Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

17 Januari 2010

FILE 146 : Ustadz Pejuang

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……

Desa Bodas Karangjati merupakan desa kecil di wilayah Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Siapa pernah mengira, dari desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar, dari rahim keluarga petani kecil; akan lahir seorang manusia besar yang menjadi salah seorang pendiri republik ini yang patut diteladani, bukan hanya oleh setiap prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), tetapi juga oleh semua orang yang mencintai kehidupan yang lurus, bersih dan diberkahi Allah Subhanahu wa Ta'aala. 
 
Tanggal 24 Januari 1916 Sudirman dilahirkan. Ayahnya mandor tebu pada sebuah pabrik gula di Purwokerto, daerah Karesidenan Banyumas. Sejak bayi, Sudirman diangkat anak oleh Camat Rembang, Raden Tjokrosunaryo. Sudirman sejak kecil ia sudah biasa menghadiri berbagai pengajian yang digelar desanya. Ketika masih kanak-kanak, selepas Maghrib, bersama anak-anak lainnya Sudirman dengan membawa obor pergi ke surai untuk mengaji. Ketika bersekolah di sebuah lembaga pendidikan milik Muhamadiyah, Perguruan Wiworo Tomo, Sudirman aktif dalam gerakan kepanduan Hizbul Wathan. Sudirman bersekolah di lembaga pendidikan yang dianggap liar oleh pernerintahan kolonial Belanda sampai dengan tahun 1934. 
 
Di lembaga pendidikan ini, ada tiga orang guru yang sangat mempengaruhi pembentukan karakter seorang Sudirman, yakni Raden Sumoyo; Raden Mohammad Kholil, dan Tirtosupono. Yang pertama memiliki pandangan nasionalis-sekuler. Yang kedua, Raden Mohammad Kholil, memiliki pandangan nasionalistis-Islamis. Sedangkan yang ketiga, merupakan lulusan dari Akademi Militer Breda di Belanda. Kendati berbeda-beda persepsi, namun ketiga guru Sudirman tersebut sama-sama mengambil sikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dari ketiganya, karakter Sudirman terbentuk: Islamisme, Nasionalisme, dan militansi militer. Bahkan dalam soal agama, Sudirman dianggap agak fanatik. Hal ini menyebabkan ia sering dipanggil dengan nama panggilan “Kaji”( Si Haji) oleh kawan-kawannya.
 
Sudirman mengawali karir sebagai guru agama. Dia juga sering berkeliling untuk mengisi ceramah dan pengajian di berbagai tempat, dari Cilacap hingga Banyumas. Walau sibuk, namun Sudirman tetap aktif di organisasi Pemuda Muhammadiyah, hingga dipercaya menjabat Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah di Karesidenan Banyumas.
 
Karir Militer 
 
Awal pertama Sudirman mengalami perang adalah pemboman Cilacap oleh Jepang pada 4 Maret 1942. Ketika PETA dibentuk, Sudirman bergabung ke dalamnya. Dia menjadi Daidanco di daerah Banyumas yang dikenal berani membela anak buahnya dari kesewenang-wenangan Jepang. Sudirman pun mengumpulkan pasukannya sendiri dan berhasil merebut kekuasaan dari tangan Jepang tanpa pertumpahan darah. Dari pasukannya, Sudirman membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sebagai cikal bakal TNI sekarang pada 5 Oktober 1945. Sudirman memimpin Resimen I/Divisi I TKR yang meliputi Karesidenan Banyumas. Persenjataan pasukannya sangat lengkap disebabkan ia berhasil merebut gudang senjata Jepang. Oleh Kastaf MBU TKR, Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, Sudirman diangkat menjadi Komandan Divisi V Daerah Banyumas.
 
Tak lama setelah menjabat, Sudirman ditugaskan memukul mundur pasukan pemenang Perang Dunia II, Inggris dan NICA, dari Banyubiru, Ambarawa, dimana terdapat orang Amerika yang ditawan Jepang. Menurut perjanjiannya, Inggris hanya mendaratkan pasukannya di Semarang. Namun Inggris ingkar dan menusuk hingga Ambarawa. Terjadilah pertempuran laskar santri yang dipimpin para kiai dari berbagai pesantren di Jawa Tengah, Sudriman berhasil memukul mundur pasukan Inggris / NICA hingga Semarang. Hal inilah yang kemudian Sudirman diangkat menjadi Panglima TKR.
 
Tentara Allah 
 
{Ketika ia menjadi seorang panglima, Sudirman adalah seorang yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Memiliki semangat berdakwah yang tinggi, dan lebih banyak menekankan pada ajaran tauhid, kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa. Sebagai bagian dari hamba-hamba Allah, kepedulian akan kemurnian nilai-nilai ketauhidan terhadap masyarakat Jawa yang masih sangat kental dipengaruhi oleh adat istiadat menjadi suatu kegiatan dakwah yang memiliki nilai strategis, karena dengan cara itulah semangat jihad untuk melakukan perlawanan dalam diri rakyat dapat terpompa dan terpelihara. Termasuk bagi seorang Sudirman, yang memulainya dari kepanduan Hizbul Wathon bagian dari Muhammadiyah. 
 
Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Sudirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia. 
 
Sebagai kader Muhammdiyah, Panglima Sudirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhaan dan kebersahajaan. Sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya, dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan halus. 
 
Seorang jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan ini ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. 
 
Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.” [Hadits semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim -Sa'ad-] sumber}
 
Sebagai seorang Ustadz yang terpanggil untuk berjuang membebaskan dan mempertahankan kemerdekaan negerinya, Jenderal Sudirman meyakini jika perjuangan ini merupakan jihad fi sabilillah, melawan kaum kafir. Sebab itu, dalam situasi yang paling genting sekalipun, Sudirman tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Selain ibadah wajib, seperti sholat lima waktu, Sudirman juga sering menunaikan Sholat lail (Tahajud) dan puasa sunah.
 
Jenderal Sudirman selalu menjaga ibadah-ibadahnya. Bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi jiwanya. Dalam gerilya di selatan Yogya dalam perang kemerdekaan, Sudirman yang dalam kondisi sakit selalu menjaga sholatnya, juga sholat malamnya. Bahkan tak jarang dia juga berpuasa Senin Kamis. Di setiap kampung yang disinggahinya, dia selalu mendirikan pengajian dan memberikan ceramah keagamaan kepada pasukannya, tutup Mayor SGH, Bukhori, perwira Hisbullah yang sempat ditemui penulis di tahun 1996 sebelum beliau meninggal. 
 
Kesholihan Sudirman ini sampai ke seluruh penjuru Nusantara. Sebab itu, para pejuang Aceh yang juga meyakini jika perang kemerdekaan merupakan jihad Fisabilillah, begitu mendengar panglimanya yang sholih ini sakit, mereka segera mengirim bantuan berupa 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau. 
 
Sebagai pucuk pimpinan tentara, Jenderal Sudirman membangun jaringan yang kuat antara pasukannya dengan laskar-laskar yang berpusat di pondok-pondok pesantren yang dipimpin Kiai Sirajd. Pondok pesantren ini memiliki pasukan santri yang banyak dan militan, yang dikirim ke Ambarawa dan berhasil memulkul mundur Inggris / NICA.
 
Pada pertengahan 1946, Jenderal Sudirman mengunjungi laskar Hizbullah-Sabilillah Surakarta yang hendak berangkat ke medan jihad di Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di kediaman Kiai Haji Adnan di Tegalsari. Di hadapan ratusan laskar, Jenderal Sudirman mengawali sambutannya dengan mengutip Al-Qur’an surat Ash-Shaf ayat 10 -12 dalam bahasa Arab yang kemudian diterjemahkannya sendiri : 
 
Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelamatkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu berimanlah kamu pada Allah dan Rasul-Nya serta berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang terbaik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang didalamnya mengalir sungai dan menempatkanmu ke tempat yang indah di Surga. Demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” 
 
Sambutan Jenderal Sudirman itu sangat mengena di hati para anggota Hizbullah-Sabilillah Surakarta. Semangat juang jihad sabilillah makin berkobar. Mereka sendiri telah bersemboyan “hidup mulia atau mati syahid”.
 
Dalam setiap surat perintah, sambutan, atau diskusi, Jenderal Sudirman senantiasa mengutip ayat-ayat Qur’an atau hadits. Misal, pada 7 Juni 1946 di Yogyakarta, dalam rangka menanggapi dekrit Presiden terhadap mobilisasi kekuatan Belanda, Sudirman berpesan : “Kita dasarkan perjuangan sekarang ini atas dasar kesucian, kami yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak akan melalaikan hamba-Nya yang memperjuangkan sesuatu yang adil berasaskan kesucian bathin. Jangan cemas, jangan putus asa, meski kita sekalian menghadapi macam-macam kesukaran dan menderita segala kekurangan, karena itu kita insya Allah akan menang, jika perjuangan kita sungguh berdasarkan kesucian, membela kebenaran dan keadilan. Ingatlah pada firman Tuhan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 138 yang berbunyi : “Walaa tahinu walaa tahzanuu, Wa antumul a’launa inkuntum mu’minin”, yang artinya “ janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu bersusah hati sedang kamu sesungguhnya lebih unggul jika kamu adalah orang-orang yang mukmin”.
 
Pengetahuan Sudirman tentang sirah Rasul Shallallahu 'alayhi wa 'alaa aalihi wa sallam juga dalam, bahkan strategi Rasul dalam menghindari intaian pasukan Quraisy dipakai Sudirman saat menghindari intaian tentara Belanda saat bergerilya di selatan Yogyakarta. Saat berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Sudirman memiliki firasat jika desa itu tidak aman lagi bagi pasukannya. Beliau meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana dilakukan Rasulullah beserta para sahabatnya saat akan berhijrah.
 
Usai subuh, Sudirman yang memiliki nama samaran Pak Dhe, dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan dengan tidak mengenakan mantelnya. Mantel yang biasa dipakai ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rutam dan Heru Kesser. Pagi harinya, Heru Kesser yang memakai mantel tersebut, bersama Suparjo Rustam, berjalan menuju selatan. Setibanya di sebuah rumah, barulah mantel tersebut dilepas. Mereka bersama beberapa orang dengan diam-diam menyelinap menyusul Soedirman lewat rute yang lain. Sore harinya, pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya membombardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam. Ini membuktikan jika seorang Panglima sekaligus da'i ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
 
Panglima besar Jenderal “Ustadz” Sudirman ini meninggal di usia 38 tahun, pada tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Andai semua TNI meneladani beliau, pasti negeri ini akan aman dan penuh dengan berkah. 
 
Sumber: Eramuslim digest, edisi koleksi 10
 
*****
 
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !