Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

19 Maret 2008

FILE 40 : Seputar Maulid Nabi

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

BID’AHKAH PERINGATAN MAULID NABI??

Oleh :

Usamah bin Abdillah ath-Thiiby al-Filisthini

. .

Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi adalah, bahwa sekarang ini kita berada dalam kehidupan yang penuh dengan slogan yang gencar, mengarah kepada penghulu keturunan nabi Adam, baginya sholawat yang paling utama dari salam yang paling sempurna. Slogan-slogan tersebut menyakiti sang penebar rahmat dan petunjuk Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. dikarenakan sekarang kita dekat dengan waktu peringatan Maulid Nabi (!!). Maka saya ingin menjelaskan kepada kaum mislimin bentuk penganiayaan kepada Rasulullah, bahkan model-modelnya amat banyak sekali.

Kebanyakan para pecinta beliau lupa akan hal ini, sehingga kecintaan tersebut menyeret mereka untuk berlaku ghuluw (berlebih-lebihan), yang dengan itu justru mereka menyelisihi perintah dan bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Diantara bentuk penganiayaan terhadap Rasulullah adalah membuat ajaran baru didalam agama dan tuntunan beliau yang sempurna, karena telah disempurnakan Allah :

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Qs. Al-Maidah : 3)

Mengada-adakan ajaran yang baru merupakan perkara berbahaya yang telah diperingatkan Rasulullah di berbagai hadits beliau, diantaranya :

.

إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ : فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ : وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ .

.

Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya, semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.(HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Tidak diragukan sedikitpun, bahwa mengada-adakan ajaran baru didalam Islam, merupakan bentuk perlawanan terhadap bagian syahadatain yang kedua “Saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”, sebagaimana syirik merupakan penentangan terhadap bagian syahadatain yang pertama “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah”. Dua hal ini, yaitu syirik dan bid’ah merupakan dua jebakan setan yang senantiasa diarahkan kepada hamba-hamba Allah.

Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata :

Sesungguhnya setan ingin sukses atas seorang hamba ketika melemparkan sebuah jebakan dari tujuh jebakan yang dimiliki, yang satu lebih sulit daripada yang lain, dia tidak akan turun pada tingkatan yang lebih ringan, kecuali telah gagal pada jebakan yang lebih berat.

Jebakan pertama adalah mengingkari Allah, agama, pertemuan dengan-Nya, sifat-sifat-Nya yang sempurna, serta berita-berita para Rasul-Nya. Jika setan sukses disini, maka api permusuhannya menjadi dingin dan dia beristirahat. Jika gagal, dan sang hamba selamat dari jebakan itu karena ilmu dan petunjuk Allah, serta selamat juga cahaya imannya, maka setan akan beralih kepada jebakan kedua.

Jebakan bid’ah, baik bentuknya berupa keyakinan yang menyelisihi kebenaran yang karenanya Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya, maupun berupa ibadah yang tidak pernah diperintahkan Allah, semisal berbagai model dan simbol bid’ah dalam agama yang sama sekali Allah tidak menerimanya.

Kedua bid’ah ini, kebanyakan saling terkait, dan jarang sekali berdiri sendiri-sendiri, sebagaimana diistilahkan ”Pernikahan antara bid’ah perkataan dengan bid’ah perbuatan, maka keduanya sibuk di malam pertama, maka tiba-tiba hiduplah anak-anak hasil zina di berbagai negeri Islam, sehingga para hamba dan berbagai negeri mengeluhkannya kepada Allah”.

Guru kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berkata :”Hakekat kufur menikahi bid’ah, sehingga lahirlah kerugian dunia dan akhirat”.

Jika seorang hamba lulus melewati jebakan ini, dan terbebas darinya karena cahaya sunnah dan keteguhannya berpegang pada ajaran Rasulullah serta atsar para salaf dari kalangan sahabat dan pengikut mereka yang baik, yang dewasa ini amat sulit kita jumpai seseorang yang sebanding dengan mereka, kalaupun ada, pasti dia akan merintangi ahlul bid’ah, dan ahlul bid’ah akan berusaha mencelakakannya dengan seribu macam cara, bahkan pembela sunnah dijuluki sebagai ahli bid’ah dan pembuat ajaran baru.

Jika Allah memberikan kepadanya taufiq sehingga dia lulus dengan baik dari jebakan ini, maka setan akan menggunakan jebakan yang ketiga : Dosa-dosa besar …” (Madarijus Salikin (I/175))

Setelah uraian panjang nan kuat tadi, sebenarnya kita hanya tinggal mengatakan, bahwa orang-orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi, telah terjerumus kedalam jebakan setan yang kedua, yaitu : bid’ah. Tidak diragukan lagi, bahwa perayaan maulid ini merupakan bid’ah yang diada-adakan nan jelek – bukan bid’ah hasanah (baik) sebagaimana kata sebagian orang – dan tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in dan tiga generasi terbaik dan paling utama.

Perkara ini disepakati oleh penolak dan pendukung perayaan maulid. Syaikh Dhohiruddin Ja’far at-Tizmanty (wafat pada tahun 628 H) menjelaskan hukum perayaan maulid, seraya mengatakan :

Kegiatan ini belum pernah ada pada masa generasi pertama Salafush sholeh, padahal mereka sangat mengagungkan dan menyintai Nabi, pengagungan dan rasa cinta kita semua tidak akan bisa menyamai pengagungan dan rasa cinta salah seorang diantara mereka”. (Dinukil dari “Al-Hukmul Haq fil Ihtifaal bi Maulid Sayyidil Kholq” oleh guru kami Ali Hasan al-Halaby, halaman : 27)

Sebenarnya, sejarah adalah saksi yang paling kuat akan kebid’ahan perayaan maulid Nabi. Bid’ah ini muncul pada akhir abad ke-4 (!!). Setelah berdirinya Negara al-Ubaidiyyah al-Fathimiyyah al-Bathiniyyah yang menisbatkan diri mereka dengan penuh kebohongan kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha.

Taqiyyuddin al-Maqrizy berkata :

”Para kholifah daulah Fathimiyyah memiliki banyak hari raya dan musim perayaan sepanjang tahun, antara lain : musim perayaan pokok tahun, awal tahun, hari ‘Asyura’, dan maulid Nabi….” (“Al-Mawa’idh wal I’tibar bi dzikril Khuthoth wal Atsar”(I/490).)

Mufti Mesir terdahulu, syaikh al-‘Allamah Muhammad Bakhit al-Muthi’i berkata :

”Perkara yang diada-adakan dan banyak pertanyaan tantangnya (al-Maulid), maka kita katakan : ”Sesungguhnya, yang pertama kali mengadakannya di Kairo adalah para kholifah daulah Fathimiyyah, dan yang paling awal diantara mereka adalah al-Mu’izz Lidillah…”. (“Ahsanul Kalam fiima Yata’allaq Bissunnah wal bid’ah minal Ahkam”, halaman : 44)

Syaikh Ali Mahfudz berkata :

”Diceritakan, bahwa pertama kali yang mengadakan perayaan-perayaan ini di Mesir adalah, para kholifah daulah Fathimiyyah pada abad ke-4 H. Mereka membuat enam perayaan kelahiran : Maulid Nabi, Maulid al-Imam Ali, Maulid Sayyidah Fathimah az-Zahro’, Maulid al-Hasan dan al-Husain, dan Maulid al-Kholifah al-Hadhir. Maulid-maulid ini tetap pada bentuknya sampai dihapus oleh al-Afdhol Ibnu Amir al-Juyusy. Kemudian dibangkitkan lagi oleh pemerintahan al-Amir bi Ahkamillah di tahun 524 H, setelah hampir dilupakan manusia.

Orang pertama yang mengadakan perayaan maulid Nabi di kota Irbil adalah raja al-Mudhaffar Abu Said, pada abad ke-7 H (!!). perayaan ini terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini, dengan berbagai pengembangan dan inovasi baru, sesuai dengan hawa nafsu mereka dan wahyu dari setan kalangan jin dan manusia.” (“Al-Ibda’ fi Madhoor al-Ibtidaa”, halaman : 231)

Saya (penulis) mengingatkan, diantara istilah-istilah syi’ah berbahaya yang menyusup kedalam barisan kita, ahlussunnah, adalah pengkhususan kholifah Ali bin Abi Tholib saja dengan gelar “al-Imam”, tanpa memberikan gelar tersebut kepada khulafaur Rasyidin yang lain, dan kita yakin bahwa mereka (Abu Bakar, Umar, dan Utman) lebih berhak. Demikian juga gelar az-Zahro’ untuk Fathimah sama sekali tidak berdasar, baik substansi maupun maknanya ….Allahul Musta’an.

Diantara kekeliruan yang fatal dalam hal ini adalah, bahwa pengobar perayaan mengingat maulid Nabi, sangat berlebih-lebihan dalam menganiaya saudara-saudara mereka yang mengingkari perayaan seperti ini, mereka melemparkan tuduhan bahwa orang-orang yang kontra perayaan maulid Nabi, membenci Nabi dan tidak menyintainya.

Sebenarnya, standar untuk mengetahui siapa yang menyintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bukanlah perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , dan yang semisalnya. Bahkan yang menjadi standar adalah, rasa cinta kepada Rasulullah yang terwujud dalam sikap membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, berhenti dari larangan beliau, dan tidak beribadah kepada Allah, kecuali dengan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Inilah inti cinta dan pengagungan terhadap Rasulullah, yang dengannya seorang hamba akan memperoleh cinta Allah subhnahu wa ta’ala :

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..(QS. Ali-Imron : 31)

.

تَعْصِى اْلإِلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ

هَذَا لَعَمْرِيْ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ

لَوْكَانَ حُبُّكَ صَادِقًا َلأَطَعْتَه

ُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحَبُّ مُطِيْعُ

.

Anda memaksiati Allah, dan anda menyangka sedang menyintainya.

Sungguh, inilah qiyas yang indah.

Jika cintamu benar, niscaya kau akan mentaati-Nya.

Sesungguhnya penyinta akan mentaati kekasihnya..

Termasuk kesalahan mereka yang fatal adalah, perayaan tersebut diadakan pada 12 Robi’ul Awwal dengan suatu keyakinan, bahwa pada hari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dilahirkan. Padahal hakekat yang harus senantiasa didengungkan dan ditebarkan adalah, bahwa para ulama memiliki perbedaan pendapat yang tajam dalam penetapan tanggal kelahiran Nabi, meskipun mereka sepakat bahwa beliau lahir pada hari senin.

Pendapat para ulama tersebut, antara lain :

a. 2 Robi’ul Awwal. Disebutkan Ibnu Abdil Baar didalam “al-Istii’aab

b. 8 Robi’ul Awwal. Diceritakan al-Humaidy dari Ibnu Hazm.

c. 10 Robi’ul Awwal. Dinukilkan Dihyah didalam bukunya “at-Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadziir”.

d. 12 Robi’ul Awwal. Disebutkan Ibnu Ishaq, dan inilah yang terkenal sebagai pendapat mayoritas ulama.

e. Bulan Ramadhan, tanggalnya pun diperselisihkan .

Silahkan anda cermati pendapat-pendapat ini didalam “al-Bidayah wan Nihayah”(2/265) karya Ibnu Katsir, juga “al-Mi’yar al-Mu’rib”(7/100) karya al-Wansyriisi.

Al-Imam al-‘Allamah al-Albani berkata :

Tentang hari kelahiran Nabi disebutkan oleh Ibnu Katsir perbedaan pendapat mengenai hari dan bulannya, semua tanpa sanad, sehingga tidak bisa diteliti dan dinilai dengan penilaian ilmu mustholah hadits. Kecuali satu pendapat yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lahir pada 8 Robi’ul Awwal, karena diriwayatkan oleh Malik dengan sanad yang shohih dari Muhammad bin Jubair, dia adalah seorang tabi’i yang mulia. Mungkin karena itulah banyak ahli sejarah yang membenarkan dan bersandar pada pendapat ini, hal ini juga merupakan ketetapan al-Hafidz al-Kabiir Muhammad bin Musa al-Khowarizmi, kemudian dirojihkan oleh Abul Khoththob bin Dihyah, sedangkan jumhur ulama berpendapat kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada 12 Robi’ul Awwal. Wallahu A’lam” (“Shohihus Siroh an-Nabawiyyah” pada foot note halaman : 13).

Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Utsaimin berkata :

Wahai kaum muslimin, sesungguhnya bid’ah perayaan maulid Nabi yang diadakan pada bulan Robi’ul Awwal, sebagian mengatakan 8, yang lain mengatakan 9, ada juga yang bependapat 10, 12, 17, 22 Robi’ul Awwal. Inilah tujuh pendapat ahli sejarah, satu dengan yang lainnya sama-sama tidak memiliki dalil yang kuat untuk mengalahkan yang lain, sehingga penentuan kalahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari bulan Robi’ul Awwal masih belum diketahui, akan tetapi sebagian ahli sejarah di zaman kita menetapkan tanggal 9, setelah dilakukan penelitian” (“Majmu’ Fatawa wa Rosail”(6/200).).

Shofiyur Rahman al-Mubarokfuri berkata :

Penghulu para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dilahirkan di wilayah Bani Hasyim di Mekkah pada hari senin, 9 Robi’ul Awwal, tahun pertama dari tragedi tentara gajah, 40 tahun dari berkuasanya Raja Kisro Anusyarwan, bertepatan dengan 20 atau 21 April 571 M, sebagaimana hasil penelitian ulama besar Muhammad Sulaiman al-Manshurfuri.” (“Ar-Rohiqul Makhtum”. Halaman : 71)

Mungkin karena perbedaan penentuan tanggal kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam inilah yang menjadikan raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi, penguasa Irbil, mengadakan perayaan maulid Nabi pada tanggal 8 Robi’ul Awwal, kemudian pada tahun yang lain diadakan pada 12 Robi’ul Awwal, sebagaimana penjelasan banyak ahli sejarah Islam. (“Wafayaatul A’yaan”(2/292).)

Saudaraku pembaca yang budiman, sesungguhnya kesalahan-kesalahan orang yang merayakan maulid Nabi amatlah banyak, tak terbatas dan terhitung, seandainya kita sebutkan semua, niscaya akan sangat panjang. Maka dari itu, saya akhiri pembahasan ini dengan hiasan fatwa para ulama terkemuka :

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”(QS. Qoof : 37).

Fatwa-fatwa tersebut antara lain :

1. Al-‘Allamah Abu Hafs Tajuddin al-Fakihany (wafat tahun 743 H) didalam bukunya “al-Maurid fii ‘Amalil Maulid”, termasuk didalam”Rosail fii Hukmil Ihtifal bil Maulid an-Nabawi”, beliau mengatakan :

”Berulang-ulang pertanyaan dari beberapa orang, tentang perkumpulan yang diadakan pada bulan Robi’ul Awwal, yang disebut perayaan maulid Nabi, apakah ada dasarnya didalam syari’at ? ataukah termasuk bid’ah dan perkara yang diadakan dalam agama ? Dengan taufiq Allah, saya akan menjawab :”Saya tidak mengetahui dasar perayaan maulid ini dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, dan belum pernah diberitakan bahwa hal ini dilakukan oleh salah seorang ulama umat, mereka adalah teladan dalam urusan agama dan berpegang teguh dengan atsar ulama terdahulu. Bahkan ini merupakan bid’ah yang dibuat-buat oleh para pengangguran, dan dorongan jiwa tukang makan yang rakus sangat mendambakannya”. (“Al-Maulid fi ‘Amalil Maulid” dalam “Rosail fil Hukmil bil Maulid an-Nabawi”)

2. Al-‘Allamah Ibnul Hajj (wafat tahun 737 H) berkata :

”Hal ini adalah tambahan dalam urusan agama, bukan amalannya para salaf terdahulu. Meneladani salaf lebih utama (lebih wajib) daripada berniat menambah ajaran mereka. Karena kaum salaf adalah kaum yang paling kuat mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, juga paling hebat pengagungannya terhadap sunnah, seraya berlomba-lomba mengamalkannya. Dan tidak pernah dinukilkan kepada kita, bahwa salah seorang diantara mereka melakukan perayaan maulid. Kita mengikuti mereka, apa yang mereka lakukan, kita juga melakukannya. Dan telah diketahui, bahwa kewajiban mengikuti mereka adalah dalam perkara yang pokok beserta cabang-cabangnya.” (Al-Madkhol”(2/11-12))

3. Al-Imam asy-Syatibi (wafat tahun 790 H) mengatakan :

”Telah jelas, bahwa menghidupkan perayaan maulid sebagaimana yang dilakukan manusia sekarang ini, adalah bid’ah yang dibuat-buat. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Maka menginfakkan harta untuk kepentingan perayaan tersebut tidak boleh, jika infak tersebut adalah wasiat dari orang yang meninggal, maka tidak boleh dilaksanakan. Bahkan wajib bagi Hakim untuk membatalkan wasiat tersebut, dan sepertiga harta sang mayyit dikembalikan kepada ahli warisnya untuk dibagi-bagi diantara mereka. Semoga Allah menjauhkan orang-orang fakir yang meminta pelaksanaan seperti ini.” (Fatawa asy-Syathibi” halaman : 203 – 204)

4. Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim (wafat tahun 1389 H) berkata :

”Tidak diragukan lagi, bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam termasauk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, setelah tersebarnya kebodohan di dunia Islam, sehingga penyesatan dan persangkaan menjadi suatu bidang yang mata tidak mampu membedakannya. Kuatlah didalamnya kekuasaan taklid buta. Jadilah mayoritas manusia tidak kembali merujuk dalil dalam syari’at Islam. Akan tetapi mereka merujuk kepada pendapat si A dan keridhoan si B. Bid’ah yang mungkar ini, sama sekali tidak ada dalilnya dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga dari Tabi’in dan para pengikut mereka …..” (Fatawa wa Rosail asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim”(3/54)).

Syaikh Muhammad bin Ibrahim mempunyai pembahasan-pembahasan yang mantap dalam bidang ini, silahkan dirujuk di “Majmu’ fatawa wa Rosail” jilid ke-3.

5. Al-‘Allamah al-Imam Abdul Aziz bin Baaz (wafat tahun 1420 H) mengatakan :

”Kaum muslimin tidak boleh mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada malam 12 Robi’ul Awwal dan juga pada waktu yang lain, sebagaimana mereka juga tidak boleh merayakan hari kelahiran selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena perayaan hari-hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, lebih dari itu, Rasulullah sendiri tidak pernah merayakan hari kelahirannya semasa hidup beliau, beliau adalah penebar agama Islam dan pembuat syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak memerintahkan untuk melakukan perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di masa generasi yang utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah bid’ah…” (Majmu’ fatawa wa Maqolaat al-Mutanawwi’ah”(4/289).).

Demikianlah beberapa fatwa ulama dalam pembahasan ini, bak setetes air dari air bah dan sebutir air dari lautan yang luas. Apabila anda ingin mendalaminya, silahkan menelaah buku-buku berikut ini : hal 8

  • Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany.
  • Ar-Raddu al-Qowiyyu alar Rifa’iy wal Majhul wa Ibni Alawi wa Bayanu Akhtha’ihim fil Maulidin Nabiy, tulisan dari al-‘Allamah Hamud at-Tuwaijiriy.
  • Al-Qaulul Fashlu fi Hukmil Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-Anshariy.
  • Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah -

Sebagai penutup pembahasan ini, maka kita katakan, bahwa bulan kelahiran Nabi adalah Robi’ul Awwal, bulan ini juga bulan wafatnya beliau, sehingga tidak patut kita mendahulukan perasaan gembira dari pada perasaan sedih karena wafatnya beliau. Kemudian, hari kelahiran beliau adalah hari senin, pada hari itu juga beliau diangkat menjadi Rasul dan ini merupakan anugerah Allah terbesar yang tiada bandingannya.

Allah ta’ala berfirman :

Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(QS. Ali Imron : 164)

Seandainya dikatakan, bahwa perayaan diutusnya Rasulullah lebih utama untuk diperhatikan oleh orang-orang yang sholeh, maka hal itu lebih dekat kepada kebenaran. Akan tetapi, itupun tidak dilakukan oleh mereka, kenapa ? apa standar mereka, sesuatu yang diamalkan atau ditinggalkan !? kenapa mereka mengingkari perbutan orang lain ?!

.

Dialihbahasakan oleh Imam Wahyudi Lc.

Dari majalah ad-Dakwah as-Salafiyah, Palestina, edisi ke-2 halaman : 17 – 22.

Dari Majalah adz-Dzakhirah al-Islamiyah

.

Sumber: abusalma.wordpress.com

.

.

Pertanyaan

.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi Shlallhu’alaihi wa sallam ?

.

Jawaban

Pertama: Malam kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam kesembilan Rabi’ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.

Kedua: Dipandang dari segi syari’at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk syari’at Allah, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya beliau melakukannya dan menyampaikannya, tentulah syari’at ini akan terpelihara, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [Al-Hijr : 9].

Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu. Untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala karena kita melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu” [Al-Ma’idah : 3]

Kami katakan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,.

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [Al-Ma’idah :3]

Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk kesempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.

Mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk ibadah. Demikian juga kecenderungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari agama karena mengandung kecenderungan terhadap syari’atnya. Jadi, perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan ibadah. Karena ini merupakan ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran ini bid’ah dan haram.

Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diakui syari’at, naluri dan akal, di mana para pelakunya mendendangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama daripada Allah. Na’udzu billah. Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelakunya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat ‘wulida al-musthafa, mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya. Sungguh ini suatu kebodohan.

Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk adab, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan memuliakan beliau, tidak pernah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khalayan mereka seperti itu?

[Majalah Al-Mujahid, edisi 22, Syaikh Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masaail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Sumber : almanhaj.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !