Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam Walhamdulillaah,
Wa ba'du
....
Bolehkah Ada Alas Ketika Bersujud ?
Pertanyaan:
Ustadz, saya mau bertanya.
Ustadz, menurut yang sudah saya ketahui
bahwa sujud dalam shalat bukan berarti kulit kita yang bersentuhan
dengan lantai. Jadi kalau pakai cadar tidak apa-apa, tanpa harus melepas
cadarnya. Namun saya tidak bisa menjelaskan masalah ini.
Pendapat yang
rajih, bagaimana ustadz ? Jazakumullahu khoiron.
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan, kami simpulkan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah sebagai berikut:
Para Ulama
membagi penghalang yang menghalangi antara anggota sujud dengan tempat
sujud ada dua macam:
Pertama: Penghalang yang melekat di badan orang yang melakukan
shalat, seperti baju yang sedang dipakai, sorban yang sedang dipakai dan
yang semisalnya, maka bersujud diatasnya merupakan hal yang makruh jika
tidak ada alasan mendesak untuk melakukannya.
Berdasarkan hadits Anas
bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang mengatakan, “Dahulu kami shalat bersama
Rasûlullâh di saat panas yang menyengat sehingga apabila salah seorang
di antara kami tidak mampu meletakkan keningnya di tanah (karena terlalu
panas) maka dia meletakkan pakaiannya dan sujud di atasnya.
[HR.
al-Bukhâri no: 385, dan Muslim, Syarh an-Nawawi, Khalil ma’mun Syiha,
V/123, no. 1406]
Perkataan Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu : ”Apabila salah seorang
di antara kami tidak mampu“, menunjukan bahwa hal tersebut makruh
kecuali apabila ada kebutuhan.
Kedua: Penghalang yang (menghalang muka dari tempat sujud itu-red)
terpisah dari badan orang yang melakukan shalat, maka sujud di atasnya
merupakan hal yang dibolehkan karena telah jelas riwayat bahwa
Rasûlullâh (pernah) shalat diatas alas (khumrah) yang hanya
cukup untuk meletakkan dahi dan telapak tangannya. [HR. al-Bukhâri no:
381 dan Muslim, Syarh an-Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha, V/167, no. 1502]
Kesimpulannya menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah, penghalang antara anggota sujud dengan tempat sujud ada
tiga macam:
- Penghalang yang merupakan anggota sujud seperti tangan, maka tidak boleh bersujud di atas tangannya.
- Penghalang yang melekat dengan anggota badan (seperti pakaian yang sedang dipakai), maka makruh bersujud di atasnya, namun sah sujudnya.
- Penghalang yang terpisah dengan anggota sujud, maka boleh bersujud di atasnya.
Akan tetapi para Ulama menyebutkan bahwa makruh hukumnya
mengkhususkan sesuatu hanya untuk alas kening saja dalam bersujud,
karena tasyabbuh (menyerupai) dengan kaum Syiah Rafidhah. [Lihat Syarhul mumti’, III, hal. 114-115, Dar Ibnu al-Jauzi, cet. I, 1423 H]
Sebagai tambahan, aurat wanita merdeka dalam shalat (baca: bukan di luar shalat) sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, telapak tangan dan telapak kakinya. Dengan demikian, wanita yang shalat, pada asalnya tidak tertutup wajahnya.[1]
Sebagai tambahan, aurat wanita merdeka dalam shalat (baca: bukan di luar shalat) sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, telapak tangan dan telapak kakinya. Dengan demikian, wanita yang shalat, pada asalnya tidak tertutup wajahnya.[1]
Namun jika dia shalat di tempat yang ada kaum lelaki yang bukan
mahramnya, maka dia tetap menutup wajahnya dengan menggunakan cadar.
Hanya saja, cadar ini dipakai pada saat berdiri dan duduk. Adapun ketika
sujud, cadar itu harus disingkap agar wajahnya bisa menyentuh tempat
sujud tanpa terhalang oleh cadar.[2]
Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat asy-Syarhu al-Mumti’, 2/160-161 op.cit, tentang syarat menutup aurat dalam shalat
[2] Lihat Majmu’ Fatawa beliau 12/297-298Sumber: almanhaj.or.id
******
Rumah dan Tempat Kerja di Dua Kota yang Berjauhan,
Bagaimana Dengan Sholatnya ?
Pertanyaan :
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.
Mau tanya persoalan terkait safar. Saya tinggal di Kota A berjarak sekitar 200 km dari Kota B. Namun saya kerja di Kota B (nge-kos) dan setiap Jum’at saya pulang ke kota A, senin pagi berangkat lagi kerja di Kota B, begitu seterusnya. Apakah saya dikatakan safar dan harus meng-qoshor sholat wajib selama kerja di kota B dalam waktu yang tidak bisa ditentukan ?
*nb: saat ini saya sudah 8 bulan kerja di kota B.
Dijawab oleh Ust. Rochmad Supriyadi, Lc حفظه الله تعالى
Wa alaikumussalam warohmatullah wa barokatuh.
Jika ia telah menetap di kota B dengan kehidupan yang biasa
sebagaimana halnya di rumah sendiri, maka ia di hukumi sebagai MUQIM,
BUKAN sebagai MUSAFIR.
Sehingga dalam kesehariannya, ia tidak boleh qoshor dan tidak ada
keringanan-keringanan musafir lain-nya. Kecuali tatkala dalam perjalanan
pulang balik-nya, ia bisa mengambil hukum musafir.
Maksudnya, di kota A ia muqim secara hakiki, adapun di kota B ia
muqim secara hukum. Musafir HANYA dalam perjalanan pergi dan pulangnya
saja (antara ke 2 kota tersebut).
والله أعلم بالصواب
Sumber: bbg-alilmu.com
Artikel terkait:
******
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illaa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !