Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

05 Mei 2024

FILE 449 : Menegakkan Hukum Allah Tanpa Pilih Kasih

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...


Pilih Kasih dalam Penegakan Hukum, Faktor Hancurnya Sebuah Negara

Disusun oleh:
Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi hafidhahullaah
 

Muqaddimah

Bagi seorang Muslim, hukum yang paling adil adalah hukum Allah yang Maha Penyayang dan Bijaksana. Tidak ada hukum yang lebih baik dan lebih adil daripada hukum Allah.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah: 50).

Seorang Muslim juga yakin bahwa penerapan hukum Allah akan membawa kepada kebaikan bagi individu, masyarakat dan negara. 

Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:

حَدٌّ يُعْمَلُ به في الأرضِ خيرٌ لأهلِ الأرضِ مِن أن يُمْطَروا أربعين صباحًا

Suatu hukum yang ditegakkan di bumi lebih baik baginya daripada diberi hujan selama empat puluh hari[1]

Tatkala Allah memerintahkan kita untuk menegakkan hukum bagi orang yang melakukan kriminal, pasti di sana ada manfaat dan tujuan di dalamnya. Di antaranya:

1. Menjaga kemaslahatan pokok manusia

Islam menjaga kebutuhan pokok manusia berupa agama, jiwa, akal, nasab dan harta manusia. Adanya hukum tersebut adalah untuk menjaga kebutuhan pokok manusia. Hukum bagi murtad untuk menjaga agama, hukum qishash untuk menjaga nyawa, hukum rajam untuk menjaga nasab, hukum potong tangan untuk menjaga harta, dan hukum cambuk untuk peminum khamr untuk menjaga akal.

2. Menegakkan keadilan di antara manusia

Keadilan adalah pokok syariat yang harus ditegakkan. Dan termasuk keadilan apabila orang yang bersalah dan melakukan kriminal harus dihukum, sebab bila pelaku dibirkan saja maka akan menyebabkan suburnya kejahatan.

3. Kasih sayang kepada pelaku dan masyarakat

Adanya hukuman dapat mengerem pelakunya dari tindak kejahatan dan menyadarkan dari kekeliruannya selama ini. Semua itu merupakan kasih sayang Islam baginya, sebagaimana penegakan hukum ini dapat menyebabkan keamanan semakin tersebar di masyarakat. Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Hukum itu adalah obat yang mujarab untuk mengobati orang-orang yang sakit hatinya. Dan ini termasuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya”[2].

4. Peringatan bagi masyarakat

Hikmah lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai peringatan bagi masyarakat agar tidak meniru perbuatan tersebut sehingga setiap kali mereka akan melakukan kriminal tersebut maka harus berpikir seribu kali. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan agar penegakan hukum itu disaksikan oleh masyarakat luas.

5. Pelebur dosa bagi pelaku kriminal

Sesungguhnya penegakan hukum itu bisa melebur dosa pelaku kejahatan. Adapun bagi orang yang tidak menyucikan dirinya dari dosa dengan taubat atau penegakan hukum maka dia akan mendapat hukuman yang lebih berat dan lebih pedih pada hari kiamat[3].


Ilustrasi, sumber: facebook.com

Teks Hadits

عن عائشة رضي الله عنها زوج النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنَّ قريشًا أهمَّهم شأنُ المرأةِ المخزوميَّةِ التي سرقت في عهدِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ . في غزوةِ الفتحِ . فقالوا : من يُكلِّمُ فيها رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ؟ فقالوا : ومن يجترئُ عليه إلا أسامةُ بنُ زيدٍ ، حِبُّ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ؟ فأتى بها رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ . فكلَّمه فيها أسامةُ بنُ زيدٍ . فتلوَّنَ وجهُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ . فقال ( أتشفعُ في حدٍّ من حدودِ اللهِ ؟ ) فقال له أسامةُ : استغفِرْ لي . يا رسولَ اللهِ ! فلما كان العشيُّ قام رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فاختطب . فأثنى على اللهِ بما هو أهلُه . ثم قال ( أما بعد . فإنما أهلك الذين مَن قبلكم ، أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريفُ ، تركوه . وإذا سرق فيهم الضعيفُ ، أقاموا عليه الحدَّ . وإني ، والذي نفسي بيدِه ! لو أنَّ فاطمةَ بنتَ محمدٍ سرقت لقطعتُ يدَها ) ثم أمر بتلك المرأةِ التي سرقتْ فقُطعَتْ يدُها . …قالت عائشةُ : فحسنُتْ توبتُها بعد . وتزوَّجتْ . وكانت تأتيني بعد ذلك فأرفعُ حاجتَها إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ


Dari ‘Aisyah radhiallahu ’anha, istri Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam, bahwa orang-orang Quraisy pernah digemparkan oleh kasus seorang wanita dari Bani Makhzum yang mencuri di masa Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam, tepatnya ketika masa perang Al Fath (pembebasan Kota Makkah -Sa'ad-)

Lalu mereka berkata: “Siapa yang bisa berbicara (memohonkan keringanan -Sa'ad-dengan Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam? Siapa yang lebih berani selain Usamah bin Zaid, orang yang dicintai Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam?”. 

Maka Usamah bin Zaid pun menyampaikan kasus tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam, hingga berubahlah warna wajah Rasulullah. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu hendak memberi syafa’ah (pertolongan) terhadap seseorang dari hukum Allah?”. 

Usamah berkata: “Mohonkan aku ampunan, wahai Rasulullah”. 

Kemudian sore harinya Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam berdiri seraya berkhutbah. Beliau memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, kemudian bersabda: “Amma ba’du. Sesungguhnya faktor penyebab kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu jika ada pencuri dari kalangan orang terhormat, mereka biarkan. Dan jika ada pencuri dari kalangan orang lemah, mereka tegakkan hukum pidana. Adapun aku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah bintu Muhammad mencuri niscaya akan aku potong tangannya”. 

Lalu Rasulullah memerintahkan wanita yang mencuri tersebut untuk dipotong tangannya. 

[Aisyah berkata]:”Setelah itu wanita tersebut benar-benar bertaubat, lalu menikah. Dan ia pernah datang kepadaku setelah peristiwa tadi, lalu aku sampaikan hajatnya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam”.

Mutiara Hadits

Hadits ini menyimpan beberapa pelajaran berharga sekali, terutama bagi mereka yang mendapatkan amanat kepemimpinan di pundak mereka. Di antara pelajaran berharga tersebut adalah:

  1. Sesungguhnya kabilah dari suku Quraisy yang paling mulia adalah 2 macam: Kabilah Bani Makhzum dan Kabilah Bani Abdu Manaf. Nah, sekalipun wanita tersebut dari kabilah ternama dan tersohor, ditambah lagi oleh lobi kekasih Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam, semua itu tidak menjadikan Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam lemah dari menegakkan hukum Allah. Bahkan beliau marah kepada Usamah hingga beliau menegaskan, “Seandainya Fatimah bintu Muhammad mencuri niscaya akan aku potong tangannya[4].
  2. Hukuman bagi pencuri adalah dipotong tangannya apabila telah memenuhi syarat-syaratnya, berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits dan ijma. Allah berfirman:

    وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

    Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Maidah: 38).
    Adapun dalil hadits maka banyak sekali, di antaranya adalah hadits pembahasan di atas. Adapun dalil ijma maka para fuqaha telah menukil ijma tentang wajibnya memotong tangan pencuri[5].
    Hikmah dari potong tangan ini adalah untuk melemahkan alat yang dijadikan untuk melakukan tindak kriminal[6]. Sebab tangan bagi pencuri adalah ibarat sayap bagi burung, Maka memotong tangan pencuri dapat meruntuhkan sayapnya dan memudahkan penangkapannya bila dia mengulang mencuri lagi[7]. Jadi, hukuman ini adalah untuk menjaga keamanan dan harta manusia.

  3. Kecintaan Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam terhadap Usamah radhiallahu ’anhu tidak menjadikan beliau menerima lobinya. Karena ini bersangkutan dengan hukum hak Allah yang tidak bisa dibatalkan oleh lobi seseorang. Padahal biasanya dalam permasalahan yang tidak berkaitan dengan hukum Allah, Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam selalu menerima lobi sahabatnya sekalipun mungkin (kedudukannya -Sa'ad-lebih rendah dari Usamah radhiallahu ’anhu.
  4. Seorang yang biasa terkadang dapat mengungguli kedudukan orang yang kaya. Perhatikanlah Usamah bin Zaid radhiallahu ’anhu, beliau adalah budak sebab ayahnya, Zaib bin Haritsah radhiallahu ’anhu, adalah budak yang diberikan Khadijah radhiallahu ’anha kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam. Namun demikian, beliau memiliki kedudukan yang begitu tinggi dalam hati Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam.
  5. Peringatan bagi orang yang melobi untuk gugurnya hukum Allah. Sebab Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam memberikan peringatan kepada Usamah radhiallahu ’anhu yang telah melakukan hal itu. Tidak cukup hanya ditolak lobinya. Bahkan lebih dari itu, hendaknya dia diberi peringatan agar tidak mengulangi perbuatannya lagi di waktu mendatang.
  6. Bolehnya membuat perumpamaan dan permisalan. Di sini Nabi membuat permisalan dengan Bani Israil, beliau bersabda: “Sesungguhnya faktor penyebab kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu jika ada pencuri dari kalangan orang terhormat, mereka biarkan. Dan jika ada pencuri dari kalangan orang lemah, mereka tegakkan hukum pidana“.
    Sungguh ini termasuk keterbalikan Bani Israil. Karena justru seharusnya para bangsawan itu mendapatkan hukuman yang lebih berat sebab mereka seharusnya lebih harus menjauhi kriminal dari pada rakyat biasa. Oleh karena itu, lihatlah ketajaman pikiran Khalifah Umar bin Khathab radhiallahu ’anhu. Beliau apabila melarang manusia dari sesuatu maka beliau mengumpulkan keluarganya seraya mengatakan kepada mereka, “Saya telah melarang manusia dari begini dan begitu, dan manusia sekarang akan melihat kepada tingkah laku kalian layaknya melihat burung kepada daging. Karena itu siapa pun seorang di antara kalian yang melanggarnya maka saya akan lipat gandakan hukumannya”[8].
    Kenapa Umar radhiallahu ’anhu melipat-gandakan hukuman bagi mereka? Bukankah seharusnya sama saja hukumannya? Ya. Memang asal hukumnya sama, tetapi Umar radhiallahu ’anhu melipat-gandakannya agar mereka tidak meremehkan hukum hanya karena kedekatan mereka dengan Umar radhiallahu ’anhu.
  7. Barangsiapa dari kalangan pemerintah melakukan seperti ini yaitu tidak menegakkan hukum kecuali kepada rakyat biasa maka ini adalah faktor kehancuran negara dan bangsanya. Sebagaimana Bani Israil hancur karena hal tersebut. Kita pun tidak ada bedanya dengan Bani Israil kalau kita melakukan hal yang sama. Apa yang menimpa Bani Israil dikarenakan tidak menerapkan hukum Allah akan menimpa kita juga apabila kita tidak menerapkan hukum Allah. Lihatlah fakta sekarang! Adakah kehinaan yang lebih daripada apa yang dirasakan oleh umat Islam sekarang? Walaupun jumlah mereka milyaran, memiliki kekuatan militer dan persenjataan, karena mereka melalaikan agama Allah maka Allah melalaikan mereka.
  8. Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam memiliki hikmah dan kata-kata yang mendalam dalam ucapan dan perbuatannya. Beliau bersumpah padahal tidak diminta bersumpah, bersumpah dengan Fathimah radhiallahu ’anha yang juga dari kabilah Quraisy dan wanita yang paling dekat dan paling dicintai Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam. Sekalipun demikian, Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam mengatakan, “Seandainya Fatimah bintu Muhammad mencuri niscaya akan aku potong tangannya“. Allahu Akbar, demikianlah hendaknya hukum Allah ditegakkan. Tanpa pilih kasih kepada siapa pun orangnya yang melalukan tindak kriminal dan pelanggaran. Semoga Allah memberikan taufiq kepada para pemerintah kita agar meniru apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi Wasallam [9].

Demikian beberapa mutiara ilmu yang dapat kita petik dari hadits ini. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi, diambil dari Majalah Al Furqon edisi 2 tahun ke 11, Syawal 1432H, hal.13-15

Catatan kaki:

1. HR. Nasai: 4904, Ibnu Majah: 2538. Lihat Shahihul Jami‘: 3130 
2. Majmu’ Fatawa 15/290 
3. Lihat Al Maqashid Syar’iyyah lil Uqubat fil Islam hal. 65-73 oleh Dr. Rawiyah Ahmad Abdul Karim 
4. As Siyasah Asy Syar’iyyah hal, 193 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 
5. Maratibul Ijma’ hal. 135 oleh Ibnu Hazm 
6. Ahkamu Sariqah fi Syari’ah wa Qanun hal. 233 
7. I’lamul Muwaqqi’in 2/126 oleh Ibnul Qayyim 
8. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 6/199 
9. Tulisan ini banyak mengambil faedah dari Ta’liq Siyasah As Syar’iyyah hal. 193-197 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 

******

Sumbermuslim.or.id 
 
File terkait:
Baca juga:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

04 April 2024

FILE 448 : Tidak Memakai Cincin di Jari Telunjuk dan Jari Tengah

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Dilarang Memakai Cincin di Jari Tengah & Telunjuk?

Dijawab oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
 
 

Pertanyaan:

Apa ada larangan pake akik di jari tengah? Aku denger ada hadisnya. 

Mohon pencerahannya tad…


Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Anda bisa perhatikan hadis berikut,

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏‏أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ ، قَالَ :‏ ” ‏فَأَوْمَأَ ‏‏إِلَى الْوُسْطَى ، وَالَّتِي تَلِيهَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku memakai cincin di dua jari: ini dan ini. Beliau memegang jari tengah dan jari setelahnya. (HR. Muslim 5614)

Dari hadis ini, an-Nawawi menetapkan judul,

باب النهي عن التختم في الوسطى والتي تليها

Bab, larangan memakai cincin di jari tengah dan jari setelahnya.

Dalam Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi mengatakan,

وَيُكْرَه لِلرَّجُلِ جَعْله فِي الْوُسْطَى وَاَلَّتِي تَلِيهَا لِهَذَا الْحَدِيث , وَهِيَ كَرَاهَة تَنْزِيه

Makruh bagi lelaki memakai cincin di jari tengah dan jari setelahnya, karena hadis ini. Dan ini larangannya makruh. (Syarh Shahih Muslim, 14/71).


Ilustrasi: sumber tribunnews.com


Maksud Jari Setelahnya?

Kita simak keterangan al-Qurthubi,

ولو تختم في البنصر لم يكن ممنوعا ، وإنما الذي نهي عنه في حديث علي – رضي الله عنه – الوسطى والتي تليها من جهة الإبهام ، وهي التي تسمى المسبحة ، والسبابة

Jika ada orang yang memakai cincin di jari manis, tentu tidak terlarang. Yang dilarang dalam hadis Ali Radhiyallahu ‘anhu, adalah memakai cincin di jari tengah dan jari setelahnya ke arah jempol, yaitu jari telunjuk. (al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, 5/414).

An-Nawawi juga memberikan keterangan bahwa penyebutan telunjuk, ada di riwayat selain Muslim. an-Nawawi mengatakan,

وَرُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ فِي غَيْرِ مُسْلِمٍ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Hadis ini juga diriwayatkan di selain Shahih Muslim, dengan menyebutkan telunjuk dan jari tengah. (Syarh Shahih Muslim, 14/71)


Jari yang Tepat

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, menceritakan,

كَانَ خَاتِمُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى هَذِهِ. وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصَرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

Cincin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di jari ini. Lalu Anas memegang kelingking tangan kirinya. (HR. Muslim 5610).

An-Nawawi menegaskan,

وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ جَعْلُ خَاتَمِ الرَّجُلِ فِي الْخِنْصَرِ وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَإِنَّهَا تَتَّخِذُ خَوَاتِيمَ فِي أَصَابِعَ

Kaum muslimin sepakat bahwa yang sesuai sunnah, lelaki memasang cincinnya di kelingking. Sementara wanita boleh memakai cincinnya di jari manapun. (Syarh Shahih Muslim, 14/71)

Demikian, Allahu a’lam

******

Sumberkonsultasisyariah.com 

Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

03 Maret 2024

FILE 447 : Apakah Membunuh Orang Islam Menjadikan Kekal di Neraka?

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Apakah Membunuh Seorang Mukmin Kekal Di Neraka?

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ust. Mu’tashim, Lc. MA. hafidhahullaah

 
Pertanyaan: 

Assalāmu’alaikum ustadz. Semoga Allāh selalu merahmati dan melindungi ustadz dan seluruh umat muslim. 

Ustadz, dalam surat An-Nisa: 93 disebutkan bahwa “orang yang membunuh mu’min dengan sengaja, maka akan kekal di neraka."

Yang manakah pendapat yang lebih kuat ustadz, apakah pembunuh tersebut mendapat ampunan jika bertaubat atau tidak?

Jazākallāhu khairan.

(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh.

Aamiin, juga semoga Allah mengumpulkan kita semua di dalam surgaNya.

Sebagaimana firman Allah ta`ala:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam. Ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisâ`/4:93)

Sebagaimana yang dipahami bahwa kekal yang dimaksudkan menunjukkan beratnya siksa bukan kekal bermakna abadi di neraka, selama orang yang melakukan pembunuhan tersebut masih sebagai seorang muslim.

Terkait dengan para pelaku dosa besar atau dalam hal ini dosa pembunuhan, apakah akan diampuni oleh Allah ta`ala bila bertaubat atau tidak akan diampuni?

Pendapat ahlussunnah wal jamaah, yang berbeda dengan pendapat madzhab Khawarij atau Mu`tazilah, bahwa para pelaku dosa besar dan masuk di dalamnya pelaku pembunuhan, tidaklah dianggap telah keluar dari Islam, dan kekal di neraka. Kekekalan di neraka hanya akan dijatuhkan kepada orang yang kafir atau munafik.

Sehingga pelaku dosa besar, atas kehendak dan rahmat Allah, akan diampuni oleh Allah bila bertaubat dari perbuatannya. Sebagaimana yang telah Allah nyatakan dari banyak ayatnya, semisal di dalam firman Allah ta`ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah (dosa syirik) tersebut, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisaa`/4: 48)

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya”. (QS. Al-Furqon/25 : 68 – 71)

Dan ayat-ayat yang lainnya yang menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni seorang muslim yang berbuat kesalahan, selain dosa syirik, atas kehendak dan ketetapan Allah.


Ilustrasi, sumber: nasihatsahabat.com


Terkait dengan permasalahan kata kekal yang diancamkan pada ayat tersebut, atau bahkan pada sebagian ayat-ayat yang lain yang mengancam para pelaku dosa besar dengan menggunakan kata kekal di neraka atau dengan kata telah kafir atau kata yang serupa para ulama memberikan arahan bahwa yang dimaksudkan bahwa kata atau kalimat tersebut tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman dan mengekalkannya di neraka. Ia hanya sebagai celaan dan ancaman kuat dari Allah kepada para pelaku tersebut dengan maksud penekanan bahwa perbuatan itu adalah dosa besar, pelakunya akan bisa mendapatkan siksa besar bila ia tidak mau bertaubat kepada Allah.

Terkait dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ad-Dhohak, dan ulama yang lain, yang berpendapat bahwa tidak ada taubat dari dosa pembunuhan yang disengaja, pendapat itu dijelaskan oleh para ulama bahwa ia adalah bagian dari ancaman yang sangat tegas kepada para pelaku tersebut, namun tidak menunjukkan bahwa ia akan kekal abadi dan tidak akan keluar dari neraka selama-lamanya, karena ayat dan hadist menunjukkan bahwa seorang muslim yang bertaubat secara benar maka Allah akan mengampuninya, atas kehendak dan ketetapannya. Sebagaimana ayat yang telah disebutkan sebelumnya.

Juga sebagian ulama memahami bahwa maksud dari Ibnu Abbas dan Ad-Dhohak adalah ditujukan kepada mereka yang telah menghalalkan pembunuhan tersebut, sehingga ia telah menjadi kafir karena telah berani menghalalkan yang diharamkan oleh Allah.

Sebagian yang lain menafsirkan, bahwa kekekalan yang dimaksudkan adalah lamanya tinggal di dalamnya, tidak menunjukkan abadinya ia di tempat tersebut. Sebagaimana orang Arab biasa menggunakan kata kekal kepada makna lama/panjangnya tinggal di tempat tertentu.

Wallahu a`lam.

Silahkan lihat link berikut untuk memperjelas dalam masalah ini:

https://www.saaid.net/Doat/alaskar/18.htm 

******

Sumberbimbinganislam.com
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

02 Februari 2024

FILE 446 : Rakyat yang Baik Melahirkan Pemimpin yang Baik

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi wa sallam            

Wa ba'du

...

Warga Negara Baik Melahirkan Penguasa Yang Baik

Disusun oleh:
Tim Redaksi Majalah As-Sunnah hafizhahumullaah
 

Pemimpin yang bersih, jujur, amanah, cerdas, tegas, bersahaja, merakyat dan lain sebagainya tentu menjadi dambaan semua orang yang mengharapkan masa depan yang baik. Ini sudah pasti, namun untuk mewujudkannya bukan hal mudah. Islam sangat menghargai pemimpin yang adil. Pemimpin adil adalah satu di antara tujuh golongan yang mendapatkan naungan Arsy Allâh di saat tidak ada naungan sama sekali dari terik sinar matahari yang panas membakar, kecuali naungan Arsy tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa diantara tujuh golongan yang mendapatkan naungan 'Arsy Allah Azza wa Jalla di hari kiamat kelak adalah pemimpin yang adil.

Sampai di sini, semua sepakat dan menginginkan keadilan pemimpin yang mendatangkan kebaikan untuk Negara dan rakyat yang dipimpinnya. Lalu timbul pertanyaan besar dalam hati, bagaimanakah mewujudkannya? 

Para Ulama Rabbani mengingatkan bahwa jika kita menginginkan pemimpin yang baik, maka kita harus memulai perbaikan itu dari diri kita dan masyarakat, sebab ada satu kaidah yang sudah baku dan terbukti dalam sejarah, “Sebagaimana keadaan kalian, begitulah keadaan pemimpin kalian.”

Sebagai insan yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, kita berkewajiban mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kita yakin bahwa Allâh satu-satunya Dzat Yang Memutuskan dan Pemberi taufik. Barangsiapa menyimpang dari jalan Nabi-Nya, maka tidak akan beruntung selamanya.

Apabila kita merenungi Kitabullâh, niscaya kita akan dapati bahwa tiap kali berbicara tentang khilâfah, tamkîn (pemberian tampuk kepemimpinan atau kedudukan) dan mulk (kekuasaan), al-Qur`an selalu mengaitkan semua itu dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya, dalam firman Allâh tentang istikhlâf  (pelimpahan tugas sebagai penguasa) :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Dan ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku  hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” [Al-Baqarah/2:30].

Jika kita perhatian kesamaan muatan ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, kita dapati bahwa Allâh lah yang menetapkan kekuasaan bagi siapa saja yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya :

وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ

Dan Allâh memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. [al-Baqarah/2:247].

Karakter seorang pemimpin sangat berkaitan erat dengan karakter para rakyatnya, jika rakyat baik maka pemimpin juga baik, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya al-Hasan al-Basri rahimahullah ketika mendapati ada sebagian masyarakat yang hendak memberontak dan melawan kebengisan al-Hajjaj bin Yusuf yang terlah membunuh ratusan ribu kaum Muslimin, beliau rahimahullah mengatakan bahwa al-Hajjâj adalah hukuman dari Allâh atas mereka. Lalu beliau rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian merespon hukuman Allâh ini dengan pedang! Namun sambutlah hukuman ini dengan bertaubat kepada Allâh dan tunduk kepada-Nya! Bertaubatlah kalian, niscaya kalian akan terpelihara darinya!” [1]

Ilustrasi, sumber: thoriqussalaf.com

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyampaikan sebuah pesan yang sangat menyentuh, seakan belum pernah ada pesan ahli ilmu yang lebih menyentuh dari itu. Beliau rahimahullah mengatakan, 

“Renungilah hikmah Allâh Azza wa Jalla yang telah memilih para raja, penguasa dan pelindung umat manusia berdasarkan perbuatan rakyatnya, bahkan seakan perbuatan rakyat tergambar dalam perilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat istiqamah dan lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan berbuat zhalim. Jika tindakan penipuan telah merata di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula pemimpin mereka. Jika rakyat bakhil dan tidak menunaikan apa yang menjadi hak-hak Allâh Azza wa Jalla yang ada pada mereka, maka para pemimpin juga akan bakhil dan tidak menunaikan hak-hak rakyat yang ada pada mereka. Jika dalam bermuamalah, rakyat mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka juga akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan berbagai beban tugas yang berat. Semua yang diambil oleh rakyat dari orang-orang lemah maka akan diambil paksa oleh para pemimpin dari mereka. Jadi (karakter) para penguasa itu tampak jelas pada perilaku rakyatnya.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari nasehat para Ulama rabbani ini dalam mewujudkan pemimpin yang kita harapkan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam al-Uqûbât, no. 52 dengan sanad shahih dan dalam satu riwayat dalam Thabaqât Ibnu Sa’ad, 7/164 dan dalam kitab Jumal min Ansâbil Asyrâf, Bilâdzri (7/394) dengan sanad yang shahih.

--oo00OO00oo--

Sumberalmanhaj.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin