Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du .... . . .
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du .... . . .
Pinjaman Bank, Bukan Uang Riba?
Dijawab Oleh:
Ustadz Ammi Nur Baits hafidhahullaah
Dijawab Oleh:
Ustadz Ammi Nur Baits hafidhahullaah
Pertanyaan:
Bagaimana hukum usaha yang modalnya hasil pinjaman bank?
Ketika
usaha ini berkembang, apakah hasilnya haram?
Termasuk rumah KPR bank,
apakah berarti rumah itu haram?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah,
Amma ba’du,
Pertama, kita perlu memahami pengertian harta riba.
Riba secara bahasa artinya tumbuh.
Allah berfirman dalam al-Qur’an tentang keutamaan sedekah,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah membinasakan riba dan menumbuhkan sedekah.
(QS. Al-Baqarah [2]: 276)
Karena itu, sebagian ulama mendefinisikan riba dengan,
فضل مال بلا عوض في معاوضة مال بمال
Kelebihan harta tanpa ada ganti hasil dalam transaksi komersial antara harta dengan harta (Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/169).
Pengertian riba di atas, mencakup riba fadhl, yang bentuknya
penambahan dalam tukar menukar komoditas ribawi, maupun riba nasiah,
dalam bentuk penambahan yang disyaratkan untuk mendapatkan penundaan
pembayaran utang.
Uang Pinjaman Bank
Ketika ada orang yang meminjam uang di bank, dari sudut pandang
nasabah, hakekatnya dia tidak mengambil uang riba. Namun dia mengambil
uang dari pihak yang melakukan transaksi riba.
Sebagai ilutrasi,
Di masa awal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah,
orang Yahudi menjadi penguasa perekonomian Madinah. Mereka mendominasi
pasar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melakukan
transaksi dengan mereka. Ada yang jual beli, dan bisa dipastikan, ada
juga transaksi utang piutang.
Salah satu karakter orang Yahudi, mereka suka mengambil riba dan
makan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah ceritakan dalam
al-Quran,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
“Disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil.”
(QS. An-Nisa' [4]: 160 – 161)
Ketika kaum muslimin berutang kepada orang Yahudi, mereka tidak
disebut mengambil harta riba yang statusnya haram. Tapi mereka mengambil
harta dari orang yang melakukan transaksi riba.
Aisyah radhiyallahu ’anha menceritakan,
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ لأَهْلِهِ
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju
perang beliau masih digadaikan kepada orang Yahudi sebagai jaminan utang
tiga puluh sha’ gandum untuk nafah keluarganya.”
(HR. Bukhari 2916, Nasai 4668, dan yang lainnya)
Demikian pula ketika seorang muslim pinjam uang di bank, uang yang
dia terima halal. Bagi dia sebagai peminjam, ini bukan uang riba.
Meskipun dari bank, ada kemungkinan uang itu adalah uang riba.
Karena itu, usaha dan hasil yang dia dapatkan halal. Karena modal yang dia gunakan halal.
Bukan Memotivasi Pinjam Bank
Tulisan ini sama sekali bukan memotivasi pembaca untuk mencari
pinjaman dari bank. Meminjam di bank, berarti melakukan transaksi riba
dengan bank. Karena pada saat meminjam (uang dari) bank, dia menyetujui nota
kesepakatan adanya penambahan ketika pelunasan (bunga). Dan itu riba.
Inilah yang menjadi masalah ketika seseorang meminjam uang di bank
atau rentenir. Dia menyepakati transaksi riba. Meskipun riba itu belum
diberikan pada saat dia menerima pinjaman, tapi dia telah berkomitmen,
dirinya akan memberikan riba ketika pengembalian.
Orang yang melakukan kesepakatan demikian, mendapat ancaman hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang
memakan riba, nasabah riba, juru tulis dan dua saksi transaksi riba.
Nabi bersabda, “Mereka itu sama.”
(HR. Muslim 4177)
Ketika seseorang meminjam uang di bank, dia melakukan dua kesalahan yang diancam dalam hadis di atas,
Pertama, ketika meminjam, dia menyepakati transaksi riba.
Kedua, ketika mengembalikan, dia memberi makan riba.
Kemudian, artikel ini hanya meluruskan pemahaman bahwa uang yang
didapat dari pinjaman bank adalah uang riba. Sehingga turunan dari uang
ini, semuanya haram. Padahal tidak demikian. Justru di posisi nasabah
yang meminjam, dia akan memberikan riba kepada bank. Bukan yang menerima
riba.
Contoh Salah Paham
Salah satu contoh pengaruh kesalah-pahaman terkait pinjaman bank, ada
seorang anak yang merasa resah dengan kehalalan nafkah yang diberikan
ortunya, gara-gara ortunya berbisnis dengan modal dari bank. Si anak
merasa, uang ortunya dan semua hasil bisnis ortunya adalah riba, karena
hasil dari pinjaman bank.
Ada juga yang merasa bingung dengan status rumah KPR. Apakah itu
berarti rumah haram, tidak boleh ditempati juga tidak boleh dijual.
Karena dia beli dengan dana pinjaman bank.
Bagi yang Sudah Terlanjur
Bagi anda yang telah terlanjur pinjam bank, baik untuk modal maupun
untuk konsumtif, seperti rumah dan kendaraan, sebisa mungkin agar segera
dilunasi, dan komitmen untuk tidak semakin memperparah bunganya (serta tidak mengulangi pinjam bank lagi -Tambahan sa'ad). Karena
ini berarti semakin banyak memberi makan riba kepada bank.
Allahu a’lam.
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !