Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam Walhamdulillaah,
Wa ba'du
….
Proporsional itu Indah !
Studi Ringkas tentang Keseimbangan Ajaran Islam Terkait dengan Kuburan
Disusun oleh:
Ust. Abdullâh Zaen, Lc., MA
Disusun oleh:
Ust. Abdullâh Zaen, Lc., MA
Pernahkah istri Anda membuat masakan yang keasinan atau hambar alias
lupa membubuhkan garam ? Bagaimana rasanya ? Tentu saja tidak enak !
Begitulah sesuatu yang tidak pas dan proporsional, akan tidak enak
dirasa, juga tidak indah dipandang.
“Kaidah” tersebut bukan hanya berlaku dalam urusan duniawi belaka. Dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi (baca: ibadah) pun “kaidah” ini juga berlaku. Hanya saja dalam hal-hal yang berbau agama, barometernya jauh lebih jelas dan akurat. Berbeda dengan urusan duniawi, subjektifitas penilai seringkali lebih berperan. Contoh mudahnya, masakan yang menurut saya tingkat keasinannya sudah pas, belum tentu menurut Anda juga demikian. Relatif!
“Kaidah” tersebut bukan hanya berlaku dalam urusan duniawi belaka. Dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi (baca: ibadah) pun “kaidah” ini juga berlaku. Hanya saja dalam hal-hal yang berbau agama, barometernya jauh lebih jelas dan akurat. Berbeda dengan urusan duniawi, subjektifitas penilai seringkali lebih berperan. Contoh mudahnya, masakan yang menurut saya tingkat keasinannya sudah pas, belum tentu menurut Anda juga demikian. Relatif!
Tawâzun atau tanâsub (keseimbangan), begitu bahasa lain proporsional
dalam bahasa Arab. Salah satu keistimewaan ajaran Islam, ia memiliki
karakter yang seimbang dalam segala sesuatunya. Karenanya terlihat
begitu indah.
Dalam menyikapi dua alam; dunia dan akhirat, misalnya, Islam
membolehkan manusia untuk menikmati keindahan duniawi, selama dalam
koridor yang diizinkan agama. Namun Islam juga memotivasi manusia untuk
mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya demi menggapai kebahagiaan abadi
di negeri akhirat kelak. Amat proporsional bukan ? Jadi, Islam bukanlah
agama yang mengharamkan kenikmatan duniawi, tidak pula mengusung
ideologi yang melupakan negeri keabadian.
Masih banyak contoh lain yang menggambarkan keseimbangan ajaran
Islam. Yang manakala ajaran tersebut tidak dipraktekkan dengan baik,
maka pasti akan muncul ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan seorang
insan.
UKURAN PROPORSIONALITAS AMALAN
Saat kita berbicara tentang suatu amalan, apakah ia benar atau salah,
atau apakah ia proporsional atau tidak, bisa jadi ada sebagian kalangan
yang menyeletuk, “Benar menurut siapa ? Proporsional menurut siapa ?
Menurut saya atau Anda ? Menurut Ulama kami atau Ulama kalian ? Menurut
kami amalan ini sudah benar dan proporsional. Toh jika menurut kalian
salah dan ekstrim, itu adalah pendapat kalian. Kebenaran kan relatif ?"
Begitu komentar mereka.
Anda tidak perlu merasa bingung menghadapi pertanyaan seperti ini.
Sebab kita memiliki barometer yang jelas dan gamblang untuk mengukur hal
tersebut. Amalan atau ideologi apapun yang dilandasi dalil shahih, maka
itulah yang benar. Sikap apapun yang bersumber dari al-Qur`ân atau
hadits shahîh, serta didukung dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam,
itulah sikap yang proporsional.
Dari sini kita mengetahui kekeliruan celetukan sebagian orang, saat
mengomentari temannya yang rajin shalat lima waktu berjamaah di masjid
tepat pada waktunya. Ditambah sangat berhati-hati dalam bergaul dengan
lawan jenis, “Kamu itu jangan alim-alim amat kenapa ?! Ekstrim banget
sih ! Cobalah kamu lebih moderat dikit!”.
Dia menilai shalat tepat waktu dan menjaga jarak dengan lawan jenis
sebagai perilaku ekstrim. Padahal itu bagian dari ajaran agama. Sehingga
tidaklah mungkin dikategorikan perilaku ekstrim. Sebab ajaran Islam,
manakala diterapkan dengan benar, itulah inti dari sikap proporsional.
Tidak ada aturan yang lebih proporsional dibanding aturan Allâh Azza wa
Jalla.
PROPORSIONALITAS ISLAM DALAM MENYIKAPI KUBURAN
Agama Islam sangat kental dengan keseimbangan dan sikap tengah dalam setiap bagian ajarannya.Termasuk dalam perihal kuburan.
Terkait dengan masalah kuburan, sikap proporsional tersebut terbangun
di atas dua pertimbangan. Pertama, maslahat menjaga kehormatan orang
yang telah meninggal. Kedua, maslahat menjaga kemurnian akidah orang
yang masih hidup.[1]
Upaya menjaga kehormatan orang yang telah meninggal, harus dengan
sesuatu yang tidak sampai mengorbankan akidah orang yang masih hidup.
Dan sebaliknya, usaha untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, bukan
dengan sesuatu yang menodai kehormatan orang yang telah meninggal.
Dengan sikap proporsional seperti ini, maka tidak ada pihak yang
dirugikan.
Berikut beberapa contoh ajaran Islam yang berdimensi penghormatan terhadap kuburan, juga orang yang telah meninggal dunia.
1. Islam mengharamkan membuang hajat di atas kuburan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَة أَوْ سَيْف , أَوْ أَخْصِف نَعْلِي
بِرِجْلِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِي عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا
أُبَالِي أَوَسْطَ الْقَبْر – كَذَا قَالَ – كَذَا قَالَ – قَضَيْت
حَاجَتِي , أَوْ وَسْطَ الطَّرِيق
Lebih baik aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku
menjahit sandalku menggunakan kakiku; daripada aku harus berjalan di
atas kuburan seorang Muslim. Aku tidak peduli antara buang hajat di
tengah pekuburan atau di tengah pasar (keduanya sama-sama buruk). (HR
Ibnu Majah, II/154 no. 1589; dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.
Al-Mundziri menilai sanad hadits ini jayyid (baik).[2] Syaikh al-Albani
menyatakan hadits ini shahîh.[3]
2. Islam melarang berjalan di atas kuburan.
Dalilnya antara lain adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu tersebut di atas.
3. Islam melarang duduk di atas kuburan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan :
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ
فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ؛ خَيْرٌلَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
Lebih baik salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga
membakar baju dan kulitnya; daripada duduk di atas kuburan. [HR Muslim,
VII/41 no. 245; dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu].
4. Islam melarang mengenakan sandal di pekuburan.
Basyir Radhiyallahu anhu hamba sahaya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bercerita bahwa suatu saat beliau melihat seseorang berjalan di
pekuburan sambil mengenakan sandal. Maka beliaupun bersabda,
يَاصَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ! أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ
Wahai si pemakai sandal, celaka engkau. Lepaskan kedua
sandalmu!”.[HR. Abu Dawud (III/360 no. 3230) dan isnadnya dinyatakan
shahîh oleh al-Hakim[4] dan al-Albani][5].
5. Islam melarang mematahkan tulang mayit.
Nabiyullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan :
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Mematahkan tulang mayit mukmin seperti mematahkannya di saat ia masih
hidup”.[HR. Ahmad (41/58 no. 24739) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
dan dinilai shahîh oleh Ibn Hibban[6] serta al-Albani][7].
6. Islam membolehkan meletakkan tanda di atas kuburan.
Hal itu dalam rangka menandai bahwa tempat tersebut adalah kuburan,
sehingga mudah diketahui saat akan berziarah. Juga tidak dilangkahi atau
diduduki.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu menuturkan :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ بِصَخْرَةٍ
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menandai
kuburan ‘Utsman bin Mazh’un dengan batu. [HR Ibnu Majah, II/152 no.
1583; dan isnadnya dinyatakan hasan oleh al-Bushiri[8] juga Ibnu
Hajar][9].
.
.
Inilah kadar tanda yang dibenarkan oleh agama kita. Adapun menandai
kuburan dengan bangunan, apapun bentuknya, entah sekedar bangunan
persegi panjang atau hingga kubah, maka hal itu terlarang. Sebagaimana
akan dijelaskan kemudian.
Jika dicermati dengan baik, berbagai aturan tersebut di atas,
mengarah kepada penghormatan terhadap kuburan dan ahli kubur, namun
tidak beraroma pengkultusan. Sehingga akidah umat tetap terjaga
kemurniannya. Inilah salah satu keindahan ajaran Islam. Amat
proporsional!
Adapun segala sikap yang menjurus kepada pengkultusan kuburan atau
ahli kubur dan bisa menodai akidah umat, maka pintu tersebut ditutup
rapat-rapat oleh agama kita. Walaupun berdalihkan penghormatan.
Misalnya:
1. Shalat menghadap kuburan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti:
لَاتَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَاتُصَلُّوا إِلَيْهَا
Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat
menghadapnya. [HR Muslim, II/668 no. 972; dari Abu Martsad Radhiyallahu
anhu].
Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini
menegaskan terlarangnya shalat ke arah kuburan. Imam Syafi’i
rahimahullah berkata, ‘Aku membenci tindak pengagungan makhluk hingga
kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan
orang-orang sesudahnya’.” [10]
Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggabungkan antara dua etika. Etika pertama, untuk menghormati ahli
kubur, yakni dengan tidak menduduki kuburannya. Etika kedua, untuk
menjaga akidah orang yang masih hidup, yakni dengan tidak shalat
menghadap kuburan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara
penghormatan terhadap ahli kubur dengan penjagaan terhadap akidah umat.
2. Membangun masjid di kuburan.
Rasûllullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan :
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ ؛اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para
nabi mereka sebagai masjid. [HR Bukhari, I/531 no. 437 dan Muslim,
I/376 no. 530; dari Abu Hurairah Radhiyallahu ahu].
3. Mendirikan bangunan di atas kuburan
Di antara yang disunnahkan berkenaan dengan masalah kuburan adalah
meninggikannya satu jengkal saja dan tidak lebih dari itu. Jabir bin
Abdullâh Radhiyallahu anhu menceritakan bentuk makam Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْواً مِنْ شِبْرٍ
Makam beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggikan dari tanah
seukuran satu jengkal. [HR Ibnu Hibban, XIV/602 no. 6635, dan isnadnya
dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani][11].
Bahkan, para Ulama melarang untuk menambah tanah di atas kuburan
dengan tanah yang berasal dari luar kuburan tersebut. Imam Syafi’i (w.
204 H) berkata, “Aku lebih suka untuk tidak ditambahkan di atas kuburan
tanah dari selainnya.”[12]
Seandainya meninggikan kuburan lebih dari sejengkal dengan tanah lain
saja dilarang, bagaimana jika didirikan bangunan di atasnya? Entah itu
berupa nisan persegi panjang (biasanya dibuat setelah seribu hari dari
kematian), kubah, joglo atau masjid! Sebab itu semua menyelisihi hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk dibangun di
atas kuburan atau ditambah di atasnya. [HR an-Nasa`i, IV/391 no. 2026;
dari Jabir Radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai shahîh oleh Ibn
Hibban,[13] al-Hakim[14] dan al-Albani][15].
Membuat bangunan di atas kuburan merupakan salah satu faktor terbesar
yang akan mengantarkan kepada pengkultusan kuburan tersebut. Yang
ujung-ujungnya bermuara kepada kesyirikan. Karena itulah tidak heran
jika para ulama mu’tabar dari kalangan empat mazhab Ahlus Sunnah satu
kata dalam melarang hal tersebut.[16]
Dan masih banyak praktek-praktek lain terhadap kuburan yang dilarang
di dalam Islam. Seperti membuat tulisan di atas kuburan, mewarnainya,
meneranginya dengan lampu dan yang semisal. Yang semuanya itu pasti akan
menimbulkan dampak negatif, besar atau kecil, terasa atau tidak,
terutama terhadap akidah umat.
Sebab kita haqqul yaqin bahwa setiap yang dilarang agama, pasti akan
membawa keburukan. Sebaliknya, setiap yang diperintah agama, pasti akan
mendatangkan kemaslahatan.
RENUNGAN
Alangkah menyedihkan perilaku sebagian kalangan yang begitu bersemangat
untuk menghiasi kuburan dengan bangunan, padahal itu jelas-jelas haram.
Di kesempatan lain, saat mengantar jenazah ke pemakaman, dengan santai
sambil ngobrol, mereka duduk-duduk di atas kuburan. Padahal ini juga
terlarang. Jadi, larangan mana yang tidak mereka langgar? Terus maslahat
apa yang sudah mereka realisasikan?
KESIMPULAN
Dari studi ringkas di atas, insya Allâh kita bisa melihat betapa ajaran
Islam mengenai kuburan sangatlah proporsional dan tidak timpang sudut
pandangannya. Semua mendapat porsi perhatian yang memadai. Baik
kepentingan ahli kubur, maupun kepentingan orang yang masih hidup.
Kehormatan orang yang meninggal tetap dihargai. Akidah masyarakat pun
tetap terjaga.
Jika aturan di atas tidak dijalankan, bisa dipastikan ada pihak yang
dirugikan. Bisa jadi yang dirugikan adalah ahli kubur, karena
kehormatannya dinodai. Atau lebih parah lagi, yang dirugikan adalah umat
manusia, karena akidah mereka rusak. Ujung-ujungnya keindahan
proporsionalitas ajaran Islam tentang kuburan, akan nampak buram, akibat
ulah sebagian kaum muslimin sendiri.
Hanya kepada Allâh sajalah kita mengadu.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______Footnote
[1]. Baca al-Qubûriyyah, Nasy’atuhâ, Âtsâruhâ, Mauqif al-‘Ulamâ’ minhâ – al-Yaman Namûdzajan, karya Ahmad bin Hasan al-Mu’allim, hlm. 63.
[2]. Periksa at-Targhîb wa at-Tarhîb, III/1286.
[3]. Lihat Irwâ’ al-Ghalîl, I/102 no. 63.
[4]. Baca al-Mustadrak, I/709 no. 1421.
[5]. Cermati Irwâ’ al-Ghalîl, III/211 no. 760. Dalam beberapa kitab yang lain, beliau menyatakan hadits ini hasan.
[6]. Lihat Shahîh Ibn Hibbân, VII/437 no. 3167.[7]. Baca Irwâ’ al-Ghalîl, III/213 no. 763.
[8]. Sebagaimana dalam Mishbâh az-Zujâjah di hasyiyah Sunan Ibn Majah, II/152.
[9]. Melalui jalan Abu Dawud. Periksa at-Talkhîsh al-Habîr, III/1241 no. 964.
[10]. Syarh Shahîh Muslim, VII/42.
[11]. Lihat Ahkâm al-Janâiz, hlm. 195.
[12]. Al-Umm, I/463.
[13]. Shahîh Ibn Hibban, VII/434 no. 3163.
[14]. Al-Mustadrak, no. 1369.
[15]. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ’i, II/65 no. 2026.
[16]. Sekedar contoh, untuk ulama Mazhab Hanafi, silahkan baca Badâ’i’
ash-Shanâ’i’ karya al-Kâsâni (II/797) dan Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (II/236).
Ulama Mazhab Maliki, silahkan periksa Ikmâl al-Mu’lim karya al-Qadhi
‘Iyadh (II/540) dan Tafsîr al-Qurthubi (XIII/242-243). Ulama Mazhab
Syafi’i, silahkan telaah al-Umm karya Imam Syafi’i (I/463), al-Majmû’
karya an-Nawawi (V/289) dan Faidh al-Qadîr karya al-Munawi (V/274).
Ulama Mazhab Hambali, silahkan lihat al-Mughni karya Ibn Qudamah
(III/441), Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488) dan Ighâtsah
al-Lahfân karya Ibn al-Qayyim (I/350).
*****
Artikel Terkait:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !