BismillahirrohmanirrohimWalhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……
Sewaktu membaca-baca berita di Kompas online, secara tidak sengaja saya menemukan artikel tentang suasana bikers (pengendara sepeda) di Denmark. Membacanya, secara tidak sadar saya langsung membandingkannya dengan kondisi saya.
Kebetulan, saya termasuk salah seorang yang menggunakan sarana sepeda untuk pulang pergi kerja ke kantor. Sebelumnya waktu kuliah dulu (di Malang, Jawa Timur) saya juga menggunakan sepeda untuk pulang pergi ke kampus. Namun di tempat kerja saya sekarang (Kota Medan), saya betul-betul mendapati hal yang baru dan berbeda.
Yang paling utama, kondisi jalanan di Medan. Sungguh tidak bersahabat dengan sepeda saya. Di Medan, saya memakai sepeda Phoenix warna biru (di Jawa sering disebut sepeda onthel atau sepeda ‘jengki’), orang sini sering menyebutnya ‘lereng’ atau sepeda ‘janda’. Sayangnya, walaupun sepeda tersebut saya beli baru, ternyata tetap tidak berdaya menghadapi kondisi jalanan di Medan.
Mayoritas jalan raya yang ada, walaupun sudah diaspal, namun kualitas pengaspalan –menurut saya pribadi- sangat kurang. Sering tonjolan-tonjolan kerikilnya begitu nampak dan menghunjam ban sepeda saya. Akibatnya, baru sekitar setengah tahun memakai sepeda, ban dalam sepeda sudah saya ganti sekitar 6 kali. Saya juga tidak berani memboncengkan teman dengan sepeda saya, mengingat kondisi jalanan yang seperti itu.
Hal tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan sewaktu saya masih kuliah di Malang dulu. Waktu itu saya menggunakan sepeda balap, yang bannya bisa dibilang sangatlah tipis dan kecil. Selama setahun memakai, dan itupun sepeda balap bekas, seingat saya hanya sekali saya menambal ban, dan sekali mengganti ban dalam.
Saya menjadi berpikir, apakah dalam masalah jalan pun, masih berlaku faktor Jawa dan Luar Jawa. Mengingat Medan sering disebut sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, menurut saya sudah sewajarnyalah, kualitas jalanannya tidak kalah dengan Jakarta dan Surabaya.
Wallohu a’lam.
Berikut ini salinan artikel tersebut.
*****
Kopenhagen, Surga Pegowes Sepeda
Sabtu, 5 Desember 2009 | 08:27 WIB
MENGHIRUP udara pagi sambil menyusuri Jalan Raya HC Andersen yang teduh membuat dada terasa lapang. Mendekati Taman Tivoli, di persimpangan yang padat di antara stasiun sentral dan kawasan pedestrian Stroget, lalu lintas makin padat, bukan saja oleh mobil atau bus, tetapi terutama oleh sepeda.
Di lajur khusus sepeda yang berdampingan dengan trotoar lebar tempat pejalan kaki, serombongan pengayuh sepeda melintas dengan kecepatan cukup tinggi. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pekerja kantoran yang bahkan mengayuh dengan setelan lengkap.
Kopenhagen memang kota paling bersahabat bagi para pengayuh sepeda. Jalur khusus sepeda yang dibangun pemerintah kota setiap tahun bukan saja makin panjang, tetapi juga makin lebar. Di ibu kota Denmark ini, lebih dari sepertiga penduduk memilih sepeda sebagai moda transportasinya.
Tiap tahun, angka pengayuh sepeda terus meningkat, sejalan dengan kebijakan pemerintah kota yang memberi ruang yang juga makin luas bagi mereka. Saat ini, sekitar 350 kilometer jalur khusus sepeda tersedia di Kopenhagen. Dalam catatan kantor wali kota, penduduk Kopenhagen setiap hari bepergian dengan metro sejauh 660.000 kilometer, sementara dengan sepeda, 1,2 juta kilometer, atau hampir dua kali lipat.
Demi keamanan pengendara sepeda, pemerintah kota sangat serius menerapkan hukum berlalu lintas. Di persimpangan, garis berhenti bagi kendaraan bermotor berjarak lima meter di belakang garis bagi pegowes sepeda. Lampu hijau bagi pegowes juga 12 detik lebih cepat ketimbang mobil. Ini dimaksudkan memberi sudut pandang lebih jelas bagi pengendara mobil.
Keberadaan jalur khusus sepeda dan pengaturan lalu lintas yang berpihak kepada pegowes membuat angka kecelakaan sepeda di Kopenhagen sangat rendah, yakni rata-rata hanya dua sampai tiga kecelakaan yang menyebabkan kematian. Agak mengejutkan hanyalah statistik kecelakaan meninggal pesepeda pada tahun 2008 yang mencapai lima orang.
Yang juga agak mengherankan, hanya sedikit pegowes di Kopenhagen yang memakai helm. Buruknya disiplin pegowes ini sempat menjadi perbebatan sengit para politisi. Namun, meski perdebatan terus berlangsung, sejauh ini tak ada aturan baru yang mengharuskan pesepeda mengenakan helm. Keengganan menerapkan aturan itu konon disebabkan ketakutan akan turunnya minat bersepeda. Para politisi masih beranggapan, manfaat bersepeda bagi lingkungan dan kesehatan masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan risiko bersepeda tanpa helm.
Makin tingginya angka pengguna sepeda membuat tuntutan akan tempat parkir sepeda pun meningkat tiap tahun. Meski hampir di setiap pojok kota sepeda selalu menjadi prioritas parkir, kekurangan tetap sangat terasa. Di kawasan pedestrian Stroget yang terkenal sebagai pusat belanja, sepeda diparkir sembarangan di emperan toko.
Sama dengan mobil
Namun, hebatnya, di tempat-tempat penting dan gedung publik serta hotel berbintang, sepeda punya kasta yang sama dengan mobil mewah. Di tempat-tempat ini sepeda disediakan tempat khusus. Di hotel-hotel tertentu, sepeda bahkan punya kasta lebih tinggi ketimbang roda empat. Tempat parkirnya dekat lobi dan diberi atap, lengkap dengan fasilitas memompa ban!
Bandingkan dengan gedung-gedung tinggi, hotel atau mal, di Indonesia yang bahkan tidak mengizinkan Si Kuda Aluminium yang sangat ramah lingkungan ini masuk halaman, apalagi parkir. Belum lama ini, surat pembaca di harian ini memprotes pengelola Mal Pacific PlaceIndonesia. yang melarang sepeda masuk dan parkir. Sepeda, meski tidak membuat macet dan tidak mengotori udara, diperlakukan sangat buruk di Indonesia.
Sementara di Kopenhagen, dua tahun ini tuntutan agar jalur sepeda bisa lebih mulus juga ditanggapi sangat serius oleh pemerintah kota. Sambungan-sambungan jembatan yang biasanya berlubang sudah sangat sedikit dijumpai. Bahkan, jika kita bersepeda di sekitar balaikota dan berkeliling ke beberapa tempat populer, seperti Amalienborg (tempat keluarga kerajaan tinggal), Gedung Opera, dan taman Tivoli, jalur sepedanya lebih mulus daripada jalan Tol Jagorawi.
Bagi pelancong mancanegara, Pemerintah Kota Kopenhagen menyediakan sepeda gratis. Dengan memasukkan deposit 20 krone (sekitar Rp 45.000), mereka bisa meminjam sepeda di lebih dari 100 rak yang tersebar di sudut-sudut kota. Setelah bersepeda sekenyangnya, pelancong tinggal mengembalikan di rak terdekat dan mereka mendapatkan kembali 20 krone-nya.
Sepeda gratis yang diberi nama ”City Bike One” ini lebih dari sekadar cukup kualitasnya untuk berkeliling kota. Meski hanya sepeda berkecepatan tunggal (single speed), menggowes sepeda ini sangat nyaman, ringan, dan tidak perlu takut tersesat. Sebab, selain jalur sepeda sangat jelas, ”City Bike One” ini juga dilengkapi peta dan nomor-nomor telepon untuk keadaan darurat. (Anton Sanjoyo)
Sumber: http://travel.kompas.com/read/xml/2009/12/05/08275988/Kopenhagen..Surga.Pegowes.Sepeda
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !