Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam Walhamdulillaah,
Wa ba'du
....
Kita Sangat Membutuhkan Hidayah Allah
Disusun oleh:
Ust. Abdullâh Taslim, Lc., MA.
Disusun oleh:
Ust. Abdullâh Taslim, Lc., MA.
Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara
yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan
manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama keselamatan dan
kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sehingga barangsiapa yang
dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk meraihnya, maka sungguh dia
telah meraih keberuntungan yang besar dan tidak akan ada seorangpun yang
mampu mencelakakannya.
Allah Ta’ala berfirman:
{مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan
akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah
orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat)” (QS al-A’raaf: 178).
Dalam ayat lain, Dia Ta’ala juga berfirman:
{مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا}
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan
akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan
mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf: 17).
Kebutuhan manusia kepada hidayah Allah Ta’ala
Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita dalam
setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan
yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling
agung dalam al-Qur-an[1], karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang hamba
senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam
ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (Neraka)
dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan hidayah
(dari Allah Ta’ala) ini. Maka barangsiapa yang tidak
mendapatkan hidayah ini berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai
oleh Allah (seperti orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat
(seperti orang-orang Nashrani)”[2].
Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini
dengan lebih terperinci. Beliau berkata: “Seorang hamba sangat
membutuhkan hidayah di setiap waktu dan tarikan nafasnya, dalam semua
(perbuatan)yang dilakukan maupun yang ditinggalkannya. Karena hamba
tersebut berada di dalam beberapa perkara yang dia tidak bisa lepas
darinya:
- Yang pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah Ta’ala) karena kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam perkara-perkara tersebut.
- Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah secara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari (kesalahan) tersebut.
- Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya.
- Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan hidayah padanya.
- Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).
- Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah anda pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut (tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya (memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil (persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain. Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya) diapun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju.
- Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia telah mendapatkannya di waktu yang lalu.
- Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya (perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk mengetahui mana yang) benar dalam perkara-perkara tersebut.
- Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk meninggalkan keyakinan salah tersebut.
- Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah (kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut (dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar) ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan (yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis perbuatannya”[3].
Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika menjawab
pertanyaan sehubungan dengan makna ayat di atas: bagaimana mungkin
seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam
shalat maupun di luar shalat, padahal dia telah mendapatkan hidayah,
apakah ini termasuk meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya atau
tidak demikian?
Imam Ibnu Katsir berkata:
“Jawabannya: tidak
demikian, kalaulah bukan karena kebutuhan seorang mukmin di siang dan
malam untuk memohon hidayah maka Allah tidak akan memerintahkan hal itu
kepadanya. Karena sesungguhnya seorang hamba di setiap waktu dan keadaan
sangat membutuhkan (pertolongan) Allah Ta’ala untuk menetapkan
dan meneguhkan dirinya di atas hidayah-Nya, juga membukakan mata
hatinya, menambahkan kesempurnaan dan keistiqamahan dirinya di atas
hidayah-Nya.
Sungguh seorang hamba tidak memiliki (kemampuan memberi)
kebaikan atau keburukan bagi dirinya sendiri kecuali dengan
kehendak-Nya, maka Allah Ta’ala membimbingnya untuk (selalu)
memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan kepadanya
pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya.
Oleh karena itu, orang yang
beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk (selalu) memohon kepadanya, karena Allah Ta’ala telah
menjamin pengabulan bagi orang yang berdoa jika dia memohon kepada-Nya,
terutama seorang yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya (dengan
selalu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu malam dan di
tepi-tepi siang”[4].
Makna, hakikat dan macam-macam hidayah
Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-dalaalah (dalil/petunjuk)[5].
Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala menjadi empat macam:
1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:
{قَال َرَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى}
“Musa berkata: “Rabb kami (Allah Ta’ala) ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).
Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah Ta’ala berikan
kepada semua makhluk dalam hal yang berhubungan dengan kelangsungan dan
kemaslahatan hidup mereka dalam urusan-urusan dunia, seperti melakukan
hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang membinasakan untuk
kelangsungan hidup di dunia.
2. Hidayah (yang berupa) penjelasan dan
keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk, serta jalan
keselamatan dan jalan kebinasaan. Hidayah ini tidak berarti melahirkan
petunjuk Allah yang sempurna, karena ini hanya merupakan sebab atau
syarat, tapi tidak mesti melahirkan (hidayah Allah Ta’ala yang sempurna). Inilah makna firman Allah:
{وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى}
“Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS Fushshilat: 17).
Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk.
Hidayah inilah yang mampu dilakukan oleh manusia,
yaitu dengan berdakwah dan menyeru manusia ke jalan Allah, serta
menjelaskan kepada mereka jalan yang benar dan memperingatkan jalan yang
salah, akan tetapi hidayah yang sempurna (yaitu taufik) hanya ada di
tangan Allah Ta’ala, meskipun tentu saja hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati manusia agar mau mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dengan taufik-Nya.
Allah Ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
3. Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia
untuk mengikuti jalan yang benar) dan kelapangan dada untuk menerima
kebenaran serta memilihnya. inilah hidayah (sempurna) yang mesti
menjadikan orang yang meraihnya akan mengikuti petunjuk Allah Ta’ala. Inilah yang disebutkan dalam firman-Nya:
{فإن الله يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ}
“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8).
Dan firman-Nya:
{إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ}
“Jika engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam)
sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya
Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya dan
mereka tidak mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37).
Juga firman-Nya:
{إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ}
“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam)
tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi
Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia
yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk”
(QS al-Qashash: 56).
Maka dalam ayat ini Allah menafikan hidayah ini (taufik) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan menetapkan bagi beliau Shallallahu’alaihi Wasallam hidayah dakwah (bimbingan/ajakan kepada kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika penghuninya digiring kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan penghuni Surga:
{وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ
لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ}
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi
hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke
Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43).
Adapun tentang penghuni Neraka, Allah Ta’ala berfirman:
{احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ. مِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ}
“Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta
teman-teman yang bersama mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain
Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka” (QS
ash-Shaaffaat: 22-23)”[6].
Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:
- Hidayah yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada agama Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap muslim.
- Hidayah yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui perincian cabang-cabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin di siang dan malam”[7].
Footnote
- Sebagaimana dalam HR Ahmad (2/357) dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dengan sanad yang shahih.
- Kitab “Majmuu’ul Fata-wa” (14/37)
- Kitab “Risaalatu Ibnil Qayyim” (hal. 8-9)
- Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/50)
- Lihat kitab “al-Qaamuushul Muhiith” (hal. 1733)
- Lihat kitab “Bada-i’ul Fawa-id” (2/271-273) dengan ringkasan dan tambahan
- Lihat kitab “Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam” (hal. 225)
*****
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !