Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
.
BULAN SURO: Bulan Penuh Kesialan? |
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar, S.S. . Bulan suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lain yang mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah Muharram menurut kalender Islam. Bulan ini memiliki makna yang sangat penting terhadap masyarakat Jawa -atau sebagian mereka- khususnya terkait dengan tradisi yang berlaku. Suatu yang dapat dilihat ketika bulan ini tiba adalah masih banyaknya keyakinan di tengah masyarakat bahwa bulan Muharram (Suro) adalah bulan keramat (bulan penuh kesialan). Sehingga sebagian mereka tidak berani untuk mengadakan hajatan seperti pernikahan. Menurut keyakinan mereka, bila hal ini tidak diindahkan akan menimbulkan petaka dan kesialan. Ada berbagai tradisi yang dilakukan untuk menghindari kesialan tersebut. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan. Itulah sebagian keyakinan masyarakat tatkala bulan Muharram (Suro) datang. Namun, kita sebagai seorang muslim, alangkah baiknya jika meninjau ulang keyakinan tersebut, apakah betul sudah sesuai dengan perkataan Allah dan Rasul-Nya. "Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan." (QS. Asy-Syuura [42] : 10) Bulan Muharram Termasuk Bulan Suci Dalam agama ini, bulan Muharram, yang dikenal oleh Masyarakat Jawa dengan bulan Suro, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram (baca: bulan suci). Lihatlah firman Allah ta'ala berikut: إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah [9] : 36) Lalu apa empat bulan yang suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: ... السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ "... satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir, ed) dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 3025) Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah: (1) Dzulqo'dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Sya'ban. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah mengatakan, "Dinamakan haram karena di dalamnya ada dua makna. Pertama, karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut. Orang-orang Jahiliyyah juga telah meyakini demikian. Kedua, karena pelarangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya." (Lihat Zadul Masir, Ibnul Jauziy) Bulan Muharram Disebut Bulan Allah Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ "Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim no. 2812) Lihatlah pada hadits tersebut bulan Muharram dikatakan sebagai 'syahrullah' (bulan Allah) hal ini menunjukkan bahwa bulan tersebut memiliki kemuliaan. Sebagaimana juga Masjidil Haram disebut Baitullah (rumah Allah) karena masjid tersebut memiliki kemuliaan daripada masjid-masjid lainnya. (Lihat Faidul Qodir, 2/53, dinukil dari perkataan Az Zamakhsariy) Lalu Kenapa Muharram Disebut Bulan Allah (syahrullah)? Nama Muharram ini adalah nama Islami, berbeda dengan nama bulan-bulan lainnya. Bulan lainnya (selain Muharram) masih menggunakan nama seperti pada masa jahiliyyah dahulu. Pada masa jahiliyah, Muharram disebut dengan Shafar Al Awwal (Shafar yang pertama) sedangkan bulan sesudahnya (yang dikenal dengan Shafar pada masa Islam) disebut dengan Shafar Ats Tsani (Shafar yang kedua). Pada masa Islam, Allah menamakan Muharram dengan disandarkan pada-Nya dengan disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). (Lihat Ad Dibaj 'ala Muslim, 3/251, Jalaludin As Suyuthi) Al Hafizh Abul Fadhl Al 'Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, "Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?". Beliau rahimahullah menjawab, "Disebut demikian karena di dalamnya diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah ta'ala kecuali bulan Allah - Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa'i, 3/206) Bulan Muharram Dikatakan Membawa Berbagai Musibah Dari penjelasan di atas, kita mengetahui dengan jelas bahwasanya bulan Muharram (bulan Suro) adalah bulan suci hingga diharamkan berbagai keharaman pada bulan itu. Juga disebut sebagai syahrullah (bulan Allah) yang menunjukkan bahwa bulan tersebut adalah bulan yang mulia. Lalu apakah sikap orang-orang yang menyatakan bulan tersebut sebagai bulan penuh musibah (petaka) adalah benar ? Jika kita melihat dari dalil-dalil sebelumnya, tentu saja perbuatan ini tidaklah benar karena kok bulan suci dan mulia malah mendatangkan bencana. Ini suatu hal yang tidak mungkin. Allah sendiri telah mencela keadaan orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa yang mencelakakan dan membinasakan mereka adalah waktu. Allah mencela sikap mereka sebagaimana pada firman-Nya: وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ "Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." (QS. Al Jatsiyah [45] : 24) Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul 'larangan mencela waktu (ad-dahr)'. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ "Allah 'Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang." (HR. Muslim no. 6000) Dalam lafazh yang lain, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا "Allah 'Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan 'Ya khoybah dahr' [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan 'Ya khoybah dahr' (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya." (HR. Muslim no. 6001) An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan 'Ya khoybah dahr' (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu. Maka lihatlah dalil-dalil yang ada, dari situ terlihat bahwasanya kita dilarang mencela waktu atau mengatakan bahwa waktu tersebut yang mencelakakan kita. Kenapa demikian? Lihatlah dalam hadits-hadits di atas, terlihat bahwa Allah-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah 'Azza wa Jalla. Maka mencela masa bisa terjatuh dalam dosa bahkan bisa termasuk syirik akbar. Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid berikut. Mencela Waktu ituTerbagi Menjadi Tiga Macam: Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, "Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas" atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth 'alaihis salam, "Ini adalah hari yang amat sulit." (QS. Hud [11] : 77) Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, ini termasuk syirik akbar. Hal ini berarti meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah disebabkan menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barang siapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia telah kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir. Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang di benci, maka ini adalah haram, dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias dungu) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. -Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas- Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu -termasuk bulan Muharram- adalah bulan sial atau celaka, ini sama saja dengan mencela waktu. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Ingatlah di sisi kita semua selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kalian. Allah ta'ala berfirman: وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ)17) "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri." (QS. Qaaf [50] : 16-17) Merasa Sial pada Bulan Muharram Sebagian orang juga selalu menganggap sial dengan bulan Suro ini. Ada sebagian orang tua yang sangat mengkhawatirkan anaknya seperti melarang jangan ngebut-ngebutan pada bulan ini karena bulan ini adalah bulan penuh musibah (petaka). Sampai-sampai ada juga yang dilarang untuk menikah pada bulan ini, karena khawatir akan terjadi sesuatu pada bahtera rumah tangganya kelak. Inilah sedikit dari berbagai anggapan sial di tengah masyarakat tatkala berada di bulan Suro. Tetapi sebaiknya kita menilik kembali keyakinan semacam ini berdasarkan perkataan Allah dan Rasul-Nya. Lihatlah firman Allah ta'ala: فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ "Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Al A'raaf [7] : 131) Perhatikanlah ayat ini. Ketika Fir'aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah dan mensyukuri-Nya. Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya. Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah). Lihatlah, terakhir Allah ta'ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka adalah ketetapan dari Allah. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ahli tafsir Qur'an, mengatakan maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A'raaf ayat 131) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ - ثَلاَثًا - وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ "Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal." (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid - Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah) Kesimpulannya, menganggap sial terhadap sesuatu termasuk menganggap sial karena bertemu dengan bulan tertentu seperti bulan Muharram (Suro) adalah terlarang bahkan termasuk kesyirikan. Ingatlah setiap kesialan atau musibah yang menimpa bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah ta'ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Tertimpa Musibah, Disebabkan Karena Maksiat Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah yang dibenci, hendaknya dia mengambil pelajaran bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah tersebut begitu saja, pasti ada sebab yaitu karena dosa dan maksiat. Perhatikanlah firman Allah 'Azza wa Jalla: وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (QS. Asy Syuraa [42] : 30) Maka hendaklah seorang mukmin bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah ta'ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dilakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah ta'ala. (Lihat I'anatul Mustafid dan Syarh Masa'il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhahullah) Isilah Bulan Muharram dengan Puasa Sebagai penutup tulisan ini, kami mengajak kaum muslimin sekalian untuk mengisi bulan Muharram dengan melakukan berpuasa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ "Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim no. 2812) Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari 'Asyura' yaitu pada tanggal 10 Muharram karena bepuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ � يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ �. قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ � يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ � "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arofah? Beliau menjawab, "Puasa Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa 'Asyuraa'? Beliau menjawab,"Puasa 'Asyura' akan menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim no. 2804) Lebih Baik lagi Jika Berpuasa pula pada Hari Sebelumnya yaitu Tanggal 9 Muharram. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata mengenai puasa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari 'Asyura'. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu. Lalu para sahabat mengatakan, "Ya Rasulullah, hari 'Asyura' adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ "Kalau begitu, tahun depan -jika Allah menghendaki- kita akan puasa pada hari kesembilan (Muharram)". Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah meninggal dunia." (HR. Muslim no. 2722) Mayoritas ulama berpendapat bahwa 'Asyura' adalah tanggal sepuluh pada bulan Muharram bukan tanggal sembilan, yaitu Sa'id bin Al Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq, Kholaiq. Inilah yang terlihat jelas pada hadits. Imam Syafi'i dan sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. ... Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan, agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits tadi terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan 'Asyura' (hari kesepuluh). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a'lam. (Lihat Syarh An Nawawi 'ala Muslim, 4/121) Catatan Penting: Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari ke-9, 10, dan 11. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً "Puasalah pada hari 'Asyura' (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya." Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu 'Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho'if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abu Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin 'Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, "Daud kadang yukhti' (keliru)." Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma'anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari 'Atho' dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu 'anhuma berkata: خَالِفُوْا اليَهُوْدَ وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالعَاشِرَ "Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram." Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya sampai pada sahabat). (Dinukil dari catatan kaki pada Zadul Ma'ad II/60 (Darul Fikr) yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan). Namun, hal ini bukan berarti berpuasa pada hari ke-11 Muharram tidaklah dianjurkan. Namun dalam rangka kehati-hatian penentuan awal Muharram, maka kita dianjurkan pula berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan 11 Muharram. Dalam Al Mughni, 6/195, Imam Ahmad mengatakan, "Jika ragu mengenai penentuan tanggal 1 Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari (hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen). Hal ini dilakukan agar menjadi yakin telah berpuasa pada hari ke-9 dan 10." Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa pada bulan Muharram. Insya Allah pada tahun ini, puasa 'Asyura' jatuh pada tanggal 19 Januari 2008, dan lebih baik lagi jika kita berpuasa pada hari sebelumnya untuk menyelisihi Yahudi, atau hari sesudahnya dalam rangka menghilangkan keraguan dalam penentuan awal Muharram. Wallahu a'lam bish showab. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan dapat memperbaiki keadaan mereka. Allahumman fa'ana bima 'alamtanaa, wa 'alimnaa maa yanfa'una wa zidna 'ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam. *** Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul Pada Malam Satu Suro 1429 H Bertepatan dengan 9 Januari 2008 **** lihat juga http//:www.rumaysho.wordpress.com . Subhanakallohumma wa bihamdihi, Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !