Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Masbûk pada Shalat Gerhana
Gerhana matahari dan bulan merupakan salah satu tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla yang ditampakkan kepada manusia agar mereka takut kepada sang penciptanya. Bukan sekedar gejala dan fenomena alam, seperti anggapan banyak orang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla. Tidak terjadi gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Tetapi karena Allâh Azza wa Jalla menjadikannya untuk menakuti para hamba-Nya. [HR. Al-Bukhâri, no. 1048].
Tujuan diadakan gerhana adalah untuk memberikan rasa takut kepada manusia agar mereka semakin dekat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan beribadah dan berdoa kepada-Nya. Lihatlah petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam sabda Beliau:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا، فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla. Tidak terjadi gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Apabila kalian melihat gerhana maka berdoalah kepada Allâh dan shalatlah hingga hilang gerhana tersebut. [HR. Al-Bukhâri, no. 1060]
Demikianlah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukan shalat gerhana secara berjamaah di masjid sampai gerhananya hilang. Ini diikuti kaum Muslimin hingga saat ini.
Namun terkadang seseorang yang ingin mengikuti shalat gerhana (Kusûf) ini di masjid mengalami keterlambatan karena sebab-sebab tertentu, misalnya dia terlambat mendengar informasi atau terlambat melihat peristiwa ini. Akibatnya, dia masbûk (tertinggal) dari imam dalam shalat gerhana. Lalu apa yang harus dia lakukan?
Tata Cara Shalat Masbuk dalam Shalat Gerhana
Tata cara masbûk dalam shalat gerhana tergantung pada perbedaan pendapat Ulama tentang tata cara shalat gerhana. Para Ulama berbeda pendapat tentang tata cara shalat gerhana dalam dua pendapat:
1. Shalat gerhana dilakukan dalam dua rakaat, sebagaimana tata cara shalat sunnah yang dua rakaat, shalat Shubuh, shalat Jum’at dan shalat dua rekaat lainnya. Satu rakaat satu ruku’. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanîfah. [1]
Berdasarkan ini, maka hukum masbûk menurut mereka sama dengan hukum masbûk dalam shalat fardhu dan lain-lainnya.
2. Shalat gerhana dilakukan dalam dua rakaat dan setiap rakaat ada dua ruku’ atau tiga ruku’. Ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, di antara mereka madzhab Mâlikiyah[2], asy-Syafi’iyah [3] dan al-Hanâbilah.[4]
Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma yang berbunyi:
خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ، فَقَامَ، فَأَطَالَ القِيَامَ، ثُمَّ رَكَعَ، فَأَطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ القِيَامَ وَهُوَ دُونَ القِيَامِ الأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ، ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ، ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الأُولَى، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتِ الشَّمْسُ، فَخَطَبَ النَّاسَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ، فَادْعُوا اللَّهَ، وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا»
Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan memanjangkan (melamakan) berdirinya kemudian ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian berdiri (lagi) dan memanjangkan berdirinya namun tidak sepanjang berdiri Beliau yang pertama, kemudian ruku’ dan memperpanjang ruku’nya namun tidak sepanjng ruku’ Beliau yang pertama.
Kemudian sujud dan memanjangkan sujudnya. Kemudian berbuat di rakaat kedua seperti yang diperbuat pada rakaat pertama, kemudian selesai sementara gerhana telah berlalu.
Setelah itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dengan memuja dan memuji Allâh kemudian berkata, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang atau hidupnya seseorang. Apabila kalian melihat gerhana tersebut maka berdoalah kepada Allâh Azza wa Jalla, bertakbir, shalat, dan bersedekahlah. [HR. Al-Bukhâri]
Juga dalam hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
كُسِفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ ذَلِكَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ إِبْرَاهِيمُ بْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّاسُ: إِنَّمَا كُسِفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ ابْنِهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ سِتَّ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ
Terjadi gerhana matahari di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu bertepatan dengan kematian Ibrâhim putra Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu orang-orang berkata, “Gerhana ini terjadi karena disebabkan kematian Ibrâhim putra Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengimami orang-orang shalat dalam enam ruku’ pada empat sujud. [HR. Abu Dâwûd no. 1178, dan dishahihkan al-Albâni].
Inilah pendapat yang shahih. Wallâhu ‘alam.
Masbuk Tertinggal Raka’at Pertama
Para Ulama tidak berbeda pendapat tentang masbûk dalam shalat gerhana yang ketinggalan satu rakaat penuh, maka ia meng-qadha’nya sesuai tata cara pelaksanaan rakaatnya yang tertinggal.[5]
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا. وفِي رِوَايَةٍ “فَاقْضُوا”
Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah! (HR. Al-Bukhâri, no 636), dan dalam sebuah riwayat : maka Qadha’lah!
Masbuk Mendapati Imam pada Ruku’ Kedua dalam Raka’at Pertama
Para Ulama yang merajihkan pendapat shalat gerhana dengan empat ruku’ atau enam ruku’ dalam dua rakaat, mereka berselisih pendapat tentang masbûk yang tertinggal ruku’ pertama dan mendapati imam ruku’ yang kedua dalam rakaat pertama. (Perbedaan tersebut terbagi) dalam dua pendapat:
1. Orang yang mendapatkan ruku’ kedua dalam rakaat pertama, maka rakaat pertamanya tidak dihitung sehingga dianggap kehilangan satu rakaat.
Inilah pendapat madzhab asy-Syafi’iyah [6]. Pendapat ini berdalil dengan dalil berikut:
• Perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shalat dengan satu ruku’, seperti yang difahami dari hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu 'anhu yang berisi :
فَصَلَّى، فَقَامَ بِنَا كَأَطْوَلِ مَا قَامَ بِنَا فِي صَلَاةٍ قَطُّ، لَا نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا ثُمَّ رَكَعَ بِنَا كَأَطْوَلِ مَا رَكَعَ بِنَا فِي صَلَاةٍ قَطُّ، لَا نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا، ثُمَّ سَجَدَ
Lalu Beliau shalat dan berdiri mengimami kami seperti berdirinya kami shalat terlama tanpa kami dengar suara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Beliau ruku’ seperti ruku’ kami dalam shalat terpanjang tanpa kami mendengar suara Beliau. Kemudian sujud. [HR. Abu Dâwûd 1/308 no. 1184, an-Nasâ’i 3/140, Ibnu Mâjah 1/402, dan dilemahkan al-Albâni dalam Dha’îf Sunan at-Tirmidzi dan Dha’îf Sunan Ibnu Mâjah].
Hadits ini menunjukkan bolehnya mencukupkan shalat gerhana dengan satu ruku’ dalam satu rakaat. Ini juga menunjukkan bahwa ruku’ pertama adalah wajib, sedangkan ruku’ kedua serta ketiga hanyalah sunnah. Sehingga rakaat tidak dihitung jika tertinggal ruku’ wajib yaitu ruku’ pertama, meskipun mendapatkan ruku’ kedua. [7]
Namun argumentasi ini dibantah dari tiga hal:
1. Haditsnya di atas lemah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Irwa’ al-Ghalil, 3/130. Hadits-hadits tentang (shalat gerhana dengan) satu ruku’ lemah, tidak ada satupun yang shahih, adakalanya karena ada illah atau syadz.
Sedangkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Di antara tata cara shalat gerhana adalah seperti shalat yang kamu lakukan, setiap rakaat satu ruku’." Namun para imam yang besar seperti Imam Ahmad, al-Bukhâri, dan asy-Syâfi’i rahimahumullah tidak menshahihkannya dan memandangnya sebagai sebuah kesalahan.[8]
2. Seandainya hadits tersebut dihukumi shahih, maka hadits tentang dua ruku’ lebih banyak dan lebih shahih.[9]
3. Dalam hadits ini tidak ada penunjukan yang jelas, yang menyatakan bahwa ruku’ yang pertama hukumnya wajib dan tidak adanya hitungan dengan ruku’ kedua pada masbûk. Bisa jadi hadits ini mencukupkan hanya dengan satu ruku’ untuk menunjukkan bahwa masbûk menghitung rakaat dengan ruku’ mana saja yang didapatinya. (Sehingga) Cukup dengan satu ruku’ saja untuk dianggap mendapatkan satu rakaat.[10]
Bantahan ini masih bisa dijawab, dengan menyatakan bahwa satu ruku’ adalah hal terkecil dari yang disyariatkan, sedangkan selebihnya, baik ruku’ kedua atau setelahnya, menjadi sunah sehingga tidak dianggap dalam menentukan rakaat.
• Ruku’ pertama adalah induk, sedangkan ruku’ kedua hukumnya ikut kepada ruku’ pertama (karena dilakukan setelahnya), sehingga tidak dianggap dalam penentuan hitungan rakaat. Ini seperti i’tidal (bangun) dari ruku’ dalam shalat-shalat lainnya.[11]
Namun alasan ini terbantah dengan menyatakan bahwa ini merupakan qiyâs dengan disertai perbedaan (menganalogikan dua hal padahal ada beda atau disebut dengan qiyâs ma’al fâriq), sebab tidak ada ruku’ kedua dalam satu rakaat pada shalat-shalat lain selain shalat gerhana.
Adapun shalat gerhana, setelah ruku’ pertama, ada ruku’ yang lain; sehingga ruku’ yang kedua bisa dianggap sama dengan hukum ruku’ pertama dalam penentuan rakaat. Jika ruku’ kedua sama hukumnya dengan ruku’ pertama, maka dengan mendapatkan ruku’ kedua bersama imam berarti yang masbûk terhitung mendapatkan raka’at.
• Masbûk yang ketinggalan ruku’ pertama berarti telah kehilangan satu ruku’ dalam satu rakaat, sehingga tidak dianggap mendapatkan satu rakaat. Ini sama dengan orang yang ketinggalan ruku’ dalam shalat-shalat lainnya. [12]
Alasan ini pun terbantah dengan alasan bahwa ini merupakan qiyâs dengan disertai perbedaan. Sebab shalat gerhana dalam satu rakaat ada lebih dari satu ruku’, sehingga ruku’ kedua sama kedudukannya dengan ruku’ pertama. Berbeda dengan shalat-shalat yang lainnya.
2. Terhitung mendapatkan satu rakaat dengan mendapatkan ruku’ kedua atau ketiga bersama imam.
Inilah madzhab Mâlikiyah[13] dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah.[14] Pendapat ini beralasan dengan alasan berikut :
• Dua ruku’ dalam shalat gerhana seperti satu ruku’. Orang yang mendapatkan sebagian ruku’ dianggap mendapatkan rakaat secara ijma’.[15]
Ruku’ kedua merupakan bagian dari ruku’ pada raka’at pertama, dan telah ada kesepakatan bahwa orang yang mendapatkan sebagian dari ruku’ bersama imam mendapatkan satu rakaat.
Namun alasan ini dibantah dengan menyatakan bahwa ruku’ pada selain shalat gerhana itu bersambung, berada pada satu tempat dan satu hukum. Sedangkan ruku’-ruku’ dalam shalat gerhana terpisah yang tentunya juga hukumnya berbeda. Sehingga tidak bisa dianalogikan dengan ruku’ dalam shalat selain gerhana.
• Diperbolehkan seorang shalat kusûf dengan satu ruku’ dalam setiap rakaatnya, sehingga masbûk yang tertinggal ruku’ pertama sudah sah dengan ruku’ yang kedua bersama imam.[16]
Alasan ini tidak bisa diterima karena kebolehan shalat dengan satu ruku’ dalam satu rakaat (shalat gerhana) dasarnya adalah hadits-hadits yang lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.
Seandainyapun diperbolehkan shalat dengan cara demikian, juga tidak dapat dijadikan alasan sahnya masbûk dengan hanya mendapatkan satu ruku’ saja. Bahkan bisa jadi menunjukkan ruku’ yang pertama adalah rukun yang harus dilaksanakan dan ruku’ kedua bukan rukun, sehingga masbûk yang mendapatkan ruku’ kedua pada rakaat pertama bersama imam tidak dihukumi mendapatkan rakaat pertama.
• Ruku’ kedua adalah rukun karena berada di tengah-tengah antara bacaan al-Qur`an dengan sujud, berbeda dengan ruku’ yang pertama (bukan rukun) karena berada di antara bacaan pertama dan kedua sehingga hukumnya sama dengan hukum bacaan tersebut. [17]
Alasan ini mungkin dijawab bahwa ruku’ yang pertama lebih pas dihukumi rukun karena ia adalah ruku’ pertama setelah takbiratul ihram, sedangkan ruku’ kedua dilakukan jauh setelahnya; sehingga tidak boleh menjadikan yang terakhir lebih kuat dari yang lebih dahulu.
Pendapat yang Rajih
Setelah melihat pendapat para Ulama dan alasan mereka dalam masalah ini, tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang berpendapat harus mendapati ruku’ pertama bersama imam agar mendapatkan rakaat pertama.
Inilah yang dirajihkan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn dalam asy-Syarhul al-Mumtî’ 5/260, dan fatwa dari Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-Ilmiyah wal Ifta` dalam fatwa no. 8732 yang ada dalam kitab Fatawa Lajnah 8/323 ketika menjawab pertanyaan:
Apakah benar ruku’ kedua dari shalat gerhana hukumnya sunah tidak dianggap dapat rakaat bagi masbûk yang tidak mendapatinya, dimana masbûk melaksanakan ruku’ pertamanya dengan rakaat yang sempurna dengan dua ruku’ setelah imam salam?Ataukah ruku’ kedua tersebut menduduki kedudukan ruku’ pertama?Mereka menjawab:Yang benar, orang yang ketinggalan ruku’ pertama dari shalat gerhana tidak dianggap mendapatkan rakaat dan wajib baginya mengqadha` posisinya dengan satu rakaat lain dengan dua ruku’. Karena shalat gerhana adalah ibadah dan ibadah harus berdasarkan dalil syariat, sehingga mencukupkan dalam hal ini pada tata cara yang benar yang ada dalam hadits-hadits yang shahih.Wabillahittaufiq.
Berdasarkan hal ini, seorang masbûk yang ketinggalan ruku’ pertama dari shalat gerhana harus mengulangi satu rakaat penuh dengan dua ruku’ setelah imam selesai salam dari shalatnya.
(Ruku' pertama maupun ruku' kedua dianggap sebagai rukun shalat gerhana, yang semuanya harus dilaksanakan dalam satu rakaat -Sa'ad-)
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1] Badâ’i ash-Shanâ`i’ 1/280, al-Bahru ar-Râ`iq 2/291 dan I’lâmu as-Sunan 8/161
[2] Lihat al-Mudawanah 1/164, adz-Dzakhîrah 2/429 dan Mawâhib al-Jalîl 2/201
[3] Lihat Nihâyatul Muhtâj, 2/403
[4] Lihat al-Mubdi’ 2/196 dan Kasyâf al-Qinâ’ 3/425
[5] Lihat al-Majmu’, 5/61
[6] Al-Majmu’ 5/61 dan Mughnil Muhtaaj, 1/319 dan Hanabilah (al-Mughni 3/332 dan al-Mubdi’ 2/199)
[7] Lihat Syarh az-Zarkasyi, 2/259 dan Kasyâf al-Qinâ’, 3/431 serta Manârus Sabîl, 1/209
[8] Zâd al-Ma’âd Fi hadyi Khairil ‘Ibâd 1/453
[9] Lihat al-Majmu’ 5/65
[10] Lihat al-Mughni 3/332
[11] Lihat Fathul Aziz, 5/79 dan al-Majmu’, 5/61
[12] Lihat al-Mughni 3/332
[13] Al-Mudawwanah, 1/164 dan adz-Dzakhirah, 2/430
[14] Lihat al-Mughni 3/332
[15] Lihat adz-Dzakhîrah 2/430
[16] Lihat al-Mughni 3/332
[17] Adz-Dzakhîrah, 2/430
Sumber : almanhaj.or.id
![]() |
Ilustrasi, sumber: nasihatsahabat.com |
Masbûk dalam Shalat Jenazah
Shalat jenazah adalah amalan fardhu kifayah yang harus dilakukan kaum Muslimin terhadap mayat saudaranya yang Muslim. Oleh karena itu, masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dari kaum Muslimin. Apalagi banyak kaum Muslimin yang enggan menyhalatkan jenazah dengan berbagai macam dalih. Bahkan terkadang anak-anak mayit tidak melakukannya untuk orang tuanya yang meninggal dunia tersebut dan sibuk menyambut para penta’ziyah dan menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka.
Orang yang menyhalatkan jenazah juga terkadang tertinggal dari imam yang memimpin shalat jenazah satu takbir atau lebih. Oleh karena itu, mengenal hukum-hukum berkenaan dengan masbûk dalam shalat jenazah perlu diketahui dengan melihat dan mengambil petunjuk yang telah dijelaskan para Ulama fikih dalam permasalahan tersebut.
Di antara permasalahan yang disampaikan para Ulama berkenaan dengan masbûk dalam shalat jenazah adalah:
Masbûk mendapati Imam dalam Sebagian Takbirnya
Apabila seorang mendapati imam dalam shalat jenazah telah bertakbir namun belum bertakbir yang berikutnya, apakah ia masuk dalam barisan makmum dengan bertakbir dan mengikuti imam atau menunggu imam bertakbir berikutnya?
Dalam permasalahan ini ada dua pendapat para Ulama:
Pendapat pertama menyatakan bahwa masbûk menunggu hingga imam bertakbir lalu bertakbir bersama imam, dan tidak masuk dalam shalat di antara dua takbir.
Inilah madzhab Hanafiyah dan salah satu madzhab dalam Mâlikiyah[1] serta sebuah riwayat dalam madzhab Hanabilah.[2] Ibnul Mundzir menyampaikan ini dari al-Hârits bin Yazîd dan ats-Tsauri serta Ishâq.[3]
Dalil pendapat ini adalah:
1. Riwayat dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhumaa, bahwa beliau berkata tentang orang yang bertemu imam dalam shalat jenazah dan imam telah mendahuluinya dalam satu takbir: "Jangan sibuk dengan mengqadha’ yang telah lalu, dia harus mengikutinya (imam)". Mereka menyatakan ini adalah pernyataan yang diriwayatkan dari beliau dan tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hal yang menyelisihinya, maka jadilah ini ijma’ sukuti [4].
2. Setiap takbir dari shalat Jenazah berkedudukan seperti rakaat dalam shalat lainnya. Masbûk yang ketinggalan mengikuti imam satu rakaat, tidak sibuk mengqadha yang ketinggalan.[5]
Pendapat kedua menyatakan bahwa masbûk yang ketinggalan sebagian takbir bersama imam dalam shalat jenazah, masuk bersama imam langsung dan tidak menunggu takbir imam setelahnya; dan dengan itu mendapatkan semua takbir (takbir sebelum ia datang dan setelah bersama imam).
Inilah pendapat Abu Yûsuf dari Ulama Hanafiyah[6], riwayat dari Imam Mâlik [7] dan madzhab Syâfi’i [8] serta yang shahih dari madzhab Hanabilah.[19] Juga merupakan pendapat al-Laits, al-Auza’i, dan Ibnul Mundzir.[10]
Dalil pendapat ini adalah:
1. Keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah [HR. Al-Bukhâri, no. 636]
Hadits yang mulia ini jelas-jelas memerintahkan makmûm untuk shalat bersama sesuai dengan yang didapatinya walaupun hanya sedikit. Sehingga masbûk dalam shalat jenazah juga shalat bersama imam langsung ketika mendapatinya.
2. Sudah dimaklumi bahwa masbûk (ketika) mendapatkan imam dalam sebagian shalatnya lalu disyariatkan baginya untuk bertakbir dan langsung menyesuaikan imam dalam keadaannya, tanpa menunggu imam selesai berpindah ke rukun yang lainnya. Demikian juga masbûk dalam shalat jenazah. Ibnu Abdilbarr rahimahullah berkata bahwa takbir pertama bagi masbûk seperti kedudukan takbiratul ihram sehingga harus dilakukannya dalam segala keadaan kemudian meng-qadha' yang terlewatkan setelah imam salam.
Secara ringkas yang rajih adalah pendapat kedua ini (langsung bertakbir tanpa menunggu takbir imam berikutnya -Sa'ad), karena kuatnya dalil dan lemahnya dalil pendapat yang pertama.
Hukum Masbûk Meng-qadha yang Terlewatkan dari Takbir Shalat Jenazah
Perlu diketahui bahwa para ahli fikih tidak berselisih pendapat tentang kewajiban empat takbir dalam shalat jenazah dan menyatakan bahwa itu seperti kedudukan rakaat-rakaat dalam shalat.[11]
Namun mereka berbeda pendapat dalam hukum meng-qadha takbir yang terlewatkan oleh masbûk, dalam dua pendapat:
1. Wajib bagi Masbûk untuk meng-qadha takbir-takbir yang terlewatkan bersama imam setelah imam salam dan bila tidak melakukannya maka tidak sah shalatnya.
Inilah madzhab Hanafiyah[12], Mâlikiyah[13], Syâfi’iyyah[14] dan sebuah riwayat dari madzhab Hanabilah. (al-Mubdi’, 2/258). Demikian juga ini adalah pendapat Sa’id, ‘Atha’, an-Nakhâ’i, az-Zuhri, Qatâdah, dan ats-Tsauri[15].
Dalil pendapat ini adalah:
1. Shalat yang disyaratkan wudhu dan memenuhi seluruh hukum shalat adalah shalat yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan shalat Jenazah masuk dalam hal ini. Sehingga berlaku keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah. [HR. Al-Bukhâri, no. 636].
Takbir yang terlewatkan oleh makmûm adalah bagian dari shalat jenazah, sehingga diharuskan menyempurnakan dan meng-qadhanya.
2. Setiap takbir kedudukanya sama dengan rakaat, sehingga tidak boleh kurang dari empat. Juga karena shalat ini disyariatkan maka wajib meng-qadha yang terlewatkan seperti shalat-shalat lainnya.
Syaikh bin Bâz rahimahullah mengatakan bahwa yang sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang terlewatkan sebagian takbir jenazah (adalah) untuk meng-qadhanya, karena keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا
Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan santai. Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka meng-qadhanya.
Cara meng-qadhanya adalah menjadikan awal takbir yang didapatinya sebagai awal shalat dan yang diqadhanya adalah akhir shalatnya, karena sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Yang kalian dapati maka sholatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah.
Apabila mendapati imam pada takbir ketiga maka ia bertakbir dan membaca al-Fatihah, dan bila imam bertakbir lagi maka bertakbir setelahnya dan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bila imam salam maka sang makmûm masbûk bertakbir (ketiga) dan membaca doa untuk jenazah yang pendek kemudian takbir keempat kemudian salam. [16]
2. Tidak wajib meng-qadhanya dan hukumnya hanya sunah.
Inilah pendapat madzhab Hanabilah[17] dan mayoritas Ulamanya.[18] Juga pendapat Ibnu Umar, al-Hasan al-Bashri, Rabi’ah, Ayûb, asy-Sya’bi, dan al-Auza`i.[19]
Dalil pendapat ini:
1. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, yang dibawakan imam Ibnu Qudâmah rahimahullah dalam al-Mughni dan Ibnul Jauzi rahimahullah dalam at-Tahqîq (Ibnu Abdilhâdi rahimahullah diam tidak menghukumi hadits ini dalam Tanqîh at-Tahqîq, 2/1325). ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُصَلِّي عَلَى الْجَنَازَةِ وَيخْفَى عَلَيَّ بَعْضُ التَّكْبِيرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا سَمِعْتِ فَكَبِّرِي وَمَا فَاتَكَ فَلا قَضَاءَ عَلَيْكِ
Wahai Rasûlullâh, aku shalat Jenazah dan tidak mendengar sebagian takbir (dari imam). Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang kamu dengar maka bertakbirlah dan yang terlewatkan maka tidak ada qadha atas kamu.’
Hadits ini disayangkan tidak didapatkan dalam kitab-kitab induk hadits Nabi, sehingga belum bisa dipastikan keabsahannya. Oleh karena itu tidak bisa dijadikan dasar dalil.
2. Dinukilkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma bahwa beliau tidak meng-qadha takbir-takbir yang terlewatkan (dalam shalat jenazah). (Dikeluarkan dari Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 3/306). Namun dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishâq seorang mudallis sehingga tidak bisa dihukumi shahih.
3. Dianalogikan dengan takbir shalat Ied, karena dilakukan hanya dalam keadaan berdiri.
Komisi Tetap Fatwa negara Saudi Arabia merajihkan pendapat pertama (makmum masbuk meng-qadha takbir -Sa'ad), sebagaimana dalam fatwa mereka dalam Fatwa Lajnah Dâimah lil Ifta’ 8/399, dan juga Syaikh Masyhûr Hasan Ali Salmân.
Syaikh Masyhûr hafizhahullah mengatakan, "Yang menenangkan jiwa ini adalah masbûk apabila mendapatkan empat takbir bersama imam, sedangkan imam shalat Jenazah dengan enam takbir atau tujuh takbir, maka yang terlewatkan dan masih mendapatkan empat takbir maka tidak perlu meng-qadhanya. Apabila mendapatkan kurang dari empat takbir maka hendaknya menyempurnakan empat takbir. Inilah yang saya pandang benar". (lihat https://ar.islamway.net/fatwa/ 31126).
Cara Mengqadha Takbir yang Terlewatkan
Para Ulama fikih sepakat menyatakan masbûk yang tertinggal sebagian takbir dalam shalat jenazah meng-qadhanya setelah imam salam.[20] Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا. وفِي رِوَايَةٍ : فَاقْضُوا
Yang terlewatkan maka sempurnakanlah. Dalam sebuah riwayat: “Qadha`lah!”
Namun mereka berbeda pendapat dalam cara meng-qadha takbir yang terlewatkan ini dalam tiga pendapat:
1. Meng-qadhanya secara berurutan langsung tanpa diselingi doa dan dzikir.
Inilah madzhab Hanafiyah[21] dan sebuah pendapat dalam madzhab Mâlikiyah[22] serta madzhab Hanâbilah.[23] Dalil pendapat ini:
• Riwayat imam Nâfi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, bahwa beliau berkata, “Tidak meng-qadhanya apabila bertakbir secara urut (tanpa diselingi doa dan dzikir) maka tidak mengapa”. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Tidak diketahui adanya yang menyelisihi dari kalangan Sahabat, maka itu adalah ijma.’[24]
• Seandainya diqadha semua yang terlewat dari zikir dan doa-doa tentulah umumnya jenazah keburu diangkat sebelum sempurna qadhanya sehingga shalatnya batal, karena tidak boleh dilakukan tanpa kehadiran jenazah. Sehingga dengan hanya takbir berurutan saja lebih hati-hati. [25]
2. Meng-qadha yang terlewatkan sesuai tata cara pelaksanaannya seperti biasanya, dengan doa dan dzikir sesuai dengan posisi takbirnya.
Inilah madzhab Syâfi’iyah.[26] Dalil pendapat ini:
• Keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Yang terlewatkan maka sempurnakanlah!
Qadha adalah menggantikan pelaksanaan ibadah yang tertinggal, termasuk dalam hal ini semua takbir shalat jenazah yang terlewatkan. Takbir tersebut diqadha sesuai dengan pelaksanaan normalnya.
• Pada asalnya dalam meng-qadha adalah dengan tata cara pelaksanaan yang normal. Dengan dasar ini, takbir-takbir yang terlewatkan diqadha sesuai dengan tata cara pelaksanaannya yang normal, sebagaimana shalat-shalat yang lainnya.
• Shalat jenazah dengan tidak adanya jenazah tersebut (shalat ghaib) diperbolehkan karena uzur, sehingga hukum menyhalatkan jenazah yang ada jenazahnya lebih bagus (afdhal).
3. Masbûk meng-qadha seperti tata cara biasanya apabila tidak khawatir jenazah keburu dibawa ke kuburan, dan bila khawatir maka bertakbir secara berurutan langsung tanpa dzikir dan doa.
Inilah madzhab Mâlikiyah dan sebuah pendapat dalam Syâfi’iyah.[27] Mereka mengkompromikan dalil-dalil dua pendapat di atas, dengan membawa dalil pendapat pertama untuk keadaan jenazah yang diyakini tidak dibawa sebelum selesai meng-qadhanya dan membawa pengertian dalil-dalil pendapat kedua apabila diyakini jenazah akan dibawa sebelum selesai qadhanya.
Pendapat kedua adalah pendapat yang rajih, menurut pendapat Komite Tetap untuk Fatwa negara Saudi Arabia sebagaimana dalam fatwa mereka (8/399) dan Syaikh bin Bâz rahimahullah.
Syaikh bin Bâz rahimahullah mengatakan, “Cara meng-qadhanya adalah menjadikan awal takbir yang didapatinya sebagai awal shalat dan yang diqadhanya adalah akhir shalatnya, karena sabda Rasûlullâh :
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Yang kalian dapati maka sholatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah.
Apabila mendapati imam pada takbir ketiga maka ia bertakbir dan membaca al-Fâtihah, dan bila imam bertakbir lagi maka bertakbir setelahnya dan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bila imam salam maka sang makmum masbûk bertakbir (yang ketiga) dan membaca doa untuk mayyit yang pendek, kemudian takbir keempat kemudian salam. [28]
Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1] Lihat al-Mudawwanah, 1/163 dan adz-Dzakhîrah, 2/466
[2] Lihat al-Mustau’ib, 5/243 dan al-Ausâth, 5/449
[3] Lihat al-Ausâth, 5/449
[4] Lihat al-Badâ’i, 1/314
[5] Lihat al-Badâ’i, 1/314
[6] Al-Mabsûth 2/66 dan al-Badâ’i, 1/341
[7] al-Istidzkâr, 2/561
[8] Mughnil Muhtâj, 1/344 dan Nihâyatul Muhtâj, 2/481
[9] Al-Mubdi’, 2/257
[10] lihat al-Majmû’ 5/243 dan al-Istidzkâr, 2/561
[11] Mughnil Muhtâj, 2/482
[12] Al-Mabsûth, 2/66
[13] Mawâhib al-Jalîl, 1/217
[14] Al-Majmû’, 5/241
[15] Lihat al-Mughni, 3/424
[16] Majmû’ Fatâwa Syaikh bin Bâz, 13/149
[17] Ar-Raudh al-Murbi’, 1/102
[18] Al-Inshâf, 2/530
[19] Lihat al-Mughni, 3/424
[20] Lihat Nihâyatul Muhtâj 2/481
[21] Lihat Fathul Qadîr, 2/126
[22] Lihat, adz-Dzakhîrah 2/466
[23] Lihat al-Inshâf, 2/530
[24] Al-Mughni 3/424
[25] Lihat Fathul Qadîr 2/126
[26] Al-Majmû’ 5/241 dan Nihâyatul Muhtâj 2/481
[27] Lihat al-Qawânin al-Fiqhiyah, 1/65
[28] Majmû’ Fatâwa Syaikh bin Bâz 13/149
Sumber: almanhaj.or.id
--oo00OO00oo--
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !