Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

22 Mei 2010

FILE 164 : Tarbiyah Islamiyyah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Apa dan Kemana Pendidikan Islam ?

Penulis:
. Ustadz Ahmas Faiz Asifudin, Lc. . .
.

Prakata

Kata pendidikan dalam bahasa Arab lazim disebut tarbiyah. Untuk memahami apa tujuan pendidikan atau tarbiyah, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dan hakikat tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh pemeluknya melalui proses tarbiyah.

Pertama, tarbiyah dari Allah yang besifat khusus, yaitu taufiq serta pemeliharaan Allah yang diberikan kepada para waliNya hingga mereka menjadi makin sempurna dalam keimanan dan terjaga dari penghalang-penghalang keimanan.

Allah adalah Rabbul-’Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah, Allah pentarbiyah dan murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.[1]

Kedua, tarbiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga dengan penyampaian-penyampaian yang jelas serta bimbingan-bimbingan beliau, seseorang menjadi semakin memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab mengamalkannya.

Begitulah, umat Islam generasi pertama menjadi umat pilihan karena merupakan hasil didikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang menjadi muslim yang baikpun melalui proses pendidikan.

Tarbiyah, menurut Syaikh Abdurrahman Albaaniy yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan bin ‘Ali bin Abdul Hamid al-Halabiy,[2] adalah sebagai berikut :

”Kata tarbiyah terpulang pada tiga asal kata, yaitu :

Pertama,

رَبَا – يَرْبُوْ

(Rabâ – Yarbû) yang artinya: tumbuh.

Kedua,

رَبِيَ – يَرْبَى

(Rabiya – Yarbâ) yang artinya: berkembang

Ketiga,

رَبَّ – يَرُبُّ

(Rabba – Yarubbu) yang artinya: memperbaiki, mengurusi, mengatur dan memelihara.

Dalam Lisân al-‘Arab, karya Ibn Manzhûr dikemukakan penjelasan berikut (tentang asal kata yang pertama):

رَبَا الشَّيْءَ يَرْبُوْ رَبْوًا وَ رِبَاءً

Rabâsy-Syai’u Yarbû Rabwan wa Ribâ’an; artinya: sesuatu itu bertambah dan tumbuh.

Arbaituhu, artinya: aku menumbuhkannya.

Dalam al-Qur’an al-Kariim, Allah berfirman:

وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

Allah menumbuh suburkan (pahala) sedekah. (Qs. al-Baqarah/2:276).

Dari makna inilah diambil pengertian Riba yang haram. Allah berfirman:

وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia tumbuh pada harta manusia, maka riba itu tidak tumbuh (bertambah) pada sisi Allah. (Qs. ar-Rûm/30:39).[3]

Al-Ashma’iy berkata:

قَدْ رَبَوْتُ فِى بنى فُلاَنٍ أَرْبُوْ

Artinya: Aku tumbuh (terbentuk) di tengah keluarga Bani Fulan.

Sedangkan kalimat:

رَبَّيْتُ فُلاَنًا أُرَبِّيْهِ تَرْبِيَةً

Rabbaitu Fulânan – Urabbhi – Tarbiyatan, artinya: Aku menumbuhkembangkan (mentarbiyah/mendidik) Fulan.[4]

Adapun tentang asal kata : Rabba – Yarubbu, maka dalam Lisân al’Arab, Ibnu Manzhûr mengatakan: Rabba Waladahu wash-Shabiyya – Yarubbuhu – Rabban. Wa Rabbabahu – Tarbîban wa Taribbatan; maknanya: memperbaiki, mengurus dan memelihara seorang anak.

Dalam hadits disebutkan:

هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا. رواه مسلم

Apakah engkau mempunyai suatu kesenangan padanya yang dapat engkau pelihara? [5]

Maksudnya, (apakah engkau mempunyai) suatu kesenangan darinya yang dapat engkau jaga, engkau pelihara dan engkau tumbuh kembangkan seperti halnya seseorang menjaga dan menumbuhkembangkan anaknya?[6]

Sementara itu dalam kitab Mufradât ar-Râghib al-Ashfahâniy dikemukakan penjelasan berikut: Ar-Rabbu berasal dari kata tarbiyah. Maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Jadi kata ar-Rabbu merupakan mashdar (kata dasar) yang dipinjam untuk digunakan sebagai fa’il (pelaku perbuatan).

Sedangkan dalam al-Qâmûs al-Muhîth karya Fairuz Abadi dijelaskan: Rabba al-Amra, artinya memperbaiki urusan. Rabba ash-Shabiyya, artinya memelihara seorang anak hingga dewasa.

Rabautu fî Hijrihi – Rabwan – wa Rubuwwan; demikian pula Rabaitu Ribâ`an wa Rubiyyan, artinya aku terbentuk pada asuhannya.

Dari beberapa makna di atas, ada makna yang mendekatkan kata tarbiyah menuju pengertian secara istilah, yaitu perkataan Imam al-Baidhâwiy dalam Kitab Tafsir-nya yang bernama Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl:

Ar-Rabbu asalnya bemakna tarbiyah. Yaitu menjadikan sesuatu sampai pada kesempurnaannya sedikit demi sedikit. Kemudian Allah l disifati dengan kata Rabb ini untuk menunjukkan mubalaghah (sangat sempurna dalam meningkatkan makhluk-Nya menjadi sempurna, Pen.).

Sebelumnya juga telah dijelaskan perkataan ar-Râghib al-Ashfahâniy, bahwa ar-Rabb asalnya dari kata tarbiyah, yang maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan.

Dengan demikian, dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Murabbi/pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah Subhanahu wata’ala , karena Dia-lah al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia pula yang yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang dan bekerjanya fitrah serta bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan syari’at agar fitrah-fitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus dan menjadi berbahagia.
  2. Maka tarbiyah/pendidikan harus dilakukan sejalan dengan cahaya syari’at Ilahi dan selaras dengan hukum-hukum syari’at Ilahi,
  3. Tarbiyah juga harus dijalankan secara terencana dan bertahap dimana tahap yang satu berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi dasar bagi persiapan tahap berikutnya.
  4. Aktifitas seorang murabbi/pendidik harus mengikuti fitrah yang ditetapkan Allah, dan harus mengikuti syari’at serta hukum-hukum Allah”. Demikian secara ringkas apa yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabiy dari Syaikh ‘Abdur-Rahman al-Albaniy dalam bukunya Madkhal Ila at-Tarbiyah fî Dhau`i al-Islam; hlm. 7-13.

Jadi makna dan hakikat tarbiyah secara istilah ialah: “Kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam untuk maksud memelihara serta membentuk seseorang menjadi pemimpin di muka bumi dengan kepemimpinan yang di atur berdasarkan peribadatan hanya kepada Allah saja secara sempurna. Sudah barang tentu kegiatan ini harus dilakukan berbarengan dengan upaya terus menerus menjaga manhaj ilmiah secara teliti agar secara mengakar dapat memahami persoalan-persoalan bid’ah (untuk dihindari), kemudian selalu memperhatikan tata cara penerapannya, apakah sudah terhindar dari bid’ah atau belum?” [7]

Sementara itu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan:

“Asas-asas tarbiyah dalam masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang mulia dan adab-adab yang tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan antara anak didik dengan Rabb-nya, dengan pendidiknya, dengan kawannya, dengan kantor lembaga pendidikannya dan kemudian dengan lingkungan keluarganya”.[8]

Dari sini, dapat diketahui bahwa hakikat tarbiyah yang benar bertumpu pada tiga hal penting:

Pertama, tarbiyah harus memusatkan perhatiannya untuk membangkitkan aqidah tauhid serta membersihkan kehidupan umat dari berbagai bid’ah dan penyimpangan sebagai pendahuluan agar ummat kelak mampu memikul Islam kembali.

Kedua, parameter tarbiyah yang benar ialah bila tarbiyah tersebut berdiri pada landasan Al-Qur`ân dan Sunnah, terjalin dengan praktik keseharian para Salaf, serta terbangun kembali semangat generasi umat untuk menggali Al-Qur`ân dan Sunnah hingga mampu memahami dan mengambil istinbath hukum. Tentu saja dengan mengambil petunjuk secara utuh pada pemahaman Salafush-Shalih dan terus berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani yang benar-benar menguasai Al-Qur`ân dan Sunnah.

Ketiga, tarbiyah tidak dapat dipisahkan dari upaya terus menerus dalam memberi pengarahan kepada masyarakat secara umum. Sebab hakikat tarbiyah serta hasilnya selalu berkaitan erat dengan kehidupan keseharian masyarakat, baik yang menyangkut keyakinan, norma, tadisi, hubungan sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.” [9]

Kesimpulannya, jika makna dan hakikat tarbiyah sudah jelas, maka tujuan tarbiyahpun menjadi jelas, yaitu membentuk umat, baik secara individu maupun secara bersama-sama menjadi umat yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak Allah, memenuhi hak-hak makhluk sesuai dengan ketentuan Allah, menjauhi segala macam bid’ah, khurafat, kemaksiatan serta penyimpangan-penyimpangan lain, sehingga berbahagialah hidupnya, tidak saja di dunia, tetapi yang lebih penting di akhirat. Intinya menjadi umat yang beribadah hanya kepada Allah saja, sesuai dengan tujuan diciptakannya jin dan manusia. Umat yang lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada dunia. Umat yang selalu memikirkan bagaimana selamat dan sukses di akhirat. Meskipun dunia tidak dilupakannya, tetapi tidak menjadi tergantung padanya.

Alangkah indahnya jika tarbiyah serta pendidikan, baik formal maupun non formal, berorientasi pada ibadah hanya kepada Allah saja, dengan senantiasa berpedoman pada petunjuk-petunjuk yang berladaskan Al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman para salafush-shalih serta senantiasa berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani. Sebab para Ulama Rabbani adalah pendidik umat sesungguhnya sesudah nabinya.

Karena itulah, berkaitan dengan hadits :

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وغيرهم

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.[10]

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan :

Di dalamnya terdapat sesuatu yang harus diperhatikan oleh para ulama, yaitu hendaknya mereka mendidik umat seperti halnya seorang ayah mendidik anaknya. Maka hendaknya para ulama mendidik umat secara bertahap dan meningkat dari ilmu yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Hendaknya mereka membawa umat secara bertahap menurut kemampuan, seperti yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya ketika menyuapkan makanan.[11]

Wallahu A’lam.

Maraji’:

  1. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Dâr at-Tauhid, Riyadh, KSA, Cetakan II, 1414 H (sebagai rujukan utama).
  2. Lisân al-‘Arab, Tashîh: Amin Muhammad ‘Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq al-‘Abyadi, Dâr Ihyâ` at-Turâts al-‘Arabi dan Mu’assasah at-Târîkh al-‘Arabi, Beirut, Libanon, Cetakan III, Tahun 1419 H/1999 M.
  3. Majalah As-Sunnah, Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M.
  4. Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, karya Ibnu al-Qayyim, Taqdîm: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja’ah: Syaikh Bakr Abu Zaid, Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyadh & Dâr Ibnu ‘Affân, Kairo, Cetakan I, Tahun 1425 H/2004 M.
  5. Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa tahun, dari Silsilah at-Taujîhiyyât no. 17.
  6. Shahîh Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M.
  7. Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan II dari cetakan terbaru, 1421 H/2000 M.
  8. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I dari cetakan terbaru, 1420 H/2000 M.
  9. Shahîh Sunan Ibni Majah, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I dari cetakan terbaru, 1417 H/1997 M.
  10. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannn, Syaikh Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di.

Artikel: www.ustadzfaiz.com


[1] Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân Syaikh Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’diy, Tafsir Surat al-Fâtihah. Lihat pula yang senada dengan itu di Majalah As-Sunnah, edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M, rubrik ‘Aqidah, hlm. 37, kolom 2.

[2] At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî isti’naafi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, hlm. 95-99.

[3] Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, Tashîh: Amin Muhammad ‘Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq al-‘Abyadiy, V/126.

[4] Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, V/128.

[5] Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Kitab al-Adab wal Birri wash-Shilah, Bab: Fadhlu al-Hubbi Fillâh, no. 6495 – XVI/340.

[6] Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, V/96.

[7] At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, hlm. 100. Dinukil oleh penulis serta ditambah dengan yang ada pada foot note dengan bahasa bebas.

[8] Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa tahun – dari Silsilah at-Taujîhiyyât, no. 17. hlm. 9 di bawah sub judul Muhimmah al-Murabbi an-Nâjih.

[9] Disimpulkan dengan bahasa bebas dari at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, hlm. 101.

[10] Hadits shahîh. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud (II/407), Kitab al-‘Ilmi, no. 3641, Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/71), Kitab al-‘Ilmi, no. 2682, dan Shahîh Sunan Ibni Majah (I/92), Muqadimah, no. 183.

[11] Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, Ibnu al-Qayyim, Taqdîm : Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja’ah: Syaikh Bakr Abu Zaid, I/262.

*****

Sumber : ustadzfaiz.com

.

Baca Juga:

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 163 : Hukum Mendatangi Dukun

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Oleh:

Ust. Abu Zubair

.

Seseorang bercerita, ada orang yang mengaku bahwasanya jin muslim mendatanginya di dalam tidurnya, dan jin itu membawanya thowaf di Makkah Al Mukarromah, memberinya minum dari air Zamzam dan membawanya menziarahi kuburan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama. Ia mengatakan bahwa semua itu terjadi dalam satu malam. Orang ini menceritakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan dan sebagiannya ada terbukti. Sehingga tidak sedikit manusia yang terfitnah oleh oleh seperti ini, sehingga mempercayai apa yang dikatakannya.

Sebenarnya cerita bahwa dia bermimpi ada jin muslim yang membawanya thowaf di Makkah dan menziarahi kuburan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bukan hal aneh dan luar biasa. Namanya saja mimpi, terkadang seseorang bisa saja bermimpi seperti itu bahkan lebih besar dari itu, seperti bermimpi melihat dirinya di dalam surga atau naik kelangit kemudian turun lagi atau lainnya yang tidak mungkin terjadi pada seseorang di alam nyata. Ini jika ia benar-benar bermimpi seperti itu. Masalahnya, sebagian pendusta menipu manusia dengan cerita dan pengakuan dusta bahwa ia bermimpi begini dan begitu padahal ia tidak pernah melihat atau bermimpi seperti itu.

Adapun masalah dia menceritakan kejadian-kejadian di masa depan yang belum terjadi, ini menunjukkan dia sama seperti dukun atau peramal dan ahli nujum, yang bekerja sama dengan jin untuk mengetahui sebagian perkara-perkara ghaib. Sebagaimana di jelaskan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama di dalam haditsnya,

إِذَا قَضَى اللَّهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتْ الْمَلائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَالسِّلْسِلَةِ عَلَى صَفْوَانٍ يَنْفُذُهُمْ ذَلِكَ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُو السَّمْعِ وَمُسْتَرِقُو السَّمْعِ هَكَذَا وَاحِدٌ فَوْقَ آخَرَ وَوَصَفَ سُفْيَانُ أحد رواة الحديث بِيَدِهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِ يَدِهِ الْيُمْنَى نَصَبَهَا بَعْضَهَا فَوْقَ بَعْضٍ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ الْمُسْتَمِعَ قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ بِهَا إِلَى صَاحِبِهِ فَيُحْرِقَهُ وَرُبَّمَا لَمْ يُدْرِكْهُ حَتَّى يَرْمِيَ بِهَا إِلَى الَّذِي يَلِيهِ إِلَى الَّذِي هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ حَتَّى يُلْقُوهَا إِلَى الأَرْضِ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الأَرْضِ فَتُلْقَى عَلَى فَمْ السَّاحِرِ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ فَيُصَدَّقُ فَيَقُولُونَ أَلَمْ يُخْبِرْنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا يَكُونُ كَذَا وَكَذَا فَوَجَدْنَاهُ حَقًّا لِلْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَتْ مِنْ السَّمَاءِ ).

Apabila Allah menetapkan satu perkara di langit, malaikat mengepakan sayap-sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya bagaikan gemerincing rantai di atas batu maka apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?” mereka menjawab: (perkataan) yang benar”, dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Maka (jin-jin) yang mencuri berita mendengarnya (dan jin-jin pencuri berita itu seperti ini yang satu di atas yang lainnya, dan sufyan salah seorang perawi hadits menggambarkan dengan tangannya, ia merenggangkan di antara jari-jemari kanannya, ia menyusun jarinya satu di atas yang lainnya). Maka kadang bintang yang menyala mengenai pencuri itu sebelum ia menyampaikan kepada temannya sehingga ia terbakar. Dan kadang bintang tidak mengenainya sehingga ia menyampaikannya kepada jin yang dibawahnya sampai mereka membawanya ke bumi. Lalu diletakkan di atas mulut tukang sihir, maka ia mencampurnya dengan seratus kebohongan. Lalu ia dipercayai, maka manusia berkata, “Bukankah ia telah memberitakan kepada kita pada hari ini ternyata kita dapatkan benar”. Karena kalimat yang di dengar (jin) dari langit”.[1]

Dan dari Aisyah rodhiyallahu ‘anha ia menuturkan orang-orang bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama tentang dukun, maka beliau bersabda,

إِنَّهُمْ لَيْسُوا بِشَيْءٍ . فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنْ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقَرْقِرُهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَاجَةِ ، فَيَخْلِطُونَ فِيهِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ

Sesungguhnya mereka itu tidak benar”. Mereka berkata, “Hai Rasulullah, sesungguhnya mereka menceritakan sesuatu dan ternyata benar”. Nabi shollallahu ‘alalihi wa sallama bersabda, “Itu adalah kalimat hak yang dicuri jin lalu ia sebarkan di telinga wali-nya seperti kotek ayam betina, lalu mereka mencampurkan padanya lebih dari seratus kedustaan”.[2]

Orang ini apabila ia mengaku mengetahui yang ghaib maka ia bisa kafir. Tidak boleh mendatanginya, karena datang kepadanya dan mempercayainya adalah perbuatan yang diharamkan berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama,

من أتى كاهنا أو عرافا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم

Barangsiapa yang mendatangi dukun, atau peramal lalu ia membenarkan ucapannya sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhamad shollallahu ‘alaihi wasallama”.[3]

Ini jika orang yang datang ke dukun percaya ucapan dukun, jika tidak percaya maka ancamannya adalah sebagaimana di dalam hadits,

من أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari”.[4]

Kesimpulannya, haram mendatangi dukun dan semisalnya serta mempercayai ucapan mereka, wajib bagi kita menjauhi perbuatan tersebut dan menasehati saudara-saudari kita agar tidak terpedaya oleh perbuatan mereka, semoga Allah menjaga kita semua dari segala keburukan dan fitnah.


[1] HR. Bukhari( 4701) dan Muslim (2228).

[2] HR. Bukhari (7561) dan Muslim (2228).

[3] HR. Ahmad (9532) dan Al Hakim (15) dan dishohihkan oleh Al Albany di Shohih Al Jami’.

[4] HR. Muslim (2230).

VN:F [1.8.5_1061]
*****
Sumber : abuzubair.net . .

Artikel Terkait:

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 162 : Rumah Sakit dalam Peradaban Islam

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……
RUMAH SAKIT DALAM PERADABAN ISLAM

.

Oleh:

Ust. Ahwad Sarwat, Lc.

.

.......

Dr. Mustafa As-Siba'i dalam kitabnya "Min Rawa'i Hadharatina" telah menyebutkan bahwa di zaman peradaban Islam, nyaris semua rumah sakit itu adalah gratis bagi semua orang, baik untuk kaya maupun miskin, yang rumahnya jauh maupun dekat, dan untuk orang yang tersohor maupun tidak. Pertama kali pasien diperiksa di ruang depan (luar). Jika penyakitnya ringan maka resepnya langsung ditulis dan ditukarkan ke apotek rumah sakit. Namun orang yang kondisi penyakitnya mengharuskannya diopname di rumah sakit maka namanya dicatat, dibawa masuk ke kamar mandi, dilepas pakaiannya (yang diletakkan di lemari khusus), kemudian diberi pakaian khusus rumah sakit. Setelah itu ia dimasukkan ke ruangan khusus tempat pasien-pasien yang berpenyakit serupa. Ia diberi tempat tidur sendiri yang bagus, diberi obat yang telah ditentukan dokter dan diberi makanan yang sesuai dengan kesehatannya yang telah ditetapkan untuknya.

Makanan pasien biasanya meliputi daging kambing, sapi, burung dan ayam. Tanda kesembuhan pasien adalah apabila ia boleh makan roti dan ayam secara lengkap dalam satu menu. Bila ia sudah memasuki fase kesembuhan maka ia dimasukkan ke ruangan khusus untuk pasien-pasien yang baru sembuh. Jika ia benar-benar sembuh maka ia diberi pakaian ganti yang baru dan sejumlah uang yang mencukupinya sampai ia mampu bekerja. .

Kamar-kamar rumah sakit selalu bersih. Air selalu mengalir lancar. Ruangan-ruangannya diberi perabotan yang terbaik. Setiap rumah sakit mempunyai pemeriksa-pemeriksa kebersihan dan pengawas-pengawas keuangan. Seringkali khalifah atau amir menjenguk sendiri para pasien serta mengawasi perlakuan dan pelayanan rumah sakit terhadap mereka. Itulah aturan yang berlaku di seluruh rumah sakit yang ada di dunia Islam baik di Magrib (wilayah Barat), di Masyriq (kawasan Timur), di rumah sakit-rumah sakit Bagdad, Damaskus, Kairo, Al Quds, Mekah, Madinah, Maroko, Andalus dan lainnya. .

Namun di sini kami akan membatasi pembicaraan pada empat buah rumah sakit di empat kota dari ibukota-ibukota Islam pada masa-masa itu. .

.

1. Rumah Sakit Adhudi di Baghdad .

Rumah sakit ini dibangun oleh Daulah bin Buwaihi pada tahun 371 H setelah Ar Razi, dokter yang amat terkenal memilih tempatnya dengan meletakkan empat potong daging di empat penjuru Bagdad dalam semalam. Tatkala pagi tiba ia mendapatkan daging yang terbaik baunya di tempat yang menjadi letak rumah sakit itu di kemudian hari. .

Pada waktu pendiriannya, rumah sakit itu menghabiskan dana yang sangat besar. Di situ ditempatkan 24 orang dokter dan dibangun semua yang dibutuhkan rumah sakit, seperti perpustakaan ilmiah,apotek, dapur-dapur dan gudang-gudang. .

Pada tahun 449 Hijriah khlifah Al-Qaim Biamrillah memperbaharuinya. Berbagai macam obat dan sirup yang kebanyakan sulit didapat dikumpulkan di situ. Ia membuatkan juga tempat tidur-tempat tidur dan selimut untuk para pasien. Juga minyak wangi dan es. Ia juga menambah pelayan, dokter dan karyawan. Ada juga penjaga pintu dan pemgawal-pengawal. Di rumah sakit itu terdapat kolam besar yang berada di samping kebun yang penuh dengan aneka macam pohon buah-buahan dan sayur-mayur. Perahu-perahu berlayar mengangkut para pasien yang lemah dan miskin. Para dokter melayani mereka secara bergiliran pagi dan petang. Juga ada yang bermalam bersama mereka secara bergantian.

.

2. Rumah Sakit Besar An-Nuri .

Didirikan oleh Sultan Malik Adil Nuruddin as Syahid pada tahun 549 H (1154 M) dari harta yang diambilnya sebagai tebusan dari salah seorang raja Eropa. Ketika dibangun, rumah sakit itu merupakan rumah sakit yang terbaik di antara rumah sakir-rumah sakit di seluruh negeri. Sebenarnya rumah sakit An Nuri diperuntukan bagi kaum fakir-miskin, tetapi jika orang-orang kaya terpaksa memerlukan obat-obatan yang ada di situ, mereka juga diizinkan mendapatkannya. Semua obat dan minuman yang ada di situ memang dibolehkan bagi setiap pasien yang memerlukannya. .

Ibnu Jubair pernah mengembara memasukki rumah sakit itu pada tahun 580 H. Ia menggambarkan perhatian para dokter kepada pasien-pasien dan kepedulian mereka terhadap keadaan si pasien. Juga tersedia persediaan obat-obatan dan makanan yang layak. Di situ ada bagian khusus untuk penyakit jiwa. Orang-orang gila di situ diikat dan dirantai, tapi makanan dan pengobatan tetap diperhatikan. .

Sebagian sejarawan mengatakan, pada tahun 813 H pernah ada seorang asing (non Arab) yang memiliki keutamaan, perasaan dan kelembutan berkunjung ke Damaskus. Ketika memasuki rumah sakit An Nuri dan melihat begitu banyaknya para dokter di situ yang begitu baik memperhatikan pasien, juga melihat makanan yang disediakan rumah sakit itu, hadiah-hadiah dan kenikmatan-kenikmatan yang tak terhitung, ia ingin menguji pengetahuan para dokternya.

Maka ia pura-pura sakit dan tinggal selama tiga hari di sana. Dokter kepala bolak-balik mendatanginya untuk memeriksa kelemahannya. Tatkala dokter itu meraba denyut nadinya, tahulah ia bahwa orang itu tidak sakit, melainkan hanya ingin menguji dokter-dokternya saja. Maka dokter kepala itupun langsung menuliskan resep untuk orang tersebut yang berisi makanan-makanan enak (ayam yang gemuk, kue-kue, minuman-minuman dan buah-buahan yang beraneka macam). Setelah tiga hari dokter kepala itu menulis surat kepadanya. Katanya, "Menjamu tamu di kalangan kami hanya sampai tiga hari." Maka orang asing itupun tahu bahwa mereka mengerti maksudnya dan menganggapnya sebagai tamu di rumah sakit selama itu.

Rumah sakit An-Nuri melaksanakan amalnya yang besar hingga tahun 1317 H, saat didirikannya rumah sakit untuk orang-orang asing, yaitu rumah sakit yang diawasi oleh Fakultas Kedokteran di Universitas Suriah. Rumah sakit An-Nuri ditutup, kemudian difungsikan menjadi sekolah kejuruan. .

.

3. Rumah Sakit Besar Al-Mashuri (Bymaristan Qalawun) .

Semula rumah sakit ini adalah rumah salah seorang pejabat, lalu diubah oleh Malik Manshur Saifuddin Qalawun menjadi rumah sakit pada tahun 683 H (1284 M). Setiap tahun ia mewakafkan untuk rumah sakit tersebut 1.000 dirham dan dibangunkan pula sebuah masjid, sekolah dan pantai asuhan anak yatim. Orang-orang mengatakan bahwa hal yang menyebabkan rumah sakit itu dibangun ialah ketika Malik Manshur jatuh sakit di Damaskus. Dokter-dokter mengobatinya dengan obat-obat yang diambil dari rumah Sakit Besar An-Nuri. Setelah sembuh ia pergi dengan menunggang kuda untuk menyaksikan sendiri rumah sakit itu. Ia amat takjub dan benazar kepada Allah, jika ia diberi kekuasaan oleh Allah, ia akan membangun rumah sakit yang serupa. Tatkala menjadi Sultan, ia memilih rumah ini, lalu membelinya dan mengubahnya menjadi rumah sakit. .

Rumah Sakit Besar Al-Manshuri merupakan salah satu kecanggihan dunia dalam pengaturan dan penertiban. Siapapun boleh memasuki dan memanfaatkannya, laki-laki atau perempuan, orang merdeka atau hamba sahaya, raja atau rakyat jelata. Pasien yang keluar dari situ ketika sembuh diberi pakaian, sedang pasien yang meninggal diurus, dikafani dan dikuburkan. Di situ ditempatkan pula dokter-dokter dari berbagai cabang kedokteran. Juga dipekerjakan pegawai-pegawai dan pelayan-pelayan untuk melayani pasien, membenahi dan membersihkan tempat-tempat mereka, mencuci pakaian mereka dan melayani mereka di kamar mandi. Setiap pasien dilayani oleh dua orang pelayan dan diberi tempat tidur lengkap. Setiap kelompok pasien disendirikan di tempat-tempat khusus. Di situ ada juga ruangan khusus dokter kepala untuk memberikan pelajaran-pelajaran kedokteran kepada para mahasiswa. Di antara hal yang menakjubkan di situ ialah bahwa pemanfaatan rumah sakit itu tidak terbatas hanya pada pasien-pasien yang tinggal di situ tetapi juga diperuntukkan bagi pasien di rumah yang meminta minuman, makanan dan obat-obatan yang diperlukannya.

Rumah sakit ini menunaikan amal kemanusiaannya yang mulia. Bahkan sebagian dokter mata yang bekerja di situ mengabarkan, setiap hari pasien yang masuk dan yang ke luar berjumlah sekitar 4.000 orang. Pasien yang sembuh dan yang ke luar dari situ selalu diberi pakaian dan sejumlah uang nafkahnya sehingga ia tidak perlu segera bekerja berat untuk mencari penghidupan. .

Di antara hal yang menakjubkan juga ialah ketentuan dalam akte wakaf rumah sakit itu. Makanan setiap pasien harus diberikan dengan piring yang khusus untuknya dan tidak boleh digunakan pasien lain, juga harus ditutup dan diantarkan kepada pasien dengan cara ini. Hal lain yang juga menakjubkan, para pasien yang tidak bisa tidur bisa menghibur diri dengan menyimak kisah-kisah yang diceritakan oleh tukang dongeng. Tukang adzan di masjid yang bersisian dengan rumah sakit mengumandangkan adzan pada dini hari dua jam sebelum fajar. Mereka juga mengalunkan suara-suara pujian-pujian dengan suara lembut untuk meringankan penderitaan para pasien yang dijemukan oleh keadaan mereka yang tidak bisa tidur dan terlalu lama mendekam di rumah sakit. .

Kebiasaan ini berlanjut hingga masuknya ekspedisi Perancis ke Mesir tahun 1798 M. Sarjana-sarjana Perancis menyaksikan sendiri kebiasaan itu dan menulis tentang hal itu. Katanya, "Demi Allah, ini adalah keluhuran kemanusiaan yang mengagumkan dan keahlian di bidang kedokteran yang tidak diperhatikan oleh dunia modern kecuali pada masa modern. Ini mengingatkan saya pada hal-hal yang saya dengar di Tripoli mengenai wakaf langka yang hasilnya dikhususkan untuk menugaskan dua orang agar mengunjungi rumah sakit-rumah sakit setiap hari, kemudian berbicara di samping para pasien dengan suara yang pelan agar si pasien mendengar apa yang disugestikan kepadanya bahwa keadaannya bahwa keadaannya sudah membaik, wajahnya sudah memerah dan matanya sudah bersinar." .

.

4. Rumah Sakit Marrakesh .

Didirikan oleh Amirul Mukminin Manshur Abu Yusuf, salah seorang raja Muwahhidin di Maghrib. Ia memilih lapangan yang luas di Marrakesh di tempat yang terbaik dan menyuruh ahli-ahli bangunan untuk mendirikan rumah sakit itu dengan bentuk paling bagus serta menanaminya dengan segala macam pepohonan, bunga-bungaan dan buah-buahan. Di situ dialirkan air yang banyak yang mengitari seluruh bangunan di samping empat buah kolam yang dibagian tengahnya terdapat marmer putih, juga dihamparkan permadani-permadani indah dari berbagai jenis wol, katun, sutra, kulit dan lain-lain yang tak bisa digambarkan satu per satu. Di situ juga didirikan apotek-apotek dan laboratorium untuk meramu obat-obatan, salep dan alkohol. .

Untuk sang pasien disediakan baju tidur malam dan siang. Jika si pasien sembuh, sedang ia miskin, maka ia diberi uang untuk biaya hidupnya selama belum bekerja. Jika pasien itu hanya kaya maka uangnya di kembailkan kepadanya. Rumah sakit ini tidak terbatas hanya untuk orang-orang miskin saja tapi juga untuk orang kaya. Bahkan setiap orang kaya yang sakit di Marrakesh dibawa ke situ dan diobati hingga sembuh atau meninggal. Setiap hari jum`at Amirul Mukminin mengunjunginya, menjenguk para pasien dan menanyakan keadaan mereka serta menanyakan perlakuan para dokter dan perawat terhadap mereka. .

Itulah empat contoh dari ratusan rumah sakit yang tersebar di dunia Islam, baik di kawasan Timur maupaun Barat. Sementara pada waktu itu bangsa Eropa masih tersesat dalam gelapnya kebodohan. Mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang rumah sakit-rumah sakit ini berikut ketertibannya, kebersihannya dan keluhuran perasaan kemanusiaan yang ada di dalamnya.

Simaklah apa yang dikatakan orientalis Jerman, Max Meirhauf mengenai keadaan rumah sakit-rumah sakit di Eropa pada masa ketika rumah sakit-rumah sakit peradaban kita sudah mencapai kemajuan seperti yang telah kami gambarkan di atas. Dr. Max berkata, "Rumah sakit-rumah sakit Arab dan sistem-sistem kesehatan di negeri-negeri Islam pada masa silam telah memberikan kepada kita pelajaran yang keras dan pahit. Kita tidak dapat menilainya dengan benar bila kita belum mengadakan perbandingan sederhana dengan rumah sakit-rumah sakit Eropa pada masa yang sama." ".

Lebih dari tiga abad yang lalu (terhitung dari masa kini) di Eropa, sebelum dikenal arti rumah sakit umum (hingga abad ke-18 atau 1710 M), rumah sakit masyarakat Eropa ibarat rumah-rumah kasih sayang dan kebajikan serta hanya sebagai tempat tinggal bagi orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal, baik orang sakit maupun tua.

Contoh paling nyata untuk itu adalah Rumah Sakit Autille Dieux di Paris. Rumah sakit ini adalah rumah sakit Eropa terbesar saat itu yang digambarkan Max Turdeau dan Tenon sebagai berikut:

Rumah sakit itu berisi 1.200 tempat tidur, 486 buah di antaranya masing-masing dikhususkan untuk 1 orang, sedangkan sisanya biasanya dtempati 3 sampai 6 pasien (padahal satu tempat tidur luasnya tidak lebih dari lima kaki). Serambi-serambi besarnya pengap dan lembab, tidak berjendela atau berventilasi. Serambi-serambi selalu dalam keadaaan gelap. Di situ Anda dapat melihat, setiap hari sekitar 800 pasien tidur terlentang di tanah, saling bertindihan satu sama lain dalam keadaan sangat memperahtinkan. Di tempat tidur berukuran sedang dapat pula anda saksikan 4,5 atau 6 pasien yang berhimpitan. Kaki pasien yang satu menimpa kepala pasien yang lain. Anak-anak kecil bersisian dengan orang tua, sedang perempuan bersisian dengan laki-laki (kadang-kadang tidak dapat dipercaya, tetapi itulah kenyataannya). ..

Anda dapat saksikan juga seorang perempuan yang hampir melahirkan bercampur dengan anak kecil yang sedang dalam keadaan kejang karena terserang tipus dan demam. Di samping mereka ada pasien lain yang menderita penyakit kulit yang menggaruk kulitnya yang lapuk dengan kuku-kukunya yang penuh darah sehingga nanah koreng-koreng mengalir di atas selimut. Makanan pasien-pasien termasuk yang paling jelek yang bisa dibayangkan akal. Jumlah makanan yang dibagikan kepada para pasien sungguh tidak memadai dan dalam selang waktu yang tidak teratur.

Para biarawati sudah biasa mengistimewakan pasien-pasien yang patuh dan munafik atas pasien-pasien lainnya. Mereka diberi minum khamar dan dberi makan kue-kue dan makanan berlemak yang disumbangkan para dermawan pada saat mereka lebih membutuhkan pantangan singga banyak di antara mereka yang mati karena terlalu banyak makan sedang yang lain mati karena kelaparan. Pintu-pintu rumah sakit terbuka setiap saat bagi setiap pasien yang datang pagi dan sore. Dengan begitu, berjangkitlah penyakit-penyakit karena penularannya dan karena kotoran-kotoran serta udara yang busuk. Kasur-kasur penuh dengan serangga-serangga kotor, sedang udara di kamar-kamar tidak bisa dihirup karena terlalu pengap sehingga para pelayan dan perawat tidak berani masuk kecuali setelah meletakkan karet busa atau bunga karang yang dibasahi dengan cuka pada hidung-hidung mereka. Jenazah orang mati dibiarkan sekurang-kurangnya 24 jam sebelum diangkat dari tempat tidur umum (yang di pakai bersama pasien lain). Seringkali jenazah itu rusak dan membusuk, terbujur di samping pasien lain yang nyaris hilang kesadarannya. .

Inilah perbandingan sederhana antara kondisi rumah sakit pada masa peradaban kita dengan kondisi rumah sakit Barat pada masa-masa itu. Ini merupakan sebuah perbandingan yang menunjukkan sejauh mana kerendahan keilmuan yang dialami bangsa Barat ketika itu. Juga merupakan kebodohan yang nyata terhadap kaidah-kaidah rumah sakit, bahkan terhadap kaidah-kaidah kesehatan umum yang seharusnya. .

Dalam dua peristiwa yang dikisahkan Usamah bin Munqiz dalam buku Al I`tibar kita dapat melihat sejauh mana kebodohan tentara-tentara Salib Barat terhadap ilmu kedokteran, dan sejauh mana pengetahuan dokter-dokter mereka. Usamah mengatakan, ada salah satu keanehan dalam kedokteran mereka (orang-orang Barat). Selanjutnya Usamah berkata, Penguasa Manaitharah pernah menulis surat kepada pamanku. Penguasa minta dikirimkan seorang dokter untuk mengobati sahabat-sahabatnya yang sakit. Pamanku mengirimkan dokter Nasrani bernama Tsabit, Tak sampai sepuluh hari dokter itu sudah kembali. Kami berkata kepadanya,”Betapa cepat Anda mengobati orang-orang sakit.”

Dokter itu lalu berkata, “Mereka membawa kepadaku seorang prajurit berkuda yang terdapat bisul di kakinya dan seorang perempuan yang pucat sekali. Aku mengompres prajurit itu sehingga pecah bisulnya dan akhirnya dia sembuh, sedangkan perempuan itu aku hangatkan dan aku segarkan kembali tubuhnya. Kemudian datang kepada mereka seorang dokter Barat. .

Dia berkata,’ Orang ini tidak mengetahui cara mengobati mereka.’ Lalu ia bertanya kepada prajurit itu, ‘Mana yang lebih engkau sukai, hidup dengan satu kaki atau mati dengan dua kaki?’ Prajurit itu menjawab,’ Hidup dengan satu kaki.’

Dokter itu berkata, ‘Hadirkan seorang prajurit dan kuat dan kapak yang tajam!’

Setelah prajurit dan kapak yang dimaksud sudah ada, dokter itu lalu meletakkan betis prajurit yang berbisul itu di lobang papan dan berkata, ‘Potonglah kakinya dengan kapak itu!’

Prajurit yang kuat itu mengayunkan kapaknya sekali tetapi kaki itu tidak putus. Maka diulanginya sekali lagi sehingga mengalir sumsum tulang betis itu dan prajurit itu tewas seketika.”

Selanjutnya Usamah beralih menceritakan bagaimana dokter Salib itu menyuruh merendam perempuan itu ke dalam air panas sehingga ia pun mati seketika itu juga.

Kami akhiri pebicaraan ini dengan beberapa kesimpulan yang kami harap bisa mengundang perhatian, yaitu:

a. Dalam pengaturan rumah sakit, peradaban kita lebih dahulu dari orang-orang Barat, sekurang-kurangnya tujuh abad. .

b. Rumah sakit-rumah sakit kita berpijak pada rasa kemanusiaan yang mulia yang tak ada bandingannya dalam sejarah dan tidak pula dikenal oleh orang-orang Barat sampai sekarang.

c. Kita adalah umat paling dahulu mengenal pengaruh besar sugesti dalam penyembuhan orang-orang sakit. .

d. Dalam mewujudkan solidaritas sosial kita telah mencapai batas yang tidak pernah dicapai oleh peradaban Barat hingga sekarang, yakni ketika kita memberikan perawatan, pengobatan dan makanan kepada para pasien secara gratis. Bahkan kepada yang miskin kita memberikan sejumlah uang yang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai mampu bekerja.

Dalam pemaparan di atas kita dapat melihat sendiri bahwa kita telah mencapai puncak dalam kecenderungan kemanusiaan ini pada saat kita memikul panji-panji peradaban. Kini yang patut kita pertanyakan pada diri masing-masing, sekarang ini di mana posisi kita sebenarnya dan di mana pula posisi orang-orang Barat? .

.

Wallahu a'lam bish-shawab .

.

Sumber: milis mualafindonesia

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

08 Mei 2010

FILE 161 : Semua Masuk Neraka ?

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Penulis :

Ustadz ‘Ashim bin Musthafa, Lc

Allâh Ta'ala berfirman:

“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”

. (Qs Maryam/19: 71-72)

Penjelasan dari Ayat

Ayat ini (ayat pertama) merupakan kabar berita dari Allâh Ta'ala kepada seluruh makhluk, baik orang-orang yang shaleh ataupun durhaka, Mukminin maupun orang kafir. Setiap orang akan mendatangi neraka. Ini sudah menjadi ketentuan Allâh Ta'ala dan janji-Nya kepada para hamba-Nya. Tidak ada keraguan tentang terjadinya peristiwa itu dan Allâh Ta'ala pasti akan merealisasikannya.

Yang perlu diketahui, Ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian kata al-wurûd (mendatangi neraka) dalam ayat tersebut. Sebagian Ulama menyatakan, maksudnya neraka dihadirkan di hadapan segenap makhluk, sehingga semua orang akan merasa ketakutan. Setelah itu, Allâh Ta'ala menyelamatkan kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Atau menurut penafsiran yang lain, semua makhluk akan memasukinya. Akan tetapi bagi kaum Mukminin meskipun mereka memasukinya, neraka akan menjadi dingin dan keselamatan bagi mereka. Di samping itu, terdapat penafsiran lain yang memaknai kata al-wurûd dengan mendekati neraka. Dan ada pula yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah panas badan yang dialami kaum Mukminin saat menderita sakit panas.

Syaikh ‘Abdul Muhsin menyatakan bahwa penafsiran paling populer mengenai ayat di atas ada dua pendapat. Pertama, semua orang akan memasuki neraka, akan tetapi kaum Mukminin tidak mengalami bahaya. Kedua, semua orang akan melewati shirâth (jembatan) sesuai dengan kadar amal shalehnya. Jembatan ini terbentang di atas permukaan neraka Jahannam. Jadi, orang yang melewatinya dikatakan telah mendatangi neraka. Penafsiran ini dinukil Ibnu Katsîr rahimahullâh dari Ibnu Mas’ûd radhiallâhu'anhu.

Dari dua pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh (wafat tahun 792 H) memandang bahwa pendapat kedua itulah yang paling kuat dan râjih.

Beliau berkata, “Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian al-wurûd dalam firman Allah Surat Maryam ayat 71, manakah pendapat yang benar? Pendapat yang paling jelas dan lebih kuat adalah melintasi shirâth.”

Untuk menguatkan pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh berhujjah dengan ayat selanjutnya (Qs Maryam/19:72) dan hadits riwayat Imam Muslim rahimahullâh dalam kitab Shahihnya no. 6354.

Imam Muslim rahimahullâh meriwayatkan dengan sanadnya dari Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda saat berada di samping Hafshah radhiallâhu'anha, “Tidak ada seorang pun dari orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon (ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah, red) yang akan masuk neraka”.

Hafshah (dengan merasa heran) berkata, “Mereka akan memasukinya wahai Rasulullah”.

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam pun menyanggahnya. Kemudian Hafshah radhiallâhu'anha berdalil dengan membaca ayat di atas (Qs Maryam/19: 71).

(Mendengar ini) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam kemudian (mendudukkan masalah seraya) bersabda:

“Sungguh Allah telah berfirman setelahnya:

ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا

'Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut'. (Qs Maryam/19: 72)."

Usai mengetengahkan hadits di atas, Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullâh mengatakan bahwa Beliau (Rasulullah) Shallallahu 'Alaihi Wassallam mengisyaratkan (dalam hadits tersebut) bahwa maksud al-wurûd (mendatangi neraka) tidak mesti memasukinya.

Selamatnya (seseorang) dari mara bahaya tidak mesti ia telah mengalaminya. Seperti halnya seseorang yang dikejar musuh yang hendak membunuhnya, namun musuh tidak sanggup menangkapnya, maka untuk orang yang tidak tertangkap ini bisa dikatakan Allah telah menyelamatkannya.

Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya:

  • "Dan ketika adzab Kami datang, Kami selamatkan Hûd..." (Qs. Hûd /11:58),
  • "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Saleh..." (Qs. Hûd /11:66),
  • "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Syu’aib..." (Qs. D /11:94).

Siksa Allâh Ta'ala tidak ditimpakan kepada mereka, akan tetapi menimpa orang selain mereka. Jika tidak ada faktor-faktor keselamatan yang Allâh Ta'ala anugerahkan bagi mereka secara khusus, niscaya siksa akan menimpa mereka juga. Demikian pula pengertian al-wurûd (mendatangi neraka), maksudnya adalah orang-orang akan melewati neraka dengan melintasi shirâth, kemudian Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di neraka dalam keadaan berlutut”.

Senada dengan keterangan di atas, sebelumnya Imam Nawâwi rahimahullâh (wafat tahun 676 H) pun merâjihkan arti kata al-wurûd adalah menyeberangi shirâth. Beliau rahimahullâh berkata saat menerangkan hadits Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha: “Yang benar, maksud al-wurûd (mendatanginya) dalam ayat (Qs Maryam/19:71) adalah melewati shirâth. Shirâth adalah sebuah jembatan yang terbentang di atas neraka Jahanam. Para penghuni neraka akan terjatuh ke dalamnya. Sementara selain mereka akan selamat”.

Dalam kitab al-Jawâbuss Shahîh (1/228), Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh juga merâjihkan bahwa pengertian al-wurûd adalah menyeberangi shirâth.

Syaikh Abu Bakar al-Jazairi hafizhahullâh juga memilih pendapat ini dalam tafsirnya.

Orang-orang yang Bertakwa Selamat Melintasi Shirâth

Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya sesuai dengan amal mereka. Amal shaleh akan sangat berpengaruh dalam proses melewati shirâth. Semakin banyak amal shaleh seseorang di dunia, maka ia akan semakin cepat menyeberanginya.

Syaikh as-Sa’di rahimahullâh mengatakan: “Orang-orang menyeberanginya sesuai dengan kadar amaliahnya (di dunia). Sebagian melewatinya secepat kedipan mata, atau secepat angin, atau secepat jalannya kuda terlatih atau seperti kecepatan larinya hewan ternak. Sebagian (menyeberanginya) dengan berlari-lari, berjalan atau merangkak. Sebagian yang lain tersambar dan terjerumus jatuh di dalam neraka. Masing-masing sesuai dengan kadar ketakwaannya".

Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa (kepada Allah Ta'ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya) dan membiarkan orang-orang zhalim (yang menzhalimi diri mereka sendiri dengan kekufuran dan maksiat) di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut".

Semoga Allâh Ta'ala dengan Rahmat dan Kasih-Nya berkenan menyelamatkan kita sekalian dari neraka.

Pelajaran Dari Ayat

  • Mengandung penetapan kewajiban mengimani keberadaan neraka.
  • Penetapan kewajiban mengimani shirâth.
  • Penetapan kepastian menyeberangi jembatan di atas neraka.
  • Ketetapan Allâh Ta'ala pasti terjadi.
  • Orang-orang bertakwa akan selamat dari siksa neraka.
  • Orang-orang fâjir (berbuat jahat) akan binasa karena kesyirikan dan maksiat mereka.
Wallâhu a’lam. . .

.

(Majalah As-Sunnah Edisi 09/Thn. XIII/Dzulhijjah 1430H/Desember 2010M)

*****

Sumber: majalah-assunnah.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 160 : Mengenal Shahih Bukhari-Muslim

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Mengenai Shahih Bukhari-Muslim

Penulis:

Yulian Purnama

.

Orang pertama yang memiliki perhatian untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih secara khusus adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari dan diikuti oleh sahabat sekaligus muridnya, Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah dua kitab hadits yang paling shahih, namun Shahih Bukhari lebih utama. Pasalnya, Imam Bukhari hanya memasukan hadits-hadits dalam kitab Shahih-nya yang memiliki syarat sebagai berikut:

  1. Perawi hadits sezaman dengan guru yang menyampaikan hadits kepadanya
  2. Informasi bahwa si perawi benar-benar mendengar hadits dari gurunya harus valid

Sedangkan Imam Muslim tidak mensyaratkan syarat yang kedua, yang penting perawi dan gurunya sezaman, itu sudah dianggap cukup.

Demikianlah perbedaan tentang penilaian keshahihan hadits antara Imam Bukhari dan Imam Muslim, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebagaian ulama tidak berpendapat demikian, diantaranya Abu ‘Ali An Naisaburi, guru dari Al Hakim, dan beberapa ulama maghrib.

Namun demikian bukan berarti Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengumpulkan semua hadits shahih yang ada pada kedua kitab tersebut. Buktinya, beliau berdua kadang meriwayatkan hadits shahih di kitab yang lain. Misalnya Imam At Tirmidzi dan sebagaian yang lain, dalam kitab Sunan atau kitab lain, kadang meriwayatkan hadits dari shahih Al Bukhari yang tidak terdapat dalam kitab Shahih-nya.

Jumlah hadits shahih dalam Shahih Bukhari dan Muslim

Ibnu Shalah mengatakan bahwa hadits shahih dalam Shahih Al Bukhari berjumlah 7275 hadits dengan pengulangan. Jika tanpa pengulangan berjumlah 4000 hadits. Sedangkan dalam Shahih Muslim, tanpa pengulangan, berjumlah sekitar 4000 hadits.

Penambahan hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim

Al Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ya’qub bin Akhram berkata: “Al Bukhari dan Muslim tidak melewatkan hadits shahih lain (yang sesuai syarat mereka)”. Ibnu Shalah telah mengkritik pernyataan ini. Buktinya, Al Hakim telah memberi banyak tambahan hadits lain yang memenuhi syarat Bukhari-Muslim, walaupun sebagiannya diperselisihkan.

Menurut Ibnu Katsir, hal ini perlu dikritisi. Karena tambahan Al Hakim tersebut merupakan tambahan yang belum tentu disepakati syaratnya oleh Bukhari-Muslim, bisa jadi karena Bukhari-Muslim melihat kelemahan pada perawinya, atau melihat adanya kecacatan. Wallahu’alam.

Banyak kitab hadits yang telah men-takhrij Shahih Bukhari-Muslim dengan memberikan tambahan yang bagus dan sanad yang bagus, misalnya Shahih Abu ‘Awanah, Shahih Abu Bakar Al Isma’ili, Shahih Al Burqani, Shahih Abu Nu’aim Al Ash-habani dan yang lain. Terdapat kitab lain juga yang diklaim shahih oleh penulisnya, seperti Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahih Ibnu Hayyan Al Bustani. Kedua kitab ini lebih bagus dari kitab Al Mustadrak Al Hakim, serta lebih bersih sanad dan matannya.

Demikian pula, dalam Musnad Imam Ahmad terdapat hadits dengan sanad dan matan yang sama seperti yang terdapat di Shahih Muslim dan Shahih Bukhari. Terdapat juga hadits yang tidak terdapat dalam keduanya atau salah satunya, dan terdapat pula hadits yang tidak diriwayatkan oleh empat kitab hadits induk, yaitu Sunan Abi Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah.

Hal demikian juga ditemukan banyak hadits shahih dalam Mu’jam Al Kabir dan Mu’jam Al Wasith Ath Thabrani, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, dan kitab-kitab Musnad, Mu’jam, Fawaid dan Ajza yang lain. Adanya hadits-hadits shahih dalam kitab-kitab tersebut ditinjau dari para perawinya dan tidak terdapatnya kecacatan. Dibolehkan mendahulukan hadits-hadits tersebut walau tidak diriwayatkan oleh para huffadz sebelum mereka. Hal ini disetujui oleh Imam Abu Zakaria Yahya An Nawawi, namun Ibnu Shalah tidak sependapat dengan beliau. Namun, Syaikh Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid Al Maqdisi menulis sebuah kitab hadits yang berjudul ‘Al Mukhtarah‘, namun belum sempurna. Sebagian guru kami ada yang lebih mengutamakan hadits-hadits dalam kitab tersebut dibanding Al Mustadrak Al Hakim. Wallahu’alam

Ibnu Shalah sendiri berkomentar di Kitab Mustadrak Al Hakim: “Kitab ini terlalu luas dalam memaknai keshahihan hadits. Penulis terlalu bermudah-mudah dalam menshahihkan hadits. Sebaiknya ia bersikap pertengahan dalam hal ini. Namun, hadits-hadits dalam kitab ini yang belum dishahihkan oleh para imam hadits, kadang ada yang memang shahih, yang lainnya minimal hasan, yang masih bisa dijadikan hujjah. Kecuali beberapa hadits yang jelas kecacatannya, maka dhaif”

Menurut Ibnu Katsir, dalam kitab Al Mustadrak terdapat berbagai jenis hadits. Ada hadits yang memang shahih yang tidak ada di Shahih Bukhari-Muslim, namun sedikit. Ada pula hadits shahih yang diklaim oleh Al Hakim tidak terdapat dalamShahih Bukhari-Muslim padahal sebenarnya diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, namun Al Hakim tidak tahu. Ada pula hadits hasan, dhaif, hadits palsu. Guru kami, Imam Adz Dzahabi telah meringkas kitab ini dan memberi penjelasan pada setiap hadits, dan dijadikan satu jilid kitab yang tebal, beliau menemukan hampir seratus hadits palsu dari Al Mustadrak. Wallahu’alam.

Beberapa catatan tentang Shahih Bukhari-Muslim

  • Ibnu Shalah pernah menjelaskan tentang hadits-hadits yang mu’allaq dalam Shahih Bukhari-Muslim, jumlahnya sedikit, beliau mengatakan ada sekitar 14 hadits. Secara ringkas beliau menjelaskan, hadits mu’allaq dengan shighah jazm dalam Shahih Bukhari adalah hadits shahih dari jalan perawi yang disebutkan, sedangkan perawi setelahnya perlu diteliti. Lalu hadits mu’allaq dengan shighah tamridh, belum tentu shahih dan belum tentu tidak shahih. Karena terkadang ada hadits yang demikian dan ternyata memang hadits shahih, misalnya diketahui bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim juga. Kemudian hadits muallaq tersebut tidak dikelompok ke dalam hadits shahih musnad, walau beliau menamai kitabnya “Al Jami’ Al Musnad Ash Shahih Al Mukhtashar Fii Umuuri Rasululillah Shallallahu’alaihi Wasallam
  • Jika Imam Al Bukhari berkata “Qaala Lanaa” (Seseorang berkata kepada saya) atau berkata “Qaala Lii Fulaanun Kadzaa” (Fulan berkata kepada saya begini) atau “Zaadanii” (Seseorang memberikan tambahan kepada saya), atau perkataan semisal, dihukumi muttashil menurut pendapat mayoritas ulama hadits. Ibnu Shalah juga mengabarkan bahwa yang demikian juga merupakan bentuk hadits mu’allaq, Imam Bukhari menyebutkan hadits tersebut untuk memperkuat bukan sebagai pokok, dan kadang hadits tersebut di dengar oleh Imam Bukhari dalam mudzakrah. Ibnu Shalah dalam hal ini telah membantah Al Hafidz Abu Ja’far bin Hamdan yang mengatakan bahwa jika Imam Al Bukhari berkata “Qaala Lii Fulaanun” (Fulan berkata kepada saya) adalah untuk munaawalah.
  • Ibnu Shalah juga mengingkari Ibnu Hazm yang menolak hadits Bukhari tentang alat musik karena pada hadits tersebut Al Bukhari berkata: “Hisyam bin ‘Ammar berkata…”. Ibnu Shalah mengatakan bahwa Ibnu Hazm salah dalam beberapa hal, hadits ini shahih dari Hisyam bin ‘Ammar. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Daud dalam Sunan-nya, Al Burqani dalam Shahih-nya, dan yang lainnya. Semua riwayatnya musnad muttashil sampai kepada Hisyam bin ‘Ammar dan gurunya. Ibnu Katsir telah menjelaskan hal ini dalam kitab Al Ahkam.
  • Ibnu Shalah mengabarkan bahwa Shahih Bukhari-Muslim telah diterima oleh kaum muslimin dengan sepakat. Kecuali beberapa hadits saja yang dikritik setelah diteliti oleh sebagian Huffadz seperti Ad Daruquthni dan yang lainnya. Dari kesepakatan tersebut diputuskan bahwa hadits-hadits Bukhari-Muslim pasti shahih. Karena kaum muslimin ma’shum dari kesalahan jika telah bersepakat. Karena jika ummat menilainya shahih dan mewajibkan beramal dengannya, maka tentu hadits-hadits tersebut pada hakikatnya memang shahih. Inilah pendapat yang bagus. Namun Muhyiddin An Nawawi tidak sependapat dengan pendapat ini, ia berkata: “Kesepakatan kaum muslimin dalam hal ini tidak memastikan hadits-hadits Bukhari-Muslim pasti shahih”. Ibnu Katsir lebih cenderung sepakat dengan pendapat Ibnu Shalah. Wallahu’alam. Setelah menjelaskan demikian, Ibnu Shalah menyampaikan perkataan Ibnu Taimiyah yang intinya: “Telah dinukil pernyataan dari para ulama bahwa hadits-hadits yang sepakati diterima oleh ummat. Diantara para ulama tersebut:
    • Al Qadhi Abdul Wahhab Al Maliki
    • Syaikh Abdul Hamid Al Asfara-ini
    • Al Qadhi Abu Thayyib Ath Thabari
    • Syaikh Abu Ishaq Asy Syairaazi Asy Syafi’i
    • Ibnu Hamid
    • Abu Ya’a Ibnul Farra’
    • Abul Khattab
    • Ibnu Az Zaghwani dan ulama Hanabilah semisal beliau
    • Syamsul A-immah As Sarkhasi Al Hanafi, ia berkata: ‘Ini adalah pendapat para ahli kalam dari kalangan Asy’Ariyyah, seperti Ishaq Al Asfara-ini dan Ibnu Faurak, dan juga merupakan pendapat Ahlul Hadits secara khusus dan Mazhab Salaf secara umum” (sampai di sini perkataan Ibnu Taimiyyah)

(Al Ba’its Al Hatsits, Abul Fida Ibnu Katsir)

*****

Sumber: kangaswad.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

01 Mei 2010

FILE 159 : Mewaspadai Kitab Suci Ahlul-Kitab

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Kelancangan Ahlul Kitab terhadap Kitab Suci-Nya

Penulis:

Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

.

.

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

"Sesungguhnya ada segolongan di antara mereka yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu mengira yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: ‘Ini (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui." (Ali ‘Imran: 78)

Penjelasan Mufradat Ayat

مِنْهُمْ

Di antara mereka, yaitu kaum Yahudi yang ada di sekitar kota Madinah. Sebab, kata ganti "mereka" di sini kembali ke firman Allah 'Azza wa Jalla sebelumnya yang menjelaskan tentang keadaan mereka. (Tafsir Ath-Thabari, 3/323)

يَلْوُوْنَ

Memutar-mutar lidahnya, yaitu mereka men-tahrif (mengubahnya), sebagaimana dinukil dari Mujahid, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas. Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas bahwa mereka mengubah dan menghilangkannya, dan tidak ada seorangpun dari makhluk Allah 'Azza wa Jalla mampu menghilangkan lafadz kitab dari kitab-kitab Allah. Namun mereka mengubah dan mentakwilnya bukan di atas penakwilan sebenarnya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/377, lihat pula Tafsir Ath-Thabari, 3/324)

Qatadah rahimahullahu berkata:

"Mereka adalah Yahudi, musuh Allah 'Azza wa Jalla. Mereka mengubah kitab Allah 'Azza wa Jalla, membuat bid’ah di dalamnya, kemudian mengira bahwa itu dari sisi Allah 'Azza wa Jalla." (Tafsir Ath-Thabari, 3/324)

Adapun dalam qira`ah (bacaan) Abu Ja’far dan Syaibah dibaca dengan "yulawwuun", yang menunjukkan makna lebih sering dalam mengerjakan hal tersebut. (Tafsir Al-Qurthubi, 4/121)

Penjelasan Makna Ayat

Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata menjelaskan ayat ini:

"Allah 'Azza wa Jalla mengabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang mempermainkan lisannya dengan Al-Kitab, yaitu memalingkan dan mengubah dari maksud sebenarnya. Dan ini mencakup mengubah lafadz dan maknanya. Padahal tujuan dari adanya Al-Kitab adalah untuk memelihara lafadznya dan tidak mengubahnya, serta memahami maksud dari ayat tersebut dan memahamkannya. Mereka justru bertolak belakang dengan hal ini. Mereka memahamkan selain apa yang diinginkan dari Al-Kitab, baik dengan sindiran maupun terang-terangan. Adapun secara sindiran terdapat pada firman-Nya

لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ

(agar kalian menyangkanya dari Al-Kitab) yaitu mereka memutar-mutar lisannya dan memberikan kesan kepadamu bahwa itulah maksud dari kitab Allah 'Azza wa Jalla. Padahal bukan itu yang dimaksud. Adapun yang secara terang-terangan, terdapat pada firman-Nya:

وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

"Dan mereka mengatakan bahwa itu dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka mengada-ada atas nama Allah dengan kedustaan dalam keadaan mereka mengetahui."

Dan ini lebih besar dosanya daripada orang yang mengada-ada atas nama Allah 'Azza wa Jalla tanpa ilmu. Mereka ini berdusta atas nama Allah 'Azza wa Jalla, kemudian menggabungkan antara menghilangkan makna yang haq dan menetapkan makna yang batil, dan mendudukkan lafadz yang menunjukkan kebenaran untuk dibawa kepada makna yang batil, dalam keadaan mereka mengetahui." (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 136)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata:

"Allah 'Azza wa Jalla mengabarkan tentang Yahudi –laknat Allah atas mereka– bahwa di antara mereka ada suatu kelompok yang mengubah-ubah kalimat dari tempatnya dan mengganti firman Allah serta menghilangkannya dari maksud sebenarnya untuk memberi kesan kepada orang-orang jahil bahwa itu terdapat dalam kitab Allah. Mereka menisbahkannya kepada Allah. Mereka berdusta dalam keadaan mereka mengetahui dari diri mereka sendiri bahwa mereka berdusta dan mengada-adakan semua itu. Oleh karenanya Allah mengatakan: "dan mereka berdusta atas nama Allah dalam keadaan mereka mengetahui." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/377)

Ath-Thabari rahimahullahu berkata:

"Allah jalla tsana`uhu memaksudkan bahwa di antara ahli kitab, yaitu kaum Yahudi dari Bani Israil yang ada di sekitar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masanya, mempermainkan lisan mereka dengan Al-Kitab agar kalian menyangkanya dari kitab Allah dan yang diturunkan-Nya. Padahal apa yang lisan mereka permainkan adalah kitab Allah yang telah mereka ubah dan ada-adakan. Dan mereka kesankan bahwa apa yang telah mereka permainkan dengan lisan mereka dengan mengubah, berdusta, dan berbuat kebatilan, lalu mereka masukkan dalam kitab Allah, bahwa itu berasal dari sisi Allah. Padahal itu bukan dari apa yang diturunkan Allah kepada salah seorang dari nabinya.

Namun hal tersebut merupakan sesuatu yang mereka ada-adakan dari diri mereka sendiri, dusta atas nama Allah. Mereka sengaja berdusta atas nama Allah, dan bersaksi atasnya dengan kebatilan dan menyertakan sesuatu yang tidak termasuk kitab Allah ke dalamnya, hanya karena mengharapkan kekuasaan dan kehidupan dunia yang rendah nilainya." (Tafsir Ath-Thabari, dengan sedikit diringkas, 3/323-324)

Kitab Taurat dan Injil yang Telah Berubah

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

فَوَيْلٌ لِلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُوْنَ

"Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan." (Al-Baqarah: 79)

يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ لاَ يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُوْنَ لِقَوْمٍ آخَرِيْنَ لَمْ يَأْتُوْكَ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُوْلُوْنَ إِنْ أُوْتِيْتُمْ هَذَا فَخُذُوْهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

"Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman’, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: ‘Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.’ Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar." (Al-Maidah: 41)

Ayat-ayat Allah 'Azza wa Jalla yang mulia ini menjelaskan kepada kita, apa yang telah diperbuat Ahli Kitab terhadap kitab-kitab mereka berupa perubahan, penambahan, dan membawa makna-makna yang terdapat dalam kitab Allah tersebut kepada yang bukan pemahaman sebenarnya. Mereka melakukannya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan untuk mendapatkan sebagian kehidupan dunia yang hina. Mereka melakukannya dalam keadaan mengetahui kebenaran tersebut, namun menyembunyikan dan menampakkan sebaliknya di hadapan manusia.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُوْنَهُ كَمَا يَعْرِفُوْنَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيْقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

"Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui." (Al-Baqarah: 146)

Namun adanya perubahan tersebut bukan berarti bahwa semua yang terdapat dalam kitab Taurat ataukah Injil telah mengalami perubahan secara keseluruhan. Bahkan di dalam keduanya itu masih banyak terdapat ayat-ayat yang merupakan teks asli dari kitab Allah 'Azza wa Jalla, yang jika seseorang Nasrani atau Yahudi mengimani ayat-ayat tersebut dengan keimanan yang sebenar-benarnya, niscaya mereka akan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa wahyu Al-Qur`an Al-Karim.

Hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, beliau berkata:

"Demikian pula dikatakan: jika lafadz-lafadz khabar diubah sedikit, tidaklah mencegah bahwa kebanyakan lafadznya tidak terjadi perubahan. Apalagi jika di dalam Al-Kitab itu sendiri ada yang menunjukkan sesuatu yang telah diubah itu. Dan dikatakan pula bahwa apa-apa yang telah diubah dari lafadz-lafadz Taurat dan Injil, maka dalam Taurat dan Injil itu sendiri ada yang menjelaskan sesuatu yang telah berubah tersebut."

Lalu beliau melanjutkan perkataannya:

"Sesungguhnya, perubahan yang ada hanya sedikit dan kebanyakannya tidak berubah. Dan pada yang tidak berubah terdapat lafadz-lafadz yang jelas dan sangat nampak maksudnya yang menjelaskan kesalahan yang menyelisihinya, dan memiliki penguat-penguat yang banyak yang membenarkan sebagian terhadap sebagian yang lainnya. Berbeda dengan sesuatu yang telah berubah, sesungguhnya lafadznya sedikit dan nash-nash Al-Kitab membantahnya. Sehingga (Al-Kitab) ini berkedudukan seperti kitab-kitab hadits yang dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana terdapat beberapa hadits yang lemah di dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, atau selainnya. Maka dalam hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang menjelaskan lemahnya riwayat tersebut.

Bahkan di dalam Shahih Muslim terdapat sedikit lafadz yang keliru, yang mana hadits-hadits yang shahih bersama Al-Qur`an ada yang menjelaskan kekeliruan tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan bahwa Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu dan menjadikan penciptaan makhluk dalam tempo tujuh hari, di mana hadits ini telah dijelaskan para imam ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Bukhari dan selainnya bahwa hadits ini keliru, dan bahwa itu bukan dari perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan Al-Bukhari menjelaskan dalam Tarikh Kabir bahwa ini adalah perkataan Ka’b Al-Ahbar, sebagaimana telah dirinci pada pembahasannya. Dan Al-Qur`an juga menunjukkan kesalahan ini dan menjelaskan bahwa penciptaan terjadi selama enam hari. Dan telah terdapat dalam hadits shahih bahwa akhir penciptaan pada hari Jum’at, maka awal penciptaan terjadi pada hari Ahad.

Demikian pula yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat kusuf (gerhana) dengan dua atau tiga ruku’, maka sesungguhnya yang tsabit dan mutawatir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) dan selainnya dari hadits ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, 'Abdullah bin ‘Amr, dan yang lainnya bahwa beliau shalat pada satu rakaat dengan dua ruku’. Oleh karenanya Al-Imam Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits lain kecuali hadits ini."

Lalu beliau berkata lagi:

"Demikian pula jika terjadi perubahan pada sebagian lafadz kitab-kitab terdahulu, maka dalam kitab itu sendiri ada yang menjelaskan kekeliruannya. Dan telah kami jelaskan bahwa kaum muslimin tidaklah mengklaim bahwa seluruh salinan (Al-Kitab) yang ada di dunia dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan setiap bahasa dari Taurat, Injil, dan Zabur telah diubah lafadz-lafadznya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui ada yang mengucapkan demikian baik dari ulama salaf, meskipun dari kalangan mutaakhirin (orang belakangan) bisa jadi ada yang mengatakannya. Sebagaimana di kalangan umat belakangan ada yang membolehkan ber-istinja (bersuci) dengan setiap salinan Taurat dan Injil yang ada di dunia. Maka ucapan ini dan yang semisalnya bukanlah ucapan pendahulu dan para imam umat ini." (Daqa`iq At-Tafsir, 2/57-59. Lihat pula Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dinal Masih, 2/442-444)

Apa yang disebutkan Syaikhul Islam ini dibuktikan kebenarannya oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah. Al-Qur`an Al-Karim dalam banyak tempat banyak menjadikan isi Taurat dan Injil sebagai hujjah atas ahli kitab untuk membenarkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Silahkan baca surah Al-Ma`idah, mulai dari ayat 46-50. Demikian pula firman Allah 'Azza wa Jalla:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ إِلاَّ مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيْلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوْهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ

"Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar’." (Ali Imran: 93)

Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin ‘Umar bahwa beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang lelaki dari mereka dan seorang wanita yang keduanya telah berbuat zina.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka: "Apa yang kalian lakukan terhadap orang yang berzina di antara kalian?"

Mereka menjawab: "Kami melumuri wajahnya dengan arang [1] dan memukulnya."

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Apakah kalian tidak menemukan hukum rajam dalam Taurat?"

Mereka menjawab: "Kami tidak mendapati sedikitpun (tentang rajam)."

Abdullah bin Sallam berkata kepada mereka: "Kalian telah berdusta, datangkanlah Taurat jika kalian jujur."

Salah seorang guru mereka yang mengajari mereka meletakkan telapak tangannya di atas ayat rajam (dengan maksud menutupinya, red.). Lalu diapun mulai membaca ayat yang sebelum dan sesudahnya, dan tidak membaca ayat rajam. (Abdullah bin Sallam) melepaskan tangannya dari ayat rajam dan bertanya: "(Ayat) apa ini?"

Tatkala mereka melihat itu merekapun menjawab: "Itu ayat rajam."

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar keduanya dirajam [2]. Maka keduanya pun dirajam di dekat tempat jenazah yang ada di dekat masjid. Ibnu ‘Umar berkata: "Aku melihat (yang dirajam tersebut) berusaha menghindar, melindungi dirinya dari bebatuan (yang dilemparkan kepadanya hingga ia tewas)." (HR. Al-Bukhari, 8/4556 dan Muslim no. 1699)

Bagi siapa yang melihat kitab Injil sekarang ini, masih sangat banyak ajaran-ajaran asli yang berasal dari ajaran Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, yang apabila mereka memahaminya dengan pemahaman yang jernih, niscaya akan membawa kepada keyakinan akan kebenaran Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam Injil, kitab Ulangan 6:4:

"Dengarlah hai orang Israil, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu satu."

Dan dalam kitab Yesaya 45:5-6:

"Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain."

Demikian pula dalam Yohanes 17:3:

"Inilah hidup yang kekal, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satu-Nya yang benar dan mengenal Yesus [3] yang telah Engkau utus".

Demikian pula di dalam kitab Injil yang terdapat larangan membuat patung, dalam kitab keluaran 20:4-5:

"Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhan, Allahmu adalah Allah yang cemburu."

Bahkan anjuran untuk berkhitan pun disebutkan dalam Injil mereka, seperti yang disebutkan dalam Kitab Kejadian 17:13:

"Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat,"

lalu pada ayat ke-14 disebutkan:

"Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerah kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari tengah masyarakatnya. Ia telah mengingkari perjanjian-Ku."

Demikian pula dijelaskan bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihissalam hanyalah diutus secara khusus untuk Bani Israil, dan tidak lebih dari itu. Seperti yang disebutkan dalam Matius 10:5-6:

"Kedua belas murid itu diutus Yesus dan ia berpesan kepada mereka: ‘Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel."

Dan dalam Matius 15:24 disebutkan:

"Jawab Yesus: ‘Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israil’."

Seluruh perkara ini dibenarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya. Oleh karenanya, setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul penghabisan, maka beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Sehingga tidak diperkenankan lagi bagi seorangpun dari kalangan umat ini untuk menjadikan petunjuk kecuali apa yang telah dibawa Muhammad bin Abdullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ لاَ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

"Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku seorangpun dari umat ini, apakah dia seorang Yahudi ataukah Nasrani, lalu dia mati dan tidak mengimani apa yang dengannya aku telah diutus, melainkan dia tergolong penduduk neraka." (HR. Muslim dan Ahmad)

Wallahu’alam bish-shawab.

Footnote:

[1] Ada pula yang menafsirkannya: Kami menyiramnya dengan air panas. Dalam riwayat lain: Kami mempermalukan mereka dan mereka dicambuk.

[2] Dalam riwayat lain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Sesungguhnya aku menghukuminya berdasarkan apa yang terdapat dalam Taurat."

[3] Maksudnya adalah Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.

.

Sumber: asysyariah.com

.

******

.

Petunjuk bagi Orang-orang yang Bingung

(Terhadap Buku Ahlul Kitab)

Penulis:

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

.

Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu menuturkan:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أهل الْكُتُبِ. فَقَرَأَهُ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِي

"Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: "Apakah engkau termasuk orang yang bingung [1], wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku."

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.

Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِِنُسْخَةٍ مِنَ التَّوْرَاةِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هذِهِ نُسْخَةٌ مِنَ التَّوْرَاةِ. فَسَكَتَ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ. فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ ، مَا تَرى مَا بِوَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ غَضَبِ اللهِ وَغَضَبِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِحُمَّدٍ نَبِيًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَالَكُم مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي، لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ، وَلَو كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِيْ

Artinya: “‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: "Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat."

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah.

Melihat hal itu Abu Bakar berkata kepada ‘Umar: "Betapa ibumu kehilangan kamu [2], tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?"

Umar melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: "Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan RasulNya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami."

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku."

Sikap Seorang Muslim terhadap Berita-berita Ahlul Kitab

Berita-berita yang datang dari ahlul kitab, Yahudi ataupun Nasrani, yang tidak ada keterangannya dalam syariat kita, tidak boleh kita pastikan kebenarannya kemudian kita benarkan. Atau memastikan kedustaannya kemudian kita pun mendustakannya. Karena berita itu bisa jadi benar atau haq dan bisa jadi dusta atau batil. Jika kita benarkan dikhawatirkan itu adalah batil dan bila kita dustakan khawatirnya itu adalah haq. Sehingga dua keadaan ini bisa menjatuhkan kita ke dalam dosa.

Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan:

كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَؤُوْنَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُوْنَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْهُمْ ، وَقُوْلُوْا : {آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا ...} الآية (البقرة : 136

Artinya: ”Adalah ahlul kitab mereka membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami….". (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4485)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata ketika menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْهُمْ

(Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya): "Yakni apabila berita yang mereka kabarkan itu masih mengandung ihtimal (kemungkinan benar dan kemungkinan salah). Sehingga jangan sampai perkaranya benar namun kalian mendustakannya, atau perkaranya dusta namun kalian membenarkannya, dan kalian pun terjatuh dalam dosa. Dan tidak ada larangan mendustakan mereka dalam perkara yang memang syariat kita menyelisihinya dan tidak pula ada larangan untuk membenarkan mereka dalam perkara yang disepakati syariat kita, demikian penjelasan Al-Imam Asy-Syafi`i." (Fathul Bari 8/214)

Bersamaan dengan itu kita dilarang bertanya tentang perkara agama kepada ahlul kitab. Karena itulah Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

كَيْفَ تَسْأَلُوْنَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ، تَقْرَؤُوْنَهُ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوْا كِتَابَ اللهِ وَغَيَّرُوْهُ، وَكَتَبُوْا بِأَيْدِيْهِمُ الْكِتَابَ وَقَالُوْا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً، لاَ يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ، لاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ

Artinya: “Bagaimana kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang sesuatu sementara kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kitab paling akhir (turunnya dari sisi Allah). Kalian membacanya dalam keadaan murni tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan) kepada kalian bahwa ahlul kitab itu telah mengganti dan mengubah-ubah kitabullah. Mereka menulis kitab itu dengan tangan-tangan mereka (mereka karang sendiri) kemudian mereka mengatakan: "Ini (apa yang mereka tulis itu) diturunkan dari sisi Allah." Mereka lakukan perbuatan itu untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.”

(HR. Al-Bukhari no. 7363, kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : La Tas`alu Ahlal Kitab ‘an Syai`in)

Dari ucapan beliau radhiallahu ‘anhuma

لاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ , seakan-akan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma hendak menyatakan:

"Mereka ahlul kitab tidak pernah menanyakan tentang sesuatu pun kepada kalian, sementara mereka tahu kitab kalian tidak ada tahrif (penyimpangan/ perubahan) di dalamnya. Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka sedangkan kalian benar-benar mengetahui bahwa kitab mereka telah diubah dari aslinya?" (Fathul Bari 13/621).

Abdurrazzaq Ash-Shan’ani rahimahullahu meriwayatkan dalam Mushannafnya [3] (no. 19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata: "Abdullah (yakni Ibnu Mas‘ud) berkata rahimahullahu:

لاَ تَسْأَلُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ، فَإِنَّهُمْ لَنْ يَهْدُوْكُمْ وَقَدْ أَضَلُّوا أَنْفُسَهُمْ، فَتُكَذِّبُوْنَ بِحَقٍّ أَوْ تُصَدِّقُوْنَ بِبَاطِلٍ

"Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahlul kitab karena sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk/ hidayah kepada kalian. Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Bila kalian bertanya kepada mereka kemudian mereka memberitakan apa yang kalian tanyakan, dikhawatirkan) kalian akan mendustakan yang haq atau membenarkan yang batil."

Bila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahlul kitab ini seakan bertentangan dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

فَاسْأَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ

"Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelummu." (Yunus: 94)

Maka dijawab bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan larangan yang tersebut dalam hadits. Karena yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bertanya kepada ahlul kitab yang telah beriman, sementara larangan yang tersebut dalam hadits hanyalah ditujukan bila bertanya kepada ahlul kitab yang belum beriman. (Fathul Bari 13/408)

Peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Membaca Buku-buku Ahlul Kitab

Di dalam Al-Qur`an, Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa ahlul kitab telah mengubah-ubah kitab mereka yang tadinya merupakan kalamullah yang diturunkan dari atas langit, namun kemudian karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani bercampurlah kalamullah tersebut dengan kalam manusia. Bahkan kalamullah itu sendiri mereka ubah dan dipindahkan dari tempatnya, sehingga kitab mereka tidak lagi murni sebagaimana diturunkan pada awalnya, tetapi tercampur dengan kepalsuan dan kedustaan, dan susah untuk dipisahkan mana yang haq dan mana yang batil.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

فَوَيْلٌ لِلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُوْنَ

Artinya: “Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan [4]." (Al-Baqarah: 79)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata:

"Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang telah melakukan tahrif atas Kitabullah. Dan mereka menulis sebuah kitab berdasarkan penakwilan/ penafsiran menyimpang yang mereka buat, menyelisihi dengan apa yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Kemudian orang-orang Yahudi ini menjual kitab karangan mereka itu kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut, tidak pula memiliki pengetahuan dengan apa yang terdapat dalam Taurat, dan kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat dalam kitabullah. Mereka, orang-orang Yahudi melakukan hal ini, karena ingin mendapatkan dunia yang rendah." (Jami'ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 1/422)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi dari beriman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mereka telah memahami sifat/ ciri-ciri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tersebut dalam Taurat, di mana disebutkan bahwa beliau memiliki wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti bercelak, perawakannya sedang tidak terlalu tinggi tidak pula pendek.

Mereka lalu kemudian mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan sifat tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya. Bila orang-orang bodoh yang tidak mengerti Taurat bertanya tentang sifat/ ciri-ciri nabi yang terakhir kepada para pendeta ini, mereka pun membacakan apa yang telah mereka tulis, sehingga orang-orang bodoh tersebut menjumpai sifat/ ciri-ciri nabi yang akhir itu berbeda dengan sifat/ ciri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akibatnya mereka pun mendustakannya. (Ma’alimut Tanzil, 1/54-55)

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ

"Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempatnya." (An-Nisa: 46)

Ayat di atas menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi itu suka mengganti dan mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. (Jami‘ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 4/121)

Perubahan yang mereka lakukan itu bisa berupa lafadz atau maknanya, atau keduanya sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di atas al-batil, dan menentang al-haq itu. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 181)

Diriwayatkan bahwa Ka‘b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan membawa sebuah mushaf, ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?"

Umar menjawab: "Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam pada hari Thursina maka silahkan membacanya. Dan jika tidak, maka jangan membacanya." (Syarhus Sunnah 1/271)

Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu yang memegang Taurat sebagaimana tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada Umar:

أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً

Artinya: "Apakah engkau termasuk orang yang bingung wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih."

Di samping itu, apa yang datang dalam syariat agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak lagi membutuhkan syariat agama lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak lagi butuh nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu, sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , masih hidup dan menemui masa kenabian beliau, niscaya para nabi dan rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk pada syariat yang beliau bawa. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Umar radhiallahu ‘anhu:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِي

Artinya: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku."

Kitab Suci Yahudi dan Nasrani Tidak Lagi Asli

Allah ‘Azza wa Jalla tidak memberikan jaminan penjagaan atas kalam-Nya yang termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana jaminan penjagaan yang diberikan-Nya kepada Al-Qur`an:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ

Artinya: "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra (Al-Qur`an) dan sungguh Kamilah yang akan menjaganya." (Al-Hijr: 9)

Karena penjagaan ini maka Al-Qur`an selama-lamanya tidak akan dapat dipalsukan sampai kalamullah itu diangkat kembali dari lembaran dan dada-dada manusia (dari hapalan mereka) menjelang hari kiamat. Adapun kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil tidaklah selamat dari pemalsuan sehingga wajar bila kita katakan kitab-kitab yang dipegang ahlul kitab telah dipalsukan para rahib dan pendeta mereka dari aslinya. Ini berdasarkan pengabaran Allah ‘Azza wa Jalla sendiri melalui Al-Qur`an, dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari atsar dan juga dari bukti-bukti sejarah serta pertentangan dan keganjilan-keganjilan yang ada di dalam Taurat dan Injil sendiri.

Dalam kitabnya Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, Ibnu Hazm rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam untuk membuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli tetapi telah diubah-ubah. Disebutkan bahwa sepeninggal Nabi Musa ‘alaihissalam, Bani Israil dipimpin Yusya’ bin Nun selama 31 tahun dengan tetap istiqamah berpegang dengan agama.

Kemudian mereka dipimpin Fainuhas ibnul ‘Azar bin Harun selama 25 tahun, juga masih istiqamah di atas agama. Setelah wafatnya Fainuhas, seluruh Bani Israil murtad dari agama mereka dan menyembah berhala secara terang-terangan. Dan sejak itu mereka dipimpin penguasa-penguasa kafir, meski terkadang diselingi kepemimpinan penguasa yang beriman. Namun tetap lebih dominan dikuasai penguasa kafir dan yang berkubang dalam kekafiran dan penyembahan terhadap berhala [5].

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata:

"Sejak Bani Israil masuk ke tanah yang disucikan (Palestina) sepeninggal Musa ‘alaihissalam sampai masa pemerintahan raja mereka Syawul, sebanyak tujuh kali mereka meninggalkan keimanan dan terang-terangan menyembah berhala." Beliau rahimahullahu juga berkata: "Perhatikanlah, kitab apa yang masih tertinggal bersama dengan kekufuran yang terus menerus dan menolak keimanan selama masa yang panjang [6] di sebuah negeri yang kecil. Sementara tidak ada seorang pun di muka bumi ketika itu yang berada di atas agama mereka dan mengikuti kitab mereka selain mereka sendiri." (Al-Fishal 1/215)

Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh kedustaan yang terdapat dalam Taurat. Di dalam Taurat dihikayatkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: "Ini Adam, ia telah menjadi seperti salah satu dari Kami dalam mengetahui kebaikan dan kejelekan…." Ibnu Hazm menyatakan dengan ucapan ini menunjukkan mereka meyakini ilaah atau sesembahan itu lebih dari satu dan Adam termasuk ilaah tersebut [7].

Disebutkan pula dalam Taurat: "Ketika manusia telah banyak memenuhi muka bumi dan lahir putri-putri Adam. Maka saat putra-putra Allah melihat putri-putri Adam yang cantik-cantik, putra-putra Allah pun memperistri sebagian dari mereka." Ibnu Hazm membantah kedustaan mereka ini dengan menyatakan bahwa ucapan tersebut adalah kedunguan dan kedustaan yang besar, di mana Allah dijadikan memiliki anak laki-laki yang menikahi putri-putri Adam, yang berarti Allah dan Adam berbesanan. Maha Suci Allah dari kedustaan ini [8].

Selain itu di dalam Taurat yang mereka pegangi disebutkan bahwa Nabi Luth ‘alaihissalam digauli dua putrinya secara bergantian setelah beliau yang telah renta dibuat mabuk dengan diminumi khamr. Sehingga kedua putrinya hamil dari hasil hubungan dengan ayahnya. Na’udzubillah dari tuduhan keji mereka yang membuat gemetar kulit orang-orang yang beriman yang mengetahui hak-hak para nabi [9].

Ibnul Qayyim rahimahullahu mendustakan ucapan orang-orang Yahudi bahwa lembaran-lembaran yang bertuliskan Taurat saling mencocoki baik yang ada di belahan bumi timur maupun barat. Ibnul Qayyim berkata: "Ini adalah kedustaan yang nyata, karena Taurat yang berada di tangan orang-orang Nasrani menyelisihi/ berbeda dengan Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi, dan juga Taurat yang ada di tangan Samiri berbeda pula dengan keduanya. Demikian pula Injil, sebagiannya berbeda dengan yang lain dan saling bertentangan."

Ibnul Qayyim melanjutkan:

"Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi di dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang kentara bagi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka (ahlul ilmi) yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Taurat yang Allah turunkan kepada Musa ‘alaihissalam. Demikian pula Injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani. Di dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang tidak bisa disembunyikan dari orang-orang yang ilmunya dalam. Dan mereka yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Injil yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Al-Masih `Isa ‘alaihissalam." (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara, hal. 101)

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Rahmatullah bin Khalilur Rahman Al-Kairanawi Al-Hindi rahimahullahu menyebutkan beberapa bukti bahwa kitab Taurat dan Injil yang ada sekarang bukanlah Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi ‘Isa ‘alaihimassalam.

Di antaranya, beliau menyebutkan fakta sejarah berkenaan dengan Taurat bahwasanya Taurat yang ada sekarang terputus sanadnya sebelum zaman raja Yusya’ bin Amun yang berkuasa pada tahun 638 SM. Sedangkan nuskhah (manuskrip) bertuliskan Taurat yang didapatkan setelah 18 tahun ia berkuasa, tidak bisa dijadikan sandaran. Karena nuskhah itu dibuat-buat oleh Al-Kahin Hilqiyya. Selain tidak bisa dijadikan sandaran, secara umum nuskhah itu hilang sebelum Bukhtanashar menaklukkan negeri Palestina pada tahun 587 SM.

Seandainya kita anggap nuskhah itu tidak hilang, maka ketika Bukhtanashar menguasai Palestina niscaya ia akan memusnahkan Taurat dan seluruh kitab Perjanjian Lama sehingga tidak tersisa bekasnya. Orang-orang Yahudi berdalih bahwa Uzara telah menulis sebagian lembaran-lembaran Taurat di Babil, namun yang ditulisnya ini pun hilang ketika Anthaikhus IV menaklukkan negeri Palestina.

Ketika Suraya berkuasa antara tahun 175-163 SM, ia berencana memusnahkan agama Yahudi dan mewarnai Palestina dengan ajaran Hailainiyyah (Helenisme Yunani). Ia pun menjual jabatan-jabatan pendeta Yahudi, membunuh sejumlah 40 hingga 80 juta pendeta Yahudi, merampas barang-barang yang ada di seluruh tempat ibadah Yahudi, bertaqarrub kepada sesembahannya dengan menyembelih babi dan menyalakan api di atas tempat penyembelihan orang Yahudi, serta memerintahkan 20 ribu tentara untuk mengepung Al-Quds yang akhirnya menyerbu Al-Quds pada hari Sabtu ketika orang-orang Yahudi berkumpul untuk mengerjakan shalat. Mereka merampas Al-Quds, meruntuhkan rumah dan pagar-pagar, menyalakan api di dalamnya serta membunuh semua orang yang ada di dalamnya sampaipun para wanita dan anak-anak. Tidak ada yang selamat pada hari itu kecuali orang yang lari ke gunung-gunung atau bersembunyi dalam gua-gua." (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 20-21)

Demikian pula keberadaan Injil yang dipegangi orang-orang Nasrani. Jauh ditulis setelah diangkatnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, baik itu Injil yang konon katanya ditulis oleh Yohanes yang kemudian disebut Injil Yohanes, Injil Markus, Injil Lukas maupun Injil Matius. Cukuplah keberadaan empat Injil ini yang masing-masing isinya terdapat pertentangan, sebagai bukti ketidakotentikan Injil tersebut. Dan Injil-Injil itu bukanlah Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.

Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi berkata:

"Kitab samawi (yang diturunkan dari langit) yang wajib kita terima adalah kitab yang ditulis dengan perantara salah seorang nabi, dan sampai kepada kita dengan sanad yang bersambung tanpa ada perubahan dan penggantian. Adapun kitab yang disandarkan kepada seseorang yang memiliki ilham dengan semata-mata persangkaan dan dugaan, tidaklah cukup untuk menetapkan bahwa kitab tersebut merupakan karya orang itu, sekalipun misalnya ada satu atau beberapa kelompok mengaku-aku penyandaran tersebut.

Tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama yang disandarkan kepada Musa, Uzra, Isy’aya`, Irmiya dan Sulaiman ‘alaihimussalam, tidaklah tsabit (benar) dengan satu dalil pun yang menunjukkan keshahihan penyandarannya kepada mereka, karena hilangnya sanad yang bersambung atas kitab-kitab tersebut. Dan juga tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab dari Perjanjian Baru yang lebih dari 70 (buah) disandarkan kepada ‘Isa, Maryam, Hawariyyun dan pengikut mereka. Kelompok-kelompok Nasrani yang ada sekarang telah sepakat tentang ketidakshahihan penyandaran kitab-kitab tersebut kepada Isa dan lainnya. Bahkan kitab-kitab itu termasuk kedustaan yang dibuat-buat. Kemudian ada kitab yang wajib diterima menurut penganut Katholik, namun wajib ditolak menurut orang-orang Yahudi dan penganut Protestan…." (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal.19)

Dengan demikian semakin pastilah dari fakta-fakta yang ada bahwa kitab-kitab yang dipegangi Yahudi dan Nasrani bukanlah Taurat dan Injil yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim, sehingga tidak wajib untuk kita terimanya. Namun kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut ditempatkan sebagai berikut:

Setiap riwayat yang terdapat di dalamnya bila dibenarkan oleh Al-Qur`anul Karim maka riwayat tersebut diterima dengan yakin, kita benarkan tanpa rasa berat. Namun bila didustakan Al-Qur`an maka kita tolak dengan yakin, kita dustakan tanpa keberatan. Bila Al-Qur`an mendiamkannya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan maka kita pun mendiamkannya, yakni kita tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan.

Al-Qur`anul Karim adalah penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya, yakni Al-Qur`an menampakkan al-haq yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya dan mendukungnya, serta menampakkan kebatilan yang ada di dalam kitab-kitab tersebut dan menolaknya.

Bantahan ulama Islam atas Taurat dan Injil serta menampakkan kedustaan serta perubahan yang ada di dalamnya, tidaklah ditujukan kepada Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam. Namun yang mereka bantah adalah kisah dan riwayat-riwayat yang dikumpulkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sepanjang beberapa kurun, di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa itu adalah wahyu dan ilham. Sungguh Taurat yang Allah turunkan kepada Musa hanya satu dan Injil yang Allah turunkan kepada ‘Isa hanya satu pula. Lalu bagaimana bisa didapatkan sekarang ini ada tiga Taurat yang berbeda dan ada empat Injil yang juga berbeda? [10]" (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 35-37).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote:

[1] Ibnu ‘Aun berkata: "Aku bertanya kepada Al-Hasan: ‘Apa yang dimaksud dengan مُتَهَوِّكُوْنَ ?’.

Al-Hasan menjawab: ‘Orang-orang yang bingung’.

Demikian disebutkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/132), sebagaimana dinukilkan dalam Al-Irwa` (6/38). Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut: ‘Yakni apakah kalian bingung dalam berIslam, kalian tidak mengetahui agama kalian hingga kalian harus mengambil agama tersebut dari Yahudi dan Nasrani?" (Syarhus Sunnah 1/271)

[2] ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ yakni betapa ibumu kehilangan kamu. Orang yang mengucapkan hal ini kepada seseorang seakan-akan mendoakan kematian lawan bicaranya karena jeleknya perbuatan atau ucapannya. Atau ia mengucapkan ucapan tersebut dengan maksud menyatakan: "Bila engkau berbuat/ berucap demikian, maka kematian lebih baik bagimu, agar engkau tidak menambah kejelekan lagi." Atau bisa pula ucapan ini termasuk lafadz-lafadz yang biasa beredar di lisan orang Arab tanpa dimaksudkan sebagai doa seperti ucapan mereka: تَرِبَتْ يَدَاكَ dan قَاتَلَكَ اللهُ. (An-Nihayah, hal. 123)

[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar menghasankan sanadnya dalam Fathul Bari 13/408

[4] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan bahwa dalam ayat ini dan yang sebelumnya ada peringatan dari melakukan penggantian, perubahan, dan penambahan dalam syariat. Maka semua orang yang mengganti, mengubah atau mengadakan perkara baru (bid'ah) dalam agama Allah dengan sesuatu yang bukan bagian dari agama dan dengan sesuatu yang terlarang dalam agama, maka ia masuk dalam ancaman yang keras dan azab yang pedih tersebut. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 1/9)

[5] Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, 1/ 213-215

[6] Lebih dari 114 tahun

[7] Al-Fishal 1/146.

[8] Al-Fishal 1/147

[9] Al-Fishal 1/161

[10] Karena terbatasnya lembaran yang ada dalam rubrik ini maka kami tidak dapat memaparkan semuanya. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh, silahkan membaca kitab-kitab seperti Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal karya Al-Imam Ibnu Hazm, Al-Jawabus Shahih liman Baddala Dinal Masih karya Al-Imam Ibnu Taimiyyah, Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara karya Al-Imam Ibnul Qayyim, Izh-harul Haq karya Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi atau Mukhtasharnya.

.

Sumber : asysyariah.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin