Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Hukuman Bagi Pezina di Dunia dan di Akhirat
Disusun oleh:
Ust. Said Yai Ardiansyah, Lc M.A hafidhahullaah
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ
بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴿١﴾ الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي
فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
1.
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia
(menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di
dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya.
2.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh ,
jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman
[QS. An-Nur/24:1–2]
RINGKASAN TAFSIR
“(Ini
adalah) satu surat yang Kami turunkan,” Ini adalah surat yang termasuk
Kitab Allâh, Kami turunkan kepada hamba Kami dan Rasul Kami, yaitu
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Dan Kami wajibkan dia,” kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada umat Islam.
“Dan
Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu
mengingatnya,” yaitu agar kalian bisa mengambil pelajaran dan
mengamalkan kandungan surat ini yang berupa perintah, larangan, adab dan
akhlak.
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina,” maksudnya barangsiapa berzina
dengan seorang laki-laki dan keduanya merdeka (bukan budak), belum
menikah dan tidak dimiliki oleh orang lain,
“maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,” maksudnya
pukulah di kulit punggungnya dengan tongkat yang tidak menyebabkan luka,
tidak mematahkan tulang dan tidak mememarkan. Dan ditambahkan di dalam
hadits, dengan hukuman pengasingan selama satu tahun.
“Dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk
(menjalankan) agama Allâh,” maksudnya janganlah kalian merasa kasihan
kepada mereka berdua sehingga kalian membatalkan hudud (hukuman yang
telah ditetapkan oleh Allâh )[1] dan kalian menahan mereka berdua untuk
mendapatkan pembersihan dosa dengan hudud ini, karena hudud adalah
penghapus dosa untuk para pelakunya.
“Jika
kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat,” maksudnya adalah
laksanakanlah oleh kalian hudud tersebut kepada mereka berdua.
“Dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman,” maksudnya pelaksanaan tersebut disaksikan
oleh tiga orang atau lebih. Jika disaksikan oleh empat orang maka itu
lebih utama, karena persaksian dalam perzinaan hanya bisa ditetapkan
dengan empat orang saksi. Jika jumlahnya lebih banyak maka lebih
utama.[2]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Satu
surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum
yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang
jelas, agar kalian selalu mengingatnya.
“Satu surat” maksudnya, surat
an-Nûr ini.
Perkataan
Allâh Azza wa Jalla :
أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا
“Yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia” terdapat dua qiraat.
Ibnu
Katsir dan Abu ‘Amr membacanya dengan râ’ yang di-tasydid, yaitu:
أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَّضْنَاهَا
Adapun yang lainnya membaca dengan tanpa di-tasydid, seperti dicantumkan
di atas.
APAKAH TERJADI PERBEDAAN MAKNA?
Sebagian
Ulama tafsir memandang terdapat perbedaan antara arti keduanya. Jika
dibaca (وَفَرَضْنَاهَا) maka artinya adalah Kami wajibkan hukum-hukum
yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Sedangkan
makna dari (وَفَرَّضْنَاهَا) adalah Kami rincikan dan jelaskan
hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.
Dan sebagian Ulama tafsir memandang tidak ada perbedaan makna dari
keduanya, yang berarti Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di
dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Hanya saja lafaz yang kedua,
yaitu (وَفَرَّضْنَاهَا) menunjukkan bahwa kewajiban yang terdapat di
dalam surat ini sangat banyak.[3]
Karena
memang kita dapatkan banyak sekali hukum-hukum yang terkandung dalam
surat ini. Di antara hukum yang disebutkan adalah: hukuman bagi orang
yang berzina, orang yang menuduh orang lain berzina, saling melaknat,
hukum memasuki rumah seseorang, menundukkan pandangan, pernikahan, aurat
dll.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”
SIAPAKAH ORANG YANG BERZINA YANG DIMAKSUD DALAM AYAT INI?
Yang
dimaksud dalam ayat ini adalah pezina yang belum pernah menikah, karena
itu disebutkan hukumannya yaitu didera (dipukul/dicambuk) sebanyak 100
kali. Adapun untuk orang yang sudah menikah maka hukumannya dirajam.
HUKUMAN BAGI ORANG YANG BERZINA YANG BELUM MENIKAH
Para
Ulama sepakat bahwa orang yang berzina yang belum menikah dihukum
dengan 100 kali dera, tetapi mereka berselisih pendapat tentang
penambahan hukuman pengasingan di daerah lain selama satu tahun.
Jumhur
Ulama memandang bahwa selain didera sebanyak 100 kali maka dia juga
harus diasingkan ke daerah lain selama satu tahun. Namun, Abu Hanifah
rahimahullah berpendapat bahwa pengasingan selama setahun itu adalah
hukuman yang ditentukan oleh sang hakim. Jika hakim memandang perlu
untuk dilakukan maka dilaksanakan pengasingan dan jika tidak, maka tidak
dilaksanakan.
Pendapat
yang kuat adalah pendapat jumhur Ulama, karena pengasingan disebutkan
dalam beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya
adalah:
Hadits Pertama:
Hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Radhiyallahu 'anhuma, beliau berdua berkata:
كُنَّا
عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ:
أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلاَّ قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ
فَقَامَ
خَصْمُهُ وكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ: اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ
وَأْذَنْ لِي؟
قَالَ: قُلْ
قَالَ: إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى
هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِئَةِ شَاةٍ
وَخَادِمٍ, ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالاً مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي
أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِئَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ، وَعَلَى امْرَأَتِهِ
الرَّجْمَ
فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم-: وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ -جَلَّ ذِكْرُهُ-
الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِئَةٍ
وَتَغْرِيبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ
اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا.
“Dulu
kami berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Saya memohon kepadamu dengan
mengangkat suaraku agar engkau menghukumi di antara kami dengan
menggunakan Kitab Allâh.
Kemudian
berdirilah orang yang berselisih dengannya – dan dia lebih paham
darinya – dan berkata, ‘Hukumilah kami dengan menggunakan Kitab Allâh
dan izinkanlah saya berbicara!’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bicaralah!’
Dia
berkata, ‘Sesungguhnya anakku dipekerjakan oleh orang ini kemudian dia
berzina dengan istrinya. lalu saya menebusnya dengan 100 ekor kambing
dan seorang pembantu. Kemudian saya bertanya kepada para lelaki di
kalangan ahli ilmu bahwa hukuman bagi anakku adalah didera sebanyak 100
kali dan diasingkan selama setahun dan hukuman untuk istrinya adalah
dirajam.’
Kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Yang jiwaku berada
di tangan-Nya, saya akan menghukumi antara kalian dengan Kitab Allâh
-jalla dzikruhu-. Adapun 100 ekor kambing dan pembantu maka dikembalikan
(kepadamu), hukuman untuk anakmu adalah didera sebanyak 100 kali dan
diasingkan selama satu tahun. Pergilah ya Unais ke istri orang ini!
Apabila dia mengakuinya maka rajamlah dia!’
Kemudian Unais pun pergi menemuinya dan dia mengakuinya, kemudian dia merajamnya.” [4]
Hadits Kedua:
Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خُذُوا
عَنِّى, خُذُوا عَنِّى, قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً. الْبِكْرُ
بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْىُ سَنَةٍ, وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ
جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ.
“Ambillah
dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allâh telah menjadikan untuk
mereka (para wanita yang berzina) jalan keluar [5]. Perzinaan
antara yang belum menikah dengan yang belum menikah adalah didera
sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan perzinaan
antara orang yang sudah menikah dengan yang sudah menikah adalah didera
sebanyak 100 kali dan dirajam.” [6]
Dengan
kedua hadits di atas kita memahami bahwa hukuman bagi orang yang
berzina yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan
diasingkan ke negeri lain selama satu tahun dan hukuman bagi orang yang
berzina yang muhshan adalah dirajam. Orang yang muhshan adalah orang
yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah.
BAGAIMANA CARA MENDERANYA?
Para
Ulama fiqh sepakat bahwa yang didera atau di-jald/dipukul adalah orang
yang sehat dan kuat untuk didera (dipukul), adapun yang tidak kuat maka
tidak didera.
Kemudian
dideranya menggunakan cambuk yang sedang, tidak basah dan tidak juga
sangat kering, tidak tipis sehingga tidak menyakiti dan tidak juga tebal
sehingga membuat luka.
Yang menderanya tidak mengangkat tangannya sampai di atas kepalanya, sehingga terlihat ketiaknya.
Kemudian tidak boleh memukul wajah, kelamin dan anggota tubuh yang mematikan (jika dipukul).
Menurut
Jumhur Ulama, pakaian tidak perlu dilepas dan laki-laki didera dengan
berdiri sedangkan wanita duduk, sedangkan menurut Imam Malik
rahimahullah, pakaiannya harus dilepas dan laki-laki dan wanita didera
dengan duduk.[7]
BAGAIMANA CARA PENGASINGANNYA SELAMA SETAHUN?
Menurut
madzhab al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, pengasingannya
adalah ke tempat yang boleh meng-qashar shalat jika bersafar ke sana
atau lebih jauh dari itu. Pendapat inilah yang diamalkan sebelumnya oleh
Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya.
Menurut
madzhab asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, pengasingan tersebut dilakukan
tanpa memenjarakan orang yang diasingkan tersebut, tetapi orang tersebut
harus terus diawasi agar tidak kembali ke negerinya.
Pengasingan
ini dilakukan baik untuk orang yang berzina laki-laki maupun wanita,
hanya saja jika dia wanita, maka wanita tersebut harus ditemani oleh
mahramnya.
Sedangkan menurut madzhab al-Malikiyah, pengasingan tersebut disertai
dengan memenjarakannya, hanya berlaku untuk laki-laki dan tidak berlaku
untuk wanita.[8]
Allâhu a’lam, pendapat asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah lebih cocok dengan yang disebutkan pada zahir hadits.
Adapun
di Saudi Arabia, penulis pernah bertanya kepada seorang teman yang
beliau adalah penduduk asli kota Madinah, tentang penerapan pengasingan
ini, beliau berkata, “Dia dikirim ke kota lain, kemudian dia wajib
melaporkan dirinya ke polisi setiap hari dan dia tidak ditahan.”
Di negara kita hal seperti ini dikenal dengan istilah “tahanan kota” dan “wajib lapor”.
BAGAIMANA CARA MERAJAMNYA?
Hukuman rajam adalah hukuman dengan dilempar dengan batu oleh orang banyak sampai orang yang dihukum meninggal.
Batu
yang digunakan adalah batu sebesar genggaman tangan, bukan batu yang
sangat besar sehingga cepat meninggalnya dan bukan juga batu yang kecil
sehingga terlalu lambat meninggalnya.
Ketika melemparkan batu, maka dijauhi dari melempar wajah, karena kemuliaan wajah.
Laki-laki
yang dirajam, dirajam dalam keadaan berdiri, tidak diikat dan tidak
dikubur sampai setengah dadanya. Adapun wanita yang dirajam, dirajam
dengan dikubur sampai setengah dadanya agar tidak tersingkap auratnya.
Orang-orang
yang melemparnya mengelilingi orang yang akan dirajam, kemudian mereka
ber-shaf-shaf. Setelah shaf pertama selesai, dilanjutkan dengan shaf
berikutnya. Mereka melemparinya sampai meninggal.[9]
BENARKAH HUKUMAN RAJAM TIDAK ADA DI DALAM AL-QUR’AN?
Allâh
Azza wa Jalla pernah menurunkan ayat tentang rajam, kemudian Allâh
hapuskan penulisannya di dalam al-Qur’an, tetapi hukumnya tetap berlaku
dan dikerjakan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn.
Terdapat sebuah atsar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata:
قَالَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه
وسلم- بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ
عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ, قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا,
فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ
الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ, فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ
أَنْزَلَهَا اللَّهُ
وَإِنَّ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى
مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ
الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الاِعْتِرَافُ.
“Umar
bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu pernah berkata ketika beliau duduk
di atas mimbar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Sesungguhnya
Allâh telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
haq dan telah menurunkan Al-Kitab kepadanya. Dan dulu yang termasuk yang
diturunkan adalah ayat tentang rajam. Kami dulu membacanya, memahami
dan mengerti kandungannya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menerapkan rajam dan kami juga pernah menerapkannya
sepeninggal Beliau.
Saya
takut jika manusia melalui zaman lama, ada seseorang yang berkata,
‘Kami tidak mendapatkan tentang rajam di Kitab Allâh ,’ sehingga mereka
tersesat karena meninggalkan suatu kewajiban yang Allâh turunkan.
Sesungguhnya
rajam terdapat di Kitab Allâh, dia adalah kewajiban (yang harus
dihukumkan) kepada orang yang berzina yang telah menikah dari kalangan
laki-laki dan wanita, apabila telah tegak bukti atau (didapatkan wanita)
sedang hamil atau adanya pengakuan (berzina).”[10]
Pada
hadits-hadits di atas disebutkan dengan jelas tentang adanya syariat
rajam untuk orang yang berzina yang sudah menikah. Begitu pula rajam
pernah dilakukan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada seorang wanita al-Ghâmidiyah, kepada seorang laki-laki yang
bernama Mâ’iz dan kepada yang lainnya.
APAKAH ORANG YANG BERZINA YANG SUDAH MENIKAH JUGA DIDERA SELAIN DIRAJAM?
Para
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut madzhab Imam Ahmad,
hukuman untuknya ada dua, yang pertama adalah didera, kemudian dirajam.
Diriwayatkan
dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu bahwasanya didatangkan
kepada beliau seorang wanita bernama Syurâhah yang telah berzina dan dia
telah menikah, kemudian beliau menderanya di hari Kamis dan merajamnya
di hari Jumat. Kemudian beliau berkata:
جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللهِ ، وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Saya dera dia dengan Kitab Allâh dan saya rajam dia dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[11]
Adapun
madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafî memandang bahwa orang
tersebut tidak perlu didera tetapi langsung dirajam, karena tidak
didapatkan dalil dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan rajam dengan dera.
Allâhu a’lam.
Pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad lebih berhati-hati, karena ini:
1.
Disebutkan pada hadits kedua, hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit
Radhiyallahu 'anhu di atas bahwasanya orang yang sudah menikah
mendapatkan dua hukuman, yaitu didera kemudian dirajam.
2.
Termasuk sunnah dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu (salah satu
al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn) yang kita diperintahkan untuk mengikutinya.
3.
Tidak ada kabar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderanya,
tidak menjadi dalil akan tidak adanya dera, karena al-mutsbit muqaddam
‘alan-nâfi (yang menetapkan didahulukan dari yang mentiadakan) Allâhu
a’lam.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk
(menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari
akhirat.”
Para
Ulama berselisih pendapat dalam mengartikan “Dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama
Allâh,”
Di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut [12]:
1.
Janganlah kalian kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian
mentiadakan dan tidak menegakkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan
oleh Allâh).
Ini adalah pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i dan asy-Sya’bi rahimahumullâh.
Ini juga sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
تَعَافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ , فَمَا بَلَغَنِى مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ
“Saling
memaafkanlah kalian di dalam perkara hudud di antara kalian. Adapun
jika salah satu hudud telah sampai kepadaku maka hukumnya menjadi
wajib.”[13]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa wajib menjalankan hudud
jika perkara tersebut sudah sampai kepada sang hakim, sehingga sang
hakim tidak boleh menunda-nunda penyelesaiannya.
2.
Janganlah kalian kasihan ketika melaksanakan prosesi hukuman tersebut,
sehingga kalian memelankan pukulan, tetapi pukullah dia dengan pukulan
yang menyakitkan. Ini adalah pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan
al-Bashri rahimahumallâh.
3. Terdapat atsar dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan anaknya yang bernama ‘Ubaidullah, beliau berkata:
أَنَّ
جَارِيَةً لِابْنِ عُمَرَ زَنَتْ، فَضَرَبَ رِجْلَيْهَا، -قَالَ نَافِعٌ:
أَرَاهُ قَالَ: وَظَهْرَهَا-، قَالَ: قُلْتُ: وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا
رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ. قَالَ: يَا بُنَيَّ جَلْدُهَا فِي رَأْسِهَا،
وَقَدْ أَوْجَعْتُ حَيْثُ ضَرَبْتُ
“Sesungguhnya
seorang budak wanita Ibnu Umar telah berzina, kemudian beliau memukul
kedua kakinya -Nafi’ (perawi hadits) berkata, ‘Menurut saya dia juga
berkata, ‘dan punggungnya’.’ (Ubaidullah berkata),
Kemudian saya berkata, ‘dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh.’
Kemudian
beliau pun mengatakan, ‘Wahai anak kecilku, saya telah men-jald-nya
(memukulnya) di kepalanya dan saya telah menyakitinya ketika saya
pukul.’.”[14]
Atsar
ini menunjukkan bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua
(pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri), karena
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Umar menggunakan dalil ini ketika terjadi
prosesi dera tersebut dan Ibnu ‘Umar tidak mengingkari pemahamannya
terhadap ayat tersebut. Allâhu a’lam.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat.
Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Lakukanlah hal tersebut, yaitu
tegakkanlah hudud kepada orang yang berzina dan keraskanlah ketika
memukulnya, tetapi jangan sampai membuat memar, agar dia berhenti dan
berhenti juga orang yang melakukan hal serupa dengan perbuatan
tersebut.”[15]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat hukuman
kepada orang yang berzina, ketika dia di-jald (didera), maka disaksikan
oleh orang-orang. Hukuman ini jika disaksikan oleh orang banyak, maka
sangat berguna untuk orang yang berzina agar tidak mengulanginya. Ini
jika sebagai bentuk penghinaan atas apa yang telah mereka lakukan jika
disaksikan oleh orang banyak.”[16]
Para
Ulama berselisih tentang berapa jumlah minimal saksi yang menyaksikan
prosesi penghukuman ini, di antara pendapat-pendapat yang disebutkan
adalah sebagai berikut[17]:
1. Paling sedikit disaksikan oleh satu orang. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan an-Nakha’i.
2. Paling sedikit disaksikan oleh dua orang. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair dan ‘Atha’.
3. Paling sedikit disaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat az-Zuhri dan Qatadah.
4.
Paling sedikit disaksikan oleh empat orang, karena ini sejumlah saksi
dalam persaksian zina. Ini adalah pendapat Malik dan Ibnu Zaid.
5. Paling sedikit disaksikan oleh lima orang. Ini adalah pendapat ar-Rabi’ah.
Dan disebutkan pendapat yang lain. Rahimahumullâh al-jamî’.
HUKUMAN BAGI PELAKU ZINA DI AKHIRAT
Orang
yang berzina diancam akan diazab oleh Allâh Azza wa Jalla di neraka
dengan azab yang pedih jika dia tidak bertaubat kepada Allâh.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan mimpinya kepada para
sahabat –dan mimpi beliau layaknya wahyu-. Beliau menceritakan bahwa
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh dua malaikat, yaitu
Jibril dan Mikail untuk menyaksikan berbagai jenis manusia.
Kemudian
tibalah beliau di sebuah lubang seperti tempat pemanggangan roti,
bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan
api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di
dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila
apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Di
dalam lubang itu ada laki-laki dan wanita-wanita telanjang.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah orang-orang itu?”
Tetapi
tidak dijawab oleh mereka berdua. Kemudian Beliau pun beralih ke tempat
lain. Hingga akhirnya, Malaikat Jibril pun memberitahukan, “Adapun
orang-orang yang engkau lihat di lubang tadi, mereka adalah para
pezina.”[18]
Demikianlah
hukuman yang Allâh berikan kepada para pezina di akhirat nanti. Akan
tetapi, perlu kita pahami, jika seorang muslim berzina dan mati dalam
keadaan belum bertaubat dari perbuatan tersebut, maka dia telah
melakukan dosa besar, apabila Allâh ingin mengazabnya maka Allâh akan
azab dia, tetapi jika Allâh ingin mengampuninya maka itu adalah hak
Allâh untuk mengampuninya. Tetapi selama dia masih beragama Islam, jika
ternyata dia masuk ke dalam neraka, maka dia tidak akan kekal di
dalamnya, dan akhirnya dia juga akan dimasukkan ke dalam surga.
Dengan
demikian kita tidak boleh melontarkan kata-kata yang tidak pantas
kepada orang yang telah ketahuan berzina, seperti mengatakan, “Dia itu
adalah penghuni neraka,” atau dengan perkataan, “tidak mungkin dia masuk
surga.”
KESIMPULAN
1. Surat an-Nûr memiliki banyak hukum di dalamnya dan Allâh mewajibkan umat Islam untuk mengamalkannya.
2. Hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera/dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun di daerah lain yang bisa meng-qashar shalat jika bersafar ke sana.
3. Pengasingannya dilakukan seperti “tahanan kota” dan “wajib lapor”.
4. Hukuman bagi orang yang berzina yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah
adalah dirajam, yaitu dilempar oleh orang banyak dengan batu sampai
meninggal. Tetapi sebelum dirajam, maka dia juga didera sebanyak 100
kali, menurut salah satu pendapat.
5.
Adapun di akhirat orang-orang yang berzina akan dimasukkan ke dalam
lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan
bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut
mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat
hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam,
maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Mereka di sana tidak
mengenakan pakaian sehelai pun.
Demikian
tulisan ini.
Semoga bermanfaat dan kita memohon kepada Allâh agar senantiasa menjaga
kita dari fitnah syahwat dan tidaklah menyalurkannya kecuali pada suatu
yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsîr. Jâbir bin Musa al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
2. Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
3. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Ar-Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
4. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Ar-Riyâdh: Dâr ath-Thaibah.
5. Tafsir Ibni Abi Hatim. Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Shîdâ: al-Maktabah al-‘Ashriyah.
6. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
(Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc M.A, Pengajar di Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur, Sumatera Selatan. https://kuncikebaikan.com)
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 10/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792,
08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1] Akan disebutkan pendapat lain tentang ini, di dalam penjabaran ayat.
[2] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 990.
[3] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/7.
[4] HR. Al-Bukhâri no. 6827 dan 6828 dan Muslim no. 1697/4435 dan 1698/4436.
[5] Ini adalah jawaban dari surat An-Nisa’ ayat 15.
[6] HR Muslim no. 1690/4414
[7] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XV/247-248.
[8] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 46/13.
[9] Lihat penjelasannya di al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XXII/125.
[10] HR Muslim no. 1691/4418.
[11] HR Ahmad no. 942, 1185, 1190 dan 1317 dari Asy-Sya’bi rahimahullâh. Syaikh Syu’aib al-Arnauth dkk. men-shahih-kannya.
[12] Lihat Tafsîr al-Baghawi VI/8-9 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/7-8.
[13] HR Abu Dawud no. 4378 dan an-Nasai no. 4886. Syaikh al-Albani menghukuminya hasan dalam Shahîh An-Nasâi.
[14] Tafsîr Ibni Abi Hâtim VIII/2518 no. 14095.
[15] Tafsîr Ibni Katsîr VI/8.
[16] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr VI//8.
[17] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VI/9 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/8-9.
[18] Lihat HR al-Bukhâri no. 1386.
File terkait:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !