Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Arisan dalam Pandangan Islam
Hampir seluruh penduduk di pelosok tanah air mengenal yang namanya arisan. Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya. Ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain.
Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri ini, di negara Arab juga telah dikenal sejak abad kesembilan hijriyah yang dilakukan oleh para wanita Arab dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni, hingga kini fenomena ini masih berkembang dengan pesat.
Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan penjelasan hukum syar’i bentuk mu’amalah seperti ini oleh para Ulama. Apalagi permasalah ini termasuk kontemporer dan belum ada sebelumnya di masa para salaful ummah dahulu. Fenomena ini demikian semarak dilakukan kaum Muslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu mereka serta bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam?
HAKEKAT ARISAN
Kata
Arisan adalah istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam kamus Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang
yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi di antara mereka.
Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota
memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN
Balai Pustaka, 1976 hlm:57)
Ini sama dengan pengertian yang disampaikan Ulama dunia dengan istilah jum’iyyah al-Muwazhzhafin atau al-qardhu al-ta’awuni.
Jum’iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para Ulama sebagai bersepakatnya sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama dengan yang dibayarkan yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada akhir setiap bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya, kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan kepada salah seorang anggota pada bulan kedua atau setelah enam bulan –sesuai dengan kesepakatan mereka-. Demikianlah seterusnya, sehingga setiap orang dari mereka menerima jumlah uang yang sama seperti yang diterima orang sebelumnya. Terkadang arisan ini berlangsung satu putaran atau dua putaran atau lebih tergantung pada keinginan anggota.
Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan uang kepada anggota yang menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah menerimanya, kecuali orang yang pertama mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berhutang terus setelah mendapatkan arisan, juga orang yang terakhir mendapatkan arisan maka ia selalu menjadi pemberi hutang kepada anggota.
Berdasarkan hal ini, apabila salah seorang anggota ingin keluar dari arisan pada putaran pertama diperbolehkan selama belum pernah berhutang (belum menarik arisannya). Apabila telah berhutang maka ia tidak punya hak untuk keluar hingga selesai putaran arisan tersebut sempurna atau melunasi hutang-hutang kepada setiap anggota arisan.
Berdasarkan definisi di atas, para Ulama memberikan tiga bentuk arisan yang umum beredar di dunia; yaitu:
Pertama : Sejumlah orang bersepakat untuk masing-masing mereka membayarkan sejumlah uang yang sama yang dibayarkan pada setiap akhir bulan atau akhir semester dan semisalnya. Kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan dalam bulan pertama untuk salah seorang dari mereka dan pada bulan berikutnya untuk yang lain dan seterusnya sesuai kesepakatan mereka. Demikian seterusnya hingga setiap orang menerima jumlah uang yang sama dengan yang diterima oleh anggota sebelumnya. Arisan ini bisa berlanjut dalam dua putaran atau lebih tergantung kesepakatan dan keridhaan peserta. Dalam bentuk ini tidak ada syarat harus menyempurnakan satu putaran.
Kedua : Bentuk ini menyerupai bentuk yang pertama, namun ada tambahan syarat semua peserta tidak boleh berhenti hingga sempurna satu putaran.
Ketiga : Bentuk ini mirip dengan bentuk kedua, hanya saja ada tambahan syarat harus menyambung dengan putaran berikutnya.
HUKUM ARISAN SECARA UMUM
Ada
dua pendapat para Ulama dalam menghukumi arisan dalam bentuk yang
dijelaskan dalam hakekat arisan di atas, tanpa ada syarat harus
menyempurnakan satu putaran penuh (yakni bentuk pertama).
Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh Abdurrahman al-Barak.
Argumentasi mereka adalah:
1.
Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad
hutang bersyarat yaitu menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga
dari peserta lainnya. Ini adalah hutang yang membawa keuntungan (qardh
jarra manfaatan). Padahal para Ulama sepakat semua hutang yang
memberikan kemanfaatan maka itu adalah haram dan riba, seperti
dinukilkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’, halaman ke-120 dan
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 6/346.
2. Hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan mengharap wajah Allah dan membantu meringankan orang yang berhutang. Oleh karena itu dilarang orang yang menghutangkan menjadikan hutang sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang yang berhutang.
3. Dalam arisan ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi seperti dua jual beli dalam satu transaksi (bai’atain fi bai’ah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
نَهَى النَّبِيُّ صلّ الله عليه وسلّم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli [HR. Ahmad dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 5/149]
Itu adalah pendapat sekelompok Ulama yang pertama, sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari al-hafizh Abu Zur’ah al-‘raqi (wafat tahun 826) (lihat Hasyiyah al-Qalyubi 2/258), fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar (Hai’ah Kibaar al-Ulama) Saudi Arabia, di antara mereka Syaikh Abdulaziz bin Baz (mufti Saudi Arabia terdahulu), dan Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin, serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin.
Argumentasi mereka adalah:
1.
Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena hutang
yang membantu meringankan orang yang berhutang. Orang yang berhutang
dapat memanfaatkan uang tersebut dalam waktu tertentu kemudian ia
mengembalikannya sesuai dengan jumlah uang yang diambilnya tanpa ada
penambahan dan pengurangan. Inilah hakekat hutang (al-qardh al-mu’tad)
yang sudah diperbolehkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ para
Ulama. Arisan adalah salah satu bentuk hutang. Hutang dalam arisan
serupa dengan hutang-hutang biasa, hanya saja dalam arisan berkumpul
padanya hutang dan menghutangkan (piutang) serta pemanfaatan lebih dari
seorang. Namun kondisi ini tidak menyebabkan dia terlepas dari hakekat
dan penamaan hutang.
2. Hukum asal dalam transaksi muamalah adalah halal. Semua transaksi yang tidak ada dalil syariat yang mengharamkannya diperbolehkan. Anggap saja arisan ini tidak termasuk jenis hutang, maka ia tetap pada hukum asalnya yaitu diperbolehkan selama tidak ada dalil shahih yang melarangnya.
3. Arisan berisi unsur kerjasama, tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, karena ia adalah salah satu cara menutupi kebutuhan orang yang butuh dan menolong mereka untuk menjauhi mu’amalat terlarang.
4. Manfaat yang didapatkan dari arisan ini tidak mengurangi sedikit pun harta orang yang meminjam uang dan kadang orang meminjam mendapatkan manfaat yang sama atau hampir sama dengan yang lainnya. Sehingga mashlahat (kebaikannya) didapatkan dan akan dirasakan oleh seluruh peserta arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian atau mendapatkan tambahan manfaat pada pemberi hutangan yang menjadi tanggungan peminjam. Syariat yang suci ini tidak akan mengharamkan kemashlahatan yang tidak berisi kemudharatan.
PENDAPAT YANG RAJIH
Setelah
melihat argumentasi para Ulama di atas, penulis buku Jum’iyyah
al-Muwadzafin Prof. DR. Abdullah bin Abulaziz al-Jibrin me-rajih-kan
pendapat yang membolehkan dengan alasan:
1. Kuatnya argumentasi pendapat ini
2. Lemahnya pendapat yang mengharamkannya, karena:
• Alasan pertama pendapat ini lemah disebabkan arisan tidak termasuk hutang bersyarat, sebagaimana telah diungkapkan oleh pemilik pendapat yang membolehkan.
• Alasan kedua juga lemah karena hutang diperbolehkan walaupun tidak diniatkan mendapatkan pahala dan keridhaan Allah. Karena hutang pada hakekatnya disyariatkan untuk membantu orang yang membutuhkannya.
• Alasan ketiga juga lemah karena hadits larangan dua jual beli dalam satu akad tidak pas diterapkan pada arisan ini.
3. Pendapat yang membolehkan lebih pas dan sesuai dengan ushul dan kaedah syariat, karena seluruh syariat dibangun di atas dasar “mengambil maslahat dan menolak kemudharatan dan kerusakan”.
Dengan demikian jelaslah hukum Arisan tanpa syarat yang menjadi bentuk pertama ini hukumnya adalah boleh.
HUKUM BENTUK KEDUA, YAITU ARISAN DENGAN SYARAT HARUS SEMPURNA SATU PUTARAN
Dalam
bentuk yang kedua ini, para Ulama pun berbeda pendapat sama dengan
bentuk yang pertama. Pendapat yang mengharamkannya menganalogikan
(qiyas) kepada pengharaman bentuk pertama. Sehingga argumentasi seputar
pengharaman bentuk kedua ini sama dengan bentuk yang pertama dengan
ditambahkan adanya syarat tambahan syarat manfaat untuk yang
menghutangkan. Syarat tambahan itu adalah adanya pihak ketiga atau lebih
yang meminjamkan uangnya (dengan membayar iuran arisan tersebut). Ini
tidak diperbolehkan karena riba disebabkan adanya tambahan manfaat
keuntungan yang didapatkan oleh pemberi hutang.
Pendapat ini dapat dijawab bahwa "syarat" yang disepakati para Ulama dalam mengharamkan dan memberlakukan hukum riba pada sesuatu adalah adanya penetapan "syarat manfaat" berupa keuntungan yang dirasakan dan diperoleh oleh pemberi hutang dari orang yang berhutang hanya karena semata-mata hutang. Dan ini tidak ada dalam bentuk arisan ini; karena manfaat keuntungan yang disyaratkan disini tidak diberikan oleh penghutang sama sekali dan juga manfaat keuntungannya dirasakan oleh semua peserta arisan kecuali yang dapat urutan terakhir karena ia hanya memberikan hutang terus dan tidak berhutang kepada yang lainnya.
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Abdullah bin Jibrin membolehkan arisan bentuk ini.
PENDAPAT YANG RAJIH
Prof.
DR. Abdullah Ali Jibrin setelah meneliti dan menjelaskan argumentasi
para Ulama seputar masalah ini, beliau mengatakan,”Belum nampak bagiku
adanya faktor yang menyebabkan terlarangnya arisan yang bersyarat
seperti ini. Tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan sandaran dalam
mengharamkannya. Hukum asal dalam mu’amalat itu halal. Arisan ini
memiliki manfaat untuk semua pesertanya tanpa menimbulkan madharat pada
salah satu dari mereka. [Jum’iyyah al-Muwadzaffin, hlm. 53].
Dengan demikian bentuk kedua inipun diperbolehkan secara syariat.
BENTUK KETIGA: BERSYARAT SELURUH PESERTA HARUS MENYEMPURNAKAN LEBIH DARI SEKALI PUTARAN
Hakekat
model arisan seperti ini adalah arisan dengan syarat pemberi hutang
memberikan syarat kepada orang yang akan berhutang kepada mereka untuk
menghutangkan kepadanya di putaran kedua dan seterusnya.
Hukum masalah ini pun berkisar pada masalah bolehkah orang yang menghutangkan sesuatu menetapkan syarat pada yang berhutang untuk memberinya hutangan di waktu yang akan datang dan apakah syarat tersebut memberikan tambahan manfaat keuntungan pada pemberi hutang pertama?
Yang rajih dalam bentuk ini adalah haram, karena ada padanya "syarat" tambahan manfaat keuntungan untuk yang menghutangkan hanya karena hutang yang pertama tadi.
Demikianlah hukum arisan yang belum mengalami perubahan dan tambahan-tambahan. Sedangkan arisan-arisan yang berkembang dewasa ini, masih harus diteliti kembali kehalalannya dengan melihat sistem yang dibuat dalam arisan tersebut. Apabila sesuai dengan yang telah dijelaskan hakekatnya maka hukumnya adalah yang sudah dijelaskan diatas. Apabila tidak sesuai maka harus diteliti dan dihukumi sesuai dengan system yang diperlakukan dalam bentuk arisan tersebut.
Wallahu a’lam.
(Makalah ini disarikan dari buku Jum’iyyah al-Muwadzdzafin (al-Qardh at-Ta’awuni) karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdulaziz Ali Jibrin, hlm 5-56, terbitan Dar alam al-Fawaid, cetakan pertama/Dzulqa’dah 1419H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !