Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam Walhamdulillaah,
Wa ba'du
....
Tiga Bentuk Penyalahgunaan Zakat
Disusun oleh
Ust. Muhammad Yassir, Lc, MA
Disusun oleh
Ust. Muhammad Yassir, Lc, MA
Menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) menuai berbagai masalah. Banyak aturan zakat yang tidak mereka pahami, sehingga melakukan berbagai praktek yang sejatinya melanggar aturan syariat zakat. Termasuk LAZ di bank syariah melalui program qardhul hasan.
Pelaksanaan ibadah zakat melibatkan tiga kelompok besar. Yakni wajib
zakat (pemilik harta), pengelola zakat (amil) dan penerima zakat (ada
delapan kelompok). Juga prosesnya, yakni sampainya harta dari wajib
zakat ke pihak yang berhak menerimanya. Mengingat banyak pihak terlibat,
plus proses yang dilaluinya, tidak bisa dipungkiri kemungkinan adanya
kekeliruan. Siapa pun yang memahami perkara ini tidak boleh tinggal
diam, tetapi harus berusaha turut memperbaikinya.
Tulisan ini membahas beberapa kekeliruan praktek pelaksanaan zakat.
1. Amil Zakat Tidak Ditunjuk Pemerintah
Tugas pokok amil adalah mengambil zakat, menjaga dan menyalurkannya.
Banyak syarat yang harus dipenuhi amil. Di antaranya, orang Muslim,
mukallaf (baligh dan berakal), amanah, dan paham hukum-hukum zakat.
Namun syarat terpenting bagi amil yang sah menurut syar’i adalah ia
harus ditunjuk pemerintah. Hal ini karena amil berhak mengambil sebagian
harta wajib zakat secara paksa bila wajib zakat menolak membayar zakat.
Kemampuan “mengambil paksa” ini hanya dimiliki pemerintah. Oleh karena
itu panitia zakat yang tidak ditunjuk oleh pemerintah tidak bisa
dikategorikan amil zakat secara syar’i.
Pada Ramadhan biasanya menjamur panitia penerima zakat. Mereka
mendedikasikan diri sebagai penerima zakat harta maupun zakat fitrah.
Panitia-panitia itu muncul atas inisiatif sendiri atau ditunjuk
yayasan/takmir masjid, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan
pemerintah. Bolehkah panitia zakat semacam itu?
Boleh-boleh saja. Asalkan dipahami bahwa semua personel panitia zakat
bukan berstatus amil. Mereka hanyalah wakil pihak wajib zakat.
Konsekuensinya, wakil tidak berhak memperoleh bagian zakat. Hanya amil
yang berhak. Panitia zakat hanya boleh meminta upah dari wajib zakat
untuk jasa menyalurkan zakat, dan upah itu bukan diambil dari harta
zakat.
Kesalahan fatal ini banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Yakni
panitia yang bukan ditunjuk resmi pemerintah menganggap pihaknya sebagai
amil zakat. Mereka pun merasa berhak mengambil sebagian harta zakat
yang dititipkan kepadanya.
Kaitan dengan hal itu, lembaga keuangan syariah yang menampung zakat
pada dasarnya juga berstatus bukan amil. Posisinya mirip panitia
penampung zakat. Konsekuensinya, Lembaga Amil Zakat (LAZ) bank syariah
tidak berhak memaksa nasabah membayar zakat melaluinya. Apalagi
mengambil zakat dari tabungan nasabah tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Lebih dari itu, petugas LAZ juga tidak diperkenankan mengambil bagian
dari harta zakat, meski berbentuk kafalah.
Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala telah menentukan kelompok orang yang berhak menerima zakat. Allah berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin,
amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan
budak, untuk melunasi orang berutang (ghorim), untuk jihad fi
sabilillah, dan untuk ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal untuk
pulang)” (QS. At-Taubah [9]: 60).
Proses penyaluran zakat untuk empat kelompok pertama (fakir, miskin,
amil dan muallaf) dengan cara menyerahkan zakat kepada mereka dan
memberikan hak kepemilikan penuh pada harta tersebut untuk digunakan
sesuai keinginan mereka. Sedangkan untuk empat kelompok terakhir (budak,
ghorim, fi sabilillah, dan ibnu sabil), zakat diserahkan sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Contoh, orang terlilit utang, zakat disalurkan kepadanya hanya untuk
melunasi utangnya. Tidak boleh menggunakan zakat untuk keperluan lain
(lihat Ibn Qudamah, Al-Mughni 4/130). Intinya, zakat harus diserahkan
kepada pihak yang berhak untuk digunakan mereka, tanpa mewajibkan
penerima untuk mengembalikannya di kemudian hari kepada amil atau wajib
zakat.
Akhir-akhir ini muncul pendapat lain. Pendapat ini menyatakan, boleh
meminjamkan dana zakat kepada orang yang membutuhkan uang. Alasannya
dengan qiyas (analogi) terhadap ghorim (orang yang terlilit utang).
Pendapat ini mengatakan, apabila orang terlilit utang berhak menerima
zakat, orang yang butuh uang juga berhak mendapat pinjaman dari uang
zakat.
Kalau kita perhatikan, pendapat tersebut keliru dan bertentangan dengan aturan penyaluran zakat, karena tiga alasan. Yakni:
- Jika orang itu butuh uang karena dia miskin, seharusnya dia berhak mendapat bagian zakat, bukan dipinjami uang.
- Jika orang itu butuh uang karena tidak mampu melunasi utangnya, seharusnya dia berhak mendapatkan zakat untuk melunasi utangnya, dan bukan butuh pinjaman. Karena jika diberikan dalam bentuk pinjaman yang uangnya dari zakat, tidak ada gunanya. Sementara dia juga masih dililit utang. Ini seperti gali lubang tutup lubang.
- Jika dia bukan orang miskin, namun butuh uang untuk kebutuhan primer atau konsumtif lain, sejatinya dia tidak berhak menerima zakat. Sehingga menyalurkan zakat kepadanya, walau berbentuk pinjaman, adalah sebuah kesalahan, karena mengakibatkan zakat tertunda sampai ke tangan yang berhak.
Beberapa LAZ bank syariah menyalurkan dana zakat melalui program
bernama qardhul hasan (pinjaman lunak) kepada yang berhak menerima
zakat seperti fakir, miskin, dan lainnya. Hanya konsekuensinya, penerima
dana qardhul hasan itu harus mengembalikan pinjaman itu. Meskipun dalam
prakteknya sebagian dari mereka tidak mengembalikannya.
Pertama, bila investasi diberikan ke golongan yang berhak menerima zakat, seperti fakir, miskin, dll.
Dalam hal ini, para ahli fikih telah menyatakan keabsahannya dalam kitab
fikih mereka. Karena, ketika orang yang berhak telah menerima zakat,
otomatis harta tersebut menjadi milik dia sepenuhnya. Terserah dia untuk
memanfaatkannya. Untuk membeli barang kebutuhan pokok, atau untuk usaha
produktif. Mereka tidak harus dibebani tanggung jawab
mengembalikannnya. Mereka berhak menerimanya, dan dana itu bukan
pinjaman lunak, tetapi murni sedekah.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan mengeluarkan zakat dari
sebagian harta kaum Muslimin. Berarti dalam harta terdapat hak-hak orang
lain yang harus ditunaikan. Syariat Islam telah menentukan waktu
pemberian zakat sesuai jenis harta yang wajib dizakati. Oleh sebab itu,
yang seharusnya dilakukan orang bertakwa adalah bersegera menunaikan zakat.
Atas dasar ini, wajib zakat tidak berhak menunda pembayaran zakatnya
dengan alasan untuk diinvestasikan atau dikembangkan lebih dulu sebagai
modal usahanya.
Terlebih bila ditinjau dari sisi lain, investasi pasti mengalami
pasang-surut, dan ketidakpastian. Bisa untung dan bisa buntung, yang
bisa-bisa zakatnya malah tidak sampai ke yang berhak menerimanya.
Ketiga, investasi yang dilakukan pemerintah atau lembaga amil zakat syar’i.
Sebelumnya kami ingatkan, LAZ yang kami maksud adalah lembaga yang
sesuai ketentuan syariah. Artinya, LAZ yang ditunjuk pemerintah
sebagaimana penjelasan sebelumnya. Pemerintah atau LAZ adalah jembatan
penghubung antara pemberi zakat dan penerima zakat. Karenanya, tanggung
jawab mereka adalah memegang amanah menyalurkan zakat kepada yang
berhak. Salah satu bentuk amanah itu adalah tidak menggunakan harta
zakat kecuali pada tempat penyaluran yang telah ditetapkan dalam
Al-Quran.
Sepengetahuan kami, kajian tentang “Investasi Pemerintah Terhadap Harta Zakat” belum pernah dibahas ulama dahulu, karena hal ini baru
dilakukan di pemerintah zaman sekarang. Kesimpulan ini berdasarkan
telaah kami terhadap kitab yang secara khusus membahas masalah zakat.
Semua pendapat, baik yang membolehkan maupun yang tidak, dinukil dari
pendapat ulama zaman sekarang.
Untuk itu, kami mengajak para amil zakat untuk merenungkan: harta
zakat yang sedang ditangani LAZ bukanlah harta pribadi. Bukan pula harta
warisan untuk dikembangkan dengan harapan mendapat untung. Ini harta
amanah yang dibebankan Allah Ta’ala melalui tangan kita. Lantas, dengan
alasan apa kita merasa berat melepaskannya kepada yang berhak? Bisa jadi
alasan mashlahat yang kita buat hanyalah alasan sepihak. Sementara
pihak lain (penerima zakat) lebih senang jika zakatnya segera sampai ke
tangan yang berhak menerimanya.
Oleh karena itu, pendapat yang benar, zakat harus disegerakan sampai ke
yang berhak menerimanya. Pemerintah/amil hanya pemegang amanah. Mereka
tidak boleh menunda penyaluran zakat dengan alasan diinvestasikan atau
dikembangkan. Pendapat inilah yang sesuai dengan maksud disyariatkan
ibadah zakat. Yaitu mensucikan harta dengan cara menyalurkannya kepada
yang berhak. Wallahu A’lam.
Jika demikian aturan yang berlaku bagi pemerintah dan LAZ resmi,
bagaimana dengan LAZ tidak resmi yang menjamur belakangan ini?
Sebagaimana kita pahami, status LAZ tidak resmi hanyalah wakil wajib
zakat. Tidak lebih dari itu. Posisi wakil seharusnya lebih lemah
dibandingkan amil. Karena itu mereka sama sekali tidak berhak menahan
harta zakat, walaupun dengan alasan mengembangkan dana zakat.
.
.
Salurkan Sendiri, Lebih Baik!
Agar terhindar dari penyalahgunaan zakat, kami menganjurkan para
wajib zakat untuk menyalurkan zakat secara langsung kepada yang berhak.
Beberapa alasannya antara lain:
- Boleh menyalurkan zakat secara pribadi, baik berupa emas, perak, zakat perniagaan atau uang. Tidak ada kewajiban menyerahkan melalui amil (Al-Majmu’: 6/137).
- Kinerja LAZ di Indonesia belum optimal. Praktek beberapa LAZ yang mengambil bagian dana zakat sebagai kafalah, padahal mereka bukan amil, sebagai buktinya.
- Ada beberapa bentuk kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian LAZ, seperti menyalurkan zakat bukan pada tempatnya. Contoh, digunakan untuk membangun rumah sakit atau sekolah.
- Jumlah orang miskin di Indonesia masih banyak. Mereka berhak diutamakan menerima zakat.
Ada beberapa keuntungan bila menyalurkan zakat secara langsung, di antaranya (lihat Syarh Mumti’: 6/205): (1) Mendapatkan pahala lebih banyak, karena ada usaha mencari fakir-miskin dan menyalurkannya dengan tenaga sendiri; (2) Lebih yakin sampainya zakat ke penerimanya; (3) Menampik su’uzhon (buruk sangka) yang mengira orang kaya tidak mengeluarkan zakat; dan (4) Untuk lebih menumbuhkan rasa syukur.
Namun kami tidak menganjurkan menggunakan open house untuk
menyalurkan zakat. Selain menimbulkan keributan, kecelakaan dan
kekacauan, juga diragukan sampainya zakat ke yang berhak. Kita tidak
tahu orang yang datang mengantre zakat adalah orang yang berhak menerima
zakat atau bukan. Jalan keluarnya, data fakir miskin, datangi rumahnya
dan serahkan zakat kita ke mereka.
Semoga menjadi pencerahan bagi pelaksanaan ibadah zakat yang sesuai syariah.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !