Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du ...
.
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du ...
.
Puasa Arafah Berbeda dengan Hari Arafah
Disusun Oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
.
Disusun Oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullaah
.
Pertanyaan:
Jika terjadi perbedaan dalam menentukan tanggal 9 Dzulhijjah,
antara pemerintah Indonesia dengan Saudi, mana yang harus diikuti?
Kami
bingung dalam menentukan kapan puasa arafah?
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah,
amma ba’du
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
Pertama, puasa arafah mengikuti wuquf di arafah.
Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah (Komite Fatwa dan Penelitian
Ilmiyah) Arab Saudi. Mereka berdalil dengan pengertian hari arafah,
bahwa hari arafah adalah hari dimana para jamaah haji wukuf di Arafah.
Tanpa memandang tanggal berapa posisi hari ini berada.
Dalam salah satu fatwanya tentang perbedaan tanggal antara tanggal 9
Dzulhijjah di luar negeri dengan hari wukuf di arafah di Saudi, Lajnah
Daimah menjelaskan,
يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع
لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوماً
قبله فلا بأس
Hari arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di
Arafah. Puasa arafah dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji.
Karena itu, jika anda ingin puasa arafah, maka anda bisa melakukan puasa
di hari itu (hari wukuf). Dan jika anda puasa sehari sebelumnya, tidak
masalah. (Fatawa Lajnah Daimah, no. 4052)
Kedua, puasa arafah sesuai tanggal 9 Dzulhijjah di daerah setempat.
Karena penentuan ibadah yang terkait dengan waktu, ditentukan
berdasarkan waktu dimana orang itu berada. Dan hari arafah adalah hari
yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga penentuannya
kembali kepada penentuan kalender di mana kaum muslimin berada.
Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Utsaimin. Beliau pernah
ditanya tentang perbedaan dalam menentukan hari arafah. Kita simak
keterangan beliau,
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال
قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة
بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا
اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم
التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق
ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم
يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا )
Yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’
(tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di
Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri
lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah
menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada
saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu
adalah hari raya bagi mereka.
Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal
dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8
di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9
menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah.
Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat
hilal lagi, (hari raya), jangan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin,
volume 20, hlm. 28)
Dari keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa perbedaan penentuan hari arafah, kembali kepada dua pertimbangan:
Pertama, apakah perbedaan tempat terbit hilal (Ikhtilaf Mathali’) mempengaruhi perbedaan dalam penentuan tanggal ataukah tidak.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam menentukan tanggal awal
bulan, kaum muslimin di seluruh dunia disatukan. Sehingga perbedaan
tempat terbit hilal tidak mempengaruhi perbedaan tanggal.
Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan mathali’
mempengaruhi perbedaan penentuan awal bulan di masing-masing daerah. Ini
meruakan pendapat Ikrimah, al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdillah
bin Umar, Imam Malik, Ishaq bin Rahuyah, dan Ibnu Abbas. (Fathul Bari,
4/123).
Dari dua pendapat ini, insyaaAllah yang lebih mendekati kebenaran
adalah pendapat kedua. Adanya perbedaan tempat terbit hilal, mempengaruhi perbedaan penentuan tanggal. Hal ini berdasarkan riwayat
dari Kuraib – mantan budak Ibnu Abbas –, bahwa Ummu Fadhl bintu
al-Harits (Ibunya Ibnu Abbas) pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah
di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya,
Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl.
Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya
melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di
Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku
“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
“Kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.
“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.
“Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan,
لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه
“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580, Nasai 2111, Abu Daud 2334,
Turmudzi 697, dan yang lainnya).
Kedua, batasan hari arafah.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa puasa arafah adalah puasa pada hari
di mana jamaah haji melakukan wukuf di arafah. Tanpa mempertimbangkan
perbedaan tanggal dan waktu terbitnya hilal.
Sementara ulama lain berpendapat bahwa hari arafah adalah hari yang
bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga sangat memungkinkan
masing-masing daerah berbeda.
Ada satu pertimbangan sehingga kita bisa memilih pendapat yang benar
dari dua keterangan di atas. Terlepas dari kajian ikhtilaf mathali’
(perbedaan tempat terbit hilal) di atas.
Kita sepakat bahwa islam adalah agama bagi seluruh alam. Tidak
dibatasi waktu dan zaman, sebelum tiba saatnya Allah mencabut Islam. Dan
seperti yang kita baca dalam sejarah, di akhir dakwah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, Islam sudah tersebar ke berbagai penjuru wilayah,
yang jarak jangkaunya cukup jauh. Mekah dan Madinah kala itu ditempuh
kurang lebih sepekan. Kemudian di zaman para sahabat, Islam telah
melebar hingga dataran syam dan Iraq. Dengan alat transportasi masa
silam, perjalanan dari Mekah menuju ujung wilayah kaum muslimin, bisa
menghabiskan waktu lebih dari sebulan.
Karena itu, di masa silam, untuk mengantarkan sebuah info dari Mekah
ke Syam atau Mekah ke Kufah, harus menempuh waktu yang sangat panjang.
Berbeda dengan sekarang, anda bisa menginformasikan semua kejadian yang
ada di tanah suci ke Indonesia, hanya kurang dari 1 detik. Sehingga
orang yang berada di tempat sangat jauh sekalipun, bisa mengetahui kapan
kegiatan wukuf di arafah, dalam waktu sangat-sangat singkat.
Di sini kita bisa menyimpulkan, jika di masa silam standar hari
arafah itu mengikuti kegiatan jamaah haji yang wukuf di arafah, tentu
kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh dari Mekah, tidak mungkin
bisa menerima info tersebut di hari yang sama, atau bahkan harus
menunggu beberapa hari.
Jika ini diterapkan, tentu tidak akan ada kaum muslimin yang bisa melaksanakan puasa arafah dalam keadaan yakin telah sesuai dengan hari wukuf di padang arafah. Karena mereka yang jauh dari Mekah sama sekali buta dengan kondisi di Mekah.
Ini berbeda dengan masa sekarang. Hari arafah sama dengan hari wukuf
di arafah, bisa dengan mudah diterapkan. Hanya saja, di sini kita
berbicara dengan standar masa silam dan bukan masa sekarang. Karena tidak boleh kita
mengatakan, ada satu ajaran agama yang hanya bisa diamalkan secara
sempurna di zaman teknologi, sementara itu tidak mungkin dipraktekkan di
masa silam.
Oleh karena itu, memahami pertimbangan di atas, satu-satunya yang
bisa kita jadikan acuan adalah penanggalan. Hari arafah adalah hari yang
bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, dan bukan hari jamaah haji
wukuf di Arafah. Dengan prinsip ini, kita bisa memahammi bahwa syariat
puasa arafah bisa dipraktekkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia
tanpa mengenal batas waktu dan tempat.
Allahu a’lam.
*****
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !