Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Apa Dalil Aturan Jahr dan Sirr dalam Shalat 5 Waktu?
Pertanyaan:
Maaf ustadz, saya penasaran apakah aturan jahr dan sirr dalam shalat 5 waktu itu ada dalilnya.
Kenapa bacaan shalat Subuh, Maghrib dan Isya dibaca jahr (keras) sedangkan shalat zuhur dan ashar dibaca sirr (lirih) ? Apakah ada dalilnya?
Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Dalil tentang aturan jahr dan sirr dalam shalat 5 waktu terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan juga ijma’ ulama.
Ilustrasi, sumber: viva.co.id |
Dalil al-Qur’an
Adapun dalil al-Qur’an, berupa dalil umum untuk meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk meneladani beliau dalam masalah shalat. Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)
Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini beliau mengatakan:
هذه الآية الكريمة أصل كبير في التأسي برسول الله صلى الله عليه وسلم في أقواله وأفعاله وأحواله
“Ayat yang mulia ini adalah landasan yang agung tentang wajibnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam perkataan beliau, perbuatan beliau, dan sifat-sifat beliau.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/483)
Dalil as-Sunnah
Sedangkan dalil dari as-Sunnah, sangat banyak sekali. Rinciannya sebagai berikut:
Pertama: Shalat Maghrib
Hadits dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Thur pada shalat Maghrib” (HR. Muslim no. 463).
Hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa, ia berkata,
إن أم الفضل سمعته ، وهو يقرأ : { والمرسلات عرفا } . فقالت : يابني ، والله لقد ذكرتني بقراءتك هذه السورة ، أنها لآخر ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ بها في المغرب
“Bahwa Ummul Fadhl mendengarnya membaca surat wal mursalaati ‘urfaa. Kemudian Ummul Fadhl berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, engkau telah mengingatkan aku dengan bacaan surat ini, bahwa ini adalah surat yang dibaca ketika shalat maghrib terakhir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam‘.” (HR. al-Bukhari no.763, Muslim no.462)
Dalam hadits-hadits di atas secara tegas menunjukkan bahwa para sahabat mendengar bacaan al-Qur’an Nabi dalam shalat Maghrib. Ini menunjukkan bahwa beliau membacanya dengan jahr (keras).
Kedua: Shalat Isya
Hadits dari al-Barra’ bin Adzib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
سمعتُ النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ ” والتينِ وَالزيتُون ” في العشاء ، وما سمعت أحداً أحسنَ صوتاً منه
“Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “Wat tiini waz zaitun” dalam shalat Isya. Tidak pernah aku mendengar orang yang lebih bagus suaranya melebihi beliau.” (HR. al-Bukhari no.733, Muslim no.464)
Hadits ini juga menunjukkan bahwa para sahabat mendengar bacaan al-Qur’an Nabi dalam shalat Isya. Ini menunjukkan bahwa beliau membacanya dengan jahr (keras).
Ketiga: Shalat Shubuh
Hadits dari Quthbah bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أنه صلى مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم الصبحَ . فقرأ في أولِ ركعةٍ: والنخلُ باسقاتٍ لها طلعٌ نضيدٌ. وربما قال: ق
“Ia pernah shalat subuh bersama bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pada rakaat pertama membaca ayat “baasiqaatin lahaa thal’un nadhiid” (surat Qaaf ayat 10).” (HR. Muslim no. 457)
Hadits dari ‘Amr bin Harits radhiyallahu ‘anhu berkata,
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat shubuh membaca “idzasy syamsu kuwwirat” (surat at-Takwir).” (HR. an-Nasa’i dalam ash-Shughra no.941, dengan sanad Hasan)
Keempat dan Kelima: Shalat Zuhur dan Ashar
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,
كنا نحزرُ قيامَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الظهرِ والعصرِ . فحزرنا قيامَه في الركعتين الأوليين من الظهر قدرَ قراءةِ الم تنزيل – السجدة . وحزرنا قيامَه في الأخريين قدرَ النصفِ من ذلك وحزرنا قيامه في الركعتين الأوليين من العصرِ على قدرِ قيامِه في الأخريين من الظهرِ وفي الأخريين من العصرِ على النصفِ من ذلك . ولم يذكر أبو بكرٍ في روايته : الم تنزيل . وقال : قدر ثلاثين آيةً
“Kami mengira-ngira panjang shalat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika shalat zuhur dan ashar.
Kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat zuhur yaitu sekadar bacaan surat Alif laam miim tanzil (as-Sajdah). Dan kami mengira-ngira dua rakaat terakhir beliau sekitar setengah dari itu.
Dan kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat ashar itu seperti dua rakaat akhir beliau pada shalat zuhur. Dan dua rakaat terakhir beliau pada shalat ashar itu sekitar setengahnya dari itu."
Dalam riwayat Abu Bakar tidak disebutkan Alif laam miim tanzil, namun ia berkata: “sekitar 30 ayat.” (HR. Muslim no.452)
Perkataan Abu Sa’id “kami mengira-ngira” karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak memperdengarkan bacaannya (dibaca sirr). Sehingga untuk mengetahui panjang-pendek bacaannya adalah dengan mengira-ngira.
Dalam hadits dari Khabbab bin al-Arat radhiyallahu ‘anhu, ada yang bertanya kepada beliau:
أكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في الظهر والعصر ؟ قال : نعم . قلنا : بمَ كنتم تعرفون ذلك ؟ قال : باضطِرَاب لحيتَهَ
“Apakah pada shalat zuhur dan ashar Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat al-Qur’an? Khabbab menjawab: Iya. Orang tadi bertanya lagi: Bagaimana kalian mengetahuinya? Khabbab menjawab: Dari gerakan jenggot beliau.” (HR. al-Bukhari no.713)
Hadits ini juga secara tegas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeraskan suara bacaan Al Qur’an dalam shalat zuhur dan ashar.
Dalil Ijma’
Aturan bahwa bacaan dalam shalat Maghrib, Isya, dan Subuh adalah jahr (keras) sedangkan dalam shalat zuhur dan ashar adalah sirr (lirih) ini merupakan kesepakatan para ulama.
An-Nawawi rahimahullah
فَالسُّنَّةُ الْجَهْرُ فِي رَكْعَتِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَفِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ ، وَالْإِسْرَارُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَثَالِثَةِ المغرب ، والثالثة وَالرَّابِعَةِ مِنْ الْعِشَاءِ ، وَهَذَا كُلُّهُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ مَعَ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمُتَظَاهِرَةِ عَلَى ذَلِكَ
“Yang disunnahkan, mengeraskan bacaan dua rakaat pertama dalam shalat subuh, maghrib dan isya serta dalam shalat Jum’at.
Dan melirihkan bacaan dalam shalat zuhur dan ashar, juga rakaat ketiga pada shalat maghrib, serta rakaat ketiga dan keempat pada shalat isya.
Ini semua adalah kesepakatan kaum muslimin berdasarkan hadits-hadits yang shahih yang lugas.” (Al-Majmu‘, 3/389)
Namun perlu dipahami bahwa aturan di atas hukumnya sunnah. Sehingga andaikan bacaan dalam shalat maghrib, isya dan subuh, tidak dibaca jahr oleh imam, hukumnya makruh namun shalatnya tetap sah. Demikian juga jika bacaan dalam shalat zuhur atau ashar dibaca jahr.
Ibnu Qudamah rahimahullah
وَيُسِرُّ بِالْقِرَاءَةِ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَيَجْهَرُ بِهَا فِي الْأُولَيَيْنِ مِنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ، وَفِي الصُّبْحِ كُلِّهَا … ؛ وَالْأَصْلُ فِيهِ فِعْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَقَدْ ثَبَتَ ذَلِكَ بِنَقْلِ الْخَلَفِ عَنْ السَّلَفِ ، فَإِنْ جَهَرَ فِي مَوْضِعِ الْإِسْرَارِ ، أَوْ أَسَرَّ فِي مَوْضِعِ الْجَهْرِ ، تَرَكَ السُّنَّةَ ، وَصَحَّتْ صَلَاتُهُ
“Bacaan dalam shalat zuhur dan ashar adalah lirih. Bacaan dalam dua rakaat pertama shalat maghrib, isya, dan seluruh rakaat shalat subuh adalah keras … Dan landasan dari hal ini adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah shahih penukilannya dari para ulama khalaf maupun dari ulama salaf. Jika seseorang membaca jahr (keras) pada tempat yang seharusnya sirr (lirih), atau membaca lirih pada tempat yang seharusnya keras, maka ini menyelisihi sunnah, namun masih sah shalatnya.” (Al-Mughni, 2/270)
Adapun makmum, membaca dengan bacaan lirih dan makruh mengeraskannya.
Sedangkan orang yang shalat sendirian, boleh memilih antara mengeraskan bacaan atau melirihkannya.
Ibnu Balban mengatakan:
ويكره لمأموم, ويخير منفرد و نحوه
“Dimakruhkan bagi makmum untuk mengeraskan suara. Dan orang yang shalat sendirian atau semisalnya, boleh memilih (antara mengeraskan bacaan atau melirihkannya).” (Akhshar al-Mukhtasharat Ibnu Balban ma’a Hasyiah Ibnu Badran, hal. 112)
Wallahu a’lam. Semoga penjelasan ini dapat dipahami.
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !