Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang
Disusun oleh:
Ust. Said Yai Ardiansyah Lc, MA hafidhahullaah
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan
kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka
damaikan oleh kalian antara keduanya! Akan tetapi, kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian
(kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada
perintah Allâh. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya
Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil.
[QS. al-Hujurat/49 : 9]
Ringkasan Tafsir
(Dan
kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman) baik jumlahnya
sedikit ataupun banyak, (berperang), baik yang sedang berperang atau
akan berperang, (maka damaikan oleh kalian antara keduanya!) dengan
membuat perjanjian kesepakatan. (Akan tetapi, kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain), dengan menolak perjanjian tersebut atau
tidak ridha dengan hukum Allâh, (maka perangilah oleh kalian (kelompok)
yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah
Allâh,) yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran. (Kalau mereka
telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan
hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang
yang berlaku adil.)[1]
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Peperangan merusak hubungan
persaudaraan seiman. Oleh karena itu, dia termasuk dosa besar yang
paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman tidak lenyap
dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana
dosa-dosa besar lain yang berada di bawah syirik (tidak melenyapkan
iman). Dan inilah madzhab Ahlus Sunnah wal-Jamaa’ah, begitu pula dalam
permasalahan: wajibnya mengadakan perdamaian di antara orang-orang yang
beriman dengan adil, wajibnya memerangi orang-orang melanggar perjanjian
atau pemberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allâh … Dan
(setelah memerangi mereka), harta mereka dilindungi (atau tidak menjadi
ghanîmah), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka terus
melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil harta-harta mereka.”[2]
Penjabaran Ayat
Sebab Turunnya Ayat
Para Ulama berbeda pendapat tentang sebab turun ayat ini. Sebab turun yang shahîh tercantum dalam hadits berikut:
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ اللهِ بْنَ أُبَيٍّ.
فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَكِبَ
حِمَارًا فَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ مَعَهُ وَهْيَ أَرْضٌ
سَبِخَةٌ فَلَمَّا أَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: إِلَيْكَ عَنِّي! وَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي نَتْنُ حِمَارِكَ.
فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْهُمْ: وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ. فَغَضِبَ
لِعَبْدِ اللهِ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَشَتَمَا فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ فَكَانَ بَيْنَهُمَا ضَرْبٌ بِالْجَرِيدِ
وَالأَيْدِي وَالنِّعَالِ فَبَلَغَنَا أَنَّهَا أُنْزِلَتْ: وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Diriwayatkan
dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam disarankan, ‘Sebaiknya engkau menemui
‘Abdullah bin Ubay.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi
dan diikuti oleh kaum Muslimin menuju tanah yang tandus. Ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya, berkatalah ‘Abdullah bin Ubay,
‘Menjauhlah dariku! Demi Allâh! Bau keledaimu telah menggangguku.’ Maka
berkatalah seorang laki-laki dari Anshâr, ‘Demi Allâh! Keledai
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih harum daripada dirimu.’
Kemudian marahlah seorang laki-laki dari kaumnya karena ‘Abdullah
diejek. Mereka berdua pun saling mengejek, kemudian teman-teman kedua
laki-laki tersebut saling marah dengan yang lain. Dan terjadilah
pemukulan dengan pelepah kurma, tangan dan sandal-sandal. Dan kami
diberitahukan bahwa karena hal itulah diturunkan ayat, yang artinya,
“Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang,
maka damaikan oleh kalian antara keduanya!”[3]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya!
Dalam
ayat ini Allâh Azza wa Jalla masih menamai kedua kelompok tersebut
sebagai kaum yang beriman, meskipun sekelompok orang Mukmin yang satu
memerangi dan membunuh sekelompok orang Mukmin lainnya. Allâh Azza wa
Jalla juga tidak mengatakan bahwa orang atau kelompok yang membunuh
sebagai orang kafir.
Imam al-Bukhâri mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla menamai mereka sebagai orang-orang yang beriman.”[4]
Ini
menunjukkan bahwa Imam al-Bukhâri memahami bahwa hal tersebut tidak
menyebabkan salah satu dari dua kelompok tersebut keluar dari agama
Islam.
Begitu pula jika kita perhatikan ayat yang berbicara tentang qishâsh.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ
ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishâsh berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang dimaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik. [al-Baqarah/2:178]
Pada
ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebut orang yang membunuh sebagai
seorang yang beriman dan tidak menghilangkan keimanan dan persaudaraan
seiman pada dirinya dengan firman-Nya, yang artinya “maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.” Dalam ayat ini, Allâh
Azza wa Jalla masih menyebut orang yang membunuh sebagai saudara yang
lain.
Begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Janganlah kalian setelahku menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain.[5]
Pada
hadits ini, meskipun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
mereka sebagai orang yang kafir, tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menganggap sebagian mereka sebagai bagian yang lain. Ini
menunjukkan bahwa kekafiran yang dimaksud bukanlah kekafiran yang
menyebabkan mereka keluar dari agama Islam.
Begitu
pula dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau
menyebutkan tentang pemberontakan yang akan terjadi di antara para
Shahabat:
وَتَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فِرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ
Dan
akan ada kelompok yang keluar ketika terjadi perpecahan di antara kaum
Muslimin. Kemudian kelompok yang lebih utama memerangi mereka dengan haq
(kebenaran).[6]
Dan
kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwa setelah ‘Utsmân bin ‘Affân
Radhiyallahu 'anhu wafat, maka terjadilah perselisihan antara pendukung
pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu dengan pendukung
Mu’âwiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu 'anhu, sehingga terjadi peperangan
antara dua kelompok besar kaum Muslimin.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini sebelumnya,
yaitu tentang cucu Beliau yang bernama al-Hasan bin Abi Thâlib
Radhiyallahu 'anhuma :
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya
anakku ini (yaitu cucu Beliau) adalah sayyid (pemimpin). Mudah-mudahan
Allâh akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin dengan
sebabnya.[7]
Dengan
demikian, kita mengetahui bahwa peperangan dan bunuh-bunuhan yang
terjadi antara kedua kelompok besar tersebut tidak menyebabkan salah
satu kelompok menjadi orang kafir, keluar dari agama Islam.
Kekafiran Ada Dua Jenis
Sangat
perlu ditekankan pada tulisan ini, bahwa tidak semua lafaz: kefasikan,
kekafiran, kemunafikan dan kezhaliman, di dalam ayat-ayat Al-Qur’ân dan
juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti hal tersebut
menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Kefasikan
(al-fisq), kekafiran (al-kufr), kemunafikan (an-nifâq) dan kezhaliman
(adzh-dzhulm) terbagi menjadi dua, yaitu: akbar dan ashghar.
Al-Kufr al-Akbar menyebabkan pelakunya dari Islam, sedangkan al-kufr al-ashghar tidak menyebabkan pelakunya dari Islam.
Contoh al-kufr al-akbar (kekafiran yang besar) tercantum pada ayat berikut:
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Dan
(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Sujudlah kalian
kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis, dia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
[al-Baqarah/2:34]
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَظَلَمُوا۟ لَمْ
يَكُنِ ٱللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allâh sekali-kali tidak
akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan
kepada mereka [An-Nisâ’/4:168]
Kekafiran yang dimaksudkan pada kedua ayat tersebut adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Contoh al-kufr al-ashghar tercantum pada hadits berikut:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang Muslim adalah perbuatan fasiq (dosa) dan membunuhnya adalah perbuatan kafir
Kekafiran
pada hadits ini tidak menunjukkan bahwa pembunuhan merupakan perbuatan
yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Inilah
aqidah Ahlussunnah wal-Jamâ’ah. Mereka tidak mengkafirkan orang-orang
yang melakukan dosa besar, seperti: membunuh, berzina, minum-minuman
keras dan lain-lain. Ini sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh
orang-orang sesat dari kaum khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang
yang melakukan dosa-dosa besar tersebut.[8]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ
Akan
tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka
perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai
mereka kembali kepada perintah Allâh
Para
pemberontak yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil boleh
diperangi dan dibunuh. Dalilnya adalah ayat yang sedang kita bahas ini.
Apabila ada suatu kelompok yang:
- Memiliki kekuatan untuk memberontak, tidak mau menaati imam yang adil (sah),
- Memiliki syubhat/kesalahan dalam memahami dalil dan
- Mereka mengangkat seorang imam,
maka imam tersebut (yaitu imam yang sah -Sa'ad-) wajib mengutus
perwakilan kepada mereka dan mengajak mereka untuk taat kepadanya.
Apabila
mereka menyatakan bahwa telah terjadi kezhaliman kepada mereka, maka
sang Imam harus menyelesaikannya. Apabila ternyata tidak ada kezhaliman
yang dilakukan imam kepada mereka, tetapi mereka tetap memberontak, maka
sang Imam berhak memerangi mereka sampai mereka kembali menaati sang
Imam.
Tetapi perlu
diingatkan pada tulisan ini, memerangi mereka bukan berarti dihalalkan
mengambil harta mereka, memperbudak mereka dan juga memperbudak
anak-istri mereka setelah terjadi peperangan, sebagaimana dihalalkan
mengambilnya dari orang-orang kafir. Mereka adalah orang-orang Islam,
apabila ketika mereka diperangi dan melarikan diri, maka mereka tidak
boleh dikejar, apabila mereka ditawan, maka mereka tidak boleh dibunuh,
apabila mereka terluka, maka harus diberikan pengobatan.
Jika terpenuhi ketiga syarat tersebut, barulah sang Imam boleh memerangi mereka.
Namun, jika belum terpenuhi syarat-syarat tersebut, misalkan kelompok pemberontak tersebut:
- Jumlahnya sedikit dan tidak memiliki kekuatan,
- Mereka tidak memiliki syubhat atau salah dalam memahami dalil atau
- Mereka tidak mengangkat seorang imam dan tidak mengumumkan peperangan kepada kaum Muslimin,
maka tidak boleh memerangi mereka. Kecuali mereka
sangat mengancam bagi kaum Muslimin, maka diperbolehkan untuk memerangi
mereka.[9]
Ayat ini
menunjukkan wajibnya memerangi kelompok pemberontak yang benar-benar
memberontak kepada Imam, pemerintah atau membunuh orang-orang Islam. Ini
tidak bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Membunuhnya adalah perbuatan kafir.
Kita
ketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak mungkin memerintahkan para
hamba-Nya untuk melakukan perbuatan kafir. Oleh karena itu, perintah
dalam ayat tersebut di atas adalah salah satu bentuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla.
Kita juga mengetahui bahwa Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu 'anhu memerangi orang Islam yang tidak mau bayar zakat.[10]
Ilustrasi, sumber: muslim.or.id |
Tidak Bermudah-Mudahan dalam Masalah Membunuh Para Pemberontak
Meskipun
Allâh Azza wa Jalla mengizinkan untuk memerangi para pemberontak dan
orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi, sudah
sepantasnya para pemegang kekuasaan tidak menganggap sepele masalah
pembunuhan terhadap para pemberontak. Pertimbangan untuk membunuh mereka
haruslah benar-benar matang. Pemegang kekuasaan harus menimbang
kemaslahatan (kebaikan) dan kemudaratan (keburukan) yang akan terjadi
jika para pemberontak tersebut diperangi.
Diriwayatkan
dari Nâfi’ rahimahullah, bahwa ada seseorang mendatangi Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu 'anhuma dan berkata, “Ya Abu ‘Abdirrahman![11]
Apakah engkau tidak mendengar ayat yang Allâh sebutkan dalam kitab-Nya:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan
kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka
damaikan oleh kalian antara keduanya! [al-Hujurat/49:9]
Apa
yang menghalangimu untuk tidak memerangi (orang-orang) sebagaimana yang
Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam kitab-Nya?"
Beliau pun berkata,
“Wahai anak saudaraku! Saya tidak ingin salah dalam memahami ayat ini.
Tidak memerangi (mereka) lebih saya sukai daripada salah dalam memahami
ayat yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
Barang
siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya
adalah Jahannam, dia kekal di dalamnya. [An-Nisâ/4:93]."
Beliau berkata, "Sesungguhnya Allâh berkata:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
Dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah [al-Baqarah/2:193]”[12]
Dari
atsar di atas kita dapat memahami bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma
sangat berhati-hati dalam menghukumi suatu permasalahan, karena
permasalahan tersebut sangat besar dan beliau takut terjatuh pada
kesalahan sehingga seorang Mukmin membunuh saudaranya bukan dengan
alasan yang benar, sehingga dia terjatuh pada ayat:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Barang
siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya
adalah Jahannam, dia kekal di dalamnya. Dan Allâh murka kepadanya dan
mengutuknya serta menyediakan untuknya azab yang besar [An-Nisâ’/4:93]
Begitu
pula, beliau Radhiyallahu 'anhuma memahami bahwa halalnya memerangi
orang yang memberontak adalah karena pertimbangan maslahat yang besar
atau menghindarkan mudarat (bahaya). Akan tetapi, jika dengan memerangi
mereka bukan karena Allâh Azza wa Jalla dan akan terjadi fitnah yang
sangat besar di antara kaum Muslimin, maka hal tersebut tidak
disyariatkan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allâh. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zalim. [al-Baqarah/2:193]
Firman Allâh Ta’ala:
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan orang yang berbuat adil, beliau berkata:
إِنَّ
الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ
الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ
يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Sesungguhnya
orang-orang yang muqsith (adil) nanti akan berada di sisi Allâh di atas
mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah tangan kanan Ar-Rahmaan, dan kedua
tangan Allâh adalah kanan. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil
ketika berhukum, berbuat adil terhadap keluarganya dan orang-orang yang
menjadi tanggungannya.[13]
Kesimpulan
Dengan membaca paparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa:
- Membunuh seorang Muslim tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, tetapi orang yang melakukannya telah melakukan dosa yang sangat besar dan diancam untuk masuk ke dalam neraka.
- Pemegang kekuasaan berhak untuk memerangi para pemberontak yang sangat mengancam negeri kekuasaannya dan dihalalkan untuk membunuh mereka jika tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Demikian tulisan ini. Mudah-mudahan bermanfaat.
Daftar Pustaka
1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
2. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
3. Ma’ârijul Qabûl Bisyarhi Sullamil Wushûl ilâ ‘Ilmil-Ushûl. Hafidzh bin Ahmad bin Al-Hakami. Dammaam: Daar Ibnil-Qayyim.
4. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
5. Syarh I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah minal-Kitab was-Sunnah wa Ijmâ’ish-shahâbah. Ar-Riyadh: Dar Ath-Thaibah.
6. Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
7. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
8. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1] Lihat Aisarut-Tafâsîr IV/122 dan Tafsîr as-Sa’di hlm. 800
[2] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 800
[3] HR. Al-Bukhâri, no. 2691
[4] Catatan beliau di Bab 23 dalam Shahîh Al-Bukhâri, sebelum hadits ke-31
[5] HR. Al-Bukhâri no. 121 dan Muslim no. 65/223
[6] HR. Muslim no. 1065/2458
[7] HR. Al-Bukhâri no. 2704
[8] Lihat Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlissunnah wal-Jamâ’ah I/163-164 dan Ma’ârijul Qabûl III/1018-1019
[9] Ma’âlimut Tanzîl VII/341
[10] Lihat Ma’âlimut Tanzîl VII/341-342
[11] Kunyah atau panggilan untuk ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma
[12] HR. Al-Bukhâri no. 4650
[13] HR Muslim, no. 1827/4721
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !