menurut orang Arab adalah apa-apa yang hadir dan hutang adalah apa yang ghaib (tidak ada di depannya,-pent.)…”.

Kelima : Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :

جَاءَتْ بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ إِنِّيْ كَاتَبْتُ أَهْلِيْ عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِيْ كُلِّ عَامٍ أَوْقِيَةٌ فَأَعِيْنِيْنِيْ فَقَالَتْ عَائِشَةُ إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ عُدَّةً وَاحِدَةً وَأُعْتِقَكِ فَعَلْتُ وَيَكُوْنُ وَلَاؤُكِ لِيْ فَذَهَبْتُ إِلَى أَهْلِهَا فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ إِنِّيْ قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ الْوَلَاءُ لَهُمْ فَسَمَعَ بِذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَنِيْ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ خُذِيْهَا فَأَعْتِقِيْهَا وَاشْتَرِطِيْ لَهُمُ الْوَلَاءَ فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ...

“Bariroh datang kepadaku lalu berkata : “Sesungguhnya saya melakukan mukatabah [9] terhadap keluargaku (tuanku,-pent.) dengan sembilan auqiyah [10], pada tiap tahunnya satu auqiyah maka bantulah saya”. Maka ‘Aisyah berkata : “Kalau keluargamu suka aku akan menyiapkan persiapan sekaligus bagi mereka dan saya membebaskanmu, maka saya akan kerjakan dan hendaknya wala`mu adalah milikku”. Maka ia (Bariroh) pergi kepada keluarganya dan mereka enggan hal tersebut atasnya. Kemudian ia (Bariroh) berkata (kepada Aisyah,pent) : “Saya telah menawarkan hal tersebut pada mereka dan mereka enggan kecuali wala`nya untuk mereka”. Maka hal tersebut didengar oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam lalu beliau bertanya kepadaku maka saya kabarkanlah hal tersebut kepadanya maka beliau bersabda : “Ambillah ia dan bebaskanlah serta syaratkan wala` terhadap mereka karena sesungguhnya wala` itu bagi siapa yang membebaskan”….”

Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah : “Dan berdasarkan kisah Bariroh yang tsabit (tetap,pasti) dalam Ash-Shohihain, karena Ia (Bariroh) menebus dirinya dari tuannya dengan (harga) sembilan auqiyah pada setiap tahunnya satu auqiyah dan ini adalah jual beli secara taqsith. Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal tersebut bahkan beliau menetapkannya dan tidak melarang darinya. Dan tidak ada perbedaan antara harganya semisal dengan (harga) barang tersebut dijual dengannya secara kontan atau lebih dari hal tersebut karena (kelonggaran) waktu [11] .

Berkata Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh : “Didalamnya terdapat dalil tentang bolehnya jual beli secara taqsith karena Bariroh menebus dirinya secara taqsith sampai sembilan auqiyah, pada setiap tahun satu auqiyah…”. Dari Syarah Kitabul Buyu’ Bulughul Maram.

Adapun penganut pendapat kedua, mereka berdalilkan dengan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Al-Hadits yang pendalilannya bertumpu penuh pada hadits Abu Hurairah dan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash yang dianggap terdapat didalamnya larangan tegas dari jual beli secara taqsith. Hadits-hadits itu adalah :

Satu : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا

“Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba”.

Hadits dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/307/20461, Abu Daud 3/274/3461, Ibnu Hibban 11/347-348/4974, Al-Hakim 2/45, Al-Baihaqy 5/343 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 34/389. Semuanya dari jalan Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah….

Sisi pendalilan : Hadits ini menunjukkan haramnya jual beli secara taqsith dengan adanya penambahan pada harga kredit diatas harga kontan. Dan padanya juga dua penjualan, secara kontan dan kredit pada satu transaksi, sehingga pada hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan yaitu mengambil yang paling sedikit berupa harga kontan atau melakukan riba dengan mengambil harga kredit. Demikianlah hadits ini telah ditafsirkan oleh sebahagian ulama salaf bahwa makna dua penjualan dalam satu transaksi adalah jika seseorang berkata : “Barang ini secara cicil dengan harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”. Dan dikuatkan pula oleh ucapan Ibnu Mas’ud :

الصَّفْقَةُ فِي الصَّفْقَتَيْنِ رِبًا

“Transaksi dalam dua penjualan adalah riba”. (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah 5/420 dan Al-Irwa` 5/148/1307)

Namun pendalilan ini sangatlah lemah disebabkan oleh beberapa alasan :

  • Hadits Abu Hurairah dengan lafazh diatas adalah Syadz [12] sebagaimana yang ditegaskan oleh pengarang kitab ‘Aunul Ma’bud 9/334 dan Syaikh Muqbil dalam Ahadits Mu’allah Zhohiruha Ash-Sihhah hal. 242 no. 369 (Cet. Kedua). Alasannya adalah karena hadits diatas diriwayatkan pula oleh :

1. Yahya bin Sa’id Al-Qoththon [riwayat Ahmad 2/432, 475, Ibnul Jarud no. 600, An-Nasa`i 7/295 dan dalam Al-Kubro 4/43/6228, Al-Baihaqy 5/343 dan Ibnu ‘Abdil Barr 24/389]

2. ‘Abdah bin Sulaiman [riwayat At-Tirmidzy 3/533/1231 dan Ibnu Hibban 11/347/4973]

3. ‘Abdul Wahhab bin ‘Atho` [riwayat Al-Baihaqy 5/343 dan Abu Ya’la 10/507/6124]

4. Yazid bin Harun [riwayat Ahmad 2/503 dan Al-Baghawy 8/142/2111]

5. Ismail bin Ja’far [disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]

6. Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy [riwayat Al-Khaththoby dalam Ma’alimus Sunan 5/97 dan disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]

7. Mu’adz bin Mu’adz Al-‘Anbary [disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]

8. Muhammad bin ‘Abdullah Al-Anshory [riwayat Al-Khaththoby dalam Ma’alimus Sunan 5/97]

Semuanya meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, tapi dengan lafazh :

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ

“Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari dua penjualan dalam satu transaksi”

  • Kandungan hadits diatas tidaklah mencakup masalah jual beli secara taqsith karena seorang penjual –misalnya- bila menetapkan harga barang yang berbeda-beda berdasarkan panjang waktu kredit, lalu datang seorang pembeli dan bersepakat dengan penjual untuk mengambil barang tersebut dengan suatu harga tertentu dan jangka waktu kredit yang telah ditetapkan maka tentunya yang ada hanya satu transaksi ; tidak ada akad transaksi sebelumnya dan tidak pula ada transaksi setelah penjual dan pembeli bersepakat diatas suatu harga. Karena itu Ibnul Qoyyim berkata : “Dan telah jauh dengan sangat jauh orang yang membawa (pengertian) hadits kepada penjualan dengan 100 secara kredit dan 50 secara kontan, tidak ada disini (dalam jual beli secara taqsith,-pent.) riba, tidak pula jahalah (ketidak jelasan), ghoror, qimar dan tidak (pula) ada sesuatu dari kerusakan. Sesungguhnya ia memberi pilihan antara dua harga yang ia inginkan dan tidaklah ini lebih jauh dari memberikan pilihan kepadanya setelah transaksi selama tiga hari antara mengambil dan membiarkannya”. Baca : I’lamul Muwaqqi’in 3/150.
  • Andaikata haidts Abu Hurairah dalam riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah dengan lafazh “Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba” kuat dan bisa dipakai berhujjah maka Al-Khaththoby dalam Ma’alim As-Sunan 5/97 berkata : “Saya tidak mengetahui seorangpun dari ahli fiqh yang berpendapat dengan zhohir hadits ini atau membenarkan transaksi dengan harga yang paling rendah kecuali sesuatu yang dihikayatkan dari Al-Auza’iy dan ia adalah madzhab yang rusak karena terkandung didalam akad ini berupa ghoror dan ketidak jelasan”.

Dan Al-Khaththoby juga menyebutkan bahwa makna yang paling pantas bagi hadits Abu Hurairah dari riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah adalah seperti orang yang memberi pinjaman senilai satu dinar (mata uang emas) berupa satu qofiz (takaran) burr (sejenis gandum) dalam jarak satu bulan. Kemudian setelah jatuh tempo, si peminjam yang belum mampu membayar berkata : “Juallah qofiz burr yang merupakan hakmu terhadapku dengan nilai dua qofiz sampai satu bulan lagi”. Maka ini adalah penjualan kedua yang telah masuk pada penjualan pertama sehingga jadinya dua penjualan dalam satu transaksi. Maka menurut konteks hadits keduanya harus kembali pada yang paling sedikit yaitu satu qofiz dan kapan transaksi dengan dua penjualan itu tetap berlangsung maka keduanya dianggap telah melakukan riba. Demikian kesimpulan keterangan beliau dalam Ma’alim As-Sunan 5/97 dan keterangan Ibnul Atsir dalam An-Nihayah semakna dengannya.

Adapun Ibnul Qayyim rahimahullah [13] beliau menganggap bahwa hadits Abu Hurairah dari riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah pengertiannya hanyalah terbatas dalam bentuk Bai’ul ‘Inah [14] saja, tidak pada yang lainnya.

  • Adapun penafsiran makna dua penjualan dalam satu transaksi dengan perkataan sesorang : “Barang ini secara cicil dengan harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”, ini adalah menyelisihi penafsiran jumhur ulama (kebanyakan ulama).

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah : “Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : “Dua penjualan dalam satu transaksi adalah (seseorang) berkata : “Saya menjual kepadamu baju ini dengan kontan (senilai) sepuluh dan dengan berangsur (senilai) dua puluh” dan ia tidak berpisah (baca : tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya diatas salah satunya maka itu tidak apa-apa apabila akad berada diatas salah satu dari keduanya.

Berkata Imam Asy-Syafi’iy : “Dan dari makna larangan Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang berkata : “Saya menjual rumahku kepadamu dengan (syarat) kamu menjual budakmu kepadaku dengan (harga) begini, kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu” dan ini berpisah (baca : bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya terjadi”.

Tersimpul dari uraian At-Tirmidzy diatas bahwa pada makna dua penjualan dalam satu transaksi ada dua penafsiran :

1. Penjualan barang dengan harga kredit dan kontan kemudian penjual dan pembeli berpisah tanpa menentukan salah satu dari dua harga. Ini penafsiran yang paling banyak disebut.

2. Penjualan barang dengan mengharuskan pembeli untuk menjual suatu barangnya kepada penjual dengan harga yang ia inginkan tanpa mengetahui berapa harga barang itu sebenarnya.

Dan dua penafsiran diatas yang disebut dalam buku-buku fiqh dalam empat madzhab dan lain-lainnya. Dan dua perkara diatas yang tercakup dalam larang yang tertera dalam hadits.

  • Pengarang kitab Hukmu Bai’ut Taqsith fisy Syari’ati wal Qonun ketika menguraikan Illat (sebab, alasan) pelarangan dua penjualan dalam satu transaksi dari ucapan-ucapan para Ahli hadits dan Ahli fiqh dari kalangan fiqh empat madzhab dan selainnya serta keterangan-keterangan dari kalangan shahabat, tabi’in dan sebagian ulama zaman ini, beliau menyimpulkan bahwa Illat pelarangan itu tidaklah keluar dari sebab ketidak jelasan harga atau karena bisa mengantar kepada riba menurut orang-orang Malikiyah. Dan Illat ini tidaklah terdapat pada jual beli secara taqsith yang diperbolehkan oleh Jumhur ulama.

Dua : Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ

“Tidaklah halal pinjaman bersamaan dengan jual beli dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1305-1306)

Sisi pendalilan : Konteks “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” ditafsirkan oleh Al-Khaththoby dengan perkataan seseorang : “Saya jual pakaian ini ini secara kontan dengan satu dinar dan secara kredit dengan dua dinar”.

Jawabannya dari dua sisi :

1. Telah berlalu penegasan Al-Khaththoby bahwa hal tersebut terlarang bila transaksi terjadi tanpa menentukan salah satu dari dua harga.

2. Ibnul Qayyim dalam Tahdzib As-Sunan menafsirkan Konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” bahwa itu pada jual beli dengan cara Inah.

Maka bisa disimpulkan bahwa Konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” apapun penafsirannya dengan dua penafsiran diatas, tetap tidak ada kaitannya dengan hukum jual beli secara taqsith.

Tarjih

Dari uraian diatas nampak jelas kuatnya dalil-dalil pendapat pertama dan lemahnya dalil-dalil pendapat kedua sehingga memberikan kesimpulan pasti tentang bolehnya jual beli secara Taqsith. Dan hati semakin kokoh berpijak diatas pendapat bolehnya jual beli secara Taqsith karena itu merupakan pendapat kebanyakan ulama bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -dan disetujui oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah- telah menukil kesepakatan ulama tentang bolehnya. Wallahu A’lam..

Bentuk-bentuk Jual Beli Secara Taqsith

Satu : Sistim kontan dan kredit.

Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini seharga 100 juta secara kontan dan seharga 150 juta secara kredit”.

Dua : Sistim kredit pilihan dengan jangka waktu.

Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini secara kredit, kalau satu tahun harganya 150 juta, kalau dua tahun harga 175 juta dan kalau tiga tahun harganya 200 juta”.

Tiga : Sistim kontan dan kredit dengan pilihan jangka waktu.

Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini 100 juta secara kontan dan kalau secara kredit satu tahunnya seharga 150 juta, kalau dua tahun seharga 175 juta dan kalau tiga tahun seharga 200 juta”.

Tiga bentuk ini termasuk dalam kategori jual beli secara taqsith yang dibolehkan dalam syari’at Islam dan tentunya akad transaksi terhitung sah apabila terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli pada salah satu harga dan jangka waktu yang tertera dalam akad sebagaimana yang telah diterangkan. Pada contoh pertama –misalnya- harus ada kesepakatan apakah ia mengambil dengan harga kontan 100 juta atau mengambil secara kredit 150 juta. Demikian pula pada contoh kedua si pembeli harus memilih salah satu dari pilihan yang ada, apakah ia mengambil mobil itu secara kredit selama satu tahun, dua tahun atau tiga tahun dengan ketentuan harganya masing-masing, dan demikian seterusnya.

Beberapa Hukum Dan Etika Seputar Jual Beli Secara Taqsith

Tidak diragukan bahwa jual beli secara taqsith adalah mustahab (sunnah,dianjurkan) bila dilakukan dengan maksud memudahkan pembeli sesuai dengan apa yang mencocoki keadaannya. Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

رَحِمَ اللهُ عَبْدًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ , سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى , سَمْحًا إِذَا اقْتَضَى

“Allah merahmati seorang hamba yang samhan (pemurah hati,toleran) bila membeli, samhan bila menjual (dan) samhan bila memberi keputusan”.(HR. AL-Bukhary)

Transaksi jual beli secara taqsith yang dibolehkan tentunya bukan pada barang rabawy yang memiliki ‘illat yang sama. Sebab sebagaimana telah dijelaskan dalam volume yang telah lalu bahwa dua barang rabawy yang sama dalam ‘illatnya namun berbeda jenisnya, maka dalam penukaran antara satu jenis dengan yang lainnya disyaratkan harus saling pegang dan pada saat itu juga (kontan). Maka tidak boleh –misalnya- mencicil emas dengan menggunakan mata uang, sebab keduanya adalah barang rabawy dan memiliki ‘illat yang sama yaitu muthlaquts tsamaniyah (mempunyai nilai tukar dalam transaksi jual-beli) sehingga harus kontan tidak boleh secara kredit atau berangsur.

Terlihat dalam praktek jual beli secara Taqsith adanya pensyaratan dari penjual agar hak kepemilikan diserahkan kepada pembeli saat penyerahan cicilan terakhir. Yaitu pembeli telah mengambil barangnya namun penulisan keterangan surat atau bukti kepemilikan bahwa barang itu adalah miliknya diserahkan saat pelunasan cicilan terakhir. Maksud pensyaratan tersebut adalah agar pembeli komitmen dan serius dalam menyelesaikan tunggakannya dan bila pembeli bangkrut, barang tidak diikutkan dalam perhitungan barang yang bangkrut sehingga merugikan penjual. Pensyaratan yang seperti ini dinilai oleh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman bin Jibrin mungkin untuk dibenarkan namun beliau sendiri tidak memastikan syahnya/benarnya dan beliau khawatir hal tersebut masuk dalam kategori penjualan dengan dua syarat yang terlarang. Disisi lain Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point keenam menyebutkan bahwa penjual tidak ada hak untuk menyimpan kepemilikan barang padanya setelah terjadi transaksi.

Adapun kalau hak kepemilikan sudah ditetapkan dan tertulis untuk pembeli maka tidak mengapa penjual menyimpannya sebagai jaminan agar pembeli tetap menyelesaikan tunggakannya. Demikian Fatwa Syaikh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman Jibrin dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point keenam.

Tidak diperbolehkan penjual menetapkan denda materi terhadap pembeli bila terjadi keterlambatan pembayaran setelah jatuh tempo, sama sekali tidak diperbolehkan walaupun penetapan denda terjadi sebelum akad transaksi karena hal tersebut tergolong riba jahiliyah yang telah diuraikan dalam Dhobith keempat dalam Volume 06 yang telah lalu. Adapun denda yang berkaitan dengan badan seperti dipenjara atau semisalnya maka hal tersebut diperbolehkan, tentunya dengan melalui mahkamah syari’at. Demikian kesimpulan Fatwa Syaikh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman Jibrin dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point ketiga dan keempat.

Tidaklah pantas seorang muslim membeli dengan cara taqsith kecuali kalau punya kemampuan untuk membayar cicilannya dan bersungguh-sungguh untuk hal itu agar ia tidak merugikan orang lain dan tidak pula membebani dirinya dengan sesuatu yang ia tidak mampu.

Boleh hukumnya membeli barang secara taqsith walaupun ia mampu membayar secara kontan. Kendati demikian kalau seseorang mampu membayar kontan maka itu lebih baik dan lebih terpuji untuk dirinya.

Tidak boleh seorang penjual memanfaatkan banyaknya kebutuhan manusia untuk meninggikan harga sehingga menjadi sangat mahal.

Muslim yang paling baik adalah orang yang menerapkan hadits Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam berikut ini .

إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

“Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baiknya dalam menunaikan”. (HR. Muslim dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu dan Riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

.

Baca pembahasan Jual beli secara Taqsith di atas dalam : Bai’ut Taqsith Ahkamuhu wa Adabuhu karya Hisyam bin Muhammad Alu Burgusy, Hukmu Bai’ut Taqsith fisy Syari’ati wal Qonun karya DR. Muhammad ‘Aqlah Al-Ibrahim, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin 'Ali Al-Musyaiqih, AL-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah di huruf alif dari pembahasan (أَجل), Qararat Wa Taushiyat Majma' Al-Fiqh Al-Islamy, Syarah Kitabul Buyu' min Bulughul Maram oleh Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-syaikh, Syarhus Sunnah karya Al-Baghawy 8/142-149 dan Ma’alimus Sunan karya Al-Khaththoby bersama Tahdzibus Sunan karya Ibnul Qoyyim 5/97-109.

.

Jual Beli Dengan Cara Al-‘Inah

Jual beli dengan cara Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan.

Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang melakukan riba.

Contoh : Ahmad menjual barang kepada Muhammad dengan harga Rp. 1.000.000,- secara kredit selama satu bulan, kemudian Ahmad atau yang mewakilinya kembali datang kepada Muhammad membeli barang tersebut dengan harga Rp. 800.000,- secara kontan.

Kasus ini banyak terjadi di zaman ini, seperti seseorang yang hanya memegang uang sebesar 20 juta sedang ia mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak sebesar 200 juta, maka datanglah orang tersebut ke sebuah perusahan mobil yang mempunyai bagian penjualan dan bagian pembelian kemudian menkredit dari bagian penjualan sebuah mobil senilai 220 juta dengan membayar panjar menggunakan uang yang dia pegang sebanyak 20 juta. Setelah mengambil mobilnya ia datang kepada bagian pembelian dan menjual mobil tersebut dengan 200 juta. Inilah yang disebut dengan jual beli dengan cara Al-‘Inah.

Jadi ukurannya, kapan barang tersebut jatuh kembali kepada pihak penjual maka ia terhitung sebagai jual beli dengan cara Al-‘Inah.

Demikian pula hilah (tipu daya) segitiga yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim dengan contoh seorang fakir yang butuh uang lalu ia pun datang seorang seorang pedagang. Oleh si pedagang ia diajak ke toko untuk mengambil barang apa saja yang ia inginkan. Si fakir mengambil sebuah barang dengan harga Rp. 1.000.000,-, yang oleh si pedagang dinilai 1.200.000,-. Karena si fakir sebenarnya hanya butuh uang maka barang tersebut kembali dijual kepada pemilik toko dengan harga yang lebih rendah dari 1.000.000,-..

Hukumnya

Jual beli secara Al-‘Inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama (kebanyakan ulama). Hal tersebut diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakh’iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Ishaq.

Disisi lain Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya membolehkan jual beli dengan cara Al-‘Inah.

Tarjih

Tidak diragukan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Adapun Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya, mereka berdalilkan dengan Hadits Abu Sa'id dan Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيْبٍ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) قَالَ : لَا, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخَذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( لَا تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيْبًا )).

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempekerjakan seorang di Khaibar. Maka datanglah dia kepada beliau membawa korma Janib (korma dengan mutu sangat baik) maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya : "Apakah semua korma Khaibar seperti ini ? ia menjawab : "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, kami mengganti satu sho' dari (korma Janib) ini dengan dua sho' (dari korma jenis lain) dan dua sho'nya dengan tiga sho'. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jangan kamu lakukan seperti itu, juallah semua dengan dirham (mata uang perak) lalu dengan dirham itu belilah korma Janib.”

Sisi pendalilannya : Sabda beliau “juallah semua dengan dirham (mata uang perak) lalu dengan dirham itu belilah korma Janib” berlaku umum sehingga kalau korma jelek itu dibeli oleh pemilik korma Janib lalu dengan uang dari hasil penjualan korma jelek itu oleh pemiliknya kembali dibelikan korma Janib, berarti uangnya kembali kepada pemiliknya.

Dan tentunya pendalilan diatas tidaklah kuat karena tipu daya riba nampak dengan sangat jelas pada jual beli dengan cara Al-‘Inah tersebut, apalagi telah datang hadits yang sangat tegas tentang haram jual beli secara Al-‘Inah sehingga harus dijadikan sebagai dalil khusus yang membatasi keumuman dalil yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya.

Ibnul Qoyyim dalam Tahdzibus Sunan menerangkan dalil-dalil tentang haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Diantara yang beliau sebutkan adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam :

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridho dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Daud dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah No. 11).

Hadits diatas adalah ancaman yang sangat keras dan peringatan yang sangat tegas berupa kehinaan bagi orang yang melakukan pelanggaran yang tersebut dalam hadits yang diantaranya adalah jual beli dengan cara Al-‘Inah. Bahkan seakan-akan pelakunya sama kedudukannya dengan orang yang keluar dari agama sehingga diakhir hadits dikatakan “maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Semua ini menunjukkan haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Demikian keterangan Ash-Shon’any dan Asy-Syaukany.

.

Baca : Al-Ifshoh 5/247-248, Al-Inshof 4/335, Al-Fatawa 29/446, Tahdzibus Sunan 5/99-109, Subulus Salam 3/75-77, Nailul Author 5/218-221, Taudhihul Ahkam 4/412-413 (Cet. Kelima), Al-Syarah Al-Mumti’ 8/223-230, Al-Mudayanah keduanya karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Farq Bainal Bai'i war Riba fii Asy-Syari'atul Islamiyah karya Syaikh Sholih bin ‘Abdullah Al-Fauzan, AL-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah.

.

Masalah At-Tawarruq

At-Tawarruq adalah jika seseorang membeli barang dari seorang penjual dengan harga kredit lalu ia menjual barang tersebut secara kontan kepada pihak ketiga selain dari penjual.

Dinamakan dengan nama At-Tawarruq dari kalimat waraqoh yaitu lembaran uang, sebab pembeli yang merupakan pihak pertama sebenarnya tidak menginginkan barang tapi yang ia inginkan hanyalah mendapatkan uang sehingga ia bisa lebih leluasa menggunakannya.

Contoh : Sesorang memiliki uang sebesar 1.000.000,- sedangkan ia butuh uang 10.000.000,-, maka ia pun mencicil motor senilai 11.000.000,- dengan panjar 1.000.000,- tersebut. Setelah motor ia pegang, ia menjualnya kepada pihak ketiga selain penjual dengan harga 10.000.000,-.

Jadi letak perbedaannya dengan jual beli dengan cara Al-‘Inah hanya pada tempat penjualan kembali. Kalau jual beli dengan cara Al-‘Inah penjualannya kembali kepada pihak penjual sedangkan At-Tawarruq penjualannya kepada pihak ketiga selain dari pihak penjual..

Hukumnya

Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum At-Tawarruq ini :

  1. Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan pendapat Iyas bin Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy [15], Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz [16], Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin [17], Syaikh Sholih Al-Fauzan [18] dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy [19].
  2. Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia [20].

Tarjih

Insya Allah yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama. Hal ini berdasarkan kaidah umum bahwa asal dalam jual beli adalah halal dan tercakup dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli”. (QS. Al-Baqorah : 275)

Dan dalam masalah At-Tawarruq ini tidak nampak bentuk riba baik secara maksud maupun bentuk, sementara manusia membutuhkan mu’amalah yang seperti ini dalam melunasi hutang, nikah dan lain-lainnya. Namun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mensyaratkan bolehnya dengan beberapa ketentuan :

  1. Ia butuh untuk melakukan transaksi tersebut dengan kebutuhan yang jelas.
  2. Sulit baginya mendapatkan keperluannya dengan jalan Al-Qardh (pinjaman), As-Salam maupun yang lainnya.
  3. Hendaknya barang yang akan ditransaksikan telah dipegang dan dikuasai oleh penjual.

Wallahu Ta’ala A’lam.

.

Baca : Al-Fatawa 29/30, 302, 303, 434, 442, 446, Tahdzibus Sunan 5/108, Asy-Syarah Al-Mumti’ 8/231-233, Al-Mudayanah, Al-Jami’ lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah 2/1035-1036, Taudhihul Ahkam 4/398-400 (Cet. Kelima) dan Al-Farq Bainal Bai'i war Riba fii Asy-Syari'atul Islamiyah karya Syaikh Sholih bin ‘Abdullah Al-Fauzan.

.

Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` (Jual Beli Keuntungan Bagi Yang Meminta Pembelian)

Jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah bila seseorang (disebut pihak pertama) yang tidak memiliki uang tunai untuk membeli suatu barang maka ia pun datang kepada seorang pedagang atau pihak tertentu (disebut pihak kedua) yang mampu membelikan dan membayarkan untuknya barang tersebut secara tunai dari seorang penjual (disebut pihak ketiga) lalu pihak pertama membayar kepada pihak kedua secara kredit.

Hukumnya

Kebanyakan ulama di zaman ini berpendapat bahwa jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah boleh dengan ketentuan tidak disertai keharusan dari pihak kedua atas pihak pertama untuk membeli barang tersebut. Apabila ada keharusan maka hal tersebut masuk ke dalam kategori menjual sesuatu yang belum ia miliki dan ini adalah terlarang berdasarkan hadits Hakim bin Hizam secara marfu’ :

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` 5/132/1292)

Maksudnya : Jangan kamu menjual apa yang bukan milikmu, belum kamu pegang atau di luar kemampuanmu.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pada tanggal 16/6/1402 H bertepatan 10/4/1982 ditanya dengan nash berikut :

“Apabila seorang nasabah Bank Islamy berhasrat untuk membeli barang seharga 1.000 Riyal Saudi lalu ia memperlihatkan dan mensifatkannya (barang tersebut) kepadanya (bank tersebut,-pent.) dan berjanji untuk membelinya darinya secara keuntungan dengan kredit selama satu tahun dengan keuntungan sekadar 100 Riyal Saudi sehingga menjadilah total harganya 1.100 Riyal Saudi. Hal tersebut setelah Bank membelinya (barang tersebut) dari pemiliknya tanpa ada keharusan pada nasabah untuk menunaikan janjinya tersebut maupun tertulis. Bagaimana pendapat anda tentang mu’amalah ini ?”

Maka beliau menjawab : “Kalau kenyataannya seperti yang disebut dalam pertanyaan maka tidak haraj (dosa, ganjalan) dalam mu’amalah tersebut apabila barang telah tetap dalam kepemilikan Bank Islamy dan ia telah mengambilnya dari kepemilikan penjual (hal ini,-pent) berdasarkan dalil-dalil syari’at. Mudah-mudahan Allah memberi Taufiq kepada semuanya” [21].

Dan Syaikh Sholih Al-Fauzan ditanya dengan pertanyaan berikut :

“Seseorang datang kepadaku dan ia berkata saya butuh sejumlah uang dan ia meminta kepadaku agar saya pergi bersamanya kesuatu tempat supaya saya membelikan untuknya mobil kemudian ia akan menjualnya dan mengambil harganya dengan (ketentuan) ia akan melunasinya kepadaku dengan taqsith (cicilan) bulanan. Saya tidak punya tempat penjualan mobil tapi siapa yang datang kepadaku menginginkan uang untuk ia pakai nikah atau membangun rumah maka saya pun pergi bersamanya ke suatu tempat penjualan mobil dan saya belikan untuknya mobil dengan harga 40 ribu Riyal –misalnya- dan ia menjualnya dengan (harga) 38 ribu Riyal dan saya mencatat (kewajiban) atasnya senilai 55 ribu riyal atau 60 ribu riyal dengan (ketentuan) ia membayarnya dalam bentuk taqsith bulanan ?”.

Maka beliau menjawab : “Hukum pada seperti mu’amalah ini adalah apabila tidak terdapat dari engkau akad bersamanya sebelum pembelian mobil bahkan terdapat janji (saja) -misalnya- atau terdapat saling paham dan belum ada akad kemudian engkau pergi dan membeli mobil lalu engkau jual kepadanya setelah engkau beli dan engkau pegang maka tidak haraj (dosa, ganjalan) pada hal itu adapun kalau penjualanmu kepadanya sudah terjadi sebelum engkau membeli mobil lalu engkau pergi dan membeli mobil itu maka ini tidaklah boleh berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alahi wa sallam kepada Hakim bin Hizam “Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”…….[22]

Dan dalam keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 40, 41 point pertama [23] disebutkan bahwa : “Sesungguhnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian apabila terjadi pada barang setelah masuk kedalam kekuasaan orang yang dimintai (pihak kedua,-pent.) dan setelah terdapat kepemilikan yang diinginkan secara syari’at maka ia adalah jual beli yang boleh sepanjang terbebankan atas orang yang dimintai (pihak kedua) tanggung jawab kerusakan sebelum penyerahan dan rentetan pengembalian karena aib yang tersembunyi dan semisalnya dari hal-hal yang mengharuskan pengembalian setelah penyerahan dan telah terpenuhi syarat-syarat jual beli dan telah tiada penghalang-penghalangnya”.

Di pihak lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpendapat tentang haramnya jual beli keuntungan bagi peminta transaksi. Dalam kitab Asy-Syarh Al-Mumti’ 8/224, beliau menyatakan : “Dan dari masalah-masalah (baca : bentuk-bentuk) Al-‘Inah atau dari hilah (tipu daya) untuk riba adalah apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, (yaitu) tatkala ia butuh mobil kemudian ia pergi kepada seorang pedagang dan berkata saya butuh mobil begini di tempat penjualan mobil begini maka pergilah si pedagang lalu membeli mobil dari tempat penjualan mobil itu dengan suatu harga kemudian ia menjualnya dengan yang lebih banyak dari harganya kepada orang yang butuh mobil sampai ke suatu waktu (secara kredit,-pent.) maka ini adalah hilah yang sangat jelas untuk melakukan riba…”. Dan semisal dengan itu keterangan beliau dalam ketika menjawab pertanyaan no. 501 dalam silsilah Liqo`ul Maftuh..

Tarjih Dan Kesimpulan

Sebenarnya penamaan masalah ini dengan nama jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah penamaan yang baru muncul pada abad belakangan ini, namun hakikatnya sudah terbahas di kalangan para Imam fiqih terdahulu. Karena itu sebahagian penulis dalam masalah ini menukil bolehnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian sebagai pendapat dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Karena itu pembolehan jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah yang paling kuat dalam masalah ini tapi dengan beberapa ketentuan yang bisa disimpulkan berdasarkan pembahasan diatas; yaitu :

  1. Tidak ada keharusan bagi pihak pertama kepada pihak kedua untuk membeli barang tersebut darinya (pihak kedua).
  2. Tanggung jawab rusaknya barang atau mengembalikannya bila ada kekurangan atau cacat ditanggung oleh pihak kedua.
  3. Akad transaksi bersama pihak pertama bila barang telah dimiliki dan dipegang oleh pihak kedua.
.

Baca : Taudhihul Ahkam 4/377-378, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Buhuts Li Ba’dh An-Nawazil Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashiroh dan Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.

.

Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (Penyewaan Yang Berakhir Dengan Kepemilikan)

Transaksi ini untuk awal kalinya terjadi pada tahun 1847 di Ingris. Mula-mula hanya dilakukan perindividu kemudian menjadi transaksi yang dipakai oleh banyak perusahan sehingga mulailah transaksi ini tersebar ke negara-negara lain. Pada tahun 1953 M mulai masuk ke Amerika Serikat dan tahun 1962 M masuk ke Prancis dan pada tahun 1397 H mulai masuk ke negara-negara Islam.

Istilah Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik adalah istilah yang baru dan tidak dikenal dalam buku-buku fiqh sebelumnya. Namun penjelasan dan hukum untuk setiap masalah pasti ada tuntunannya dalam syari’at Islam.

Berhubung karena pembahasan masalah ini membutuhkan uraian yang panjang dan mendetail maka kami akan berusaha menyebutkan kesimpulan-kesimpulan hukum bagi setiap bentuk dari Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan).

Definisi

Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan) adalah pemilikan manfaat dari suatu barang tertentu dalam jangka waktu tertentu yang berakhir dengan kepemilikan barang tersebut dengan sifat khusus dengan harga tertentu.

Contoh : Seseorang datang kepada seorang pedagang dan berkata : “Saya akan membeli darimu mobil dengan harga 100.000.000,- ini secara angsuran bulanan”. Maka si pedagang berkata : “Tidak apa-apa, tapi untuk menjaga hakku maka akad antara kita berdua adalah dengan bentuk penyewaan sebanyak 2.500.000,- perbulan selama 40 bulan, bila engkau telah menyerahkan sewaan terakhir maka mobil akan menjadi milikmu dan bila engkau berhenti maka mobil akan kembali kepada kami dan apa yang engkau bayar sebelumnya adalah terhitung upah sewaan”..

Hukumnya

Berikut ini, kami sarikan tentang hukum Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan) dari keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam point-point berikut ini :

Satu : Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan) mempunyai beberapa bentuk ; ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan dalam syari’at Islam.

Dua : Ketentuan Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan) yang tidak diperbolehkan adalah bila terjadi dua akad sekaligus dalam satu waktu terhadap suatu barang [24]. Dan bentuk-bentuk yang tidak diperbolehkan adalah sebagai berikut :

  • Akad penyewaan berakhir dengan pemilikan barang yang disewa -sebagai ganti dari apa yang dibayar oleh penyewa selama selang waktu penyewaan- tanpa ada pembaharuan pegesahan akad, yaitu setelah berakhirnya waktu pembayaran secara otomatis penyewaan berubah menjadi pembelian/pemilikan.

Contoh : seperti contoh diatas, bila penyerahan sewaan pada bulan yang terakhir yaitu bulan ke 40, mobil langsung berubah menjadi milik penyewa tanpa pembaharuan akad menjadi akad jual beli maka ini adalah bentuk yang terlarang.

  • Penyewaan barang kepada seseorang dengan upah sewa tertentu selama waktu tertentu disertai dengan akad penjualan kepadanya bila telah melunasi seluruh upah sewaan yang telah disepakati diselang waktu yang telah ditentukan atau disandarkan pada waktu yang akan datang.

Contoh : Penjual berkata kepada pembeli : “Mobil ini saya sewakan dengan harga 2.500.000,- perbulan, bila engkau telah menyewa selama 40 bulan maka mobil ini telah engkau beli”.

  • Akad penyewaan sebenarnya dan digandengkan dengannya penjualan dengan pemilihan syarat yang sesuai dengan maslahat si pemberi sewaan dan dikreditkan samapai waktu tertentu yang panjang dan itulah akhir waktu penyewaan.

Tiga : Ketentuan Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan) yang diperbolehkan adalah dengan dua perkara

  1. Adanya dua akad yang saling berpisah satu sama lain pada suatu waktu yaitu adanya pembaharuan pengesahan akad menjadi akad jual beli setelah akad penyewaan atau ada janji pemilikan pada akhir waktu penyewaan dengan adanya kesempatan memilih yang sebanding dengan janji dalam hukum-hukum syari’at.
  2. Hendaknya penyewaan betul-betul terjadi bukan hanya sekedar tirai penjual saja.

Dan bentuk-bentuk yang diperbolehkan itu adalah sebagai berikut :

  • Akad penyewaan yang memungkinkan bagi penyewa untuk mengambil manfaat dari barang sewaan tersebut sebagai balasan dari upah sewaan yang ia serahkan pada waktu yang telah tertentu dan setelah itu pemilik sewaan memberikan akad hibah terhadap barang tersebut.

Contoh : Perusahaan alat tenaga listrik yang menyewakan alatnya selama 10 tahun dengan harga sewa yang telah disepakati, dan pemilik alat menjanjikan bila sewaan selesai maka alat tersebut diberikan kepada penyewa.

  • Akad penyewaan, namun pemilik barang setelah selesainya seluruh angsuran sewaan dalam selang waktu tertentu memberikan pilihan kepada penyewa dengan beberapa pilihan :

1. Memperpanjang masa sewaan.

2. Memutuskan akad sewa dan mengembalikan barang sewaan kepada pemiliknya

3. Membeli barang sewaan tersebut dengan harga pasaran.

  • Akad penyewaan yang memungkinkan bagi penyewa untuk mengambil manfaat dari barang sewaan tersebut sebagai balasan dari upah sewaan yang ia serahkan pada waktu yang telah tertentu dan pemilik sewaan memberikan janji akan menjual barang sewaan tersebut kepada penyewa setelah menyelesaikan seluruh angsuran sewaan dengan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak.
  • Akad penyewaan yang memungkinkan bagi penyewa untuk mengambil manfaat dari barang sewaan tersebut sebagai balasan dari upah sewaan yang ia serahkan pada waktu yang telah tertentu dan pemilik sewaan memberikan hak pilih bagi penyewa untuk memiliki barang sewaan pada waktu kapan saja yang ia ingin dengan akad baru antara kedua belah pihak sesuai dengan harga di pasaran.

Empat : Dhoman (Tanggung jawab, jaminan) barang sewaan bila terjadi kerusakan adalah atas pemiliknya bukan atas penyewa kecuali kalau berasal dari ketelodoran dan pelampauan batas dari pihak penyewa.

Lima : Kalau memang ada asuransi pada barang sewaan maka hendaknya dalam bentuk asuransi tolong menolong bukan asuransi perdagangan dan yang menanggungnya adalah pemilik sewaan bukan penyewa.

Enam : Hendaknya pada Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (sewaan yang berakhir dengan kepemilikan) diberlakukan hukum-hukum sewa sepanjang masa sewaan dan diberlakukan hukum-hukum jual beli ketika barang sewaan telah menjadi miliknya.

Tujuh : Biaya perawatan selain dari biaya pengaktifan (seperti solar, bensin, oli dan lain-lain) selama dalam sewaan adalah ditanggung oleh pemilik sewaan bukan oleh penyewa.

.

Baca : Taudhihul Ahkam 5/64-67 (cet. Kelima), Qararat Wa Taushiyat Majma' Al-Fiqh Al-Islamy dan Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih

****

Footnote:

[1] Antara dua kurung adalah masalah At-Tawarruq yang akan datang penjelasannya.

[2] Disebutkan dalam kitab 99 tanya-jawab dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.

[3] Qararat Wa Taushiyat Majma' Al-Fiqh Al-Islamy.

[4] Dalam kitab beliau yang berjudul Al-Mudayanah.

[5] Lihat fatwa beliau dalam Al-Muntaqa 3/198-202 no. 304-307, 4/135-136 no. 139 dan 5/211-212 no. 319.

[6] Dalam Syarah beliau terhadap Kitabul Buyu dari Bulughul Maram.

[7] Dalam suatu pembahasan panjang dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah jilid 5 hal. 419-427 no. 2326.

[8] Dalam beberapa tempat dari kitab Ijabatul Sa`il dan beberapa buku lainnya.

[9] Mukatabah adalah kesepakatan seorang budak untuk menebus dirinya dari tuannya dengan sejumlah harga tertentu dengan pembayaran yang telah ditentukan waktunya.

[10] Satu Auqiyah adalah 40 dirham dan satu dirham adalah seperdua tambah seperlima mitsqol dan satu mitsqol adalah 4.25 gr, berarti satu Auqiyah sejumlah 119 gr. Baca Taudhihul Ahkam.

[11] Dari Fatawa Islamiyah 2/239 dengan perantara kitab Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.

[12] Hadits yang lemah karena rawinya bersendirian atau menyelisihi siapa yang lebih kuat darinya.

[13] Dan Ibnul Qoyyim juga menukil hal tersebut dari gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[14] Akan datang uraian tentang haramnya Bai’ul ‘Inah.

[15] Sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam 4/398 (cet. Kelima).

[16] Sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam 4/398 (cet. Kelima).

[17] Dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 8/232 dan Al-Mudayanah.

[18] Dalam Al-Farq Bainal Bai'i war Riba fii Asy-Syari'atul Islamiyah dan dalam Al-Muntaqo.

[19] Sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam 4/399-400 (cet. Kelima).

[20] Disebutkan dalam kitab 99 tanya-jawab dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.

[21] Dari kitab Bai’ul Murabah karya Al-Asyqor hal. 52 melalui perantara Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.

[22] Selesai nukilan Fatwa beliau dari Al-Muntaqo 4/136 no.140.

[23] Sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam 4/377 (cet. Kelima).

[24] Dan demikiaan pula alasan yang ditetapkan dalam keputusan Hai`ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia pada Daurah Ke 52 di kota Riyadh yang bermula tanggal 29/10/1423 H dan ditanda tangani oleh hampir seluruh anggota termasuk Mufti umum Suadi Arabia Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh Sholih Al-Luhaidan dan lain-lainnya.

*****

Sumber: http://www. an-nashihah.com

.

Baca Juga :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

1 komentar:

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !