Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Menyibak Harta Gono Gini
.Disusun Oleh:
Ust. Ahmad Sabiq, Lc.
(Majalah Al Furqon Vol. 55 September - Oktober 2012)
Harta gono gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta gono-gini adalah ”harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:
Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Kedua, harta milik istri
saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun
kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah,
atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu
kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus
untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.
Ketiga, harta milik bersama.
Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda
semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau
harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja
yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang ketiga inilah yang kemudian
diistilahkan dengan harta gono-gini.
Namun harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara
langsung otomatis menjadi harta gono-gini. Perinciannya sebagai berikut:
Secara umum suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas
nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
(di antaranya dalam QS. Ath Thalaq: 7)
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi
harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa
sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang cukup bagimu dan
anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714).
Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya
bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau
memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu
berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)
Adapun istri, maka aktivitasnya ada dua kemungkinan:
Pertama, sama sekali tidak
mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam
keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena
memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut.
Kedua, jika istri memiliki
aktivitas yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu
suami dalam pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang
semisalnya, maka dalam kondisi inilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada
yang disebut harta gono-gini.
Namun satu masalah harus dipahami, bahwa harta suami tidak
utuh, tapi berkurang dengan beberapa kewajibannya sebagai suami. Seperti
memberi mahar istrinya, menunaikan kewajiban nafkah pada istri dan anaknya,
yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya.
Sedangkan harta istri tetap utuh, karena tidak ada kewajiban baginya untuk
memberikan nafkah kepada suami dan anak-anaknya. Kecuali apabila dengan
keridhaan dirinya, dia memberikan untuk suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi
sedekah baginya.
Hukum
Syar’i Tentang Harta Gono-Gini
Jika telah dipahami permasalahan di atas, maka bagaimanakah
status harta gono-gini ini, jika terjadi pisah antara suami istri, baik pisah
karena wafat atau karena cerai?
Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian
masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada
nash yang mewajibkan demikian –setahu kami- baik dari Alquran maupun sunah.
Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan:
Pertama, jika diketahui
secara pasti perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami diketahui secara pasti dikurangi
nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan
pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas, yaitu sesuai dengan
perhitungan tersebut.
Kedua, jika tidak diketahui
perhitungan harta suami istri
Gambarannya: suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja
sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung
berdua dari hasil kerja mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami
dan berapa bagian dari harta istri tidak jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan
keluarga di negeri Indonesia.
Dalam kondisi demikian, harta gono-gini tersebut tidak
mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh, ‘urf atau qadha'
(putusan).
Sulh sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan
musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri
antara lain:
Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari
bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum
muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad
2:366, dan Abu Dawud no. 3594)
Saat menerangkan hadis di atas, ash-Shan’ani berkata, “Para
ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam:
- perdamaian antara muslim dan kafir,
- perdamaian antara suami dan istri,
- perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan kelompok yang adil,
- perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim,
- perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan
- perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh (perdamaian).
Dengan demikian berdasarkan dalil hadis Amr bin Auf al-Muzani
di atas, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara
mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu
jenis perdamaian adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala
ada persengketaan mengenai harta bersama.
Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini
bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan
istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70%
dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain.
Semuanya dibenarkan syara’, selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah
ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing.
Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan
dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antara suami istri tidaklah dibagi
kecuali masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau
duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum
yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu,
maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
‘Urf, merupakan adat kebiasaan yang berlaku di
sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para
ulama sepakat ‘urf bisa dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam
salah satu kaidah fikih disebutkan,
العَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
“Sebuah adat kebiasaan
itu bisa dijadikan sandaran hukum.”
Dengan syarat:
- ‘Urf itu berlaku umum.
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i.
- ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.
- Tidak berbenturan dengan tashrih.
Jadi, jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada
kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut
ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak.
Jika ada, itulah yang diberlakukan. Wallahu a‘lam.
Qadha, jika
tidak ada sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir,
yaitu qadha. Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat
tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim
harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan
pembagian harta gono-gini secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim
untuk menggunakan hukum perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak
bertentangan dengan hukum syariat Islam. Wallahu a’lam.
*****
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !