Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

12 Desember 2024

FILE 456 : Larangan Membangun Kijing Kuburan

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Larangan Kuburan Dibangun Kijing

Dijawab oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
 
  

Pertanyaan:

Mengapa kijing kuburan dilarang dalam islam?


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan larangan meng-kijing kuburan. Di antaranya,

Pertama, keterangan Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Abul Hayyaj al Asadi menceritakan bahwa Ali bin Abi Tholib berpesan kepadanya, “Saya mengutusmu dengan membawa misi yang pernah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampaikan kepadaku, yaitu jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 969).

Kedua, keterangan dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur, dan membuat bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970).

Keterangan:

Termasuk  bentuk ‘membuat bangunan di atas kuburan’ adalah meng-kijing kuburan atau membuat cungkup di atas kuburan.

Ilustrasi, sumber: konsultasisyariah.com


Keterangan Imam as-Syafi'i & Ulama Syafi'iyah

Dalam kitab al-Umm, Imam as-Syafi'i mengatakan,

وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ وَلَيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ولم أَرَ قُبُورَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ مُجَصَّصَةً

Saya menyukai agar kuburan tidak diberi bangunan di atasnya dan tidak pula disemen (di-aci). Karena semacam ini sama dengan menghias kuburan dan berbangga dengan kuburan. Sementara kematian sama sekali tidak layak untuk itu. Dan saya juga melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar, kuburan mereka tidak disemen. (al-Umm, 1/277)

Imam as-Syafi'i rahimahullah juga menceritakan sikap para penguasa ketika itu,

وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك

Saya melihat para penguasa menghancurkan kijing dan cungkup yang ada di kuburan di Mekkah, dan saya tidak mengetahui adanya satupun ulama yang mengingkari perbuatan mereka. (al-Umm, 1/277)

Imam Nawawi – ulama Syafi'iyah – mengatakan,

أَنَّ السُّنَّةَ أَنَّ الْقَبْرَ لَا يُرْفَعُ عَلَى الْأَرْضِ رَفْعًا كَثِيرًا وَلَا يُسَنَّمُ بَلْ يُرْفَعُ نَحْوَ شِبْرٍ وَيُسَطَّحُ وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ

“Yang sesuai ajaran Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kubur itu tidak ditinggikan dari atas tanah. Yang dibolehkan hanyalah meninggikan satu jengkal dan hampir dilihat rata dengan tanah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan yang sepahaman dengannya.” (Syarh Shahih Muslim, 7/35).

Imam Nawawi di tempat lain juga menegaskan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ كَرَاهَةُ تَجْصِيصِ القبر والبناء عليه وَتَحْرِيمُ الْقُعُودُ وَالْمُرَادُ بِالْقُعُودِ الْجُلُوسُ عَلَيْه

“Terlarang memberikan semen pada kubur, dilarang mendirikan bangunan di atasnya, dan haram duduk di atas kubur.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 37).

Keterangan al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan al-Ghayah wa at-Taqrib, beliau menyatakan,

ويسطح القبر ولا يبني عليه ولا يجصص

“Kubur itu diratakan, tidak boleh dibangun kijing atau cungkup di atasnya, dan tidak boleh kubur tersebut disemen (di-aci).” (Mukhtashor Abi Syuja’, hlm. 83).

Allahu a’lam.


******

Sumberkonsultasisyariah.com 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

11 November 2024

FILE 455 : Mengapa Bacaan Shalat Wajib Ada yang Dibaca Keras dan Lirih ?

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Apa Dalil Aturan Jahr dan Sirr dalam Shalat 5 Waktu?

Dijawab oleh:
Ust. Yulian Purnama, S.Kom. hafidhahullaah
 

Pertanyaan:

Maaf ustadz, saya penasaran apakah aturan jahr dan sirr dalam shalat 5 waktu itu ada dalilnya. 

Kenapa bacaan shalat Subuh, Maghrib dan Isya dibaca jahr (keras) sedangkan shalat zuhur dan ashar dibaca sirr (lirih) ? Apakah ada dalilnya? 

Mohon penjelasannya.


Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Dalil tentang aturan jahr dan sirr dalam shalat 5 waktu terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan juga ijma’ ulama. 

Ilustrasi, sumber: viva.co.id


Dalil al-Qur’an

Adapun dalil al-Qur’an, berupa dalil umum untuk meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk meneladani beliau dalam masalah shalat. Allah ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini beliau mengatakan:

هذه الآية الكريمة أصل كبير في التأسي برسول الله صلى الله عليه وسلم في أقواله وأفعاله وأحواله

“Ayat yang mulia ini adalah landasan yang agung tentang wajibnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam perkataan beliau, perbuatan beliau, dan sifat-sifat beliau.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/483)


Dalil as-Sunnah

Sedangkan dalil dari as-Sunnah, sangat banyak sekali. Rinciannya sebagai berikut:

Pertama: Shalat Maghrib

Hadits dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Thur pada shalat Maghrib” (HR. Muslim no. 463).

Hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa, ia berkata,

إن أم الفضل سمعته ، وهو يقرأ : { والمرسلات عرفا } . فقالت : يابني ، والله لقد ذكرتني بقراءتك هذه السورة ، أنها لآخر ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ بها في المغرب

“Bahwa Ummul Fadhl mendengarnya membaca surat wal mursalaati ‘urfaa. Kemudian Ummul Fadhl berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, engkau telah mengingatkan aku dengan bacaan surat ini, bahwa ini adalah surat yang dibaca ketika shalat maghrib terakhir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam‘.” (HR. al-Bukhari no.763, Muslim no.462)

Dalam hadits-hadits di atas secara tegas menunjukkan bahwa para sahabat mendengar bacaan al-Qur’an Nabi dalam shalat Maghrib. Ini menunjukkan bahwa beliau membacanya dengan jahr (keras).

Kedua: Shalat Isya

Hadits dari al-Barra’ bin Adzib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

سمعتُ النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ ” والتينِ وَالزيتُون ” في العشاء ، وما سمعت أحداً أحسنَ صوتاً منه

“Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “Wat tiini waz zaitun” dalam shalat Isya. Tidak pernah aku mendengar orang yang lebih bagus suaranya melebihi beliau.” (HR. al-Bukhari no.733, Muslim no.464)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa para sahabat mendengar bacaan al-Qur’an Nabi dalam shalat Isya. Ini menunjukkan bahwa beliau membacanya dengan jahr (keras).

Ketiga: Shalat Shubuh

Hadits dari Quthbah bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أنه صلى مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم الصبحَ . فقرأ في أولِ ركعةٍ: والنخلُ باسقاتٍ لها طلعٌ نضيدٌ. وربما قال: ق

“Ia pernah shalat subuh bersama bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pada rakaat pertama membaca ayat “baasiqaatin lahaa thal’un nadhiid” (surat Qaaf ayat 10).” (HR. Muslim no. 457)

Hadits dari ‘Amr bin Harits radhiyallahu ‘anhu berkata,

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ

“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat shubuh membaca “idzasy syamsu kuwwirat” (surat at-Takwir).” (HR. an-Nasa’i dalam ash-Shughra no.941, dengan sanad Hasan)

Keempat dan Kelima: Shalat Zuhur dan Ashar

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,

كنا نحزرُ قيامَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الظهرِ والعصرِ . فحزرنا قيامَه في الركعتين الأوليين من الظهر قدرَ قراءةِ الم تنزيل – السجدة . وحزرنا قيامَه في الأخريين قدرَ النصفِ من ذلك وحزرنا قيامه في الركعتين الأوليين من العصرِ على قدرِ قيامِه في الأخريين من الظهرِ وفي الأخريين من العصرِ على النصفِ من ذلك . ولم يذكر أبو بكرٍ في روايته : الم تنزيل . وقال : قدر ثلاثين آيةً

“Kami mengira-ngira panjang shalat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika shalat zuhur dan ashar. 

Kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat zuhur yaitu sekadar bacaan surat Alif laam miim tanzil (as-Sajdah). Dan kami mengira-ngira dua rakaat terakhir beliau sekitar setengah dari itu. 

Dan kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat ashar itu seperti dua rakaat akhir beliau pada shalat zuhur. Dan dua rakaat terakhir beliau pada shalat ashar itu sekitar setengahnya dari itu." 

Dalam riwayat Abu Bakar tidak disebutkan Alif laam miim tanzil, namun ia berkata: “sekitar 30 ayat.” (HR. Muslim no.452)

Perkataan Abu Sa’id “kami mengira-ngira” karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak memperdengarkan bacaannya (dibaca sirr). Sehingga untuk mengetahui panjang-pendek bacaannya adalah dengan mengira-ngira.

Dalam hadits dari Khabbab bin al-Arat radhiyallahu ‘anhu, ada yang bertanya kepada beliau:

أكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في الظهر والعصر ؟ قال : نعم . قلنا : بمَ كنتم تعرفون ذلك ؟ قال :  باضطِرَاب لحيتَهَ

“Apakah pada shalat zuhur dan ashar Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat al-Qur’an? Khabbab menjawab: Iya. Orang tadi bertanya lagi: Bagaimana kalian mengetahuinya? Khabbab menjawab: Dari gerakan jenggot beliau.” (HR. al-Bukhari no.713)

Hadits ini juga secara tegas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeraskan suara bacaan Al Qur’an dalam shalat zuhur dan ashar.


Dalil Ijma’

Aturan bahwa bacaan dalam shalat Maghrib, Isya, dan Subuh adalah jahr (keras) sedangkan dalam shalat zuhur dan ashar adalah sirr (lirih) ini merupakan kesepakatan para ulama. 

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

فَالسُّنَّةُ الْجَهْرُ فِي رَكْعَتِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَفِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ ، وَالْإِسْرَارُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَثَالِثَةِ المغرب ، والثالثة وَالرَّابِعَةِ مِنْ الْعِشَاءِ ، وَهَذَا كُلُّهُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ مَعَ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمُتَظَاهِرَةِ عَلَى ذَلِكَ

“Yang disunnahkan, mengeraskan bacaan dua rakaat pertama dalam shalat subuh, maghrib dan isya serta dalam shalat Jum’at. 

Dan melirihkan bacaan dalam shalat zuhur dan ashar, juga rakaat ketiga pada shalat maghrib, serta rakaat ketiga dan keempat pada shalat isya. 

Ini semua adalah kesepakatan kaum muslimin berdasarkan hadits-hadits yang shahih yang lugas.” (Al-Majmu‘, 3/389)

Namun perlu dipahami bahwa aturan di atas hukumnya sunnah. Sehingga andaikan bacaan dalam shalat maghrib, isya dan subuh, tidak dibaca jahr oleh imam, hukumnya makruh namun shalatnya tetap sah. Demikian juga jika bacaan dalam shalat zuhur atau ashar dibaca jahr. 

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan:

وَيُسِرُّ بِالْقِرَاءَةِ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَيَجْهَرُ بِهَا فِي الْأُولَيَيْنِ مِنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ، وَفِي الصُّبْحِ كُلِّهَا … ؛ وَالْأَصْلُ فِيهِ فِعْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَقَدْ ثَبَتَ ذَلِكَ بِنَقْلِ الْخَلَفِ عَنْ السَّلَفِ ، فَإِنْ جَهَرَ فِي مَوْضِعِ الْإِسْرَارِ ، أَوْ أَسَرَّ فِي مَوْضِعِ الْجَهْرِ ، تَرَكَ السُّنَّةَ ، وَصَحَّتْ صَلَاتُهُ

“Bacaan dalam shalat zuhur dan ashar adalah lirih. Bacaan dalam dua rakaat pertama shalat maghrib, isya, dan seluruh rakaat shalat subuh adalah keras … Dan landasan dari hal ini adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah shahih penukilannya dari para ulama khalaf maupun dari ulama salaf. Jika seseorang membaca jahr (keras) pada tempat yang seharusnya sirr (lirih), atau membaca lirih pada tempat yang seharusnya keras, maka ini menyelisihi sunnah, namun masih sah shalatnya.” (Al-Mughni, 2/270)

Adapun makmum, membaca dengan bacaan lirih dan makruh mengeraskannya. 

Sedangkan orang yang shalat sendirian, boleh memilih antara mengeraskan bacaan atau melirihkannya. 

Ibnu Balban mengatakan:

ويكره لمأموم, ويخير منفرد و نحوه

“Dimakruhkan bagi makmum untuk mengeraskan suara. Dan orang yang shalat sendirian atau semisalnya, boleh memilih (antara mengeraskan bacaan atau melirihkannya).” (Akhshar al-Mukhtasharat Ibnu Balban ma’a Hasyiah Ibnu Badran, hal. 112)

Wallahu a’lam. Semoga penjelasan ini dapat dipahami.

Semoga Allah ta’ala memberikan taufik untuk kita semua.

******

Sumberkonsultasisyariah.com 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi, 
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, 
Astaghfiruka wa atuubu ilaika,
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin     

10 Oktober 2024

FILE 454 : Panduan bagi Orang Awam dalam Memilih Dalil yang Benar

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Cara Mencari Sumber Dalil Yang Benar Sesuai Tuntunan Rasulullah

Dijawab oleh:
Ust. Mu’tashim, Lc. MA. hafidhahullaah
 

Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. 

'Afwan ustadz, ana akhwat yang masih awam dengan Sunnah Rasulullah.

  1. Bagaimana cara kita membedakan mana tuntunan yang benar dari Rasulullah dan mana yang bukan?
  2. Ustadz, bagaimana cara kita mencari sumber yang benar-benar sesuai tuntunan Rasulullah?
  3. Apakah berhaji bagi wanita tanpa mahram ini diwajibkan atau hanya dianjurkan?

(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh.

Saudara yang semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua untuk diberikan kebenaran dalam setiap amalan kita.

Memang terkadang, menjadi bingung bagi kita bila dihadapkan dengan perbedaan pendapat di antara ulama dengan amalan-amalan yang kita pelajari. Hampir di setiap permasalahan fiqih didapatkan perbedaan.

Bila didapatkan perbedaan tentunya harus mencoba kembali kepada dalil/hujjah yang dikemukakan, kemudian memilih dan mengikuti pendapat yang paling kuat atau dengan cara menggabungkan antara pendapat bila memungkinkan, bila perbedaan tersebut adalah perbedaan yang variatif, karena semuanya pernah dilakukan/diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Dengan cara di atas, sehingga tidak perlu bingung dan bimbang dalam perbedaan tersebut.

Namun, bila memang perbedaannya tidak bisa dijamak dan saling menafikan, maka harus diambil pendapat yang rajih/kuat, bila memang kita memiliki kemampuan dalam menganalisa dalil-dalil yang dipaparkan.

Bila tidak punya kemampuan sama sekali atau awam dalam masalah itu, maka hendaknya mengikuti para ulama yang kita anggap baik, dipercaya, menenangkan hati, dan lebih banyak menukilkan dalilbukan asumsi pribadi.

Kami coba menukilkan beberapa penjelasan dari sumber berikut, antara lain apa yang disebutkan oleh Islamweb pada nomor fatwa 62771 untuk bisa lebih memperjelas, dituliskan di dalamnya, ”Bila ulama berbeda pendapat, seorang muslim yang memiliki kemampuan dalam memahami dalil hendaknya mengikuti pendapat yang terlihat lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat dalam mengambil dalil. Dengan meninggalkan fanatisme terhadap para imam dan menjauhkan diri dari mendahulukan perkataan mereka dibandingkan dengan dalil syar`i. Sambil tetap menghormati pendapat mereka dan mengambil faedah dari ijtihad mereka dalam memahami nash/dalil syar`i. 

Juga berhati-hati untuk tidak selalu mengambil pendapat yang paling mudah dan cocok dengan hawa nafsunya.

أما إن كان عاميا ـ أي غير متخصص في علوم الشريعة، ولا له نظر في الأدلة ـ فعليه أن يستفتي من هو من أهل العلم والورع من غير ترخص

واعلم أن المأخوذ به هو سنة رسول الله –صلى الله عليه وسلم– أينما وجدت، سواء كانت مخالفة لمذهب الجمهور أو موافقة له

Bila seseorang adalah orang yang awam, bukan orang yang ahli dalam ilmu syariah dan tidak memiliki kemampuan dalam melihat/menganalisa dalil maka hendaknya ia meminta fatwa kepada orang yang punya ilmu dan punya sikap wara` (takut melakukan penyewengan/kemaksiatan) tanpa bermaksud mencari pendapat yang termudah.

Pahamilah bahwa yang hendaknya dipilih adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di mana pun ia dapatkan, baik menyelisihi ataupun selaras dengan pendapat mayoritas.

قال الإمام الشافعي –رحمه الله-: ما من أحد إلا وتذهب عليه سنة لرسول الله وتعزب عنه وقال: أجمع الناس على أنه من استبانت له سنة رسول الله لم يكن له أن يدعها لقول أحد. وقال: إذا صح الحديث فهو مذهبي. وقال: كل مسألة صح فيها الخبر عن رسول الله عند أهل النقل بخلاف ما قلت فأنا راجع عنها في حياتي وبعد مماتي. ومثل هذا الكلام عند جميع الأئمة

Berkata Imam Syafi`i rahimahullah ta`ala, ”Tiada seorang pun kecuali ia harus mengarah dan mengambil sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.”

Dan juga ia berkata, ”Manusia telah sepakat bahwa seseorang yang telah jelas atasnya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka tidak boleh meninggalkannya karena mengambil pendapat yang lain.”

Ia berkata, ”Bila hadist tersebut shahih maka itulah madzhabku.”

Ia juga berkata, “Setiap masalah yang benar informasi (sumbernya) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang dinukilkan (oleh para ulama), yang ternyata menyelisihi perkataanku maka aku tarik (pendapatku, untuk mengikuti hadist tersebut), baik ketika aku masih hidup atau setelah kematianku." 

Dan semisalnya dengan apa yang dikatakan oleh seluruh para imam (ulama).” (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/62771/)

Senada hal tersebut, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan ketika ada pertanyaan kepada beliau, ”Saya mahasiswa tahun-tahun pertama di Fakultas Syari’ah. Kami banyak menemukan permasalahan yang mengandung perbedaan pendapat, dan terkadang pendapat yang rajih dalam sebagian masalah, ternyata bertolak belakang dengan sebagian pendapat ulama sekarang.

Atau kadang kami menemukan masalah-masalah tapi tidak ada satu pun yang rajih, sehingga kami bingung dalam hal ini. Apa yang harus kami lakukan berkenaan dengan masalah yang mengandung perbedaan pendapat atau ketika kami ditanya oleh orang lain? Semoga Allah memberi kebaikan pada Syaikh.”

Kemudian beliau menjawab, ”Pertanyaan semacam ini tidak hanya dialami oleh para penuntut ilmu syari’at, tapi merupakan masalah umum setiap orang. Jika seseorang mendapati perbedaan pendapat tentang suatu fatwa, ia akan kebingungan.

Tapi sebenarnya tidak perlu dibingungkan, karena seseorang itu, jika mendapatkan fatwa yang berbeda, maka hendaknya ia mengikuti pendapat yang dipandangnya lebih mendekati kebenaran, yaitu berdasarkan keluasan ilmunya dan kekuatan imannya. Sebagaimana jika seseorang sakit, lalu ada dua dokter yang memberikan resep berbeda, maka hendaknya ia mengikuti perkataan dokter yang dipandangnya lebih benar dalam memberikan resep obat.

Jika ada dua pendapat yang dipandangnya sama, atau tidak dapat menguatkan salah satu pendapat yang berbeda itu, maka menurut para ulama, hendaknya ia mengikuti pendapat yang lebih tegas, karena itu lebih berhati-hati. Sebagian ulama lainnya mengatakan, hendaknya ia mengikuti yang lebih mudah, karena demikianlah dasar hukum dalam syari’at Islam. Ada juga yang berpendapat, boleh memilih di antara pendapat yang ada. 

Yang benar adalah mengikuti yang mudah, karena hal itu sesuai dengan konsep mudahnya agama Islam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah/2: 185)

Dan firman-Nya.

 وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”(QS. Al-Hajj/22 : 78)

Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا

Bersikap mudahlah kalian dan jangan mempersulit”

Lain dari itu, karena pada dasarnya manusia adalah “bebas dari tanggung jawab” sehingga ada sesuatu yang mengubah status dasar ini. 

Kaidah ini berlaku bagi orang yang tidak dapat mengetahui yang haq dengan dirinya sendiri. 

Namun bagi yang bisa, seperti halnya penuntut ilmu syar’i yang bisa membaca pendapat-pendapat seputar masalah dimaksud, maka hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya lebih benar berdasarkan dalil-dalil yang ada padanya. Dalam hal ini, ia harus meneliti dan membaca untuk mengetahui pendapat yang lebih benar di antara pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para ulama. “

(Kitabud Da’wah (5), haL. 45-47, SyaikH Ibnu Utsaimin | Disalin dari: https://almanhaj.or.id/1330)


Cara Mengambil Sumber yang Benar?

Tiada cara mengambil sumber yang benar kecuali dengan cara belajar yang benar dengan cara yang benar. 

Telah dicontohkan bagaimana para ulama dalam belajar dan mengajarkannya kepada murid-muridnya. Memang butuh waktu yang sangat panjang dengan metode belajar yang benar, untuk dapat menelaah sumber yang didapatkan. Terus mencari dalil dari Al-Quran dan dari Al-Hadist, dengan pemahaman yang telah diajarkan oleh para sahabatnya sebagai penentu bila ada perbedaan dengan pemahaman pada ulama setelah mereka.

Di dalam melangkah pada awal belajar, maka tentunya tetap berdoa, semoga Allah berikan jalan terbaik dalam belajar, sambil mencari guru yang tetap, yang terlihat mengajarkan dasar/dalil agama dari sumbernya, yang tidak hanya mengajarkan cerita atau asumsi atau pendapat pribadi yang penuh kefanatikan. Belajar dan teruslah belajar, semoga Allah berikan kepada kita hidayah dan taufiq-Nya.

Ilustrasi, sumber: merdeka.com


Apakah Mahram Diwajibkan Ketika Berhaji bagi Seorang Wanita?

Benar, wajib bagi seorang wanita untuk mengambil mahram dalam setiap safarnya, terlebih ketika safar untuk berhaji. Sehingga, bila tidak ada mahram, maka kewajiban haji gugur atas wanita tersebut.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ  . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ  اخْرُجْ مَعَهَا 

Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Setelah membawakan dalil-dalil, di antaranya hadis di atas, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalil-dalil dari Nabi (ﷺ) tersebut menunjukkan diharamkannya safar wanita tanpa mahram. Dan dalil-dalil tersebut tidak menyatakan satu safar pun sebagai pengecualian. Padahal safar untuk berhaji sudah masyhur dan sudah seringkali dilakukan. Sehingga tidak boleh kita menyatakan ini ada pengecualian dengan niat tanpa ada lafazh (pendukung). Bahkan para sahabat, di antara mereka memasukkan safar haji dalam hadits-hadits larangan tersebut. Karena ada seseorang yang pernah menanyakan mengenai safar haji tanpa mahrom, ditegaskan tetap terlarang.” (Syarh Al-‘Umdah, 2/174).

Memang ada perbedaan para ulama dalam masalah mahram ini, terkait boleh tidaknya seorang wanita tetap safar berhaji dengan tanpa mahram, namun digantikan dengan rombongan dari para wanita untuk menemaninya dalam safar haji.

Dengan pendapat yang ada, tetaplah lebih aman dan lebih berhati-hati untuk tetap mengambil mahram dalam safarnya. Bila tetap dipaksakan berangkat, mayoritas para ulama tetap menghukumi sah-nya haji atau umrah yang dilakukan, walaupun ada kesalahan dengan apa yang dilakukan.

Wallahu a`lam.

******
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

09 September 2024

FILE 453 : Larangan Membunuh Anak Disebabkan atau Takut Kemiskinan

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Larangan Membunuh Anak karena Takut Miskin

Disusun oleh:
Ust. Nurkholis bin Kurdian hafidhahullaah
 
  

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizqi kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. [al-Isrâ’/17:31]


PENJELASAN AYAT

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla-lah yang memberi keluasan rizqi kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sebagai ujian baginya, apakah dia mensyukurinya atau bahkan mengkufurinya? Dia juga yang menyempitkan rizqi bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagai cobaan pula baginya, apakah dia bersabar atau tidak? Itu semua merupakan pengetahuan dan kebijaksanaan Allah Azza wa Jalla atas hamba-Nya.

Jika kita sudah mengetahui bahwa kaya dan miskin itu adalah ujian dari Allah Azza wa Jalla semata, maka bukankah di balik ujian tersebut terdapat hikmah dan pahala yang besar? Terutama jika seorang hamba lulus dalam ujian tersebut? Pasti dia akan mendapatkan balasan yang besar dan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba tetap bersyukur dan bersabar dalam keadaan bagaimanapun dengan tetap melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Di antara larangan Allah Azza wa Jalla atas hambanya adalah membunuh anak-anaknya karena takut kemiskinan. Allah Azza wa Jalla melarang hal tersebut di dalam ayat ini karena kebiasaan bangsa Arab di zaman jahiliyah adalah membunuh anak-anak mereka karena takut miskin dan aib. Kemudian Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa yang menanggung dan memberi rizqi anak-anak mereka juga rizqi mereka adalah Allah Azza wa Jalla semata[1], (sudah jelas kiranya bahwa) bukanlah mereka yang memberi rizqi kepada anak-anak mereka, (akan tetapi Allah Azza wa Jalla-lah yang memberi rizki) bahkan (sebenarnya) mereka sendiri pun tidak mampu untuk memberi rizki kepada diri mereka sendiri. Maka, tidak pantas bagi mereka merasa keberatan (untuk membiarkan anak-anak mereka hidup bersama mereka).[2]


PERBANDINGAN AYAT DI ATAS DENGAN AYAT YANG SEMISALNYA

Di dalam ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena sebab kemiskinan. Kami-lah yang akan memberikan rizqi kepadamu dan juga kepada mereka. [al-An’âm/6:151]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan مِنْ إِمْلاقٍ (karena sebab kemiskinan). Hal ini menunjukkan bahwa orang tua dari anak tersebut dalam keadaan miskin, maka dari itu Allah Azza wa Jalla mendahulukan penyebutan orang tua dari pada anaknya di dalam firmannya نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ sebagai kabar gembira bagi orang tua yang miskin, bahwasanya kemiskinan itu akan diangkat oleh Allah Azza wa Jalla dengan memberi rizki kepada mereka dan kepada anak-anak mereka (sehingga mereka dilarang membunuh anaknya karena sebab kemiskinan tersebut).

Sedangkan di dalam ayat sebelumnya disebutkan خَشْيَةَ إِمْلاقٍ (karena takut terjatuh di dalam kemiskinan), ini menunjukkan bahwa orang tua dari anak tersebut dalam keadaan mampu dan kaya, kemudian alasan membunuh anaknya adalah karena takut terjatuh ke dalam kemiskinan. Maka dari itu Allah Azza wa Jalla mendahulukan penyebutan anak mereka dahulu kemudian para orang tua di dalam firmannya نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم sebagai penjelasan bagi mereka, bahwasanya yang memberi rizki anak-anak mereka adalah Allah Azza wa Jalla semata, bukan mereka. Jadi, kedua ayat ini memiliki dua makna yang berbeda, yaitu:

1. Orang tua dilarang membunuh anaknya meskipun dia dalam keadaan miskin.

2. Orang tua yang kaya yang takut miskin dilarang pula membunuh anaknya karena sebab itu.[3]


Ilustrasi, sumber: fitra.dev

KASIH SAYANG ALLAH AZZA WA ZALLA SANGAT BESAR TERHADAP HAMBA-NYA

Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Mahapengasih dan Mahapenyayang, dan di antara perwujudan kasih sayang-Nya terhadap hamba-Nya terlihat pada ayat di atas. Allah Azza wa Jalla melarang para orang tua membunuh anak mereka dengan alasan apapun kecuali yang telah dibenarkan syari’at. [4]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Karena itu, Allah Azza wa Jalla melarang orang tua membunuh anaknya, sebagaimana Dia juga mewasiatkan kepada orang tua untuk memberikan bagian harta warisannya kepada anaknya.[5]

Hal ini juga sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنْ السَّبْيِ قَدْ تَحْلُبُ ثَدْيَهَا تَسْقِي إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ فَقَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا لاَ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ فَقَالَ اللَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا. رواه البخاري ومسلم

Dari Umar bin Khattâb Radhiyallahu 'anhu berkata, “Telah datang tawanan perang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang perempuan di antara tawanan itu (mencari anaknya untuk disusuinya karena) air susunya telah memenuhi teteknya, kemudian ia menemukan anaknya di antara para tawanan, lalu diambinya anak tersebut dan diletakkan di atas perutnya dan disusuinya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, “Bagaimana menurut kalian, apakah mungkin seorang ibu ini melemparkan anaknya ke dalam api? Kami menjawab, ”Tidak mungkin karena dia mampu untuk tidak melemparkannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sungguh kasih sayang Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang ibu ini terhadap anaknya. [HR.Bukhâri dan Muslim][6]


MEMBUNUH ANAK KANDUNG ADALAH DOSA BESAR

Membunuh anak sendiri dengan cara apapun termasuk dosa besar. Baik membunuhnya itu setelah si anak dilahirkan ke dunia ini ataupun masih di dalam kandungan ibunya dengan cara aborsi atau yang lainnya. Pelakunya mendapat ancaman adzab yang pedih dari Allah Azza wa Jalla .

Pada akhir ayat di atas Allah Azza wa Jalla berfirman:

إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءًا كَبِيرًا

Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar [al-An`âm/6:151]

Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa membunuh anak kandung termasuk dosa besar, karena rasa kasih sayang dari hati hilang dan itu merupakan kezaliman yang besar terhadap anak mereka yang tidak bersalah dan berdosa.[7]

Syaikh Syinqîthy[8] rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan makna dari (penggalan ayat di atas), bahwa ketika beliau ditanya oleh `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu, ”Dosa apakah yang paling besar? Beliau menjawab, ”Jika kamu mengadakan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Dia bertanya lagi, ”Kemudian apalagi?” Beliau menjawab, ”Jika kamu membunuh anakmu karena takut (tidak bisa) memberi makan kepada mereka. Dia bertanya lagi, ”Kemudian apalagi?” Beliau menjawab, ”Jika kamu berzina dengan istri tetanggamu”, kemudian beliau membaca ayat yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah Azza wa Jalla dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya.[9]

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa membunuh anak kandung dengan tanpa sebab yang syar’i termasuk dosa besar.

Syaikh Sa’di rahimahullah berkata, “Jika mereka dilarang membunuh anak mereka karena sebab kemiskinan, maka membunuh anak mereka dengan tanpa ada sebab apapun atau membunuh anak orang lain lebih dilarang lagi.[10]


APAKAH ‘AZL TERMASUK YANG DILARANG ?

Para Ulama berbeda pendapat mengenai ‘azl ini, ada yang berpendapat haram, ada juga yang berpendapat makrûh dan ada pula yang berpendapat mubâh.

Imam al-Quthûbi rahimahullah berkata, “Orang yang berpendapat bahwa ‘azl itu dilarang berdalil dengan ayat di atas, karena al-Wa’du (mengubur atau membunuh anak) adalah menghilangkan sesuatu yang ada dan keturunannya, sedangkan ‘azl adalah upaya mencegah cikal bakal keturunan, maka sama halnya dengan al-Wa’du (mengubur atau membunuh keturunan).

Kemudian beliau juga berkata, ”Akan tetapi bedanya adalah membunuh anak itu lebih besar dosanya dari pada ‘azl, oleh karena itu sebagian Ulama kami (madzhab mâliki) berkata, ”Bisa difahami dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hadits Judzâmah Radhiyallahu 'anhu) :

ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيِّ

'Azl itu termasuk mengubur (anak) secara sembunyi” bahwasanya hukum ‘azl adalah makrûh bukan haram, dan ini adalah pendapat sebagian para sahabat dan selainnya”. [11]

Kemudian yang mengatakan ‘azl itu mubah (boleh) adalah pendapat sebagian para sahabat juga para tâbi`în dan para fuqahâ’.[12] Pendapat ini adalah pendapat yang kuat. Wallâhu a’lam.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jâbir Radhiyallahu 'anhu berkata:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَقَالَ إِنَّ لِى جَارِيَةً هِىَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ. فَقَالَ « اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا » رواه مسلم

Bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: "Sesungguhnya aku mempunyai budak perempuan, dia sebagai pembantu dan pemberiku minum, dan aku ingin menggauli dia, akan tetapi aku benci kalau dia hamil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab; ”Lakukanlah ’azl jika kamu menghendakinya, maka Allah Azza wa Jalla akan mentakdirkan bagi si budak perempuanmu (hamil atau tidaknya). [HR.Muslim].[13]

Begitu juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ماَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تَفْعَلُوْا مَا مِنْ نِسْمَةٍ كاَئِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقيِاَمَةِ إِلاَّ وَهِيَ كَائِنَةٌ. رواه البخاري

Tidak diwajibkan atasmu untuk meninggalkannya (‘azl), (karena) tidak ada makhluk yang bernyawa yang (diinginkan Allah Azza wa Jalla ) keberadaannya di muka bumi ini sampai hari kiamat, kecuali dia akan ada. [HR.Bukhâri][14]

Kedua hadits di atas dan yang semakna menunjukkan bahwa hukum ‘azl adalah mubâh (boleh).[15]

Sedangkan pada hadits Judzâmah Radhiyallahu 'anhu di atas, yang menyebutkan bahwa ‘azl itu wa’dun khafi adalah bantahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yahudi yang mengatakan bahwa ‘azl adalah wa’dus shugra, karena penamaan mereka ini mengandung arti wa’dun dzâhir (pembunuhan yang sebenarnya) meskipun kecil. Jadi, penyebutan Rasulullah ‘azl sebagai wa’dun khafi (menunjukkan bahwa 'azl) tidak sama hukumnya dengan wa’dun dzâhir. Maka hukum wa’dun khafi adalah mubah sedangkan hukum wa’dun dzâhir adalah haram. 

Penyebutan itu juga sebagai bantahan atas keyakinan mereka bahwa ‘azl adalah penentu tidak terjadinya kehamilan. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwasanya jika Allah Azza wa Jalla menghendaki terjadinya kehamilan meskipun dengan ‘azl, maka kehamilan itu akan terjadi. Jika Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki, maka kehamilan itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ‘azl itu bukanlah wa’dun hakîki (pembunuhan yang sebenarnya) oleh karena itu disebut sebagai wa’dun khafi.[16]


PELAJARAN DARI AYAT

  1. Diharamkan membunuh anak yang sudah lahir maupun yang masih di dalam kandungan ibunya.
  2. Membunuh anak kandung sendiri karena malu atau takut miskin adalah termasuk dosa besar apalagi membunuhnya tanpa ada alasan, atau bahkan membunuh anak orang lain, maka hal ini sangat dilarang.
  3. Kasih sayang Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
  4. Terdapat kabar gembira bagi orang tua yang miskin maupun yang takut miskin, bahwasanya Allah Azza wa Jalla yang memberi rizki mereka semua, maka hendaknya mereka tetap bersabar dan tidak membunuh anak kandung mereka.
  5. Hukum ‘azl adalah boleh.


MARAJI’

  1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, maktabah ulûm wal hikam, Madînah. Cetakan ke-lima th.1424 H/2003M.
  2. Adhwâ-ul Bayân fî idlâhil-qur’ân bil-qur’ân, Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi, maktabah dârul-fikr Beirut – Lebanon. Cetakan th.1415 H/th.1995 M.
  3. Tafsîrul-qur’ânil-adzîm, al-Hâfidz Abul fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârut-Taibah Riyâdl-KSA. Cetakan kedua th.1417 H/ th.1997 M.
  4. Al-Jâmi’ li-Ahkâmil Qur’ân, Abu `Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Anshâri al-Qurthûbi, Dâr Alâmul-kutub – Riyâdl–KSA. Cetakan th.14 23 H/th.2003 M.
  5. Al-Bahrul Muhîth, Muhammad bin Yûsuf Abu Hayyân al-Andâlusi, Dârul-Kutub al-Ilmiyyah – Beirut. Cetakan pertama th.1422 H/ th.2001 M.
  6. Taisîrul karîmirrahmân fî tafsîri kalâmil Mannân, `Abdurrahmân bin Nâshir bin as-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut. Cetakan pertama tahun 1420 H- tahun 2000 M.
  7. Shahîh Bukhâri, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri. Tahqîq Dr.Mushtafa Dibul bugha. Dâr Ibnu Katsîr Beirut. Cetakan 3. Tahun 1407 H – 1987 M.
  8. Shahîh Muslim, Abul-Husein Muslim bin al-Hajjâj an-Naisâbûri, Dârul-Jîl dan Dârul-Auqâf al-jadîdah– Beirut.
  9. Fathul Bâri sarhu shahîhil Bukhâri. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalâni. Dârul ma’rifah – Beirut.
  10. Fatwa Lajnah Dâ’imah al-Majmû’ah al-Ulâ. al-Lajnah Dâ’imah Lil Buhûts al-Ilmiyyah Wal Iftâ’.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/Jumadil Tsani 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______

Footnote

[1]. Aisarut tafâsîr (Juz 3/Hal 191).

[2]. Tafsîr as-Sa’di (Juz 1/Hal 279) dengan merubah dhamîr mukhâtabîn ke ghâibîn untuk menyelaraskan siyâqul kalâm.

[3]. Tafsîr Bahrul Muhîth (Juz 4/Hal 251-252).

[4]. Seperti jika orang tua tersebut sebagai penguasa suatu negeri kemudian anaknya murtad maka boleh bagi dia untuk membunuh anaknya.

[5]. Tafsir Ibnu katsîr (Juz 5/Hal 71).

[6]. Shahîh Bukhâri (Juz 5/Hal 2235). Shahîh Muslim (Juz 8/Hal 97).

[7]. Tafsir as-Sa’di (Juz 1/Hal 457).

[8]. Adhwâ’ul bayân (Juz 7/Hal 144).

[9]. Shahîh Bukhâri (Juz 4/Hal 1784). (QS. al-Furqân/26:68).

[10]. Tafsîr as-Sa’di (Juz 1/Hal 279)

[11]. Tafsîrul-Quthûbi (Juz 7/132).

[12]. Tafsîrul-Quthûbi (Juz 7/132).

[13]. Shahîh Muslim (Juz 4/Hal 160).

[14]. Shahîh Bukhâri (Juz 4/Hal 1516).

[15]. Fatwa lajnah dâ’imah (Juz 19/Hal 309).

[16]. Fathul Bâri (Juz 9/Hal 309) dengan diringkas.


******

Sumberalmanhaj.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin