Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

05 Juli 2010

FILE 170 : Koreksi Arah Kiblat

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……
*
Saya mendapat artikel dari teman kos saya, yang menurut saya cukup bagus. Jadi saya bermaksud men-share di blog ini (tentu sudah mendapat izin dari yang bersangkutan).
Semoga bermanfaat .. !!
.
Mari Mengecek Kembali Arah Kiblat .
Oleh :
Muhammad Arif Fadhillah Lubis, SHI, MSI .
.
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah [2]: ayat 149).
 
"Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmatKu atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2]: 150)

Bila kamu hendak shalat maka sempurnakanlah wudlu lalu menghadap kiblat kemudian bertakbirlah” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)..

Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang di Masjidil Haram. Masjidil Haram adalah kiblat bagi orang-orang penduduk Tanah Haram (Mekah). Dan Tanah Haram adalah kiblat bagi semua umatku di Bumi, baik di barat ataupun di timur” (HR. Al-Baihaqi dari Abu Hurairah)

Ayat-ayat Al Quran dan hadis di atas merupakan dalil syar’i tentang keharusan menghadap kiblat bagi orang yang melakukan shalat. Dalam wacana fikih Islam, pada dasarnya menghadap kiblat dalam shalat merupakan syarat sahnya shalat, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi kecuali bagi mereka yang shalat sunat di atas kendaraan.

Demikian menurut Prof. Suksinan Azhari, dosen Ilmu Falak Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, lebih lanjut menurutnya, hal ini didasarkan dari hadis Nabi riwayat Bukhari dari Jabir bin Abdullah dan juga menurut Imam Muslim, Tirmidzi dan Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengerjakan shalat sunat di atas kendaraannya, ketika dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah.

Pada waktu itulah turun firman Allah surah Al-Baqarah ayat 115: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dari dalil-dalil naqli di atas tampak jelaslah bahwa menghadap kiblat dalam shalat merupakan suatu keharusan, sehingga dalam fikih, menghadap kiblat pada waktu shalat merupakan syarat sahnya shalat. Ini berarti bahwa tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat, terkecuali dalam keadaan hal tersebut di atas.

Oleh karena pentingnya menghadap kiblat tersebut, maka ada keharusan bagi kaum muslim untuk mempelajari bagaimana menentukan arah kiblat dalam shalat. Persoalan kemudian bagaimana menentukan arah kiblat tersebut?

Menentukan arah kiblat merupakan salah satu pokok pembahasan dalam ilmu falak, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang dan benda langit lainnya, dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda langit lain. Demikian defenisi Ilmu Falak dalam buku Almanak Hisab Rukyat terbitan Badan Hisab Rukyat Departemen Agama Republik Indonesia.

Lebih jauh, dalam kajian Ilmu Falak untuk menentukan arah kiblat metode yang banyak digunakan selama ini adalah dengan menggunakan rumus-rumus segitiga bola. Dosen Fisika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dimsiki Hadi menjelaskan bahwa dalam menggunakan rumus segitiga bola, ditentukan bahwa salah satu titik sudut segitiga bola tersebut adalah lokasi kota Mekah (Ka’bah), titik sudut yang kedua adalah lokasi tempat yang hendak ditentukan arah kiblatnya dan titik sudut ketiga adalah kutub utara.

Arah kiblat bisa ditentukan dengan menggunakan rumus:
Cotan B = sin a cotan b: sin C - cos a cotan C
Sebelum menggunakan rumus di atas terlebih dulu harus diketahui data-data terkait seperti Lintang Ka’bah = 21° 25’ 25” LU, bujur Ka’bah = 39° 49’ 39” BT dan data terkait lainnya. Untuk menyelesaikan rumus tersebut diperlukan bantuan scientific calculator.

Dan perlu diperhatikan dalam penentuan arah kiblat di suatu tempat perlu ketelitian yang sangat tinggi. Sebab kesalahan sebesar 0,1° saja dari arah sebenarnya, maka untuk suatu tempat yang jaraknya 1.000 km dari kota Mekah akan melenceng kira-kira 1,75 km. Demikian penjelasan Dimsiki Hadi dalam bukunya, Penerapan Ilmu Pengetahuan (Sains) dalam Peribadatan, terbitan Prima Pustaka Yogyakarta..

Tentu saja dengan menggunakan rumusan di atas hanya bisa dilakukan oleh sebagian orang yang mempunyai kemampuan menerapkannya. Lalu bagaimana cara yang mudah untuk mengetahui secara tepat arah kiblat bagi masyarakat awam yang kesulitan memahami dan menerapkan rumus segitiga bola tersebut?

Cara termudah untuk mengetahui secara tepat arah kiblat adalah dengan mengetahui kapan terjadinya yaumu rashdil kiblat. Yaumu rashdil kiblat didefenisikan oleh kepala Sub Direktorat Pembinaan Syari’ah, Ditjen Bimas Islam Departemen Agama Indonesia yang juga dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhyiddin Khazin, sebagai suatu hari yang dapat digunakan untuk menetapkan, meluruskan, atau pengecekan kembali arah kiblat, karena pada hari itu posisi matahari ketika berkulminasi di atas kota Mekah. Maka sudut deklinasi sinar matahari pada hari itu adalah sama dengan garis lintang kota tersebut.

Pada saat matahari kulminasi di atas kota Mekah, pada saat-saat itu maka arah bayangan horizontal dari sebuah bayang vertikal adalah sama dengan arah kiblat. Dengan ungkapan lain, pada saat posisi matahari berada tepat di atas Ka’bah, maka semua bayangan benda yang berdiri tegak di permukaan bumi, yang terkena cahaya matahari saat itu menunjukkan arah kiblat.

Lalu kapankah saat matahari kulminasi di atas kota Mekah untuk wilayah Waktu Indonesia bagian Barat? Dalam setiap tahun akan ditemukan dua kali posisi matahari di atas Ka’bah, yaitu pada setiap tanggal 28 Mei dan 16 Juli. Untuk wilayah Waktu Indonesia bagian Barat, Muhyiddin Khazin dalam bukunya 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyat menetapkan bahwa matahari berkulminasi tepat di atas Ka’bah untuk wilayah Waktu Indonesia Barat adalah pada tiap tanggal 28 Mei pada jam 16:17:56 WIB dan tanggal 16 Juli pada jam 16:26:43 WIB.

Oleh karena itu, pada tiap tahunnya, setiap tanggal 28 Mei pada jam 16:17:56 WIB dan tanggal 16 Juli pada jam 16:26:43 WIB kita dapat mengecek arah kiblat dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka’bah. Jadi pada waktu-waktu tersebut, yakni pada tiap tanggal 28 Mei pada jam 16:17:56 WIB dan tanggal 16 Juli pada jam 16:26:43 WIB, semua semua bayangan benda yang berdiri tegak di permukaan bumi, yang terkena cahaya matahari saat itu menunjukkan arah kiblat, karena matahari pada saat itu tepat di atas Ka’bah.

Oleh karena itu, pada waktu-waktu itu baik sekali dan mudah bagi kita untuk menentukan atau mengecek kembali arah kiblat di masjid-masjid, mushala-mushala, langgar-langgar, kantor-kantor ataupun di rumah kita sendiri. Tanpa terkecuali untuk daerah Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Mari kita cek kembali arah kiblat tempat dimana kita sekarang berada!!! Mudah-mudahan bermanfaat!!!

Wa Allahu a’lam bi as-Sawab.
.
* Penulis adalah Peneliti Sosial Keagamaan, alumnus Program Studi Magister Studi Islam konsentrasi Islamic Research Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Sekarang sebagai Dosen di Politeknik Negeri Medan. Mahasiswa dari Alm. Drs. Abdur Rachim (Ahli Ilmu Falak Indonesia).
***** **

Sebagai penyeimbang, berikut saya lampirkan artikel dari Buletin At-Tauhid
.....

Sudah Benarkah Arah Kiblat Kita?

At Tauhid edisi VI/23
Oleh:
Muhammad Abduh Tuasikal
.
Di tengah sebagian kalangan, baru-baru ini terlihat perdebatan mengenai masalah kiblat. Terutama ketika Majelis Ulama Indonesia pada tahun ini mengeluarkan fatwa mengenai arah kiblat bahwa arahnya cukup ke barat saja tanpa mesti serong ke utara beberapa derajat. Melihat fatwa ini sebagian orang menyatakan tanda tidak setuju dengan fatwa tersebut. “Arah kiblat kita sekarang tidak menghadap persis ke ka’bah, malah arahnya ke Brasil dan bukan ke Ka’ bah”, ujarnya.

Pada edisi Buletin At Tauhid kali ini, kami ingin mengutarakan bagaimanakah pendapat para pakar fikih mengenai masalah ini. Tentu saja pendapat yang mereka bangun adalah berdasarkan dalil, bukan hanya sekedar akal-akalan atau logika semata yang kosong dari dalil. Semoga penjelasan kali ini dapat memberikan sedikit titik terang dari polemik yang ada. 

Hanya Allah yang beri taufik.

Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat

Menghadap kiblat merupakan syarat sah kiblat, hal ini berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama[1]. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah.”[2] Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang yang jelek shalatnya, “Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912). An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mengandung faedah yang amat banyak. Perlu diketahui bahwa hadits ini menerangkan mengenai kewajiban-kewajiban dalam shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau melanjutkan, “Hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.”[3]

Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat

Kita sudah ketahui bersama bahwa menghadap kiblat adalah di antara syarat sah shalat. Namun ada beberapa keadaan yang dibolehkan seseorang tidak menghadap kiblat.

Pertama: Tidak mampu menghadap kiblat, seperti orang sakit sehingga tidak mampu mengarahkan badannya ke arah kiblat. “Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16)

Kedua: Orang yang samar baginya arah kiblat, ia sudah berusaha mencari, namun ia shalat menghadap ke arah lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau berkata, “Ketika orang-orang shalat subuh di Quba’, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata, “Sungguh, tadi malam telah turun ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diperintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah. Maka orang-orang yang sedang shalat berputar menghadap Ka’bah, padahal pada saat itu wajah-wajah mereka sedang menghadap negeri Syam. Mereka kemudian berputar ke arah Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 403 dan Muslim no. 526). 

Riwayat ini menunjukkan bahwa ketika di pertengahan shalat sudah diketahui arah kiblat sebenarnya, maka hendaklah ketika itu ia menghadap ke arah tersebut.

Ketiga: Keadaan sangat takut ketika menghadapi musuh atau semacamnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah: 239).

Keempat: Bagi musafir yang melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan boleh baginya tidak menghadap kiblat ketika ada udzur saat itu. Ibnu ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652)

Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung

Menghadap kiblat ada dua keadaan:
  1. ketika melihat ka’bah secara langsung,
  2. ketika tidak melihat ka’bah secara langsung.
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap ke arah lain. 

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap persi ke arah ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan ulama mengenai hal ini. 

Ibnu ‘Aqil mengatakan,”Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah”.”[4]

Jika Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap persis ke ka’bah ataukah menghadap ke arahnya saja (melenceng sedikit tidak mengapa, pen).[5]

Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzaniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis ke Ka’bah).

Dalil dari pendapat pertama ini adalah ayat (yang artinya), “Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). 

Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya, yaitu cukup menghadap ke arah barat sudah dikatakan menghadap kiblat.

Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditujukan pada penduduk Madinah, “Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah no. 1011 dan Tirmidzi no. 342. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih[6]). 

Hadits ini berlaku bagi penduduk Madinah, di mana arah kiblat mereka adalah antara timur dan barat. Maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung, maka dia cukup menghadap ke arahnya saja. Seperti kita kaum muslimin di Indonesia berarti menghadap ke arah antara utara dan selatan, itulah arah kiblat. Jadi cukup kita menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke arah barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.[7]

Ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Bergeser sedikit dari arah kiblat tidaklah mengapa kecuali jika seseorang berada di Masjidil Haram. Masjidil Haram adalah kiblat bagi orang yang shalat di sana yaitu langsung menghadap ke Ka’bah. Oleh karena itu, para ulama mengatakan: Barangsiapa memungkinkan menyaksikan Ka’bah, maka wajib baginya untuk menghadap langsung ke Ka’bah. Dan apabila seseorang yang hendak shalat di Masjidil Haram hanya menghadap ke arah Ka’bah dan tidak menghadap persis ke Ka’bah maka dia wajib mengulangi shalatnya karena shalat yang dia lakukan tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)

Namun, apabila seseorang berada jauh dari Ka’bah dan tidak mungkin dia melihat (menyaksikan) Ka’bah secara langsung walaupun dia masih berada di kota Mekkah, maka wajib baginya untuk menghadap ke arah Ka’bah dan tidak mengapa kalau bergeser sedikit. Hal ini dapat dilihat pada sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Madinah, “Arah antara timur dan barat adalah kiblat.” Dikatakan demikian karena penduduk Madinah menghadap kiblat ke arah selatan. Maka setiap arah yang antara Barat dan Timur maka bagi mereka adalah kiblatnya. Begitu juga dikatakan kepada orang yang shalat menghadap ke Barat (seperti yang berada di Indonesia, pen) bahwa arah yang berada antara selatan dan utara adalah kiblat.”[8]

Dari penjelasan ini dapat kita katakan:
  • jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng;
  • namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, seperti di negeri kita cukup menghadap ke arah barat yaitu arah antara utara dan selatan.
Sekarang masalahnya, apakah boleh kita –yang berada di Indonesia- menghadap ke barat lalu bergeser sedikit ke arah utara? 

Jawabannya, selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu tidak mengapa. Karena arah tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar terlepas dari perselisihan ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita mampu melakukannya dan tidak menyusah-nyusahkan diri.

Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.

Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.” 

Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’ani, “Ada yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini.[9] Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).”[10]

Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.

Diperkuat Lagi dengan Fatwa MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu, MUI mengingatkan umat Islam agar tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih, dengan mengubah bahkan membongkar masjid atau musholla agar mengarah ke kiblat.

Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri Adlani, didampingi Sekretaris MUI Dr. H Amrullah Ahmad, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H. Aminudin Yakub, MA.

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam ketentuan hukum tersebut disebutkan bahwa: 

(1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah), 
(2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah), 
(3) Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.

Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap kea rah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.[11]

Fatwa MUI ini menindaklanjuti beredarnya informasi di tangah masyarakat mengenai adanya ketidakakuratan arah kiblat di sebagian masjid atau musala di Indonesia, berdasarkan temuan hasil penelitian dan pengukuran dengan menggunakan metode ukur satelit. Atas informasi tersebut masyarakat resah dan mempertanyakan hukum arah kiblat. Sehingga komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang arah kiblat untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat, demikian tercantum dalam Fatwa yang ditanda tangani oleh Ketua Muhammad Anwar Ibrahim dan sekretaris Hasanudin itu.[12]

Demikian penjelasan dari redaksi At Tauhid mengenai arah kiblat. Semoga yang singkat ini bisa membuka wacana keilmiahan kaum muslimin sehingga bisa mengetahui manakah maksud para ulama dengan arah kiblat.

Wallahu a’lam bish showab.

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah” (QS. Hud: 88).
_____________
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/303, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] Al Mughni, Ibnu Qudamah, 1/490, Darul Fikr, 1405. .
[3] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/107, Dar Ihya’ At Turots, 1392. .
[4] Al Mughni, 1/490. .
[5] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816, Asy Syamilah. .
[6] Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih. .
[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/1119. .
[8] Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, hal. 551, Darul Aqidah. .
[9] Sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, fatwa no. 4254 bahwa dahulu para ulama juga bisa menentukan arah kiblat yang pas menghadap ka’bah sebelum adanya peralatan canggih seperti saat ini. Mereka dahulu mengukur arah kiblat dengan rasi bintang, terbit dan tenggelamnya rembulan, dan bisa pula dengan melihat waktu terbit dan tenggelamnya matahari, atau dengan memperhatikan fenomena-fenomena alam yang lainnya. Kami katakan, “Jadi jangan disangka bahwa perhitungan arah kiblat baru ada saat ini. Namun sejak dahulu sejak dikenalnya ilmu falak.” .
[10] Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/397, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, 1427.
*****
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !