Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Akidah Harus Dipahami Sesuai dengan Zahir Nash
Disalin dari:
Majalah As-Sunnah
Dalam sebuah buku berbahasa Indonesia, pernah disebut
suatu syubhat yang menyesatkan orang awam yang tidak kritis. Penulisnya
membawakan sebuah cerita tentang seorang syaikh berjenggot di Arab Saudi
yang dalam memahami nash, serba kaku dan suka ngotot karena hanya
berpegang pada zahirnya nash. Bahkan digambarkan, bahwa syaikh ini suka
marah jika pendapatnya ditentang. Kebetulan, ia seorang buta.
Suatu ketika, datanglah seseorang kepadanya seraya membawakan sebuah ayat :
وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
Secara
sepintas, arti ayat di atas adalah: Barangsiapa yang buta di dunia ini,
niscaya di akhirat kelak iapun akan buta. [QS. al-Isra’/17:72].
Jika
ia tetap memahami ayat ini menurut zahirnya, maka ia harus menerima
kenyataan bahwa iapun akan buta nanti di akhirat, karena sekarang di
dunia ia dalam keadaan buta. Maka terbungkamlah syaikh tersebut ketika
di hadapkan pada ayat ini. Maksud penulis kisah di atas adalah untuk
menjelaskan benarnya tindakan ta’wil (baca: tahrîf/merubah makna)
terhadap makna ayat-ayat sifat Allâh Azza wa Jalla, dan menjelaskan
batilnya pemahaman ayat-ayat sifat berdasarkan zahirnya.
Kesan
sekilas yang tertangkap dari cerita di atas, apalagi jika dirangkaikan
dengan tulisan sebelum dan sesudahnya, bahwa itulah gambaran tentang
syaikh Salafi yang selalu berpegang pada zahirnya nash; pemarah, kasar,
suka mempertahankan pendapatnya secara membabi buta, tetapi bodoh.
Dialektika
semacam ini, merupakan hal lumrah bagi pengikut hawa nafsu untuk
mempertahankan prinsipnya dan mengalahkan lawannya. Yang perlu
dikritisi, sebelum memasuki persoalan sebenarnya yaitu persoalan
memahami nash berdasarkan zahirnya, adalah sejauh mana kebenaran cerita
itu. Tidak ada bukti, tidak ada data dan tidak ada sanad.
Barangkali,
cerita itu sesungguhnya tidak ada, karena hanya cerita imajiner, dengan
kata lain fiktif. Andaikatapun benar, mungkin syaikh yang dimaksud
adalah orang tua buta biasa yang berjenggot, namun memiliki komitmen
tinggi terhadap ajaran Islam yang benar, karena lingkungan telah
membentuknya dengan taufiq Allâh Azza wa Jalla. Sehingga dengan keluguan
orang desa, beliau mempertahankan keyakinannya. Sayangnya ia tidak
memiliki cukup ilmu, sehingga manakala dipaparkan ayat di atas, ia tidak
siap menjawab, karena ia bukan Ulama, hanya orang tua biasa.
Perlu
difahami, di Arab Saudi, orang tua berjenggot seperti itu sering
dipanggil syaikh. Bahkan zaman dahulu, pengusaha yang menampung jama’ah
hajipun disebut syaikh, meskipun tidak berjenggot. Sekali lagi, itu jika
kisah di atas sungguh-sungguh terjadi. Dan sekali lagi, sangat mungkin
itu hanya cerita imajiner. Bagi para pengikut hawa nafsu, yang penting
menang dalam mempertahankankan kesalahannya.
Sebenarnya
jika orang buta yang diceritakan dalam kasus di atas adalah seorang
penuntut ilmu syar’i (tidak perlu seorang syaikh yang sangat ‘alîm),
tentu ia akan mampu memberikan jawaban.
Pertama,
ayat itu terkait dengan sifat manusia, bukan sifat Allâh Azza wa Jalla.
Dan manusia dengan sifat-sifatnya bukan termasuk hal ghaib, kecuali
yang dialami nanti di akhirat.
Kedua,
nash itu tetap difahami menurut zahirnya, dan tidak perlu merubah
maknanya. Hanya saja orang perlu memahami pengertian zahirnya nash.
Arti Zahirnya Nash
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan pengertian zahirnya nash kurang lebih sebagai berikut:
Pengertian zahir nash ialah suatu nash yang maknanya langsung bisa difahami oleh fikiran seseorang, dan itu berbeda-beda maknanya menurut siyâq (alur masing-masing kalimat), dan menurut apa yang suatu perkataan disandarkan kepadanya.
Sebuah
kata-kata yang sama, mungkin memiliki makna tertentu dalam sebuah alur.
Tetapi memiliki makna yang lain dalam alur yang lain. Demikian pula,
susunan suatu kalimat bisa jadi memiliki makna tertentu dalam sebuah
konteks, tetapi mungkin memiliki makna yang lain dalam konteks yang
lain.
Sebagai
misal, kata-kata qaryah, makna asalnya adalah kampung. Ia kadang bisa
berarti penghuni suatu kampung, dan kadang bisa berarti kampung itu
sendiri yang menjadi tempat tinggal sekelompok orang. Tergatung
konteksnya.
Contoh kata “qaryah” yang berarti penghuni suatu kampung, ialah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ مِنْ قَرْيَةٍ إِلَّا نَحْنُ مُهْلِكُوهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَوْ مُعَذِّبُوهَا عَذَابًا شَدِيدًا
Tidak
ada penduduk suatu negeripun yang durhaka, kecuali Kami akan
membinasakannya sebelum hari Kiamat, atau Kami azab (penduduk negeri
itu) dengan azab yang sangat keras. [QS. al-Isrâ/17:58]
Dari
ayat ini seseorang langsung bisa memahami bahwa maksud kata ”qaryah”
yang dibinasakan atau diazab di sini adalah penghuninya, bukan
kampungnya.
Sedangkan contoh kata “qaryah” yang berarti kampung tempat tinggal sekelompok orang, ialah firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ
Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini. [QS. al-‘Ankabût/29:31]
Dari ayat ini seseorang langsung bisa memahami bahwa maksud kata ”qaryah” di sini adalah tempat tinggal dari para penghuninya.
Contoh lain ialah ketika seorang manusia berkata (dengan bahasa Arab):
صَنَعْتُ هَذَا بِيَدَيَّ
Saya buat hal ini dengan dua tanganku.
Hakikat
tangan dalam perkataan seseorang ini berbeda dengan hakikat Tangan yang
disebut dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini :
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
Allâh
berfirman: ”Wahai Iblis, apa yang menghalangimu hingga engkau tidak
mau bersujud kepada (Adam) yang telah Aku ciptakan dengan dua
tangan-Ku?”. [QS. Shâd/38: 75).
Mengapa
hakikat dari masing-masing dua tangan itu berbeda? Sebab dalam
perkataan yang pertama, kata-kata “dua tangan“, disandarkan kepada
manusia, sehingga dua tangan itu adalah dua tangan milik makhluk yang
serba lemah, cocok dengan kelemahan makhluk. Sedangkan “dua tangan” yang
disebut dalam ayat, Surat Shâd: 75 tersebut, disandarkan kepada Allâh.
Artinya dua tangan itu adalah milik Allâh Azza wa Jalla yang pasti
sesuai dengan keluhuran dan keagungan Allâh Azza wa Jalla. Tidak ada
seorangpun yang sehat akal dan sehat fitrah akan mengatakan atau
meyakini bahwa tangan Allâh seperti tangan makhluk.
Contoh
lainnya lagi adalah dua susunan kalimat, yang masing-masing terdiri
dari unsur kata-kata yang sama persis. Tetapi berbeda maknanya karena
letak dari unsur kata-kata pada masing-masing susunan kalimat,
urut-urutannya berbeda.
Misalnya ketika seseorang mengatakan:
مَا عِنْدَكَ إِلاَّ زَيْدٌ
Sementara seseorang yang lain mengatakan:
مَا زَيْدٌ إِلاَّ عِنْدَكَ
Dari
dua perkataan yang diucapkan oleh dua orang di atas, masing-masing
memiliki unsur kata-kata yang sama persis seperti pada perkataan
lainnya. Pada masing-masing terdapat (مَا), terdapat, (زَيْد ) terdapat,
(إِلاَّ), dan terdapat, (عِنْدَكَ).
Tetapi
karena susunan yang berbeda, maka maknanya pun menjadi berbeda. Pada
susunan kalimat yang pertama, artinya: Di tempatmu tidak ada siapapun
kecuali Zaid. Sedangkan pada susunan kalimat yang kedua, artinya: Zaid
tidak berada di manapun kecuali di tempatmu.[1]
Dengan
demikian, bukankah susunan kalimat dan konteks kalimat bisa merubah
makna secara keseluruhan? Nah perubahan makna yang disebabkan oleh
susunan kalimat atau disebabkan oleh konteks kalimat tersebut, apakah
berarti menyimpang dari zahirnya perkataan? Apakah tidak sesuai dengan
zahirnya? Begitu pula penyandaran suatu kalimat kepada sesuatu, juga
akan merubah hakikat sesuatu, meskipun memiliki makna yang serupa,
tetapi dengan hakikat yang berbeda.
Ilustrasi, sumber: dutaislam.com |
Apa Pengertian A’mâ (أَعْمَى) dalam Surat Al-Isrâ Ayat 72?
Terkait
dengan ayat 72 Surat al-Isrâ yang dijadikan gagasan bagi lahirnya kisah
imajiner oleh penggagasnya di awal tulisan ini, akan dikemukakan
beberapa keterangan ahli tentang itu: apakah di dalamnya terdapat tahrîf
(pengubahan makna dari yang zahir kepada yang tidak zahir, yang mereka
namakan sebagai ta’wil)? Ataukah tetap pada makna zahirnya?
Ibu
Manzhûr dalam Lisan al-‘Arab [2], materi kata: عمى antara lain
membawakan perkataan al-Farrâ tentang firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
Barangsiapa
yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat kelak ia akan
lebih buta (lagi) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.
[QS. al-Isrâ/17:72]
Al-
Farrâ mengatakan: “Yakni, (barangsiapa yang buta hatinya) terhadap
kenikmatan-kenikmatan dunia yang telah Kami berikan kepada kalian, maka
ia terhadap kenikmatan-kenikmatan akhirat akan lebih buta lagi dan lebih
tersesat dari jalan yang benar”.
Lalu
Ibnu Manzhûr menyebutkan penjelasan al-Farrâ kaitannya dengan orang
Arab ketika menggunakan fi’il tafdhîl (kata kerja yang menunjukkan lebih
atau paling) termasuk kata a’maa (أَعْمَى) yang berbentuk tafdhil.
Beliau mengatakan:
“Fi’il
tafdhîl dalam kata ‘amâ (عمى) diperbolehkan (menjadi a’mâ), karena yang
dimaksudkan bukan buta kedua mata, tetapi yang dimaksudkan -wallâhu
a’lam- adalah buta hati. Sehingga diungkapkan kata-kata "fulân a’mâ min
fulân fil-qalbi" (fulan yang satu lebih buta hatinya daripada fulan yang
lain). Tetapi tidak bisa dikatakan: "huwa a’mâ minhu fil ‘a-inain" (ia
lebih buta matanya dari pada yang lain).
Maksudnya,
kata a’mâ pada ayat di atas adalah fi’il tafdhîl, yang itu berarti
menunjukkan buta hati, sebab tidak mungkin menurut al-Farrâ, buta mata
diungkapkan dengan fi’il tafdhîl.
Karena itu, kata a’mâ pada ayat di
atas berarti buta hati. Jadi kata a’mâ tidak mutlak berarti buta mata.
Apalagi siyâq (konteks -Sa'ad) dalam ayat di atas secara zahir menunjukkan bahwa maknanya
adalah buta hati dan bukan buta mata. Orang yang buta matanya belum
tentu buta hatinya. Sebaliknya orang yang buta hatinya belum tentu buta
matanya”.
Apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Manzhûr di atas adalah salah satu pendapat ahli
(yakni ahli bahasa -Sa'ad) tentangnya. Menurut para ulama mufassir yang lain, makna ayat tersebut
juga berkisar pada buta mata.
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah membawakan perkataan Ibnu ‘Abbâs, Mujâhid, Qatâdah dan Ibnu Zaid sebagai berikut :
وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ
Adalah, barangsiapa yang buta hatinya dalam kehidupan dunia ini.
Penafsiran itu bukan berarti menyimpang dari zahirnya. Apalagi jika seseorang kemudian memperhatikan firman Allâh :
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Sesungguhnya, bukan mata itu yang buta, akan tetapi hati yang ada di dalam dada-lah yang buta. [QS. al-Hajj22/:46].
Dengan
demikian, sekali lagi, sesungguhnya Surat al- Isrâ/17 ayat 72 di atas,
jika pengertiannya dibawa kepada makna “barangsiapa yang buta hatinya di
dunia, tidak dapat melihat kebenaran serta nikmat-nikmat Allâh, maka
dia di akhirat pun akan buta, tidak akan dapat melihat sinar yang
membimbingnya menuju surga“, maka ini adalah pengertian zahir. Bukan
pengertian “ta’wîl” yang maknanya diselewengkan dari zahirnya. Wallâhu
A’lam.
Intinya, kata
‘amâ dan a’mâ bisa berarti buta mata dan buta hati, tergantung siyâq
(alur kata) atau qarînah (petunjuk/alasan tertentu). Maka ayat tersebut
tidak bisa dijadikan alasan untuk memaksa orang untuk memaknai ayat-ayat
sifat Allâh dengan ta’wil yang mengubah makna sesungguhnya.
Wallâhu al-Muwaffiq.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1433H/2013M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079
]
_______
Footnote:
[1]
Lihat al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâhi wa Asmâ-ihi al-Husnâ, Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, tahqîq wa takhrîj: Asyraf bin ‘Abdul
Maqshûd bin ‘Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah, Kairo, Cet. I,
1411H/1990M, hlm. 45, Qâ’idah ar-Râbi’ah min Qawâ’id fî Adillati
al-Asmâ’ wash-Shifât.
[2] Lisan al-‘Arab, IX/409.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !