Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Tuntunan Islam dalam Pemberian Nama
.Disusun ulang dari :
Website muslimah.or.id dan ummuyahya.wordpress.com
Sesungguhnya, metode penamaan anak tidak cukup hanya didasari perasaan subyektif bahwa nama itu indah, baik atau bagus semata, tetapi yang benar adalah nama yang sesuai dengan tuntunan syari’at.
Berikut ini etika dan hukum-hukum seputar
pemberian nama yang sebagian besar pembahasannya kami sarikan dari
Kitab “Tasmiyatul Maulud” karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan juga kaum muslimin.
PENDAHULUAN
“Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam [19]: 7)
Ada yang berpendapat kata al-ism berasal dari kata al-sumuw yang artinya al-’uluw (tinggi). Akan tetapi tidak masalah menggabungkan dua makna ini terutama ketika nama itu diberikan kepada anak Adam dari kalangan kaum muslimin. Dengan demikian nama tersebut sebagai pertanda yang tinggi (luhur) untuk dirinya.
Hakikat dari nama bayi adalah sebagai identitas dan tanda pengenal yang dapat dibedakan sesuai dengan kemuliaannya sebagai anak Adam dan sebagai kaum muslimin. Oleh karena itu, para ulama sepakat menetapkan wajibnya memberi nama kepada laki-laki atau perempuan. Nama juga memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap akhlak dan cara hidup umat ini.
KETERKAITAN SESEORANG DENGAN NAMANYA
Tidak disangsikan lagi bahwa terdapat keterkaitan antara arti sebuah nama dan orangnya sebagaimana dijelaskan oleh dalil syar’i dan atsar, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَسلَمُ سَالَمَهَا اللَّهُ وَ غِفَارُ غَفَرَ اللّهُ لَهَا وَعُصَيَّةُ عَصَتِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ
“Aslam (nama orang -ed) semoga Allah mendamaikan hidupnya, Ghifaar (nama orang -ed), semoga Allah mengampuninya dan ‘Ushayyah (nama orang -ed) telah durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau melihat Sahl bin Amr datang pada hari perjanjian Hudaibiyah,
سَهلَ أمْرَكُمْ
“Urusan kalian menjadi sahl (mudah).” (HR. Bukhari)
Rasulullah juga memberikan kepada Abul Hakam bin Hisyaam dengan julukan (kunyah) Abu Jahal. Sebuah kunyah yang sesuai dengan orangnya dan ia adalah makhluk yang paling berhak mendapatkan kunyah ini. Demikian juga kunyah Abu Lahab yang diberikan kepada Abdul ‘Izza karena ia akan di tempatkan di dalam neraka yang memiliki lidah api.
Juga perhatikan hadits Sa’id bin Musayyib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepadaku, ‘Siapa namamu?’ Ia menjawab ‘Namaku huzn (kasar atau sedih).’ Beliau kembali bersabda, ‘Ganti namamu dengan nama Sahl (mudah).’ Ia berkata, ‘Aku tidak akan menukar nama yang telah diberikan oleh ayahku.’ Ibnu Musayyib berkata, Sejak saat itu sifat kasar senantiasa ada di keluarga kami.” (HR. Bukhari)
Sesungguhnya nama merupakan identitas
seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan kebutuhan yang sangat
urgen dalam memahami dirinya di saat bersamanya, atau saat bersikap
kepadanya. Bagi seorang anak, nama merupakan sebuah perhiasan dan syi’ar
yang dengannya ia akan diseru di dunia maupun di akhirat.
Nama
merupakan bentuk pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia termasuk
pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam,
bagaimana ia mengubah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain karena
nama merupakan syi’ar baginya. Nama juga merupakan tanda yang dapat
mengungkap identitas orang tuanya dan alat pengukur terhadap pemahaman
diennya.
HUKUM PEMBERIAN NAMA
Allah subhanahu wa ta’ala
menuntunkan kepada keturunan Adam untuk memberikan nama pada anak,
sebagaimana Allah telah memberi nama “Yahya” kepada putra Nabi Zakariyya
‘alaihis salam yang akan dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi
kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang serupa dengannya.”
(QS Maryam [19]: 7)
Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ mengatakan bahwa para ulama bersepakat atas wajibnya memberikan nama, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Anak yang tidak memiliki nama tidak akan dikenal (majhul)
dan tersamarkan dengan yang lainnya, tidak bisa dibedakan, karena nama
berfungsi untuk menentukan, membedakan, dan mengenali si anak.
Pentingnya nama antara lain:
- Nama adalah hal pertama yang diperuntukkan bagi anak ketika ia keluar dari kegelapan rahim
- Nama adalah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya
- Nama adalah hal pertama yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang memiliki hubungan sifat pewarisan dan keturunan
- Nama adalah bekal bagi seorang anak untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat.
WAKTU PEMBERIAN NAMA
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa waktu pemberian nama itu ada 3 macam:
- Memberinya nama pada hari kelahirannya
- Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya
- Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini hanya bersifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang bisa ditoleransi) yang menunjukkan bahwa dalam persoalan ini ada kelonggarannya.
YANG BERHAK MEMBERI NAMA
Tidak ada perselisihan bahwa sang ayah
adalah orang yang paling berhak untuk menamai anaknya. Jika seorang ayah
berbeda pendapat dengan seorang ibu dalam menentukan nama untuk
anaknya, maka ayahlah sebagai pihak yang diutamakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang
ibu hendaknya tidak membantah dan menyelisihi. Sementara dalam
musyawarah antara kedua orang tua terdapat suatu kesempatan yang luas
untuk saling meridhai, berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan
antarkeluarga.
Sebagaimana telah diriwayatkan dengan shahih dari sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa menyodorkan putra-putri mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
agar beliau berkenan memberikan nama. Hal ini menunjukkan bahwa seorang
ayah hendaknya bermusyawarah dalam memberikan nama dengan seorang ulama
yang mengetahui tentang sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam
dien dan ilmunya agar menunjukkan kepadanya sebuah nama yang baik bagi
anaknya.
NISBAH ANAK
Sebagaimana pemberian nama adalah hak
bagi seorang ayah, maka seorang anak juga dinisbahkan (disandarkan)
kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, dan dia dipanggil dengan nama
ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka dalam penulisan nama, biasa
disebut “fulan bin fulan”, dan bukan dipanggil “fulan bin fulanah”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada
sisi Allah…” (QS Al Ahzab [33]: 5)
Namun ada kenyataan bahwa terjadi
penghilangan lafazh “ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai
menyebar di kalangan kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sehingga
mereka mengatakan, misalnya Muhammad ‘Abdullah.
Ini merupakan uslub (tata bahasa) yang
dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak sesuai
dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki kedudukan dalam tata bahasa
Arab (I’rob).
Apakah dunia telah mendengar seseorang yang menyebut nasab Nabi dengan mengatakan Muhammad ‘Abdullah?
Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh
ibnu) ini telah mengundang kesamaran ketika disatukan antara nama
laki-laki dengan nama perempuan, sebagai contoh Asma’ dan Kharijah. Nama
ini tidak akan jelas di atas kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab
dengan lafazh “ibnu” fulan atau “binti” fulan.
Terdapat pula kekeliruan para istri yang menisbahkan namanya kepada suami. Misalnya istri bernama Fathimah bin ‘Abdullah, setelah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya menjadi Fathimah Ahmad. Ini banyak dijumpai pada masyarakat umum.
NAMA-NAMA YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN
Urutan dan tingkatan nama-nama yang disunnahkan dan diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman
Disunnahkan memberi nama dengan dua nama yakni ‘Abdullah (hamba Allah) dan ‘Abdurrahman (hambanya Yang Maha Pengasih), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَحَبَّ اْلأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai
oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR Muslim, Abu Dawud dan
selainnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga telah menamai putra pamannya—‘Abbas radhiyallahu ‘anhu—dengan nama ‘Abdullah.
Di kalangan para sahabat ada sekitar 300
orang yang semuanya bernama ‘Abdullah. Begitu pula bayi pertama yang
lahir dari kalangan kaum Muhajirin setelah hijrah ke Madinah adalah
bernama ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu.
2. ‘Abdu dari Asmaul Husna
Disunnahkan memberi nama dengan ta’bid (memakai lafazh ‘abdu) dengan nama-nama Allah yang baik (asmaul husna), seperti ‘Abdul Aziz (hambanya Yang Maha Mulia), ‘Abdul Malik (hambanya Yang Maha menguasai), dan lain-lain.
3. Nama-nama Nabi dan Rasul
Para nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala
merupakan pemimpin anak Adam. Akhlaq mereka merupakan semulia-mulia
akhlaq dan amalan mereka merupakan amalan yang paling suci sehingga bila
menamai dengan nama mereka akan mengingatkan kita pada kemuliaan
mereka.
Ulama telah bersepakat akan bolehnya memberi nama dengan nama mereka. (Syarhu Muslim oleh Imam Nawawi 8/437 dan lihat Maratibul Ijma’ hlm. 154-155)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menamakan salah seorang anaknya dengan nama Nabi, sebagaimana sabda beliau:
وُلِدَلِي اللَّيْلَةَ غُلاَمُ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ
“Semalam telah lahir untukku seorang anak laki-laki, maka aku beri nama dengan nama moyangku, Ibrahim.” (HR Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Yang paling afdhol dari nama para nabi adalah nama nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini beliau bersabda:
سَمُّوا بِاسْمِي وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي
“Namailah oleh kalian dengan namaku dan jangan berkunyah dengan kun-yah-ku.” (Hadits riwayat Al Bukhari 10/571-Fathul Bari, Muslim 14/359-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4965, Tirmidzi 2841, dll)
4. Nama-nama Orang Shalih
Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ
“Sesungguhnya mereka (umat-umat
terdahulu) menamakan dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih
sebelum mereka.” (HR Muslim)
Seorang sahabat bernama Zubair bin Al ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu menamakan anak laki-lakinya yang berjumlah 9 orang dengan nama para syuhada. Mereka adalah:
- ‘Abdullah (diambil dari nama ‘Abdullah bin Jahsy, syahid dalam Perang Uhud)
- Al Mundzir (diambil dari nama Al Mundzir bin ‘Amr Al Anshari)
- ‘Urwah (diambil dari nama ‘Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafi)
- Hamzah (diambil dari nama Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, syahid dalam Perang Uhud)
- Ja’far (diambil dari nama Ja’far bin Abi Thalib, syahid dalam Perang Mu’tah)
- Mush’ab (diambil dari nama Mush’ab bin ‘Umair, pembawa bendera dan syahid dalam Perang Uhud)
- ‘Ubaidah (diambil dari nama ‘Ubaidah bin Al Harits, syahid dalam Perang Badr)
- Khalid (diambil dari nama Khalid bin Sa’id)
- ‘Umar (diambil dari nama ‘Umar bin Sa’id, saudara Khalid bin Sa’id terbunuh dalam Perang Yarmuk).
Demikian pula, dapat ditemukan di
kalangan kaum muslimin ada seseorang yang menamai anak-anaknya dengan
nama-nama Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Nama para sahabat Nabi antara lain: ‘Ammar, ‘Amr, Bilal, Hudzaifah, Jabir, Mu’awiyah, Salman, Sufyan, ‘Ukkasyah, Ubay. Nama para ulama seperti Al Fudhail, Syu’bah, Hammad, ‘Ubaid.
Dan ada pula yang menamai anak-anak perempuannya dengan nama-nama para ummahatul mu’minin, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni: Khadijah, Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Shafiyyah, Juwairiyah, Maimunah. Juga putri Nabi: Fathimah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Banyak pula para shahabiyah seperti Asma’,
Sumayyah, Ummu Sulaim, Ummu Waraqah, Asy Syifa’, Ummu Hakim, Ummu
Aiman, Hindun, Ummu Syarik, Ummu Fadhl, Ar Ruba’i, Khansa’, Khaulah,
Ummu Rumman, Ummu Umarah, Ummu Mahjan, dan lain-lain
5. Nama-nama yang Sifatnya Benar
Nama anak dinilai mengandung sifat syar’i jika memenuhi dua syarat berikut ini:
Pertama, nama tersebut berasal dari bahasa Arab, sehingga tidak termasuk di dalamnya setiap nama ‘ajam (asing/non Arab), campuran, ataupun diserap ke dalam lisan Arab.
Kedua, nama tersebut
baik maknanya secara bahasa dan syar’i, sehingga tidak boleh menamai
dengan nama-nama yang mengandung unsur tazkiyyah (menganggap dirinya
suci), celaan ataupun cercaan. Contoh nama yang mengandung tazkiyyah: Aflah (yang paling berhasil), Rabbah (yang paling beruntung), Yassar (yang paling mudah), Muthi’ah (perempuan yang taat). Contoh nama yang mengandung celaan: ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat).
ADAB PEMBERIAN NAMA
Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:
- Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai
- Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin
- Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan
- Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang
- Memperhatikan kesesuaian
NAMA-NAMA YANG DIHARAMKAN
Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:
- Nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, seperti nama ‘Abdur Rasul (hambanya rasul), ‘Abdu Ali (hambanya Ali), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain), ‘Abdusy Syams (hambanya matahari), dan lain-lain.
- Nama-nama yang khusus untuk Allah tabaraka wa ta’ala seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Khaliq, Al Bari’, dan lain-lain.
- Nama-nama ‘ajam (selain Arab) yang biasa digunakan oleh orang-orang kafir seperti nama Petrus, George, Diana, Rosa, Suzan, Steven, dan semisalnya. Ini merupakan taqlid (ikut-ikutan/membebek) kepada orang kafir yang bila disertai keyakinan bahwa nama-nama mereka lebih baik daripada nama-nama kaum muslimin maka ini merupakan bahaya yang besar yang dapat menggelincirkan pokok keimanan.
- Nama-nama berhala seperti Latta, ‘Uzza, Isaf, Nailah, dan Hubal.
- Nama-nama ‘ajam dari Turki, Persia (Iran), Barbar atau selainnya yang tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, di antaranya Nariman, Syerehan, Nevin, Syeirin, Syadi, dan Jihan.
- Nama yang mengandung klaim terhadap apa yang tidak ada pada si penyandang nama, seperti Malakul Amlak (raja diraja), Sulthanus Salathin (sultan segala sultan), Hakimul Hukkam (hakim segala hakim), Sayyidun Nas (pemimpin seluruh manusia), Sittun Nisa’ (penghulu seluruh wanita).
- Nama-nama syaithan seperti Hinzab, Al Walhan, Al ‘Awar, Al Ajda. [1]
NAMA-NAMA YANG DIMAKRUHKAN
Berikut ini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya:
- Nama yang menyebabkan hati cenderung untuk menjauh darinya karena makna yang terkandung padanya seperti Harb (perang), Murroh (pahit), Khonjar (pisau besar), Fadhih (membuka aibnya), Fahith (terancam bahaya), Nadiyah (jauh dari air), dan lain-lain.
- Nama yang mengundang syahwat yang banyak digunakan pada perempuan, di antaranya Ahlam (lamunan), Arij (perempuan yang semerbak baunya), ‘Abir (perempuan yang harum baunya), Ghodah (perempuan yang lemah-gemulai/genit), Fathin (pembuat fitnah), dan Syadiyah (penyanyi).
- Nama kaum fasiq yang kosong hatinya dari kemuliaan iman, seperti nama para artis, penyanyi, pelawak.
- Nama yang menunjukkan atas dosa dan maksiat seperti nama Zhalim bin Sarraq (Zhalim bin pencuri).
- Nama-nama tokoh kekafiran seperti Fir’aun, Qarun, Haman.
- Nama yang dibenci seperti Khabiyyah bin Kannaz (penilep bin penimbun).
- Nama-nama hewan yang terkenal dengan sifat kotor seperti Hanasy (ular berbisa), Himar (keledai), Qunfudz (landak), Qunaifadz (landak kecil), Qirdani (kutu binatang), Kalb (anjing), Kulaib (anjing kecil).
- Nama yang disandangkan kepada lafazh ad dien dan al Islam, seperti Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (sinar agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam). Sebenarnya Imam Nawawi tidak suka dirinya diberi laqob (gelar) dengan Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga tidak suka diberi gelar Taqiyyuddin (yang menjaga agama). Beliau berkata, “Akan tetapi keluargaku menggelariku dengannya kemudian menjadi terkenallah gelar tersebut.”
- Nama yang murakkab (tersusun rangkap/lebih dari satu), seperti Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id. Nama-nama tersebut mengundang keraguan dan percampuran. [2] Karenanya hal tersebut tidak dikenal di kalangan salaf, dan merupakan nama orang-orang abad belakangan. Termasuk pula nama-nama yang disandarkan kepada lafazh Allah seperti Hasbullah (cukuplah Allah sebagai penolong), Rahmatullah (rahmat Allah), kecuali nama ‘Abdullah (hamba Allah) karena ia adalah nama yang paling disukai Allah subhanahu wa ta’ala.
- Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama para malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil.
- Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama dari surat-surat Al Qur’anul Karim misalnya Thoha, Yasin, Hamim.
SOLUSI DARI NAMA YANG HARAM ATAU MAKRUH
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik.” (HR Tirmidzi 2/137, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 207)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengganti nama Hazn (kesedihan) dengan Sahl (mudah), nama Harb (perang) dengan Salam (damai).
Tampak pula dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengganti nama yang tidak baik dengan nama yang mendekati pengucapannya seperti beliau mengganti nama Syihab (meteor) menjadi Hisyam (kedermawanan), Jatstsamah (yang banyak mendekam) menjadi Hassanah (kebaikan).
Demikian pula mengganti nama ‘Abdun Nabi (hambanya nabi) menjadi ‘Abdul Ghani (hambanya Yang Maha Kaya), ‘Abdur Rasul (hambanya rasul) menjadi ‘Abdul Ghafur (hambanya Yang Maha Pengampun), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain) menjadi ‘Abdurrahman, Hanasy (ular berbisa) menjadi Anas (ramah).
SUNNAH MEMBERI KUN-YAH
Kun-yah adalah nama yang dimulai dengan kata “Abu” (ayah) untuk laki-laki dan “Ummu” (ibu) untuk perempuan, misalnya Abu Muhammad (ayahnya Muhammad) dan Ummu Muhammad (ibunya Muhammad). Demikian pula kun-yah dengan memakai kata “ibnu” (putra) dan “ibnatu” atau “bintu” (putri), seperti Ibnu ‘Umar dan Bintu ‘Umar.
Memberi kun-yah ini merupakan perkara yang sunnah, namun sayangnya banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Kun-yah dapat pula diberikan kepada anak kecil, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan kun-yahnya bukan dengan namanya, beliau bersabda:
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟
“Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?” (HR Al Bukhari 6203-Fathul Bari, Muslim 2150-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4969, Tirmidzi 1989, dan selainnya)
Imam Al Bukhari rahimahullah membuat bab tersendiri tentang masalah ini dan beliau namakan “Bab Memberi Kun-yah untuk Anak Kecil dan untuk Laki-laki yang Belum Memiliki Anak”.
Pemberian kun-yah itu tidak memutlakkan bahwa yang diberi kun-yah sudah memiliki anak. Sebagaimana ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memiliki kun-yah Abu Hafsh padahal tidak ada di antara putranya yang bernama Hafsh. Demikian pula Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak ada putranya yang bernama Bakr. Dari kalangan perempuan, telah ma’ruf bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki kun-yah Ummu ‘Abdillah padahal ‘Aisyah tidak memiliki seorang anak pun.
NISBAH KEPADA NEGERI KELAHIRAN, PEKERJAAN, KETERKENALAN, MANHAJ SALAF
Para salaf (pendahulu) shalih kaum
muslimin ada yang dikenal dengan nama negeri kelahirannya, pekerjaan,
dan hal-hal khusus/unik yang membuatnya dikenal masyarakat.
Sebagai contoh Muhammad bin ‘Ismail bin Al Mughirah yang kun-yahnya
Abu ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang menyusun kitab (hadits)
paling shahih setelah Al Qur’an, lahir di negeri Bukhara, beliau lebih
dikenal dengan nama Imam Al Bukhari.
Sahabat Nabi, Salman radhiyallahu ‘anhu bernisbah Al Farisi karena berasal dari negeri Persia. Banyak pula nisbah berdasarkan negerinya seperti Al Bashri karena lahir di kota Bashrah (Iraq), Al Mishri lahir di Mesir, Al Madani lahir di Madinah, Al Kufi lahir di Kufah (Iraq), Al Albani lahir di negara Albania, Al Jazairi lahir di Aljazair.
Ada Abu ‘Utsman, penulis kitab ‘Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits
yang bernama asli Isma’il bin ‘Abdurrahman yang hidup di lingkungan
pekerja pembuat sabun, maka beliau dinisbahkan dengan nama Imam Abu ‘Utsman Ash Shabuni.
Perawi hadits, Sulaiman bin Mihran diberi laqob (gelar/julukan) dengan Al A’masy (seorang rabun) karena beliau bermasalah dengan penglihatannya. ‘Abdurrahman bin Hurmuz dijuluki Al A’raj
(seorang yang cacat kakinya) karena memang ada kekurangan fisik pada
kakinya. Pemberian laqob ini diperbolehkan hanya dalam rangka
pengenalan, tetapi diharamkan penyebutan laqob tersebut jika dalam
bentuk pelecehan.
Sedangkan nisbah kepada manhaj yang selamat seperti bernisbah dengan As Salafi (pengikut salaf), Al Atsari (pengikut atsar/hadits) merupakan perkara yang terpuji. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah
berkata, “Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang
menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh
jalan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).”
Rujukan:
1. Tasmiyatul Maulud karya Syaikh Bakr Abu Zaid, edisi Indonesia: Nama-nama Indah buat Sang Bayi, cetakan V, Penerbit Al Qowam
2. Berhias dengan Nama Syar’i (Syarat,
Hukum, dan Adab-adabnya) oleh Abul Muslim Al Atsari & Zulfa, artikel
di Majalah Salafy edisi XX/1418/1997 Lembar Muslimah hlm. 8-19
3. CD-45 Tasjilat Al Atsariyyah track 01: Biografi Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdirrahman Ash Shabuni An Naisaburi
4. Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy, artikel di Majalah Salafy edisi perdana/Syaban/1416/1995, hlm. 8-10
*****
Catatan Sa'ad:
[1] Saya pribadi kurang sepakat mengenai point ke-3 dan ke-5 apabila dimasukkan ke dalam kategori nama yang diharamkan, lebih pas nya dimasukkan ke dalam kategori nama yang dimakruhkan, namun dengan catatan-catatan (misalnya makruh jika disertai pengagungan kepada nama orang kafir tersebut, dst). Karena nama anak termasuk perkara duniawi, sehingga hukum asalnya adalah semua nama adalah mubah, kecuali ada dalil yang menyatakan keharaman atau kemakruhannya. Para shahabat dulunya juga ada yang berasal dari luar Arab, namun ketika masuk Islam tidak merubah namanya menjadi nama Arab, semisal Salman (al Farisi). Beberapa nama orang shalih pun ada yang berasal dari luar Arab ('ajam), misalnya nama nabi-nabi dari Bani Israil, kemudian nama Asiyah dan Hajar (Mesir).
Meskipun ada yang berdalih jika nama-nama tersebut diterima karena sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, tetap saja tidak ada dalil yang mengharamkan (atau minimal memakruhkan) suatu nama yang 'hanya sekedar' tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya.
Meskipun ada yang berdalih jika nama-nama tersebut diterima karena sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, tetap saja tidak ada dalil yang mengharamkan (atau minimal memakruhkan) suatu nama yang 'hanya sekedar' tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya.
[2] Misalnya kerancuan antara apakah itu nama satu orang atau dua orang, atau apakah itu nama seorang anak atau anak yang dinisbahkan kepada ayahnya.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !